Kamis, 28 Desember 2006

Kegundahan Try Sutrisno

163250
R Siti Zuhro

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Bak pendekar turun gunung, mantan Wapres Try Sutrisno "mengerang". Bersama Gerakan Kebangkitan Indonesia Raya (GKIR), dia mendatangi DPR untuk menyampaikan keprihatinan atas buruknya kinerja pemerintah di segala bidang.

Kekecewaan Try sebenarnya juga dirasakan mayoritas rakyat. Delapan tahun sudah Indonesia menapaki masa reformasi. Tetapi kita tak jua ke luar dari krisis multidimensi. Mengutip laporan Bank Dunia, daya tahan Indonesia kian kritis. Kini separo penduduk kita (49 persen) berada dalam kemiskinan atau yang rentan pada kemiskinan.

Sulit dimungkiri bahwa pemerintah paling bertanggung jawab dalam masalah ini. Untuk sebagian, itu merupakan kegagalan pemerintah dalam mengatasi warisan masalah yang ditinggalkan era sebelumnya, khususnya beban utang yang sangat besar. Seperti pemerintahan terdahulu, SBY-JK juga tak berhasil melakukan reformasi birokrasi yang riil dan signifikan.

Alih-alih menjadikan birokrasi yang profesional, transparan, akuntabel, efektif, dan efisien, yang terjadi justru kebalikannya. Birokrasi Indonesia belum mampu menjadi abdi negara dan abdi masyarakat. Upaya untuk memperbaikinya bukan tidak dilakukan. Tetapi pemerintah kurang tegas dalam menghadapi orientasi birokrat yang cenderung mengedepankan safety first philosophy. Di banyak daerah, belanja pemerintah cenderung lebih besar daripada belanja publik. Walhasil, investasi pun berjalan lamban.

Tanpa mengabaikan lemahnya faktor kepemimpinan SBY-JK sebagaimana dikritik banyak orang, agak kurang fair juga bila kita menafikan faktor lain. Pertama, sistem politik kurang konsisten. Hasil amandemen UUD 1945 menampakkan wajah parlementarian yang kental, meski sejatinya sistem politik kita adalah presidensial.

Banyak wewenang eksekutif yang kemudian menjadi komoditas politik di kalangan legislatif, seperti soal pengangkatan panglima TNI dan kepala Polri atau pun soal impor beras.

Kedua, di tengah situasi keterpurukan bangsa ini, citra negatif lembaga peradilan tak juga mengalami perubahan. Kepastian hukum masih sebatas retorika. Tindakan pungli, manipulasi, dan korupsi justru semakin masif tanpa bisa diredam.

Kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pengadilan Tipikor tak mampu memberi efek jera, karena korupsi belum dipandang sebagai kejahatan luar biasa layaknya terorisme.

Atas dasar itu, kritik Try Sutrisno mestinya tak sekadar dilihat sebagai peringatan kepada pemerintah, tetapi juga kepada DPR dan lembaga peradilan. Berpegang pada jargon "Bersama Kita Bisa", kritik dari siapa pun sangat dibutuhkan, kendati tak selalu harus dimaknai atau berakhir dengan impeachment.***

Jumat, 08 Desember 2006

Reformasi Birokrasi

161867
R Siti Zuhro

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)


Sulit dimungkiri bahwa birokrasi kita lebih mencerminkan sebagai "abdi pemerintah", mengabdi kepada penguasa, ketimbang sebagai "abdi masyarakat". Jargon-jargon birokrasi sebagai "abdi masyarakat" hanya bersifat retoris.

Karena itu kuatnya tuntutan agar birokrasi direformasi sungguh amat logis. Sistem birokrasi yang tidak transparan dalam proses pengambilan keputusan membuat institusi ini tidak responsif terhadap kepentingan rakyat dan mengabaikan pelayanan publik. Rendahnya political will, political commitment, dan law enforcement pemerintah dalam bidang ini membuat kita tertinggal oleh Singapura, Malaysia, juga Thailand.

Secara umum, birokrasi kita masih menunjukkan karakteristik tradisional atau patrimonial yang sarat dengan hubungan patron-klien, tidak akuntabel, dan cenderung mengabaikan merit system.

Di era transisi sekarang ini, misalnya, isu korupsi semakin meningkat. Ibarat kanker stadium empat, korupsi telah menggerogoti semua cabang kekuasaan, baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif di tingkat pusat dan daerah.

Ironinya, semakin banyak lembaga pemberantasan korupsi, jumlah koruptor juga semakin bertebaran di berbagai cabang kekuasaan. Keadaan ini menunjukkan pelecehan secara terang-terangan terhadap lembaga pemberantasan korupsi, sekaligus merupakan perlawanan terhadap ketetapan hukum.

Dalam bidang pelayanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, dan usaha, birokrasi belum mampu berperan secara maksimal. Birokrasi bahkan terbukti tidak mampu mengendalikan pembangunan ekonomi dan perubahan sosial.

