JAKARTA, HALUAN – DPD menganggab DPR melakukan arogansi kekuasaan legislatif pada rapat kerja antara Komite I DPD dan Komisi II DPR dalam pembahasan Rancangan Undang Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (RUUK DIY), Rabu lalu (26/01).
Demikian kesimpulan yang muncul pada acara dialog Perspektif Indonesia dengan tema ”Arogansi Politik dan Refleksi Legislasi”, bertempat di pressroom DPD RI, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (28/01) dengan narasumber John Pieris (Ketua Komite IV DPD RI), Siti Zuhro (Pengamat Politik LIPI), Irman Putra Sidin (Pengamat Hukum Tata Negara), dan Ronald Rofiandri (Direktur Monitoring, Advokasi dan Jaringan PSHK).
John Pieris menegaskan, rapat kerja antara Komite I DPD dan Komisi II DPR tidak menunjukkan demokrasi yang elegan. Komisi II dianggap menyalahi sistem-sistem demokrasi. ”Ketua Komisi II saudara Harahap memakai kekuasaan yang terlalu berlebihan tidak memberikan sedikit peluang kepada tim DPD untuk melakukan interupsi”, tegasnya.
John menilai bahwa hegemoni kekuasaan ada di DPR, sementara DPD diberikan kekuasaan yang sifatnya marginal power. Kondisi ini dianggapnya menafikan mekanisme checks and balances dari segi trias politica.
John melanjutkan, DPD RI selama ini terkesan ’ngotot’ untuk mengawal kepentingan daerah, karena RUU yang berkaitan dengan kepentingan daerah-daerah harus menjadi domain DPD RI. ”Saya tidak begitu percaya kalau kepentingan-kepentingan daerah itu diperjuangkan oleh partai politik, sama sekali saya tidak percaya. Karena DPR itu partai politik, jadi mereka akan memperjuangkan kepentingan partainya itu,” jelasnya.
Sikap arogansi DPR tersebut juga dibenarkan oleh Siti Zuhro, yang mengatakan bahwa DPR menafikan kesepakatan adanya bentuk bikameral, dengan tidak mengakomodasi keberadaan DPD. ”Equality itu yang tidak ada, dan ini adalah pantas kalau disebutkan arogansi tadi karena ada upaya untuk mengerdilkan secara jelas dan nyata dari pihak DPR terhadap keberadaan dan upaya DPD untuk sebetulnya ingin menunjukkan kinerjanya tadi,” kata Siti.
Siti menambahkan bahwa DPD sudah sangat serius merespon kekinian masalah, dalam hal ini berusaha merumuskan dan menuangkan dalam bentuk RUUK. DPR dianggap tidak memberikan semangat, justru mendemoralisasi dan melumpuhkan. ” Ada kesengajaan dalam perspektif politik ini pelumpuhan, apa yang sudah dimiliki tidak hanya semangat, tapi keberadaan dan umumnya memang tupoksi DPD dinafikan begitu saja,” katanya.
Sementara itu Irman Putrasidin mengatakan bahwa proses relasi ketatanegaraan antara DPR dan DPD masih sulit untuk mendapatkan bentuk yang sesungguhnya antara daerah dan kekuasaan politik yang ada di DPR.”Jadi yang harus disadari semua bahwa DPD tidak hanya kerja semata sebagai parlemen, DPD harus dilihat sebagai keinginan daerah-daerah seluruh Indonesia, untuk mengambil peran sebagai aktor utama dalam kebijakan nasional, ” urai Irman.
Seharusnya, lanjut Irman, seteah perubahan susduk menjadi MD3, konflik DPD-DPR pelan-pelan tereduksi. Namun, faktanya DPR belum bisa menerima kehadiran daerah (DPD-red), untuk terlibat dalam pembahasan kebijakan RUU. ”Saya kira ini yang harus direnungkan kembali oleh DPR bahwa ini sudah konstitusional atau tidak, atau arogansi tanda kutip, atau mungkin juga ketidaktahuan, atau ada konflik sehingga membawa-bawa nama lembaga,” ujarnya. (sam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar