Kamis, 28 Desember 2006

Kegundahan Try Sutrisno

163250
R Siti Zuhro

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Bak pendekar turun gunung, mantan Wapres Try Sutrisno "mengerang". Bersama Gerakan Kebangkitan Indonesia Raya (GKIR), dia mendatangi DPR untuk menyampaikan keprihatinan atas buruknya kinerja pemerintah di segala bidang.

Kekecewaan Try sebenarnya juga dirasakan mayoritas rakyat. Delapan tahun sudah Indonesia menapaki masa reformasi. Tetapi kita tak jua ke luar dari krisis multidimensi. Mengutip laporan Bank Dunia, daya tahan Indonesia kian kritis. Kini separo penduduk kita (49 persen) berada dalam kemiskinan atau yang rentan pada kemiskinan.

Sulit dimungkiri bahwa pemerintah paling bertanggung jawab dalam masalah ini. Untuk sebagian, itu merupakan kegagalan pemerintah dalam mengatasi warisan masalah yang ditinggalkan era sebelumnya, khususnya beban utang yang sangat besar. Seperti pemerintahan terdahulu, SBY-JK juga tak berhasil melakukan reformasi birokrasi yang riil dan signifikan.

Alih-alih menjadikan birokrasi yang profesional, transparan, akuntabel, efektif, dan efisien, yang terjadi justru kebalikannya. Birokrasi Indonesia belum mampu menjadi abdi negara dan abdi masyarakat. Upaya untuk memperbaikinya bukan tidak dilakukan. Tetapi pemerintah kurang tegas dalam menghadapi orientasi birokrat yang cenderung mengedepankan safety first philosophy. Di banyak daerah, belanja pemerintah cenderung lebih besar daripada belanja publik. Walhasil, investasi pun berjalan lamban.

Tanpa mengabaikan lemahnya faktor kepemimpinan SBY-JK sebagaimana dikritik banyak orang, agak kurang fair juga bila kita menafikan faktor lain. Pertama, sistem politik kurang konsisten. Hasil amandemen UUD 1945 menampakkan wajah parlementarian yang kental, meski sejatinya sistem politik kita adalah presidensial.

Banyak wewenang eksekutif yang kemudian menjadi komoditas politik di kalangan legislatif, seperti soal pengangkatan panglima TNI dan kepala Polri atau pun soal impor beras.

Kedua, di tengah situasi keterpurukan bangsa ini, citra negatif lembaga peradilan tak juga mengalami perubahan. Kepastian hukum masih sebatas retorika. Tindakan pungli, manipulasi, dan korupsi justru semakin masif tanpa bisa diredam.

Kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pengadilan Tipikor tak mampu memberi efek jera, karena korupsi belum dipandang sebagai kejahatan luar biasa layaknya terorisme.

Atas dasar itu, kritik Try Sutrisno mestinya tak sekadar dilihat sebagai peringatan kepada pemerintah, tetapi juga kepada DPR dan lembaga peradilan. Berpegang pada jargon "Bersama Kita Bisa", kritik dari siapa pun sangat dibutuhkan, kendati tak selalu harus dimaknai atau berakhir dengan impeachment.***

Jumat, 08 Desember 2006

Reformasi Birokrasi

161867
R Siti Zuhro

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)


Sulit dimungkiri bahwa birokrasi kita lebih mencerminkan sebagai "abdi pemerintah", mengabdi kepada penguasa, ketimbang sebagai "abdi masyarakat". Jargon-jargon birokrasi sebagai "abdi masyarakat" hanya bersifat retoris.

Karena itu kuatnya tuntutan agar birokrasi direformasi sungguh amat logis. Sistem birokrasi yang tidak transparan dalam proses pengambilan keputusan membuat institusi ini tidak responsif terhadap kepentingan rakyat dan mengabaikan pelayanan publik. Rendahnya political will, political commitment, dan law enforcement pemerintah dalam bidang ini membuat kita tertinggal oleh Singapura, Malaysia, juga Thailand.

Secara umum, birokrasi kita masih menunjukkan karakteristik tradisional atau patrimonial yang sarat dengan hubungan patron-klien, tidak akuntabel, dan cenderung mengabaikan merit system.

