Kamis, 12 November 2009

Bongkar-Pasang UU Pemerintahan Daerah

Politikindonesia - Rapat dengar pendapat (RDP) antara Komisi II DPR RI dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi di Ruang rapat Komisi II DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (11/11) berlangsung cukup hangat.

Penelanjangan terhadap pelaksanaan otonomi daerah yang telah berjalan selama satu dasa warsa ini, tak terhindarkan dalam RDP tersebut. Ilustrasi menarik digambarkan Alex Litaay, politisi senior dari Partai Demokrasi Perjuangan (PDIP) ketika menggambarkan betapa masih timpangnya pembangunan di wilayah timur dibanding di wilayah Barat. Ini semua akibat masih setengah hatinya kebijakan-kebijakan yang menyangkut otonomi daerah.

Alex pun mengajak peserta rapat melihat peta Indonesia, yang konon merupakan warisan Fraksi ABRI kepada Komisi II. Di atas peta, bertengger lambang burung Garuda Pancasila yang kepalanya menengok ke arah kanan (ke wilayah Indonesia Barat jika dilihat di peta-Red). Seraya berkelakar Alex mengatakan, ?Ini gara-gara burung garudanya selalu menengok ke kanan atau Barat. Sehingga wilayah Timur selalu tertinggal,? ujar Alex yang disambut gelak tawa anggota dewan dan pengunjung yang memadati ruangan tersebut.

Alex juga melihat masih adanya ketimpangan pemberian Dana Alokasi Umum (DAU) di Indonesia Timur. Depdagri di era kepemimpinan terdahulu katanya, telah mengeluarkan kebijakan tentang parameter besar-kecilnya DAU yang didasarkan pada batas wilayah daratan. Tidak termasuk wilayah lautan. Tak mengherankan jika daerah yang wilayah daratannya kecil, DAU-nya pun kecil. Contohnya Buton, Maluku Utara, yang konotasinya berada di wilayah Indonesia Timur.

Harus Al Rasyid, mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) yang kini juga duduk di Komisi II dari Fraksi Partai Gerindra pun tak kalah pintar dalam menanggapi guyonan Alex. Ia mengatakan, ?Bukan tertinggal tetapi ditinggalkan,? ujarnya.

Kelakar para anggota dewan itu, bukan sekedar guyonan biasa tetapi merupakan ekspresi keprihatinan atas ketimpangan pembangunan sejak era Orde Baru hingga diberlakukannya otonomi daerah yang telah berlangsung selama satu dasa warsa ini.

Kebetulan topik yang mengemuka pada RDP tersebut berkaitan erat dengan misi pemerintah dan DPR dalam menata kembali pelaksanaan otonomi daerah. Tak mengherankan jika wacana revisi UU No.32 Tahun 2004 menjadi topik yang mengemuka pada dengar pendapat tersebut.

Mekar di Tengah Kuncup


Pemekaran daerah yang merupakan salah satu amanat dari UU Pemerintahan Daerah dimulai sejak era kepemimpinan BJ Habibie atau tepatnya sejak otonomi daerah digulirkan tercatat telah 45 daerah yang dimekarkan. Di Era Gus Dur dan Megawati (1999-2004) meningkat menjadi 103 daerah baru yang dimekarkan, Sedang di era SBY-JK dalam kurun waktu tiga tahun (2005-2008) ada 57 Daerah Otonomi Baru (DOB). Ini belum termasuk usulan pemekaran setelah itu.

Kenyataan, dari sekian banyak daerah yang dimekarkan, sebagian besar diantaranya tidak mampu mengembangkan diri, bahkan semakin menambah beratnya beban anggaran pemerintah.

Dr. Kausar, mantan Dirjen Pemerintahan Umum Depdagri dalam diskusi otonomi daerah dengan Dewan Pertimbangan daerah (DPD) beberapa waktu lalu mengatakan, daerah baru yang sangat bergantung pada Dana Alokasi Umum (DAU) mencapai 83,5%.

Siti Zuhro, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menilai, tidak berkembangnya DOB disebabkan beberapa hal. Diantaranya, usulan pemekaran daerah lebih banyak didasarkan pada pertimbangan politis. Terbatasnya kapasitas pemerintah kemampuan (dalam hal ini Depdagri) dalam melakukan pembinaan terhadap DOB. Juga kualitas eksekutif dan legislatif di DOB yang masih rendah.

Sebenarnya di era pemerintahan SBY-JK telah terbit PP No.78 Tahun 2007 yang membatasi dengan ketat pemekaran daerah. Misalnya, daerah yang dimekarkan harus sudah berfungsi selama 10 tahun untuk provinsi dan 7 tahun untuk kabupaten/kota. Provinsi minimal harus memiliki 5 kabupaten/kota, kabupaten memiliki 5 kecamatan dan Kota harus memiliki 4 kecamatan. Usulan tersebut harus didukung 2/3 dari seluruh wilayah desa atau kelurahan.

Namun PP tersebut, nyatanya tak dapat membendung hasrat politik untuk memekarkan daerah. Presiden SBY pun berkali-kali mengeluarkan ?himbauan? untuk melakukan moratorium (mengehentikan sementara) pemekaran daerah. Sayangnya, himbauan itu tidak segera ditindaklanjuti dengan aturan yang mendasarinya. Tidaklah mengherankan jika beberapa anggota Komisi II, melihatnya dengan sinis dan mengatakannya hanya sebatas omong kosong.

Ganjar Pranowo, Wakil Ketua Komisi II kepada www.politikindonesia.com menganggap usulan moratorium itu tidak pernah ada. ?Itu omongan Presiden yang tidak memiliki argumentasi kokoh, karena tidak diikuti dengan kebijakan-kebijakan berikutnya,? ujarnya dengan nada kesal.

