Minggu, 30 Januari 2011

Saatnya MPR Turun Tangan, Atasi Konflik DPR-DPD

Irman Putra Sidin (Helmi/dok)
Politikindonesia - MPR perlu turun tangan menyelesaikan konflik antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Pertentangan kedua lembaga ini menyangkut kewenangan dalam pembahasan rancangan undang-undang, harus diakhiri.

"MPR perlu turun tangan menyelesaikan konflik dua kamar yang sama-sama ada di Senayan ini. Tak perlu jauh-jauh, di sekitarnya dulu diselesaikan," kata pakar hukum tata negara, Irman Putra Sidin dalam diskusi mengenai arogansi politik dan refleksi legislasi di Gedung DPD, Senayan, akhir pekan ini.

Bisa disebutkan, konflik lembaga itu menunjukkan ego masing-masing mengenai kewenangannya dalam proses legislasi. Pasalnya, DPD ingin berperan lebih besar dalam pembahasan RUU, terutama yang menyangkut kepentingan daerah. Tetapi, DPR tidak mau menerima hal itu, karena merasa lebih berwenang menentukan segalanya.

Dalam pandangan Irman, proses relasi ketatanegaraan antara DPR dan DPD masih sulit mendapatkan bentuk sesungguhnya antara daerah dan kekuasaan politik di DPR.

Yang harus disadari, DPD tidak hanya kerja semata sebagai parlemen. Intinya, DPD harus dilihat sebagai keinginan daerah-daerah di seluruh Indonesia, untuk mengambil peran sebagai aktor utama dalam kebijakan nasional.

Seharusnya, setelah perubahan UU tentang Susunan Kedudukan (Susduk) menjadi Undang Undang MPR/DPR/DPD dan DPRD (MD3), konflik DPD-DPR pelan-pelan tereduksi. Namun, faktanya DPR belum bisa menerima kehadiran daerah (DPD), untuk terlibat dalam pembahasan kebijakan RUU.

"Sesungguhnya ini yang harus direnungkan kembali oleh DPR. Karena, masalahnya sudah konstitusional atau tidak, atau arogansi tanda kutip. Mungkin juga ketidaktahuan atau ada konflik pribadi, sehingga membawa-bawa nama lembaga," kata Irman Putra Sidin.


Menafikan Bikameral



Pengamat politik dari LIPI, Siti Zuhro mengatakan DPR menafikan kesepakatan adanya bentuk bikameral, dengan tidak mengakomodasi keberadaan DPD. Ia berpendapat, kesetaraan itu yang tidak ada.

Karena itu, kata Siti Zuhro, pantas kalau disebutkan ada arogansi kelembagaan yang ditunjukkan DPR. Karena ada upaya untuk mengerdilkan DPD secara jelas dan nyata dari pihak DPR. Ada kesengajaan DPR menyepelekan keberadaan dan upaya DPD untuk menunjukkan kinerjanya.

DPD sudah sangat serius merespon kekinian masalah, dalam hal ini berusaha merumuskan dan menuangkan dalam bentuk RUUK. Namun DPR tidak memberikan semangat, justru mendemoralisasi dan melumpuhkan.

"Ada kesengajaan, atau dalam perspektif politik ini pelumpuhan, apa yang sudah dimiliki tidak hanya semangat, tapi keberadaan dan umumnya memang tupoksi DPD dinafikan begitu saja," kata Siti Zuhro.


Wujud Kemitraan



Sementara itu, Direktur Monitoring, Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Ronald Rofiandri mengatakan, relasi yang terbangun antara DPD-DPR menunjukkan dua ciri khas.

Pertama, upaya salah satu pihak, yaitu DPD dalam menemukan wujud kemitraan dan sinergi yang akan dibangun. Di sisi lain, DPR, menyediakan terbentuknya dua hal tersebut tanpa mengurangi otoritas yang dimiliki.

Kedua, dinamika yang terjadi sebagian memperlihatkan adanya ketegangan di tingkat prosedur. Menurut Ronald, ketegangan ini ternyata tidak dituntaskan dalam tata tertib sidang, hanya berhenti pada batas itu. Padahal ada kebutuhan-kebutuhan alat kelengkapan yang ingin terlibat lebih jauh.

"Konsekuensinya itulah yang terjadi pada Rabu, karena tidak ada pembicaraan jangka panjang, bagaimana menyepakati tentang DPD ikut membahas," katanya.


Arogansi Legislatif



Ketua Komite IV DPD, John Pieris menganggap DPR melakukan arogansi kekuasaan legislatif. Anggota DPD RI dari Maluku itu menunjuk rapat kerja antara Komite I DPD dan Komisi II DPR, mengenai pembahasan RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Rabu (26/01).

Dalam penilaian John, hegemoni kekuasaan ada di DPR, sedangkan DPD diberikan kekuasaan yang sifatnya "marginal power". Kondisi ini menafikan mekanisme checks and balances dari segi trias politika.

Menurut John, kalau DPD selama ini terkesan ngotot mengawal kepentingan daerah, karena RUU yang berkaitan dengan kepentingan daerah-daerah harus menjadi domain DPD. Ia mengaku tidak begitu percaya partai politik atau DPR akan memperjuangkan kepentingan daerah.

"Saya sama sekali saya tidak percaya. Karena DPR itu partai politik. Jadi, mereka itu akan memperjuangkan kepentingan partainya saja," tegasnya.
(nam/rin/nis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar