Jumat, 29 Oktober 2010

Politisasi Lahirkan Pragmatisme

Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro[JAKARTA] Pakar politik LIPI Siti Zuhro menyatakan, politisasi telah masuk ke hampir seluruh sendi kehidupan bernegara dan berbangsa. Akibatnya, muncullah sikap pragmatisme dan oportunisme yang tidak bisa dikendalikan oleh kultur bangsa Indonesia.

“Pancasila tergerus oleh sikap itu. Politisasi yang merambah ke semua lini bertemu dengan kekuasaan uang, jika tidak terbendung, maka cepat atau lambat menggerogoti kaum muda,” katanya, kepada SP, di Jakarta, Jumat (29/10).

Lebih jauh politisasi itu mengakibatkan orientasi yang dangkal dan terbatas untuk mencapai kekuasaan dan uang. “ Ini sudah terjadi dan merugikan, kehidupan bernegara dan berbangsa dalam membangun Indonesia ke depan yang lebih demokratis dan sejahtera,” katanya.

Kaum muda, menurutnya, harus belajar dari para pemimpin sebelumnya. “Generasi muda harus memiliki reaktualisasi sumpah pemuda di tengah perkembangan dinamika politik yang sangat semarak. Selain itu, kaum muda harus menghidupkan kembali kecintaan kepada Pancasila, NKRI, dan Kebhinekaan. Sebab, jika sudah mengabaikan Pancasila maka uang menjadi panglima. Dampaknya, sampai saat ini belum ada kaum muda dan kader muda partai yang memiliki jiwa kenegaraan dan bervisi kebangsaan,” katanya. [W-12]

Jumat, 22 Oktober 2010

Usulan Golkar Takkan Bunuh Hak Berdemokrasi

PARLIAMENTARY THRESHOLD
Usulan Golkar Takkan
Bunuh Hak Berdemokrasi
>

Siti Zuhro, Peneliti LIPI.

Jumat, 22 Oktober 2010

JAKARTA (Suara Karya): Usulan Partai Golkar agar ambang batas keterwakilan partai politik di parlemen (parliamentary threshold) pada Pemilu 2014 dinaikkan patut didukung untuk menciptakan penyederhanaan jumlah partai politik di parlemen. Usulan Partai Golkar ini juga tidak akan membunuh hak konstitusional berdemokrasi.
Demikian pendapat peneliti LIPI Siti Zuhro dan anggota Badan Legislatif (Baleg) DPR Taufiq Hidayat secara terpisah di Jakarta, Kamis (21/10). Dalam pernyataan politik sebagai hasil Rapimnas I/2010, Selasa lalu, Partai Golkar mengusulkan peningkatan parliamentary threshold menjadi 5 persen. Usulan tersebut dimaksudkan untuk menyederhanakan sistem kepartaian dalam rangka memperkuat sistem pemerintahan presidensial.
Siti menilai, wacana peningkatan parliamentary threshold sejalan dengan reformasi partai politik. Bahkan, itu dapat berdampak signifikan terhadap penegakan sistem presidensial yang berlaku di Indonesia.
Siti menuturkan, demokrasi dengan multipartai saat ini hanya menyebabkan kekacauan sistem presidensial. Dia beranggapan, sistem multipartai yang berlaku saat ini tidak memberikan manfaat besar terhadap pemerintah. "Jika melihat pengalaman, pemilu lalu yang menghasilkan banyak partai ternyata tidak berpengaruh positif terhadap aktivitas maupun peningkatan kinerja pemerintahan," katanya.
Siti tidak memungkiri, wacana peningkatan parliamentary threshold ini akan menimbulkan perdebatan terutama dari kalangan partai politik menengah dan kecil.
Karena itulah, dia meminta pemerintah bersama DPR menyosialisasikan masalah tersebut sebagai upaya pembelajaran masyarakat. "Kita tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama seperti terjadi saat Pemilu 2009. Sebab, banyaknya partai politik ternyata hanya menimbulkan kegaduhan dan tidak berkontribusi positif terhadap demokrasi," katanya.
Siti menilai, sistem multipartai juga dikhawatirkan makin membebani anggaran negara sebagai konsekuensi pendirian partai politik. "Dari Pemilu 1999 maupun Pemilu 2009, banyak partai politik yang timbul tenggelam. Yang terjadi, mereka hanya ganti-ganti nama, sementara orang-orangnya itu-itu juga," ujarnya.
Menurut Siti, pembelajaran terhadap masyarakat mengenai arti demokrasi harus dilakukan pemerintah dan DPR. Ini perlu agar paradigma yang salah selama ini mengenai berdemokrasi berubah.
Siti juga menilai, peningkatan parliamentery threshold pada pemilu mendatang juga diharapkan meningkatkan kualitas kader partai politik. Sebab, yang terjaring hanya partai-partai politik yang memiliki basis massa kuat.
"Mendirikan partai politik bukan solusi yang tepat untuk mendapatkan kekuasaan. Dengan aturan yang dapat merampingkan jumlah partai politik, maka diharapkan partai politik yang dapat bertahan hanya yang memiliki akar tunjang, artinya massa yang kuat," katanya.
Taufiq Hidayat juga mengatakan, jika melihat sistem presidensial yang dianut Indonesia, peningkatan parliamentary threshold merupakan cara efektif untuk meningkatkan kualitas partai politik.
"Sistem ketatanegaraan yang kita anut adalah presidensial. Jadi, idealnya partai politik yang ada juga tidak banyak, terutama yang berada di parlemen," katanya.
Sampai saat ini, Taufiq mengakui, di dalam pembahasan revisi UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, termasuk masalah peningkatan parliamentery threshold, antarfraksi masih terjadi tarik-menarik. "Belum selesai. Pembahasan soal parliamentery threshold masih ditunda. Kemungkinan kita bahas pada pekan mendatang. Pendapat fraksi masih beragam. Tapi, range kenaikannya berkisar antara 2,5 hingga 5 persen," ujarnya.
Taufiq menilai, peningkatan angka parliamentery threshold juga berdampak semakin memudahkan pembahasan perundang-undangan di parlemen. Dia mengungkapkan, salah satu kendala yang selama ini membuat proses legislasi molor adalah perdebatan yang sangat alot akibat perbedaan pendapat antarfraksi.
"Kita juga harus memperhatikan demokrasi yang sehat sehingga dapat mendorong perwujudan kesejahteraan rakyat. Jika proses pembuatan kebijakan lebih cepat, perbaikan kesejahteraan rakyat juga semakin cepat," ujar Taufiq.
Namun, dia mengingatkan agar perbaikan sistem politik melalui peningkatan parliamentery threshold ini harus dilakukan secara alami. Menurut dia, perbaikan dapat dilakukan dengan membuat regulasi yang dapat menjadi payung hukum dalam berdemokrasi.
"Sekaligus pemerintah dan DPR juga bekerja sama dalam menyosialisasikan ini kepada masyarakat, sehingga tidak menimbulkan kekhawatiran yang berlebih di masyarakat," kata Taufiq.
Sementara itu, dalam pernyataan politik Partai Golkar usai Rapimnas I/2010, Sekjen Partai Golkar Idrus Marham menyampaikan, revisi undang-undang bidang politik dilakukan berdasarkan konstitusi yang lebih permanen dan berjangka panjang. Karena itu, ujarnya, penyederhanaan sistem kepartaian perlu dilakukan sehingga sistem presidensial pun menjadi lebih kuat.
"Untuk itu, Partai Golkar berpandangan, ketentuan tentang parliamentery threshold perlu dinaikkan menjadi 5 persen," kata Idrus.
Menurut dia, kenaikan parliamentary threshold penting dilakukan sebagai bagian upaya penataan sistem politik guna menjamin stabilitas politik, efektivitas kinerja lembaga-lembaga negara, dan mencegah pemborosan dalam proses politik, khususnya di DPR. (Tri Handayani)