Khatibul Umam Wiranu dari Fraksi Partai Demokrat juga mempertanyakan hasil evaluasi pemekaran daerah yang dilakukan Depdagri terhadap 148 Daerah Otonomi Baru (DOB). ?Apa hasil evalusi itu ? Sampaikan hasilnya kepada kami,? ujarnya kepada Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi yang menghadiri RDP tersebut.

Senada dengan Khatibul, Arif Wibowo, politisi dari F-PDIP juga mempertanyakan {grand design} dan evaluasi penataan otonomi daerah. Menurutnya tidak bisa usulan pemekaran itu disetujui sebagai DOB. Ia juga menambahkan evalusi pemekaran daerah, tidak bisa hanya evaluasi yang sifatnya rekapitulatif. Menyatakan sekian daerah dianggap layak, dan sisanya dianggap tidak layak. ?Itu dasarnya harus jelas tidak {waton} (asal) mengevaluasi,? ujarnya. Dari situlah, pijakan Komisi II untuk menindaklanjuti atau tidaknya usulan pemekaran itu bahkan sebenarnya ada beberapa daerah yang tidak layak dan harus digabungkan.

Wa Ode Nurhayati dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) mengingatkan agar {grand design} pemekaran daerah (penataan otonomi daerah) tidak boleh menghambat keinginan yang sudah diajukan dan dilakukan penelitian. Ia menyontohkan rencana pembentukan Provinsi Papua Selatan yang telah didukung infrastruktur dan kelembagaan yang telah memadai seperti Korem, Lantamal dan sebagainya. Satu-satunya kendala tinggal persetujuan dari Gubernur Papua.

Tossy Aryanto dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menggambarkan suasana kebatinan itu dengan istilah bayi dalam kandungan. Ia mewanti-wanti agar {grand design} tidak menggugurkan bayi yang masih dalam kandungan. Terlepas apakah bayi yang dikandung itu akibat pemerkosaan atau hasil hubungan gelap.

Rusli Ridwan, dari Fraksi PAN mendukung adanya upaya moratorium, seraya mengingatkan, perlunya mempertimbangkan pembentukan daerah baru yang berlatar daerah administratif. Karena hasilnya ternyata lebih baik, dibanding daerah yang tiba-tiba dimekarkan. Ia menyontohkan Kota Cilegon yang dinilai berhasil dalam mengembangkan dirinya.

Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi menanggapi usulan dan pertanyaan anggota Komisi II mengakui UU No.32 Tahun 2004 telah membuka kran seluas-luasnya bagi pemekaran daerah. Namun mantan Gubernur Sumatera Barat itu mempertanyakan keinginan untuk memekarkan daerah yang selama ini terjadi. ?Apakah ini aspirasi murni dari masyarakat. Mengapa bukan Negara saja yang menentukannya?? ujarnya.

Dari pernyataannya, Mendagri menyangsikan kemurnian aspirasi dalam pemekaran daerah. Karena itu pihak Depdagri merasa perlu untuk menyatakan jeda terhadap keinginan tersebut, sambil menunggu {grand design} yang tengah dipersiapkan. Mendagri juga mengaku tengah melakukan identifikasi 5 daerah yang sudah dimekarkan tetapi PAD-nya jalan di tempat, bahkan katanya PAD-nya masih nol besar.

?Kalau dibuka terus katanya, saya khawatir keinginan itu akan terus mengalir,? ujarnya. Mendagri juga menghimbau agar di masa jeda, Komisi II agar menunda terlebih dulu pembahasan UU menyangkut pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB).

Persoalan lain yang tak kalah menariknya yakni tentang titik berat otonomi daerah, yang memunculkan wacana diletakkan di tingkat provinsi. Wacana ini pun mendapat tanggapan yang beragam.

Djufri, dari Fraksi Partai Demokrat tidak setuju jika titik berat otonomi daerah dialihkan ke tingkat provinsi. Alasannya, menarik kewenangan dari tingkat kabupaten/kota ke provinsi akan menimbulkan banyak problem. Jufri juga menambahkan jika titik berat otonomi daerah di tingkat provinsi, maka kabupaten/kota hanya menjadi wilayah administratif. Ini juga akan rawan konflik.

Berbeda dengan Djufri, Ganjar Pranowo justru sebaliknya. Ia lebih cenderung meletakkan titik berat tersebut di tingkat provinsi. Hal itu didasarkan pada praktik yang dilakukan negara-negara maju. Diantaranya Jepang dan Spanyol. Meski demikian, Ganjar belum berani memastikan apakah jika titik berat di tingkat provinsi, pelaksananan otonomi daerah akan semakin efektif, efisien apa tidak. ?Lha wong kita kan belum pernah melaksanakannya. Saya kan hanya menduga-duga saja, kayaknya akan lebih baik jika di tingkat provinsi,? ujarnya.

Ganjar menambahkan, tahap pertama yang harus dilakukan Komisi II dan Depdagri adalah melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap pelaksanaan otonomi daerah. Sehingga pihaknya dapat menilai apakah para penyelenggara otonomi daerah yang selama ini muncul sudah tepat apa belum. Sudah baik apa belum. ?Baru dari situ kita bisa beranjak. Hal ini pulalah yang sedang disiapkan teman-teman dari Depdagri,? katanya.

Prof Ryaas Rasyid yang ikut membidani lahirnya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah menjadi UU No.32 Tahun 2004 mengakui saat pembentukan, Presiden Habibie mengemukakan gagasan agar meletakkan titik berat otonomi daerah di tingkat provinsi dengan alasan biayanya lebih efisien dan dapat meminimalisir konflik-konflik kepentingan yang ditimbulkannya katimbang meletakkan di tingkat kabupaten/kota yang jumlahnya jauh lebih banyak.