Di era transisi sekarang ini, misalnya, isu korupsi semakin meningkat. Ibarat kanker stadium empat, korupsi telah menggerogoti semua cabang kekuasaan, baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif di tingkat pusat dan daerah.

Ironinya, semakin banyak lembaga pemberantasan korupsi, jumlah koruptor juga semakin bertebaran di berbagai cabang kekuasaan. Keadaan ini menunjukkan pelecehan secara terang-terangan terhadap lembaga pemberantasan korupsi, sekaligus merupakan perlawanan terhadap ketetapan hukum.

Dalam bidang pelayanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, dan usaha, birokrasi belum mampu berperan secara maksimal. Birokrasi bahkan terbukti tidak mampu mengendalikan pembangunan ekonomi dan perubahan sosial.

Meski agak terlambat, Indonesia perlu berusaha keras menata kembali birokrasi dan membebaskan diri dari ciri patrimonialisme. Birokrasi diharapkan bisa lebih profesional dalam melayani masyarakat, dan netral secara politik (dalam pemilu/pilkada).

Ke depan, birokrasi kita perlu memiliki ciri-ciri, pertama, mendukung partisipasi publik, memberdayakan masyarakat, dan meningkatkan kreativitas. Kedua, mampu berkompetisi satu sama lain dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik. Ketiga, mampu mendukung implementasi desentralisasi dan otonomi daerah bagi terwujudnya good governance dan bersih KKN.

Dengan birokrasi yang akuntabel, transparan, dan partisipatif, tugas administrasi pusat dan daerah diharapkan lebih bisa dipertanggungjawabkan kepada publik. Ciri-ciri tersebut diperlukan untuk menarik investasi dan menciptakan daya saing. Sampai saat ini hambatan yang dirasakan investor tidak hanya masalah sosial politik dan keamanan, tetapi juga efisiensi pemerintahan -- termasuk di daerah -- dalam mendukung dunia usaha.

Karena itu, ke depan diperlukan realisasi inovasi kelembagaan/organisasi dalam praktik penyelenggaraan pemerintah pusat dan daerah.***

Sabtu, 02 Desember 2006

Dr R Siti Zuhro: Jumlah Partai Sebaiknya Dikurangi

Beberapa waktu yang lalu Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, proses perampingan atau penyederhanaan jumlah partai politik di Indonesia terjadi secara alamiah berdasarkan UU No 12/2003 tentang Pemilihan Umum. UU ini mengatur batas minimal perolehan suara (electoral threshold) di parlemen untuk dapat mengikuti pemilu sebesar tiga persen.
Dalam konteks pemilu, jika ketentuan UU Pemilu yang terkait dengan masalah batas minimal tersebut dilaksanakan secara konsekuen, secara alamiah partai politik yang dapat mengikuti pemilu akan berkurang dengan sendirinya. Bila hal itu berjalan dengan semestinya, dimungkinkan Pemilu 2009 akan diikuti oleh enam hingga tujuh partai politik. Karena partai politik lainnya tidak lolos electoral threshold.
Kini muncul usulan publik kepada pemerintah agar jumlah partai politik peserta Pemilu 2009 dikurangi. Ada anggapan, terlalu banyak partai itu tidak efektif, masyarakat bisa bingung untuk menentukan pilihan politiknya.
"Jumlah partai politik yang ada di Indonesia sebaiknya dikurangi, karena besarnya jumlah partai menyebabkan fokus untuk melayani masyarakat jadi berkurang," ujar peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr R Siti Zuhro, dalam wawancara dengan wartawan Suara Karya Muhamad Kardeni, dan fotografer Andry Bey, di Jakarta, belum lama ini.
Zuhro, begitu sapaan akrabnya, yang juga manajer riset di The Habibie Center itu menilai bahwa dengan jumlah partai politik yang sedikit berarti bisa dilakukan efisiensi secara nasional. "Ini berarti partai politik akan lebih fokus dalam menyelesaikan masalah internal partai maupun kenegaraan."
Berikut petikan wawancara tersebut.

Bagaimana Anda melihat kondisi partai politik di Indonesia saat ini?
Secara umum saya melihat belum ada perkembangan maju pada partai-partai politik di negeri ini. Dengan sistem multipartai yang ada seperti sekarang, saya juga tidak melihat ada perkembangan yang signifikan, baik pembenahan di internal maupun di eksternal partai.
Di internal partai, misalnya, kita tahu berapa banyak partai saat ini yang mengalami perpecahan. Itu menandakan bahwa mereka (parpol) belum mampu melakukan konsolidasi internal organisasi secara baik.
Dari sisi eksternal, partai politik di Indonesia masih terjebak pada suatu perjuangan yang sempit, yakni hanya memperjuangkan kekuasaan. Menggunakan institusi partai politik hanya untuk meraih kekuasaan bukan untuk long term, yang betul-betul mewakili dan menjembatani aspirasi rakyat. Singkatnya, apa yang dilakukan partai politik saat ini masih dalam konteks perspektif yang sangat terbatas, yaitu hanya membenahi kepentingan golongan sendiri.

Tapi bukankah esensi dibentuknya partai politik itu untuk merebut kekuasaan?
Itu memang betul. Sebagai pilar demokrasi memang dia (parpol) dijadikan sebagai suatu institusi bagaimana kekuasaan itu diraih dengan secara demokratis. Tapi, meskipun partai merupakan ajang untuk merebut kekuasaan, bukan berarti dia (parpol) lalu bisa semena-mena begitu saja, tidak lagi membawa aspirasi masyarakat.
Yang menonjol sekarang ini justru partai politik hanya memperebutkan kekuasaan. Jadi, sah-sah saja dia (parpol) memperjuangkan kekuasaan melalui institusi parpolnya, tapi kan yang dicapai atau yang diberikan kepada masyarakat selama ini sangat tidak imbang. Ada ketidakseimbangan antara peran dan fungsi partai politik. Adanya cita-cita sempit dari politisi partai-partai, menyebabkan terjadinya proses delegitimasi parpol itu sendiri di mata rakyat.

Dengan kondisi seperti itu, apakah bisa dikatakan bahwa tingkat ketidakpuasan masyarakat terhadap partai politik cenderung menaik?
Ya, saat ini memang tingkat ketidakpuasan masyarakat terhadap partai politik cenderung naik. Pokok masalahnya adalah aspirasi dan kepentingan masyarakat yang kadang tidak terwakili dalam proses pengambilan keputusan atau kebijakan publik. Partai politik juga tidak melakukan fungsi intermediasi secara maksimal. Partai politik tampak sibuk dan terjebak dalam pergulatan kepentingannya sendiri dan mengabaikan massa yang menjadi pendukungnya dalam pemilu.
Di mata mereka (parpol), rakyat tidak lebih dari sekadar objek dalam pemilu dan dalam memperjuangkan kepentingan politik mereka. Jadi, seperti pepatah, habis manis sepah dibuang; setelah pemilu, rakyat tidak digubris lagi oleh partai. Nah, hubungan partai politik dan masyarakat ini yang tak terjaga yang kemudian membuat masyarakat merasa tawar dan skeptis terhadap partai politik.

Jadi bisa dikatakan bahwa pola hubungan antara partai politik dan masyarakat memunculkan fragmentasi kepartaian, ya?
Benar, bahkan menurut Syaiful Mujani (Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia), instabilitas hubungan partai politik dengan masyarakat saat ini menjadi penyebab fragmentasi kepartaian. Misalnya, perolehan suara yang menurun dari PDIP, PPP, PKB, PAN, yang diikuti oleh naiknya perolehan suara Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera, saya pikir ini merupakan salah satu bukti konkret. Dan menurut saya instabilitas pola hubungan ini mengancam proses demokratisasi karena partai politik yang menjadi pilar demokrasi sulit melakukan konsolidasi.

Apakah ini ada kaitannya dengan jumlah partai politik yang terlalu banyak, yang kemudian memunculkan wacana penyederhanaan partai politik seperti yang dilontarkan Wakil Presiden Jusuf Kalla?
Saya pikir apa yang pernah diwacanakan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla perlu kita respons. Saya melihat dia (WapresRed) mencoba memahami gugatan atau tuntutan masyarakat luas, yang sudah berkembang di mana, memang ada ketidakpercayaan lagi dari masyarakat terhadap partai politik. Dari periode ke periode tidak menunjukkan bukti konkret bahwa dia (parpol) sebagai wahana untuk membawa aspirasi masyarakat.