Meski agak terlambat, Indonesia perlu berusaha keras menata kembali birokrasi dan membebaskan diri dari ciri patrimonialisme. Birokrasi diharapkan bisa lebih profesional dalam melayani masyarakat, dan netral secara politik (dalam pemilu/pilkada).

Ke depan, birokrasi kita perlu memiliki ciri-ciri, pertama, mendukung partisipasi publik, memberdayakan masyarakat, dan meningkatkan kreativitas. Kedua, mampu berkompetisi satu sama lain dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik. Ketiga, mampu mendukung implementasi desentralisasi dan otonomi daerah bagi terwujudnya good governance dan bersih KKN.

Dengan birokrasi yang akuntabel, transparan, dan partisipatif, tugas administrasi pusat dan daerah diharapkan lebih bisa dipertanggungjawabkan kepada publik. Ciri-ciri tersebut diperlukan untuk menarik investasi dan menciptakan daya saing. Sampai saat ini hambatan yang dirasakan investor tidak hanya masalah sosial politik dan keamanan, tetapi juga efisiensi pemerintahan -- termasuk di daerah -- dalam mendukung dunia usaha.

Karena itu, ke depan diperlukan realisasi inovasi kelembagaan/organisasi dalam praktik penyelenggaraan pemerintah pusat dan daerah.***

Sabtu, 02 Desember 2006

Dr R Siti Zuhro: Jumlah Partai Sebaiknya Dikurangi

Beberapa waktu yang lalu Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, proses perampingan atau penyederhanaan jumlah partai politik di Indonesia terjadi secara alamiah berdasarkan UU No 12/2003 tentang Pemilihan Umum. UU ini mengatur batas minimal perolehan suara (electoral threshold) di parlemen untuk dapat mengikuti pemilu sebesar tiga persen.
Dalam konteks pemilu, jika ketentuan UU Pemilu yang terkait dengan masalah batas minimal tersebut dilaksanakan secara konsekuen, secara alamiah partai politik yang dapat mengikuti pemilu akan berkurang dengan sendirinya. Bila hal itu berjalan dengan semestinya, dimungkinkan Pemilu 2009 akan diikuti oleh enam hingga tujuh partai politik. Karena partai politik lainnya tidak lolos electoral threshold.
Kini muncul usulan publik kepada pemerintah agar jumlah partai politik peserta Pemilu 2009 dikurangi. Ada anggapan, terlalu banyak partai itu tidak efektif, masyarakat bisa bingung untuk menentukan pilihan politiknya.
"Jumlah partai politik yang ada di Indonesia sebaiknya dikurangi, karena besarnya jumlah partai menyebabkan fokus untuk melayani masyarakat jadi berkurang," ujar peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr R Siti Zuhro, dalam wawancara dengan wartawan Suara Karya Muhamad Kardeni, dan fotografer Andry Bey, di Jakarta, belum lama ini.
Zuhro, begitu sapaan akrabnya, yang juga manajer riset di The Habibie Center itu menilai bahwa dengan jumlah partai politik yang sedikit berarti bisa dilakukan efisiensi secara nasional. "Ini berarti partai politik akan lebih fokus dalam menyelesaikan masalah internal partai maupun kenegaraan."
Berikut petikan wawancara tersebut.

Bagaimana Anda melihat kondisi partai politik di Indonesia saat ini?
Secara umum saya melihat belum ada perkembangan maju pada partai-partai politik di negeri ini. Dengan sistem multipartai yang ada seperti sekarang, saya juga tidak melihat ada perkembangan yang signifikan, baik pembenahan di internal maupun di eksternal partai.
Di internal partai, misalnya, kita tahu berapa banyak partai saat ini yang mengalami perpecahan. Itu menandakan bahwa mereka (parpol) belum mampu melakukan konsolidasi internal organisasi secara baik.
Dari sisi eksternal, partai politik di Indonesia masih terjebak pada suatu perjuangan yang sempit, yakni hanya memperjuangkan kekuasaan. Menggunakan institusi partai politik hanya untuk meraih kekuasaan bukan untuk long term, yang betul-betul mewakili dan menjembatani aspirasi rakyat. Singkatnya, apa yang dilakukan partai politik saat ini masih dalam konteks perspektif yang sangat terbatas, yaitu hanya membenahi kepentingan golongan sendiri.

Tapi bukankah esensi dibentuknya partai politik itu untuk merebut kekuasaan?
Itu memang betul. Sebagai pilar demokrasi memang dia (parpol) dijadikan sebagai suatu institusi bagaimana kekuasaan itu diraih dengan secara demokratis. Tapi, meskipun partai merupakan ajang untuk merebut kekuasaan, bukan berarti dia (parpol) lalu bisa semena-mena begitu saja, tidak lagi membawa aspirasi masyarakat.
Yang menonjol sekarang ini justru partai politik hanya memperebutkan kekuasaan. Jadi, sah-sah saja dia (parpol) memperjuangkan kekuasaan melalui institusi parpolnya, tapi kan yang dicapai atau yang diberikan kepada masyarakat selama ini sangat tidak imbang. Ada ketidakseimbangan antara peran dan fungsi partai politik. Adanya cita-cita sempit dari politisi partai-partai, menyebabkan terjadinya proses delegitimasi parpol itu sendiri di mata rakyat.