Namun saat itu, dialah yang paling keras menentangnya. Ia mengemukakan alasan, jika titik berat diletakkan di tingkat provinsi, maka sama saja mengembalikan sistem pemerintahan di masa penjajahan Belanda. ?Ini sama saja akan kembali ke masa Belanda,? ujarnya dalam suatu paparan di Gedung Dewan Pertimbangan Daerah (DPD).

Solusi yang dihasilkan : otonomi di tingkat provinsi tidak dihapus, tetapi diberikan otonomi terbatas. Sedang kabupaten/kota diberikan otonomi penuh. Palu pun diketok dan lahirlah UU No.22 Tahun 1999 itu.

Sepuluh tahun sudah, UU otonomi daerah itu diimplementasikan. Pasang surut, bongkar pasang dilakukan. Penerapannya salah kaprah bahkan cenderung kebablasan sehingga sempat memunculkan raja-raja kecil di daerah. Beberapa diantaranya bahkan lepas kontrol dan korup. Peradilan tindak pidana korupsi pun diwarnai wajah-wajah memelas para koruptor di jajaran pemerintahan baik pusat maupun daerah. Sementara rakyat yang digembar-gemborkan akan memperoleh kesejahteraan dengan dilaksanakannya otonomi daerah, tetap saja merana.

Sudah saatnya revisi UU Pemerintah Daerah direvisi secara menyeluruh dengan meletakkan kembali ke tujuan semula yakni demi meningkatnya kesejahteraan rakyat. Hasrat-hasrat untuk memperkaya diri sendiri, maupun demi kepentingan kelompok, parpol maupun golongan, sudah saatnya ditinggalkan. Sebab otonomi daerah adalah juga amanat reformasi yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Jangan sampai rakyat meminta kembali amanat tersebut sebagai akibat ketidakpercayaannya kepada pemerintah dan para wakil rakyat di DPR. Semoga.*
(Sapto Adiwiloso/yk)

Selasa, 13 Oktober 2009

Menko Perekonomian dan Meneg BUMN Harus Punya Integritas

JAKARTA–- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan mengambil jumlah 34 menteri dalam kabinetnya mendatang. Khusus untuk posisi strategis di sektor ekonomi, pengamat politik meminta agar dipiliah orang yang memiliki integriats tinggi

“Jabatan menko perekonomian dan meneg BUMN misalnya, itu daerah yang terkenal basah. Jadi, butuh pakta integritas dari si calon menteri,” kata pengamat politik dari LIPI, Siti Zuhro, Senin (12/11).

Dua kementerian startegis di sektor ekonomi tersebut, kata Siti, akan menjadi cerminan kinerja kabinet SBY dalam hal penerapan good coorporate governance (GCG). Karenanya, SBY harus memilih orang yang bebas dari kontroversi masalah integritas. Menurut Siti, ketika pengumuman nama calon menteri perekonomian dan meneg BUMN menuai kontroversi dari publik, SBY wajib segera mengganti calon tersebut.

Siti menilai kata kunci dari jabatan menko perekonomian dan meneg BUMN adalah pengabdian. Dua pos kementerian ini, tuturnya, harus dijabat orang profesional di luar partai politik. menteri perekonomian dan meneg BUMN, lanjut Siti, harus terbebas dari ikatan kepentingan politik partai mana pun. “Orang dari partai politik diberi pos menteri yang langsung berhubungan dengan masyarakat, seperti menko kesra atau menteri sosial,” tambah Siti.

Adapun soal menteri politik dan keamanan (polkam), kata Siti, wajib diisi oleh orang dengan wawasan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ancaman terhadap NKRI, kata Siti, muncul dari dalam ketimbang dari luar negeri.

Ancaman disintegrasi datang atas tidak terpenuhinya realisasi otonomi daerah. “Calon menteri ini harus memiliki pemahaman basis teritorial yang kuat dan kemampuan berpolitik,” kata Siti.

Jika jabatan menko polkam boleh diisi dari kalangan militer, Siti meminta, jabatan menteri dalam negeri (mendagri) harus dari kalangan sipil. Tradisi sejak Orde Baru yang “mewajibkan” orang militer memegang jabatan mendagri, kata Siti, harus diakhiri. Kaum profesional diharapkan dapat menghapus tradisi birokrasi rumit di Depdagri. dri/rif

Senin, 12 Oktober 2009

Kabinet SBY Diprediksi Tetap "Gemuk"

Inggried Dwi W
Inggried Dwi Wedhaswary | mbonk |

JAKARTA, KOMPAS.com - Kabinet baru SBY-Boediono diprediksi akan tetap "gemuk" seperti kabinet saat ini. Kabinet Indonesia Bersatu dibawah komando SBY-JK terdiri dari 34 orang menteri dan setingkat menteri. Hal itu diutarakan pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, Senin (12/10), kepada Kompas.com.

Wanita yang akrab disapa Wiwik ini mengatakan, dengan melihat tujuh dari sembilan partai di parlemen memiliki kecenderungan koalisi, SBY mau tak mau harus mengakomodir kekuatan mitra koalisinya di kabinet.

"Kalau kita lihat kan tujuh partai cenderung koalisi, yang harus diakomodasi semuanya. Sehingga, kabinet akan tetap gemuk, tidak sesuai dengan usulan agar ada perampingan birokrasi," kata Wiwik.

Padahal, lanjut dia, kabinet yang ramping akan membuat kerja departemen lebih efektif dan efisien. Wiwik sendiri mengusulkan, jumlah menteri kabinet cukup 23 orang termasuk Jaksa Agung. Beberapa kementerian yang selama ini dinilai tak efektif, diusulkan agar digabungkan dengan kementerian lain.