Artinya, dengan melihat kondisi skeptis masyarakat, ide penyederhanaan partai politik yang dilontarkan Wapres itu positif, ya?
Saya melihat ide penyederhanaan partai politik dengan menaikkan angka electoral threshold itu banyak nilai positifnya. Pada Pemilu 1999, dengan electoral threshold sebesar dua persen, lalu naik lagi menjadi tiga persen pada Pemilu 2004, saya pikir ini kenaikannya juga tidak signifikan sebenarnya. Artinya, secara logika, bila electoral threshold dinaikkan, jumlah partai yang mempunyai kekuatan signifikan di DPR akan menurun, karena kekuatan politik semakin terkonsentrasi. Seiring dengan itu, jumlah fraksi partai juga akan semakin mengecil, sehingga pekerjaan DPR lebih mudah diprediksi.

Ada anggapan bahwa sistem pemerintahan presidensial yang kita terapkan setengah hati ini karena kita masih menghalalkan sistem multipartai?
Benar. Seperti partai politik di Thailand, dengan sistem multipartai, tapi bentuk pemerintahannya parlementer. Tahun 1995 ada sepuluh partai di sana, mereka menganggap itu pun sudah terlalu banyak. Kita sekarang di Pemilu 2004 yang lalu ada 24 partai politik.
Saya merasa kita sudah cukup melakukan trial and error dengan sistem presidensial, tapi masih menghalalkan sistem multipartai, di atas 20-an partai. Membangun demokrasi esensinya bukan memperbanyak partai. Kita harus konsisten dengan sistem presidensial, tidak harus banyak partai. Belajar dari 1998-2006, dengan sistem multipartai seperti ini tidak memberikan dampak yang positif bagi demokrasi.

Tapi kan setiap warga negara bebas membuat partai politik dan itu dijamin oleh konstitusi?
Saya setuju kran demokrasi dibuka, artinya kebebasan berserikat harus betul-betul dilindungi. Saya setuju itu. Tapi, kalau kita terus-terusan begini sampai puluhan tahun ke depan, menurut saya, bangsa ini akan menjadi bodoh, karena kita tidak belajar dari kegagalan. Cukup delapan tahun ini menunjukkan bahwa kita gagal dalam membenahi partai.***

Rabu, 05 Juli 2006

Seminar Politik tentang Perkembangan Politik dan Ketatanegaraan pasca Amandemen UUD 1945

Malang, (Selasa, 4 Juli 2006) Untuk menjembatani dan mempertemukan pikiran-pikiran pada level akademis/praktisi dan pikiran-pikiran di tingkat pelaku politik, pemerintah dan masyarakat tentang pendidikan politik, maka Pemerintah Kabupaten Malang melalui Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan masyarakat menggelar seminar sehari dengan tema "Perkembangan Politik dan Ketatanegaraan Pasca Amandemen UUD 1945, dengan mendatangkan Nara Sumber yaitu para pakar politik dari LIPI Jakarta.

R.Siti Zuhro, Ph.D berbicara tentang Perubahan kehidupan Politik dan Otonomi Daerah serta praktisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jakarta Prof. Dr. Satya Arinanto, SH MH memaparkan tentang Perubahan Ketatanegaraan Pasca Amandemen UUD 1945. Acara yang berlangsung di Pendopo Agung Kabupaten Malang pada hari Selasa, 4 Juli 2006 tersebut diikuti oleh sebanyak 259 orang peserta diantaranya seluruh anggota DPRD Kabupaten Malang, seluruh pengurus partai politik, para kader partai dan kalangan akademisi, dan dibuka secara resmi oleh Bupati Malang Sujud Pribadi.

