Jumat, 25 Juni 2010

PEMBATASAN PARTAI: Atmosfer Politik Bisa Lebih Stabil

JAKARTA (Suara Karya): Penyederhanaan jumlah partai politik melalui peningkatan ambang batas keterwakilan partai politik di parlemen (parliamentary threshold) di atas lima persen tidak akan mengganggu proses demokrasi di Indonesia. Bahkan, penyederhanaan itu akan makin memperjelas sistem presidensial sekaligus menghemat biaya politik di pemilu.
Apalagi selama ini sistem perpolitikan di Indonesia masih abu-abu. Sebab, dari sisi aturan berlaku sistem presidensial, namun dalam praktiknya berjalan sistem parlementer.
Pendapat di atas secara senada disampaikan oleh peneliti LIPI Siti Zuhro, peneliti dari Universitas Parmadina yang juga menjabat Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Bima Arya Sugiarto, pengamat politik UI Boni Hargens, dan Direktur Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti, yang dihubungi secara terpisah di Jakarta, Kamis (24/6).
"Karena itu, perlu ada kejelasan sehingga diharapkan akan makin memperkuat pilar demokrasi. Perampingan partai menjadi prasyarat utama menciptakan sistem demokrasi presidensial," kata Siti.
Tak hanya itu, menurut dia, dengan adanya peningkatan parliamentary threshold, maka diharapkan dapat menjadi salah satu upaya memfilter partai-partai berbasis "akar tunjang" yang dapat masuk parlemen.
Bahkan, dia menilai, dengan adanya peningkatan parliamentary threshold, akan meminimkan terbuangnya suara saat pemilu. Hal ini mengacu pada pengalaman pemilu lalu yang memperlihatkan banyaknya suara pemilih yang sia-sia karena kegagalan partai mencapai aturan ambang batas keterwakilan di parlemen.
"Sayang sekali suara-suara itu terbuang. Padahal, seharusnya pada saat pemilu, partai-partai kecil itu bisa melakukan fusi atau merger dengan membentuk partai yang lebih solid dari sisi basis massanya," katanya.
Di samping itu, menurut Siti, peningkatan parliamentary threshold secara tidak langsung dapat menjadi salah satu upaya pengetatan persyaratan pembentukan partai politik. Menurut dia, hingga kini perundang-undangan masih memberikan keleluasaan bagi setiap warga negara Indonesia untuk mendirikan partai politik.
"Ditambah dengan adanya bantuan dana yang diberikan negara untuk partai politik yang ikut pemilu. Ini semua makin menarik minat masyarakat untuk mendirikan partai politik," katanya.
Sementara itu, Bima mengatakan, parliamentary threshold tidak hanya berbicara soal angka-angka, tetapi juga berbicara soal sistem pemilu dan sistem pemilihan yang ideal. Jumlah partai yang sedikit akan memakan biaya politik yang rendah.
Dampaknya, politikus dapat lebih memfokuskan diri pada masalah-masalah politik yang lebih penting. Menurut Bima, partai-partai kecil pun dengan sendirinya akan ditransfer atau merger dengan partai lain yang memiliki idealisme yang sama.
Bima, yang juga politikus Partai Amanat Nasional (PAN), hanya tersenyum ketika ditanya apakah yakin partai yang diusungnya masuk dalam standar lima persen aturan parliamentary threshold. Tapi, dia optimistis PAN akan mendapatkan kursi parlemen setidaknya sekitar 6 persen. Namun, ketika ditanya mengenai rencana merger dengan partai lain untuk memperkuat suaranya, dia menjawab bahwa sampai saat ini PAN belum mengambil sikap.
"Stabilitas negara masih bisa tercapai dengan dukungan wakil rakyat yang dekat dengan konstituen. Jika ikatan dengan masyarakat sudah terjalin dengan baik, konflik dan perbedaan pendapat bisa diakomodasi dengan cara musyawarah langsung dengan masyarakat," ujarnya.
Bima menjelaskan, wakil rakyat dan presiden yang terpilih harus berani menyingsingkan lengan baju dan turun ke lapangan. "Berani berhadapan langsung dengan masyarakat jika terjadi konflik dan perbedaan pendapat. Dengan begitu, demokrasi pun akan berjalan," ujarnya.
Pendapat senada disampaikan Boni Hargens. "Tidak bisa dimungkiri, atmosfer politik akan lebih stabil dengan sedikitnya partai politik dibanding ada banyak partai politik," ucapnya.
Sebab, hingga saat ini masyarakat masih terbebani dalam setiap pemilu dengan adanya jumlah partai yang tidak sedikit dengan berbagai kepentingan, kemudian mulai skeptis kepada calon-calon kader.
Menurut Boni, roh demokrasi sering dianggap sudah mati. Padahal, roh demokrasi sebenarnya masih ada dan akan terus hidup dalam masyarakat Indonesia. "Roh itu ada meski masyarakat tidak mengenal sistem politik modern," katanya.
Sedangkan Ray menilai, stabilitas politik bukan hanya berkisar pada masalah sedikit atau banyaknya partai politik, melainkan menyangkut ketidakpercayaan publik terhadap partai. "Sudah menjadi tugas wakil rakyat untuk memperoleh kembali simpati rakyat," katanya.
Menurut dia, pengangguran politik yang terjadi di kursi DPR bisa dihindarkan jika ada penyederhanaan parpol. Itu disebabkan adanya seleksi terhadap anggota Dewan. (Grace Sinaga/Tri Handayani)