"Tapi, kalau pun SBY tetap memilih 34 menteri, dilindungi UU karena ada payung hukum yaitu UU Kementerian Negara. Kalau jumlahnya dipangkas, SBY pasti akan khawatir ada resistensi, ada yang kecewa," ujarnya.

UU Kementerian Negara menentukan jumlah menteri di kabinet maksimal 34 orang. Sejumlah kementerian strategis, menurut Wiwik, bisa menjadi indikator komitmen SBY menegakkan reformasi birokrasi dan good governance.

Kementerian-kementerian tersebut diantaranya Departemen Dalam Negeri, Kementerian PAN, Kementerian Ekonomi, Kesejahteraan Rakyat dan Departemen Luar Negeri. "Kementerian-kementerian ini daerah yang basah atau strategis. Di sini kita bisa melihat apakah program atau kebijakan pemerintah pro rakyat atau tidak," kata Wiwik.

Selasa, 06 Oktober 2009

Pengamat: PDIP akan Bergabung di Kabinet SBY

JAKARTA – Terpilihnya Taufik Kiemas sebagai Ketua MPR atas dukungan penuh Partai Demokrat dinilai sebagai sinyalemen akan gemuknya kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mendatang. Gemuk dalam artian SBY akan mengakomodasi partai besar termasuk PDIP. “Saya memperkirakan kabinet akan gemuk karena partai seperti Golkar dan PDIP kemungkinan akan ditampung Pak SBY,” kata pegamat politik dari LIPI, Siti Zuhro, dihubungi Senin (5/10).

Dukungan Demokrat kepada Taufik Kiemas ketimbang ke Hidayat Nur Wahid dari PKS, menurut Siti, sebagai bukti telah cairnya hubungan Demokrat dan PDIP. Siti menyadari cairnya hubungan Demokrat-PDIP itu baru pada tingkat parlemen belum resmi di level eksekutif. Namun, konstelasi politik di parlemen tersebut, lanjut Siti, semakin menunjukkan sinyal positif PDIP akan mendapat “jatah” di kabinet. “Sangat besar kemungkinan itu.”

LIPI sendiri mengharapkan kabinet SBY mendatang lebih rampng dari segi jumlah. Jika saat ini terdapat 37 kementrian, menurut Siti, demi efisiensi dan efektifitas SBY bisa merampingkan kabinet hingga hanya 23 kementrian. Namun, Siti mengaku pernah mendapat pernyataan langsung dari Mensesneg Hatta Rajasa kalau perampingan kabinet mendatang tidak dimungkinkan. Alasan Hatta kepada Siti, perampingan kabinet bisa menimbulkan gejolak politik. Atas penyataan Hatta tersebut, Siti berasumsi SBY memang berniat merangkul sebanyak mungkin partai politik dalam koalisi bersama Demokrat.

Bergabungnya PDIP dengan pemerintah, dikhawatirkan Siti akan menghapuskan mekanisme checks and balances dalam demokrasi di Indonesia. “Berarti wartawan harus bekerja 24 jam untuk mengawasi pemerintah dan DPR,” kata Siti setengah berkelakar.

Dihubungi terpisah, peneliti dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi, yakin Taufik Kiemas telah berhasil meyakinkan Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri bahwa berkoalisi dengan Demokrat akan menguntungkan PDIP untuk jangka panjang. Menurut Burhanudin, Taufik kemungkinan memberikan garansi menawarkan Puan Maharani agar bisa masuk dalam kabinet SBY.

Memplot Puan duduk di salah satu kursi kabinet SBY adalah perhitungan jangka panjang agar Puan bisa bertarung dalam pemilihan Presiden tahun 2014. Menurut Burhanuddin, dengan menyodorkan nama Puan ke dalam kabinet SBY, hal itu mendukung upaya mempertahankan keturunan Soekarno sebagai pemimpin dalam partai berlambang kepala banteng tersebut. “Tapi hal ini harus didukung oleh peningkatan kapasitas berpolitik Puan sendiri,” tambah Burhanuddin. dri/pur

Senin, 05 Oktober 2009

Golkar Harus Mereposisi Diri

REPUBLIKA, JAKARTA-– Musyawarah Nasional (Munas) ke VII Partai Golkar di Riau, Pekanbaru 5-8 Oktober 2009 akan menjadi penentu reposisi partai belambang beringin tersebut. Ketua Umum Partai Golkar yang terpilih dalam Munas kali ini dinilai akan menentukan reposisi tersebut. “Kebutuhan Golkar sekarang adalah pemimpin yang bisa mereposisi partainya setelah terpuruk di Pemilu 2009,” kata peneliti Golkar dari LIPI, Siti Zuhro, dihubungi Republika, Ahad (4/10).

Menurut Siti, Golkar saat ini perlu direposisi untuk menghadapi Pemilu 2014. Posisi “menempel” dengan pemerintah, kata Siti, terbukti malah membuat Golkar terpuruk dan Demokrat menjadi pemenang Pemilu 2009. Golkar saat ini, lanjut Siti, harus melepaskan diri dari bayang-bayang Demokrat. Pilihan untuk tidak berkoalisi dengan Demokrat, kata Siti, adalah pilihan yang sejalan dengan semangat kebangkitan Golkar yang diusung oleh para calon ketua umum.

Saat ini calon kuat Ketua Umum Partai Golkar adalah Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. Keduanya, Siti menilai, memiliki visi yang sama yakni mengembalikan kejayaan Golkar di masa depan. Kejayaan masa depan itu, kata Siti, adalah dengan cara menjadikan Golkar menjadi dirinya sendiri tidak bergantung dengan partai lain. “Ke depan, Golkar harus berani untuk tidak berkoalisi dengan Partai Demokrat,” tegas Siti.