Senin, 04 Oktober 2010

EVALUASI KABINET: Kemendagri Belum Menggembirakan


Siti Zuhro,

Pakar Pemerintahan dari
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).



Senin, 4 Oktober 2010

JAKARTA (Suara Karya): Kinerja Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dalam satu tahun Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II dinilai belum menggembirakan. Indikatornya, terlihat dari kegagalan dalam pelaksanaan otonomi daerah, pemilihan umum kepala daerah (pilkada) di banyak daerah yang berujung pada gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK), serta maraknya konflik horizontal di antara kelompok masyarakat.
Dengan kinerja Kemendagri seperti ini bukan tak mungkin, Mendagri Gamawan Fauzi bisa terkena reshuffle (perombakan) kabinet pada Oktober ini.
Demikian pendapat pakar pemerintahan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Taufiq Hidayat, pengamat politik Boni Hargens, dan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri Reydonnyzar Moenek secara terpisah di Bandung dan Jakarta, Minggu (3/10).
Siti Zuhro mengatakan, lemahnya kinerja Kemendagri yang dipimpin Gamawan Fauzi sebenarnya mencerminkan kinerja hampir semua menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II.
"Tadinya, kinerja seratus hari pemerintahan SBY-Boediono dan menteri-menteri KIB II yang tidak memuaskan bisa dimengerti karena adanya gonjang-ganjing kasus Bank Century. Namun, ternyata hampir satu tahun ini, menteri-menteri tidak menunjukkan kinerja yang memuaskan. Saya kira Pak SBY juga tidak puas sehingga berencana melakukan evaluasi kinerja para menteri pada Oktober ini," kata Siti Zuhro dalam diskusi "Evaluasi Kementerian Dalam Negeri dan Otonomi Daerah" yang digagas Kelompok Kerja (Pokja) Wartawan Kementerian Dalam Negeri di Bandung, Jawa Barat, Minggu (3/10).
Dia menyebutkan, kinerja Kemendagri yang dipimpin Gamawan Fauzi dianggap banyak pihak belum memuaskan. Sebab, Kemendagri tidak menunjukkan kinerja yang mampu mendorong peningkatan pelayanan publik, kesejahteraan, tata kelola pemerintahan yang baik, dan peningkatan daya saing daerah.
Siti Zuhro menilai, prestasi Kemendagri yang baik hanya dalam penyusunan dan pengawasan terhadap regulasi atau peraturan-peraturan yang menyangkut pemerintah daerah, seperti penertiban 1.800 perda-perda bermasalah.
"Namun, dalam segi pelaksanaan politik keamanan, khususnya menyangkut stabilitas keamanan di daerah, Kementerian Dalam Negeri tampaknya kedodoran," ujarnya.
Hal ini terlihat dengan sering munculnya konflik-konflik dan kerusuhan serta munculnya kasus-kasus gugatan dalam pilkada di banyak daerah. "Ini belum lagi dengan pemekaran daerah yang ternyata memboroskan keuangan dan tidak berhasil menyejahterakan rakyat di daerah. Ini pekerjaan yang paling berat buat Mendagri," kata Siti Zuhro.
Menurut dia, stabilitas politik dan keamanan nasional menandakan bahwa elite politik maupun pemerintah telah gagal dalam mengelola dan mempromosikan demokrasi yang substantif di Indonesia. Padahal tujuan demokrasi itu, tutur Siti, seharusnya mampu menciptakan rasa saling percaya satu sama lainnya.
"Politik keamanan nasional saat ini memprihatinkan, masyarakat dengan mudahnya melakukan kekerasan, baik dalam pilkada maupun kekerasan yang terjadi di tingkat sosial kemasyarakatan," kata Siti.
Ia mengingatkan, pada pelaksanaan pilkada di masa Mendagri Ma'ruf dan Mardiyanto, konflik serta kekisruhan boleh dikatakan minim. "Pada pilkada 2005 hingga 2008, konflik pilkada hanya di Maluku Utara dan di Kabupaten Tuban. Tapi, pada 2009 dan 2010 ini, hampir setiap pelaksanaan pilkada diwarnai gejolak dan ketidakpuasan. Tidak saja melahirkan gugatan, tapi juga konflik massa yang menelan korban jiwa," tuturnya.
Sementara itu, Kapuspen Kemendagri Reydonnyzar Moenek dalam acara yang sama mengatakan, Mendagri Gamawan Fauzi telah melakukan berbagai langkah untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik, termasuk dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah.
"Kita harus melihat dulu di mana kekurangan dan kesalahan yang muncul, apakah di tatanan konsep atau dalam tataran pelaksanaan. Komitmen menciptakan pemerintahan yang baik itu bukan tugas dan tanggung jawab pemerintah pusat atau Kemendagri semata, melainkan juga tergantung pada pemda dan masyarakat di daerah sendiri," ujarnya.
Dia mencontohkan, terjadinya konflik-konflik di daerah jangan ditimpakan kesalahan kepada Kemendagri dan Mendagri. "Pemda juga harus punya inisiatif untuk mencegah dan menyelesaikan konflik yang muncul," ujarnya.
Reydonnyzar Moenek menambahkan, Kemendagri telah berusaha agar pelaksanaan otonomi daerah bisa mencapai tujuan, yakni menyejahterakan masyarakat dan meningkatkan pelayanan publik. "Komitmen ini yang berupaya dilaksanakan Mendagri dengan sebaik-baiknya," tuturnya.
Sementara itu, Taufiq Hidayat, saat dihubungi Suara Karya di Jakarta, Minggu (3/10), menilai, penyelenggaraan program otonomi daerah maupun pemekaran wilayah belum berjalan maksimal. Hal tersebut terlihat dari adanya upaya rasionaliasi dari program tersebut.
Menurut dia, sampai saat ini masih banyak ditemukan kepala daerah yang melakukan tindak korupsi dalam mengelola pemerintahannya.
"Dapat dilihat bahwa kepala daerah itu tidak bisa mengelola pemerintahannya tanpa melakukan korupsi. Banyak kepala daerah yang tersangkut persoalan hukum," ujarnya.
Tak hanya itu, ujar Taufiq, konflik-konflik yang muncul saat pemilihan kepala daerah juga menjadi salah satu indikator bagaimana pelaksanaan otda itu berlangsung.
Sedangkan Boni Hargens menilai, Kemendagri masih berkutat dalam berbagai wacana tentang perbaikan pelayanan dan good governance.
Semuanya, ujar dia, hanya sekadar untuk memenuhi tuntutan jabatan dan bukan untuk negara atau rakyat, sehingga tidak ada realisasinya di lapangan.
Karena itu, di berbagai daerah bermunculan berbagai konflik horizontal dan tidak bisa diselesaikan dengan cepat. Padahal, Depdagri melalui Kesbangpol seharusnya telah memiliki peta daerah rawan konflik dan juga acuan untuk pemecahan masalah atau antisipasinya.
Boni menilai, cakupan Kesbangpol sangat luas, meliputi masalah hukum, perundang-undangan, dan budaya, mengakibatkan masalah yang ditangani tidak bisa fokus, bahkan cenderung terjadi tumpang tindih. (Victor AS/Joko S/Tri Handayani)