Nasional Demokrat Berpeluang Tarik Sepertiga Kader Golkar

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA-- Nasional Demokrat (Nasdem) berpeluang menarik sepertiga massa Partai Golongan Karya (Golkar). Massa yang berpindah diprediksi sebagian besar berasal dari akar rumput.

"Kalaupun akan ada yang lari ke Nasdem, persentasenya tidak akan besar. Maksimal hanya sepertiga saja yang pindah," ujar Peneliti LIPI, Siti Zuhro, di Jakarta, Kamis (24/6).

Jumlah yang tidak banyak itu disebabkan karena memang roh Partai Golkar yang cenderung bernuansa elitis dan sarat kekuasaan serta kepentingan. Syahwat berkuasa dari anggota partai itu juga masih besar sehingga agak sulit untuk bisa merakyat. Karakter itu sudah lama bercokol di partai berlambang beringin itu.

Padahal, menurut Siti, Nasdem yang diusung oleh Surya Paloh memiliki karakter yang dekat dengan rakyat. "Gayanya seperti LSM (lembaga swadaya masyarakat)," katanya. "Masih ada nilai-nilai idealisme dan kegelisahan untuk kembali menegakkan Indonesa. Sikap seperti inilah yang menarik perhatian akar rumput."

Redaktur: Budi Raharjo
Reporter: Rosyid Nurul Hakim

Sabtu, 19 Juni 2010

Peningkatan Parliamentary Threshold Bukan Membunuh Demokrasi

Siti Zuhro
Peningkatan Parliamentary Threshold
Bukan Membunuh Demokrasi


Sabtu, 19 Juni 2010
Sejumlah kalangan menilai, wacana menaikkan besaran batas minimal perwakilan keterwakilan partai politik di parlemen (parliamentary threshold) dapat merangsang peningkatan kinerja partai politik. Aturan baru itu, apabila direalisasikan dalam revisi Undang-Undang (UU) Pemilihan Umum (Pemilu), akan menjadi cara yang tepat untuk menyederhanakan sistem dan partai politik.
Ide menaikkan parliamentary threshold (PT) dari 2,5 persen menjadi 5 persen sebagaimana pernah diusulkan Partai Golkar merupakan hal positif untuk menyederhanakan sistem parpol. Kalau PT lima persen, kelak hanya akan ada 5-6 partai saja di DPR. Bahkan ide tersebut juga dianggap akan mempermudah terwujudnya konsensus di parlemen.
Parliamentary threshold adalah ketentuan batas minimal yang harus dipenuhi partai politik untuk bisa menempatkan calon legislatifnya di parlemen. Batas minimal yang diatur dalam Pasal 202 Ayat (1) UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif adalah 2,5 persen dari total jumlah suara dalam pemilu.
Berikut petikan wawancara wartawan Harian Umum Suara Karya Muhamad Kardeni dengan pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro di Jakarta, Kamis (17/6). Tema yang dibahas terkait masalah munculnya wacana perlunya meningkatkan parliamentary threshold dalam upaya menyederhanakan sistem partai politik di Tanah Air yang hingga kini masih mendatangkan pendapat pro dan kontra.