Siti menilai Surya Paloh menjadi calon ketua umum yang memiliki inisiatif menjadikan Golkar tidak selalu “bergelayut” kepada kekuasaan. Inisiatif tersebut, saat ini lanjut Siti mengkristal lewat semboyan-semboyan seperti “Golkar mandiri” dan sebagainya. Dibanding Surya, Aburizial Bakrie yang akrab disapa Ical, dinilai akan mengambil cara menyokong pemerintah demi tujuan kebangkitan Golkar.

Demi terciptanya demokrasi seimbang, Siti mengharapkan, tetap akan ada partai yang menolak bergabung dengan pemerintah. Siti mengharapkan, Munas Golkar menghasilkan keputusan untuk mengawal demokrasi dengan tidak bergabung dengan koalisi SBY. Namun, pengamat politik lain, Burhanudin Muhtadi menilai, Golkar memiliki chemistry politik kuat dengan Demokrat. “Jadi menurut saya lebih mungkin SBY memilih berkoalisi dengan Golkar daripada PDIP atau Gerindra,” tambah Burhanudin. dri/kpo

Rabu, 30 September 2009

Sebagian Besar Daerah Pemekaran Gagal

Politikindonesia - Sejak otonomi daerah digulirkan hingga kini tercatat ada 205 daerah pemekaran baru yang terdiri atas tujuh provinsi dan 198 kabupaten/kota. Sayangnya, yang dianggap berhasil baru mencapai 20 persen. Sisanya dinyatakan gagal. Hal itu diungkapkan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Muladi dalam seminar "Urgensi Pemekaran Daerah untuk Meningkatkan Pelayanan dan Kesejahteraan Masyarakat" di Gedung Lemhannas, Jakarta, Selasa (29/9).

Muladi menambahkan, penambahan daerah otonom baru, justru menambah beban keuangan negara. Setiap tahun, dana alokasi umum (DAU) yang dikucurkan pemerintah pusat untuk membiayai kebutuhan dasar, terutama gaji pegawai, terus bertambah.

Hal itu dibenarkan Mardiasmo, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan. Ia mengatakan, jika Dana Alokasi Umum (DAU) yang dikucurkan ke daerah baru pada 1999 berjumlah Rp 54,31 triliun, kini telah mencapai Rp 167 triliun. Daerah pemekaran baru juga berdampak pada berkurangnya proporsi DAU bagi daerah lain. Menurut Mardiasmo, beban lain yang harus ditanggung pemerintah pusat adalah penambahan dana alokasi khusus. Dana tersebut diberikan salah satunya untuk membantu menyediakan kantor-kantor Satuan Kerja Perangkat Daerah.

Hal itu berbanding terbalik dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pelayanan publik yang menjadi tujuan pemekaran daerah. Dana bantuan, baik dari pemerintah pusat maupun daerah induk, biasanya habis untuk memberikan gaji kepada pegawai dan pejabat, termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah baru.

Menurut Harun Al Rasyid, anggota Dewan Perwakilan Daerah periode 2004-2009, pengalaman di banyak daerah otonomi baru menunjukkan nilai tambah lebih dirasakan elite yang mendapat posisi atau jabatan baru. Karena itu menurutnya, diperlukan cetak biru pemekaran daerah untuk mengatur jumlah ideal.

Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro dalam sebuah diskusi di Jakarta bebarapa waktu lalu juga mengungkapkan sebagian besar daerah otonom baru hasil pemekaran wilayah gagal menyejahterakan masyarakat. Siti mensinyalir adanya transaksi-transaksi dalam proses pemekaran wilayah, yang semakin menjauhkan esensi dan kepentingan pemekaran. Pemekaran menjadi semakin jauh dari kebutuhan sebenarnya, yaitu meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

"Pemekaran yang telah dilakukan memang sangat membebani anggaran. Sebenarnya, tidak masalah membebani asalkan bermanfaat bagi masyarakat, mampu meningkatkan kesejahteraan dan mempermudah pelayanan publik," katanya.

Pemekaran wilayah menurut Siti, memang dibutuhkan masyarakat. Persoalanya, kebutuhan pemekaran itu kemudian diintervensi atau dikelola oleh elit-elit partai politik di daerah maupun di pusat serta calo-calo kekuasaan dan anggaran. Apalagi ada transaksi-transaksi uang. Di samping itu, terjadi pengambilalihan kepentingan oleh elit partai politik.

"Kalau 'rojokan'nya (kucurannya) besar, prosesnya cepat," katanya yang menambahkan, adanya kucuran uang dalam proses pemekaran semakin menambah rumit persoalan.

Anehnya menurut Siti, DPR dan pemerintah menyetujui begitu saja usulan pemekaran wilayah, padahal dibalik pemekaran itu sebenarnya terselubung kepentingan partai politik. Akibatnya, pemekaran tidak banyak pengaruh bagi masyarakat. Bahkan masyarakat terbebani sehingga pemekaran tidak ada manfaatnya bagi masyarakat.*

(sa/yk)

Rabu, 02 September 2009

SBY Diminta Rampingkan Kabinet

JAKARTA–- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diharapkan dapat mengurangi personel kabinet pada pemerintahan mendatang. Perampingan kabinet bertujuan untuk efektivitas dan efisiensi kinerja kabinet untuk kepentingan rakyat.

“Saya mengusulkan nama kabinetnya adalah Kabinet Indonesia Maju,” kata peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, kepada wartawan di Jakarta, Selasa (1/9). Kabinet yang disusun SBY, usul Siti, harus didasarkan atas prinsip good governance, realisasi anggaran berbasis kinerja, profesional, kompentensi dan pakta integritas.