Dengan kondisi seperti itu, apakah bisa dikatakan bahwa tingkat ketidakpuasan masyarakat terhadap partai politik cenderung menaik?
Ya, saat ini memang tingkat ketidakpuasan masyarakat terhadap partai politik cenderung naik. Pokok masalahnya adalah aspirasi dan kepentingan masyarakat yang kadang tidak terwakili dalam proses pengambilan keputusan atau kebijakan publik. Partai politik juga tidak melakukan fungsi intermediasi secara maksimal. Partai politik tampak sibuk dan terjebak dalam pergulatan kepentingannya sendiri dan mengabaikan massa yang menjadi pendukungnya dalam pemilu.
Di mata mereka (parpol), rakyat tidak lebih dari sekadar objek dalam pemilu dan dalam memperjuangkan kepentingan politik mereka. Jadi, seperti pepatah, habis manis sepah dibuang; setelah pemilu, rakyat tidak digubris lagi oleh partai. Nah, hubungan partai politik dan masyarakat ini yang tak terjaga yang kemudian membuat masyarakat merasa tawar dan skeptis terhadap partai politik.

Jadi bisa dikatakan bahwa pola hubungan antara partai politik dan masyarakat memunculkan fragmentasi kepartaian, ya?
Benar, bahkan menurut Syaiful Mujani (Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia), instabilitas hubungan partai politik dengan masyarakat saat ini menjadi penyebab fragmentasi kepartaian. Misalnya, perolehan suara yang menurun dari PDIP, PPP, PKB, PAN, yang diikuti oleh naiknya perolehan suara Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera, saya pikir ini merupakan salah satu bukti konkret. Dan menurut saya instabilitas pola hubungan ini mengancam proses demokratisasi karena partai politik yang menjadi pilar demokrasi sulit melakukan konsolidasi.

Apakah ini ada kaitannya dengan jumlah partai politik yang terlalu banyak, yang kemudian memunculkan wacana penyederhanaan partai politik seperti yang dilontarkan Wakil Presiden Jusuf Kalla?
Saya pikir apa yang pernah diwacanakan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla perlu kita respons. Saya melihat dia (WapresRed) mencoba memahami gugatan atau tuntutan masyarakat luas, yang sudah berkembang di mana, memang ada ketidakpercayaan lagi dari masyarakat terhadap partai politik. Dari periode ke periode tidak menunjukkan bukti konkret bahwa dia (parpol) sebagai wahana untuk membawa aspirasi masyarakat.

Artinya, dengan melihat kondisi skeptis masyarakat, ide penyederhanaan partai politik yang dilontarkan Wapres itu positif, ya?
Saya melihat ide penyederhanaan partai politik dengan menaikkan angka electoral threshold itu banyak nilai positifnya. Pada Pemilu 1999, dengan electoral threshold sebesar dua persen, lalu naik lagi menjadi tiga persen pada Pemilu 2004, saya pikir ini kenaikannya juga tidak signifikan sebenarnya. Artinya, secara logika, bila electoral threshold dinaikkan, jumlah partai yang mempunyai kekuatan signifikan di DPR akan menurun, karena kekuatan politik semakin terkonsentrasi. Seiring dengan itu, jumlah fraksi partai juga akan semakin mengecil, sehingga pekerjaan DPR lebih mudah diprediksi.

Ada anggapan bahwa sistem pemerintahan presidensial yang kita terapkan setengah hati ini karena kita masih menghalalkan sistem multipartai?
Benar. Seperti partai politik di Thailand, dengan sistem multipartai, tapi bentuk pemerintahannya parlementer. Tahun 1995 ada sepuluh partai di sana, mereka menganggap itu pun sudah terlalu banyak. Kita sekarang di Pemilu 2004 yang lalu ada 24 partai politik.
Saya merasa kita sudah cukup melakukan trial and error dengan sistem presidensial, tapi masih menghalalkan sistem multipartai, di atas 20-an partai. Membangun demokrasi esensinya bukan memperbanyak partai. Kita harus konsisten dengan sistem presidensial, tidak harus banyak partai. Belajar dari 1998-2006, dengan sistem multipartai seperti ini tidak memberikan dampak yang positif bagi demokrasi.

Tapi kan setiap warga negara bebas membuat partai politik dan itu dijamin oleh konstitusi?
Saya setuju kran demokrasi dibuka, artinya kebebasan berserikat harus betul-betul dilindungi. Saya setuju itu. Tapi, kalau kita terus-terusan begini sampai puluhan tahun ke depan, menurut saya, bangsa ini akan menjadi bodoh, karena kita tidak belajar dari kegagalan. Cukup delapan tahun ini menunjukkan bahwa kita gagal dalam membenahi partai.***