Saat ini muncul wacana perlunya peningkatan angka parliamentary threshold (PT). Bagaimana komentar Anda?
Terus terang, saya sangat mendukung gagasan ini. Sebab, sudah saatnya kita harus sungguh-sungguh menata sistem politik di negara kita. Kita perlu menata sistem pemilu dan partai politik, termasuk bagaimana merampingkan partai politik tanpa mengurangi esensi demokrasi itu sendiri. Artinya, tidak menghalangi kemerdekaan masyarakat untuk berasosiasi.
Usulan meningkatkan persyaratan keterwakilan partai politik di parlemen menjadi lima persen sebagaimana yang digagas oleh Partai Golkar, cukup ideal dalam upaya penyederhanaan partai dan mendukung sistem presidensial.

Dengan kata lain, PT adalah upaya perampingan partai politik secara alami?
Betul! Dengan adanya PT lima persen, memang diharapkan dapat merampingkan partai politik. PT lima persen juga untuk menjaring secara serius partai-partai politik yang memiliki basis massa. Jadi, partai politik yang berdiri itu nantinya betul-betul memiliki massa di akar rumput.

Lantas, bagaimana dengan partai politik yang tidak mencapai PT?
Partai politik yang tidak mencapai PT bisa melakukan fusi ke partai politik lain. Misalnya, partai yang berbasis agama bisa saja berfusi dengan partai tengah.

Peningkatan angka PT bukan berarti membunuh demokrasi?
Silakan masyarakat untuk mendirikan partai politik, tapi persyaratan partai politik untuk ikut pemilu itu yang harus sungguh-sungguh diatur secara tegas.
Artinya, atas dasar parameter apa suatu partai politik bisa ikut di pemilu. Sebab, bagaimanapun, sudah dibuktikan bahwa banyaknya partai politik saat ini--dari pemilu tahun 1999 sampai pemilu tahun 2009--menunjukkan banyak partai politik timbul tenggelam. Yang terjadi hanya ganti-ganti nama atau bolak-balik nama, sementara orangnya itu-itu saja.

Sebenarnya apa yang menjadi esensi dari peningkatan angka PT itu?
Dalam upaya memperkuat sistem presidensial, hal itu tidak akan tercapai kalau tidak didukung atau ditunjang dengan sistem multipartai yang sederhana.
Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah peraturan sedemikian rupa yang bisa diterima dan dipertanggungjawabkan, namun tetap mendorong demokratisasi. Dan, saya kira, peningkatan angka PT tujuannya memang ke arah sana.

Tapi, bukankah gagasan kenaikan angka PT dianggap hanya menguntungkan partai politik besar?
Saya tidak setuju jika kenaikan PT dianggap berlawanan dengan demokrasi. Semangat diberlakukannya PT sebenarnya tetap mendorong upaya demokratisasi. PT bukan saja memberikan peluang, tapi juga prasyarat sehingga partai politik yang ikut pemilu lebih rasional dan mempertanggungjawabkan dirinya sebagai partai politik yang benar-benar sebagai partai politik.