Menurut Siti, ada beberapa kementrian yang bisa dilebur menjadi satu dan ada juga kementerian yang bisa dihilangkan. Jika pada periode 2004-2009 terdapat 37 kementerian, Siti menyarankan, kabinet periode selanjutnya tidak lebih dari 23 kementerian.

Siti mencontohkan, Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) harus digabung. Alasannya, semangat otonomi daerah sebagai bagian dari upaya desentralisasi kekuasaan dinilai tidak jalan hingga kini. Selain itu, lanjut Siti, Indonesia memiliki masalah koordinasi antarinstansi terkait. “Untuk pelayanan publik yang lebih baik, Depdagri dan Kementerian PAN harusnya disatukan,” kata Siti.

Selain Depdagri dan Kementerian PAN, Siti juga mengharapkan adanya peleburan kementerian lain seperti Menteri Perekonomian dan Menteri Negara BUMN. Kementerian Perdagangan dan Perindustrian bahkan diminta dilebur bersama Kementerian Pariwisata. Jabatan Menteri Sekretaris Negara dan Sekretaris Kabinet juga disarankan dijabat oleh satu orang menteri.

Adapun untuk Kementerian Pemberadayaan Perempuan, saran Siti, dihapus dan dimasukkan ke dalam jajaran menteri Pendidikan Nasional. Siti menambahkan, di Departemen Pendidikan Nasional terdapat satu direktorat yang mengurusi pendidikan perempuan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan yang ada saat ini, tutur Siti, tidak berkolerasi terhadap pemberdayaan perempuan. “Perempuan Indonesia kuat lebih karena banyaknya LSM perempuan,” tambah Siti.

Siti mengakui Presiden SBY tidak bisa menghindar dari kewajiban mengakomodir kepentingan partai politik yang berkoalisi dengannya. Namun, Siti mengharapkan akomodasi partai politik tidak lebih dari sembilan menteri. Kalangan profesional harus diberi alokasi yang banyak jumlahnya dan ditempatkan pada pos-pos kementerian strategis. Keberhasilan pemerintah ke depan, tambahnya, adalah ketika bisa menyusun kabinet yang bias saling bersinergi dan berinteraksi. dri/rif

Rabu, 05 Agustus 2009

DPD Siap Ajukan Uji Materi UU Susduk


Laporan wartawan KOMPAS.com Inggried Dwi Wedhaswary

JAKARTA, KOMPAS.com — Belum lagi UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU Susduk) diundangkan, DPD sudah bersiap mengajukan judicial review Pasal 14 Ayat 1 UU tersebut. Pasal 14 Ayat 1 berbunyi: Pimpinan MPR terdiri atas 1 orang ketua yang berasal dari DPR dan 4 orang wakil ketua yang terdiri atas 2 orang wakil ketua dari anggota DPR dan 2 orang berasal dari anggota DPD yang ditetapkan dalam sidang paripurna.

Wakil Ketua DPD Irman Gusman mengatakan, ketentuan pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945 bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memilih dan dipilih. Pasal tersebut, menurutnya, telah mereduksi kesempatan anggota DPD untuk dipilih menjadi Ketua MPR.

"Seharusnya ada kesamaan hak. Setiap orang harus dijamin hak konstitusinya untuk menjadi pemimpin, apakah itu dari DPR atau DPD," kata Irman, dalam jumpa pers di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (5/8).

Ia mengatakan, pemilihan pimpinan MPR akan berlangsung tidak demokratis jika mengacu pada ketentuan tersebut. Lagipula, Pasal 2 Ayat 1 UUD 1945 hanya mengatur bahwa pimpinan MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD. "Tidak disebutkan bahwa Ketua MPR harus anggota DPR," katanya.

Ketua Tim Ahli yang ditunjuk DPD, Todung Mulya Lubis, memaparkan, sejumlah ketentuan dalam UU Susduk telah mendegradasi peran dan fungsi DPD. "Banyak hal yang tidak bisa kita terima. Mengenai hak memilih dan dipilih, ini menjadi noktah kecil dari sikap mendegradasi oleh pembuat UU terhadap DPD," ujar Todung.

Pengajuan uji materi akan segera dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi tanpa menunggu UU tersebut diundangkan. Selain Todung, sejumlah ahli lain seperti Fadjrul Falaakh, Irman Putra Sidin, dan Siti Zuhro, dipersiapkan untuk memperkuat gugatan DPD ini.

Selasa, 28 Juli 2009

Golkar Perlu Darah Segar


R Siti Zuhro

Peneliti Utama LIPI

Lengkap sudah kegagalan Partai Golkar setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil rekapitulasi suara nasional Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009. Lepas dari gugatan hukum yang akan diajukan Golkar ke Mahkamah Konstitusi (MK), secara implisit kenyataan tersebut menunjukkan perlunya kepemimpinan baru partai yang bisa mengangkat dan memperbaiki kembali citra dan kekuatan politiknya di mata rakyat. Pernyataan Jusuf Kalla (JK) yang tak akan mencalonkan diri lagi tentu patut diapresiasi. Sikap tersebut jelas menunjukkan kesatriaan dan tanggung jawabnya atas ketidakmampuan dalam mengemban cita-cita partai.

Kegagalan Partai Golkar dalam Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pilpres 2009 menunjukkan bahwa partai tersebut telah kehilangan inovasi, improvisasi, dan daya pikatnya di mata rakyat. Golkar Baru yang pernah digulirkan Akbar Tandjung tampak makin kehilangan "roh". Karena itu, sudah saatnya ada kepemimpinan baru di Golkar.