Dalam sambutannya singkatnya Bupati menyampaikan kepada para peserta seminar mengenai Ideologi PancaSila, bahwa UUD 1945 bukanlah satu-satunya kaidah konstitusi dan sumber konstitusional bagi Negara Republik Indonesia, lanjut beliau tujuan negara berada di alenia ke IV Pada Pembukaan UUD 1945, bahwa Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat berdasar kepada PancaSila dan bila diukur dengan dinamika bermasyarakat, berbangsa dan bernegara baik domestik maupun global maka UUD 1945 adalah "Anak Zaman" sehingga sangat wajar mengalami ketidaksesuaian. Pembaharuan dapat terjadi melalui kebiasaan, putusan hakim atau peraturan perundang-undangan sebagai praktek ketatanegaraan.

Selanjutnya pada bagian pertama Pembicara dari LIPI Jakarta menyampaikan antara lain mengenai bentuk negara, Revitalisasi Desentralisasi, Perkembangan Desentralisasi, Derajat Penyerahan Urusan Pemerintah ke Daerah dan pada bagian kedua dijelaskan tentang Pemerintahan Daerah Era Reformasi (UU No.32 Tahun 2004) megenai Landasan Hukum dan Prinsip Dasar Pengaturan, Landasan Konsepsi serta Pokok-pokok Pengaturan dalam UU No.32 Tahun 2004.

Pembicara berikutnya dari Universitas Indonesia dalam pemaparannya mengupas mengenai Proses Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, Pasal (1) Bentuk dan Kedaulatan Negara, Lembaga-lembaga yang memegag kekuasaan menurut UUD, tentang MPR pasal 2(1), Kekuasaan Pemerintahan Negara, Pemerintahan Daerah, tentang DPR, DPD, Keuangan Negara (Bank Sentral), BPK, Kekuasaan Kehakiman, Wilayah Negara, Warga Negara dan Penduduk, Agama, Pertahanan dan Keamanan Negara, Perekonomian Nasional, Kesejahteraan Sosial, Atribut Kenegaraan, Perubahan UUD1945, Aturan Peralihan serta Aturan Tambahan.

Senin, 22 Mei 2006

Syariat Islam, dari Desa Mengepung Kota

LAPORAN KHUSUS
Oleh
Fransisca Ria Susanti

Pengantar Redaksi:
Penerapan peraturan daerah (perda) di sejumlah daerah yang mengacu pada hukum Islam memicu kontroversi. Kalangan perempuan kerapkali menjadi korban. Kebijakan otonomi daerah pun dipersoalkan. Liputan khusus kali ini menyoroti hal terkait, termasuk wawancara dengan Direktur International Centre for Islam and Pluralism (ICIP) Syafii Anwar.