Pada Pemilu 2009 PT ditetapkan 2,5 persen. Saat ini muncul gagasan dinaikkan menjadi 5 persen. Sebenarnya angka yang ideal untuk PT itu berapa?
Kalau Pemilu 2009 dengan aturan PT-nya 2,5 persen saja, yang ikut pemilu ada sekitar 38 partai politik. Bagi saya, itu masih terlalu banyak. Saya setuju jika PT dinaikkan pada kisaran angka lima persen.
Ini bukan untuk membunuh partai politik atau hanya ingin memenangkan Partai Golkar, tidak. Ini adalah cara untuk menghentikan ketidakpuasan para elite politik yang mendirikan partai politik.

PT selama ini hanya diberlakukan di DPR. Apa perlu PT juga diberlakukan di tingkat DPRD?
Seharusnya begitu. Sebab, sistem presidensial itu tidak hanya untuk pemerintah pusat saja, tapi juga harus memperkuat efektivitas sekaligus memperkuat pemerintah daerah juga. Tapi, mungkin untuk pemberlakuannya ke tingkat DPRD dilakukan secara bertahap.
Yang pasti, semangat perampingan partai politik merupakan kebutuhan mendesak bagi Indonesia yang ingin konsisten merealisasikan sistem presidensial. Dan, demokrasi tanpa konsistensi tidak akan mungkin berjalan. Konsistensi dibutuhkan ketika pilihan kita sudah menetapkan sebagai negara yang menganut sistem presidensial.***

BIODATA
- Peneliti senior Pusat Penelitian Politik-LIPI dan The
Habibie Center.
- Menyelesaikan studi S1 jurusan Ilmu Hubungan Internasional
FISIP Universitas Jember.
- Mendapatkan gelar MA ilmu politik dari The Flinders Univer-
sity, Adelaide, Australia dan PhD ilmu politik dari
Curtin University, Perth, Australia.

Buku-buku karyanya:
- Konflik dan Kerja Sama Antar-Daerah: Studi Kasus Pengelolaan
Kewenangan di Jawa Timur, Kalimantan Timur dan Bangka Beli
tang. (Jakarta: LIPI, 2004)
- Menata Kewenangan Pusat-Daerah yang Aplikatif-Demokratis.
(Jakarta: LIPI, 2005)
- Profesionalitas dan Netralitas Birokrasi: Menuju Daya
Saing Ekonomi Daerah, Studi di Empat Provinsi. (Jakarta: The
Habibie Center dan Hanns Seidel Foundation, 2007)

Selasa, 15 Juni 2010

Usulan Dana Aspirasi dan Dana Desa Akal-akalan Politisi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Usulan dana Rp 1 miliar untuk tiap desa dinilai melanggar tugas pokok dan fungsi DPR. Sama seperti usulan dana aspirasi Rp 15 miliar per anggota DPR, menurut peneliti politik dari LIPI, Siti Zuhro, usulan dana Rp 1 miliar adalah akal-akalan politisi untuk bekal Pemilu 2014. “Ini jelas untuk kepentingan 2014. Intinya anggota dewan bisa running lagi di 2014 tanpa harus mengambil dana dari kocek sendiri,” kata Siti, saat dihubungi, Senin (14/6).

Menurut Siti, DPR tidak perlu berinisiatif usulan dana-dana baru untuk daerah apalagi desa. Alasannya, terang Siti, pengembangan desa telah tercakup dalam anggaran program percepatan pembangunan daerah tertinggal (PDT). Siti menyarankan, DPR cukup membantu penambahan anggaran program PDT yang dikelola Kementerian Dalam Negeri tersebut lewat pembahasan APBN dengan Pemerintah.

Jika DPR khususnya Golkar tetap memaksakan usulan dana aspirasi dan dana desa ini, kata Siti, akan menimbulkan tumpang tindih (overlapping) kewenangan DPR. Kewenangan DPR, tegas Siti, adalah pengawasan dan pembuat regulasi, bukan pengeksekusi anggaran. “Presentase perimbangan keuangan daerah sekarang itu jomplang, yang harus dibenahi adalah politik anggaran, bukan memunculkan usulan dana baru yang dikelola oleh dewan,” tambah Siti.

Redaktur: Krisman Purwoko
Reporter: dri