Sebagai parpol besar hasil Pileg 2004, Golkar memiliki banyak sekali kader muda yang cerdas, piawai, dan tangkas. Kehadiran kader muda Golkar itu penting untuk memutus stigma negatifnya atas keterkaitannya dengan Orde Baru yang dipandang korup, kolutif, dan nepotis. Karena itu, regenerasi dan suksesi kepemimpinan di Golkar menjadi suatu yang niscaya. Proses regenerasi idealnya memberikan peluang besar kepada generasi muda yang kompeten dan berintegritas untuk tampil. Sebagai parpol besar, Golkar memiliki banyak sekali kader muda yang cerdas, piawai, dan tangkas. Selain karena tuntutan perubahan, kehadiran para manajer dan eksekutif muda di Golkar diharapkan dapat melakukan proses penyegaran.

Dengan melakukan regenerasi bukan berarti menafikan keberadaan kader-kader partai senior. Ada banyak tempat pengabdian yang memungkinkan mereka dapat meneguhkan dirinya sebagai pemimpin nasional, dan bukan sekadar manajer partai. Dengan sistem demokrasi seperti sekarang ini, sangat dibutuhkan tokoh-tokoh dan pemimpin politik yang pengaruhnya melewati batas ikatan primordial partai, etnik, agama, dan kelas sosialnya. Oleh karena itu, sesuai dengan tuntutan zaman, ke depan seorang ketua partai tidak dengan sendirinya dapat diusung menjadi calon presiden atau kepala daerah.

Meskipun dalam kontestasi calon ketua Partai Golkar nantinya terbuka untuk siapa pun, kompetisi yang demokratis, free and fair perlu dibangun. Kader tua dan muda partai mendapat peluang sama. Sebagai organisasi modern yang sudah sangat mapan seharusnya Golkar bisa hidup tanpa bergantung pada individu pengusaha atau individu yang memiliki kemampuan finansial.

Oleh karena itu, ke depan proses suksesi dan regenerasi Golkar tidak boleh dikotori oleh money politics. Sebab, hal itu tidak hanya akan melahirkan pemimpin yang berumah di atas "awan", tetapi juga pemimpin semu dan rapuh, yang akan menghancurkan masa depan Partai Golkar.***

Sabtu, 18 Juli 2009

Golkar Terpuruk Jika Gabung ke SBY

JAKARTA -- Pengamat politik R Siti Zuhro mengatakan, jika Partai Golkar memutuskan bergabung dalam koalisi yang mendukung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), maka partai ini akan terpuruk. "Sudah saatnya Golkar tidak tergoda kekuasan yang menggoda. Golkar harus mencapai cita-cita yang lebih luhur. Kalaupun SBY mengambil kader Golkar, sebaiknya tidak atas nama Golkar," kata peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu di Jakarta, Jumat (17/7).

Ia mengakui kondisi yang dialami Golkar saat ini sangat sulit, seperti mendayung di antara dua karang besar. "Golkar berada di persimpangan jalan antara menentukan akan merapat ke SBY atau menjadi oposisi di parlemen. Ini menjadi pilihan sulit, namun berdasarkan pertimbangan saya, Golkar harusnya menjadi pencatat sejarah dengan memilih oposisi. Ini agar ia dihormati ke depan," kata peneliti The Habibie Center itu.

Ke depan, kata Siti Zuhro, Golkar harus menyiapkan langkah yang cerdas dan tangkas sebagai agenda serius untuk mengembalikan kejayaan Golkar. "Golkar harus mampu menggunakan semaksimal mungkin kedigdayaan dan kekuatan yang dimiliki tanpa mempertentangkan dikotomi tua dan muda. Sudah saatnya regenerasi di Golkar lebih mengedepankan pengarustamaan gender karena 58 persen pemilih, adalah perempuan," katanya.

Siti Zuhro mengatakan, Golkar mestinya menjadi obor bahwa saat ini eranya gender. Golkar harus mampu menjadi contoh yang baik dalam melakukan regenerasi. Ia mengakui, oposisi memang tidak memiliki payung hukum yang kuat. Selama ini negara Indonesia dibangun dengan filosofi harmoni. Filosofi harmoni itu merupakan nilai-nilai keindonesiaan. "Namun kita telah memiliki kesepakatan akan menjalankan demokrasi. Kita sepakat dengan demokrasi yang universal meski kita tetap menghargai nilai-nilai luhur sebagai satu bangsa. Demokrasi akan menjadi lumpuh dan layu tanpa oposisi," katanya.

Peneliti yang menyelesaikan PhD Ilmu Politik dari Curtin University, Perth, Australia itu melanjutkan, bangsa Indonesia sudah sepakat dalam kebebasan berasosiasi, dan penegakan hak-hak rakyat serta check and balances di parlemen terhadap pemerintahan. Selama ini, katanya, oposisi tidak membudaya di tengah-tengah bangsa Indonesia. Padahal, posisi di parlemen itu sama luhurnya dengan di pemerintahan. "Kita mestinya mensosialisasikan betapa mulianya menjadi kelompok oposisi di parlemen. Kalau kedua-duanya tidak dikuatkan bangsa ini tidak mungkin akan maju," katanya.

Menyangkut masa depan Golkar, ia mengatakan partai ini memerlukan manajer yang cedas dan tidak pro status quo. Artinya, figur pemimpin ke depan harus dari pembaharu. Alasannya, pada 2014 Indonesia membutuhkan pemimpin yang transformatif . Menurut dia, Golkar terancam bubar manakala tidak belajar dari pengalaman pahitnya. Untuk itu, Golkar mesti mengevaluasi pengalaman terpuruknya dan merumuskan langkah-langkah ke depan.