JAKARTA –- Minggu (21/5), jalanan Jakarta dipenuhi warna putih. Ribuan orang dengan umbul-umbul dan spanduk serta busana putih melakukan prosesi dari bunderan Hotel Indonesia (HI) menuju gedung DPR/MPR. Mereka mendesak DPR segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) yang telah memicu kontroversi akhir-akhir ini.
Dipelopori Majelis Ulama Indonesia (MUI), ribuan orang ini tergabung dalam sejumlah organisasi masyarakat dan komunitas keagamaan, termasuk Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir, Forum Betawi Rembug (FBR), Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU) dan berbagai komunitas majelis taklim.
Ketua MUI, KH. Ma’ruf Amien dalam kesempatan tersebut mendesakkan sejumlah tuntutan kepada DPR. Dua di antaranya adalah pemberian sanksi tegas kepada pelaku pornografi dan pornoaksi serta adanya lembaga khusus yang menjamin RUU tersebut berlaku.
Aksi hari Minggu itu, seperti menjadi puncak dari seluruh rentetan “perjuangan” pelaksanaan syariat Islam di Indonesia. Ada pertunjukan kepada publik yang plural bahwa mayoritas penghuni republik ini membutuhkan aturan yang lebih khusus. Permintaan untuk kekhususan semacam ini sebenarnya mulai bergaung sejak penerapan otonomi daerah pada tahun 1999.
Pengamat otonomi daerah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan, otonomi memberi semacam keleluasaan kepada daerah untuk membuat kebijakan publik sesuai dengan kepentingan daerahnya masing-masing.
Kebijakan top down yang berlaku di era Orde Baru mulai ditiadakan. “Ketika keleluasaan itu diberikan, mulai muncul keinginan daerah untuk menampilkan kekhasannya,” ungkapnya.
Dalam upaya memunculkan kekhasan daerah inilah, sejumlah wilayah mulai memunculkan perda bernuansa syariat, baik itu namanya Perda antipelacuran, antiperjudian, antimaksiat, busana muslim ataupun tentang wajib baca Al-Quran.
Perda semacam ini tak hanya muncul di tingkat provinsi, tapi juga kabupaten, bahkan desa. Desa Padang yang berada di Kecamatan Gantarang, Bulukumba, Sulawesi Selatan, misalnya, telah mengeluarkan Peraturan Desa No 5 Tahun 2006 tentang Hukuman Cambuk. Hukuman ini diberikan kepada penzina, penjudi dan pemabuk.
Di daerah pemerintahan tingkat dua, sejumlah kabupaten dan kota yang bisa disebut telah mengeluarkan perda sejenis, antara lain Tangerang, Padang Pariaman, Kota Padang, Serang, Pandeglang, Cianjur, Pamekasan, Jember, Tasikmalaya, Kota Batam, Depok, dan Indramayu. Sementara di tingkatan provinsi, ada Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Sumatera Barat, Riau, Gorontalo, DKI Jakarta dan Banten.
Ironisnya, kelahiran sejumlah perda syariat ini memunculkan keresahan di masyarakat. Banyak kisah salah tangkap yang muncul di berbagai wilayah akibat penerapan perda ini. Posisi perempuan pun, yang katanya akan “diselamatkan” dengan keberadaan perda ini justru semakin marginal.
Ketua Umum Fatayat NU Maria Ulfa Anshor secara tegas bahkan menyebut penerapan perda”syariat” ini merupakan kriminalisasi terhadap perempuan. “Hampir semua peraturan tersebut menjadikan perempuan sebagai objek,” ungkapnya.
Maria Ulfa menyebut, zaman jahiliah –sebelum Islam lahir- perempuan berada dalam posisi yang sangat tertekan dan tidak dihargai.Kondisi ini kemudian coba diatasi dengan munculnya Nabi Muhammad SAW yang memperkenalkan nilai-nilai keadilan dan kebersamaan, sesuatu yang diperjuangkan oleh Islam. Misi keadilan Islam ini termasuk membebaskan kondisi ketertekanan perempuan.

Politisasi Agama


Maria Ulfa juga melihat perda “syariat” ini sebagai upaya politisasi agama. Penerapan perda seolah-olah merujuk pada ajaran Islam. Padahal, ini murni masalah politisasi agama. “Indonesia kan bukan negara agama, sehingga kelompok mayoritas tetap tak bisa memaksakan kehendaknya,” katanya.
Sementara cendekiawan muslim, Yudi Latief, melihat penerapan perda “syariat” ini merupakan sindrom Victorian. Sejumlah besar birokrat dan pemimpin negeri ini mencoba memoles kepemimpinan mereka dengan berbagai peraturan dengan menyeret dalil-dalil agama. Padahal aturan yang berbalut dengan nilai-nilai agama tersebut tidak lebih dari sekadar cadar untuk menutupi buruknya kepemimpinan dan ketidakmampuan pemerintah mengatasi masalah-masalah nyata yang dihadapi warganya.
Ia yakin, upaya simbolik beberapa daerah membuat perda “syariat” dapat menjadi bumerang waktu jika pemerintah daerah setempat tidak mampu menjawab permasalahan nyata warganya.
“Ada titik jenuhnya. Ini boomerang efect jika perda- perda tersebut nantinya tidak membantu masyarakat keluar dari krisis,” katanya.
Menurutnya, komunitas agama seharusnya bergerak lebih maju dari sekadar formalitas dan bermain-main di tataran simbolik. Agama, menurutnya, harusnya hanya berkutat di dalam wilayah etik dan prinsip.
Uniknya, permainan di tataran formalitas ini tak hanya dilakukan komunitas Islam, tapi juga Nasrani. Di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang mayoritas penduduknya beragama Kristen Protestan muncul perda serupa. Pemerintah kabupaten setempat mengeluarkan Perda No 10/2003 yang mengatur masalah ketertiban umum, seperti minuman keras, prostitusi dan judi. Ancaman hukuman terhadap tindak pidana tersebut maksimal enam bulan kurungan dan denda Rp 3 juta. Sedangkan, pihak yang berwenang untuk melakukan penangkapan dan penyidikan adalah polisi pamong praja.
Menurut Kepala Sub Bagian Pembinaan dan Pengendalian Perundang-undangan Kabupaten Alor, Melkson Beri, pihaknya sudah melakukan public hearing dan sosialisasi sebelum perda tersebut disahkan.
Hanya saja, berbeda dengan beberapa daerah yang telah menerapkan perda berdasarkan Syariat, perda di Alor tersebut tidak dapat dijalankan secara maksimal. Pasalnya, keberadaan perda tersebut berbenturan dengan tradisi masyarakat setempat yang menjadikan minuman keras sebagai sebuah minuman kehormatan dalam sebuah pesta. Begitu juga dengan perda yang mengatur soal prostitusi. Namun efektif atau tidaknya perda kesusilaan tersebut, implementasinya cukup meresahkan masyarakat dan telah menyeret-nyeret agama ke ranah politik.

Kaji Ulang


Kontroversi perda “syariat” ini telah membuat sejumlah kalangan mendesak pemerintah –dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri- untuk mengevalusi keberadaan perda-perda tersebut.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar (FPG) Ferry Mursyidan Baldan mengatakan, keberadaan perda-perda ini bertentangan dengan UU di atasnya. Menurutnya, UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah sama sekali tidak mendelegasikan masalah hukum ke daerah. Perda dalam UU Pemda itu hanya untuk penyelenggaraan pemerintahan. “UU Pemda memang memberikan keleluasaan, tapi tidak seleluasa itu. Ini kalau dibiarkan akan menimbulkan keresahan,” katanya. Dia mengatakan, pemerintah dapat mengkaji dengan menggunakan dua cara, yakni membentuk tim khusus maupun memanggil kepala daerah yang telah melaksanakan perda itu. Pembentukan tim dilakukan untuk membuat petunjuk tentang batas-batas pembuatan perda. Pilihan kedua dilakukan supaya para kepala daerah mengerti kesalahannya. Tujuannya untuk kebersediaan merevisi perda itu.
Dia menambahkan, daerah yang berhak menerapkan syariat Islam hanya Aceh. Pasalnya, penerapan Syariat di daerah tersebut secara tegas diatur melalui UU No 18/2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Pengaturan ini nantinya juga akan diakomodasi dalam UU Pemerintahan Aceh (PA)
yang saat ini dibahas DPR.
Siti Zuhro juga menilai bahwa Aceh memiliki kekhususan, sementara daerah lain tidak. Untuk itu, dia berharap pemerintah melakukan intervensi terhadap munculnya perda-perda “syariat” tersebut. Selama dini, menurutnya, Depdagri hanya sibuk mengurus perda yang dianggap mengancam kepentingan pusat, misalnya soal retribusi dan Penerimaan Anggaran Daerah. Padahal, menurutnya, perda “syariat” juga tergolong perda bermasalah karena telah menimbulkan keresahan di masyarakat.
Namun Siti Zuhro menekankan bahwa DPRD bertanggung jawab terhadap evaluasi dari sejumlah perda yang akan disahkan. Jika tidak bisa diselesaikan di tingkat kabupaten dan provinsi maka pemerintah pusat harus campur tangan. Ia juga mengusulkan ada pertemuan besar antara gubernur dan seluruh jajaran bupati di bawahnya untuk membahas sejumlah perda bermasalah. Jika hal-hal ini tidak dilakukan, dikhawatirkan akan memecah belah bangsa. Depdagri sendiri hingga saat ini mengaku sedang melakukan evaluasi terhadap sejumlah perda bermasalah. Apakah perda “syariat” termasuk bagian yang dievaluasi, jawabannya tak jelas. Pejabat di Depdagri mengaku bahwa pihaknya sedang melakukan evaluasi terhadap perda-perda syariat tersebut, sementara Menteri Dalam Negeri (Mendagri) M. Ma’ruf menjawab belum ada evaluasi.
(emmy kuswandari/tutut herlina)