Menyangkut terpuruknya suara Golkar, Siti Zuhro mengatakan, disebabkan orang-orang yang dicalonkan di legislatif dan sebagai capres tidak siap dari awal. Semua dipersiapkan secara terburu-buru, padahal pemilu memerlukan proses yang panjang. Ia mencontohkan, Jusuf Kalla yang memiliki elektabilitas rendah namun dipaksakan tampil menjadi capres. "Belajar dari kasus ini, diperlukan kematangan elite Golkar ke depan untuk tidak hanya memikirkan kenyamanan atau keenakan sendiri," katanya. Menyangkut peluang Surya Paloh atau Aburizal Bakrie dalam musyawarah nasional (Munas) Golkar dipercepat, ia mengatakan, Aburizal Bakrie lebih berpeluang karena, menurutnya, Surya Paloh dinilai ikut bertanggung jawab atas terpuruknya JK dalam pilpres.
Aburizal, katanya, juga didukung dana yang kuat, sudah malang melintang di Golkar dan lebih diterima SBY dan Demokrat. Ia mengatakan, Aburizal yang didukung DPD II memiliki kekuatan di akar rumput. "Ical mampu merangkul semua pihak dan diperkirakan memperoleh suara yang signifikan dalam munas Golkar," katanya.

Masalahnya, kata dia, kesulitan yang dihadapi adalah bagaimana mendayung di antara dua karang, antara kuat di parlemen dan kuat di pemerintahan. "Ini kondisi terberat yang dihadapi Golkar," tuturnya. ant/bur

Rabu, 15 Juli 2009

Quo Vadis Golkar Pascapilpres?


R Siti Zuhro
Peneliti Utama LIPI



Dewi fortuna kembali tak berpihak ke Golkar. Setelah kalah dalam Pemilu Legislatif (Pileg) 2009, Golkar kembali harus menelan pil pahit dengan tumbangnya pasangan capres-cawapres HM Jusuf Kalla-Wiranto (JK-Wiranto). Berdasarkan hasil quick count, perolehan suara mereka sekitar 11,87%-13,89%. Ini berada di bawah perolehan suara Golkar dalam pileg lalu (14,50%). Pertanyaannya, quo vadis Golkar pasca-Pilpres 2009?

Kekalahan JK dalam pilpres disebabkan beberapa hal. Persoalannya bukan sekadar tingkat elektabilitasnya yang dinilai rendah, melainkan juga karena secara internal proses pemilihannya dinilai kurang demokratis dan kurang mendapat dukungan yang signifikan, baik di tataran elite maupun akar rumput. Secara internal, soliditas kader dan elite Partai Golkar cenderung melemah.

Kurang solidnya dukungan Golkar merupakan indikasi penting bahwa ada friksi atau faksi-faksi di tubuh Golkar. Pertama, kelompok yang menginginkan Golkar tetap berkoalisi dengan Partai Demokrat. Kedua, kelompok yang menginginkan agar Golkar independen dan mencalonkan capresnya sendiri. Ketiga, kelompok yang menginginkan Golkar berkoalisi dengan PDIP.

Saat ini ketiga kelompok tersebut tidak hanya sangat berpengaruh, tapi juga akan menentukan nasib Golkar ke depan. Beberapa elite Golkar, seperti Aburizal Bakrie, Agung Laksono, Akbar Tandjung, Muladi, Jusuf Kalla, dan Surya Paloh, sangat berpengaruh dan memegang peran penting dalam meredam gejolak politik di Golkar.

Jangan sampai gejolak yang ada saat ini menjadikan Golkar berada di persimpangan jalan. Di tengah-tengah kegamangan menghadapi situasi pascapilpres sekarang ini, tarikan untuk mendekati Demokrat semakin menguat, terutama bagi elite Golkar yang sejak awal menginginkan berkoalisi dengan Demokrat.

Partai Golkar perlu mengambil keputusan yang paling tepat. Golkar harus cermat memilih: apakah akan bersama pemerintah atau di luar pemerintah. Keputusan Golkar kali ini akan mengukir sejarah partai ini ke depan, apakah tradisi asli Golkar yang lekat dengan kekuasaan akan menjadikan partai ini besar atau malah mengerdilkannya.

Pertanyaan lain, apakah membangun oposisi dengan PDIP, Gerindra, dan Hanura merupakan pilihan yang lebih elegan? Lebih-lebih bila hal tersebut dimaksudkan untuk membangun check and balances dalam konteks sistem presidensial.

Tantangan terbesar bagi Golkar saat ini adalah bagaimana citra elegan tetap bisa dihadirkan dengan menjadi elemen politik yang positif dalam membangun tradisi demokrasi dan menjauhkan diri dari kesan pragmatis dan oportunis.

Namun, kecenderungannya jelas Golkar lebih menyukai merapat ke Demokrat ketimbang berada di luar pemerintah. Jika itu yang terjadi, Golkar akan stagnan. Golkar kembali gagal menyumbangkan tradisi politik yang positif bagi kehidupan demokrasi Indonesia, tidak siap menjadi "oposisi".***

Kamis, 18 Juni 2009

Menyoal Kualitas Survei


R Siti Zuhro

Peneliti Utama LIPI



Banyak jalan menuju Roma, banyak kiat menuju istana. Itulah prinsip yang dianut tim sukses calon presiden (capres)-calon wakil presiden (cawapres). Sehingga, setiap celah dan kesempatan dimanfaatkan secara cerdik dan cerdas. Apalagi, tidak semua aturan bersifat hitam putih. Maka, bermain di grey area pun sah-sah saja selama menguntungkan.

Tampaknya, di wilayah grey area itulah persoalan polemik tentang survei politik muncul akhir-akhir ini. Masalahnya, hasil survei yang sejatinya bebas nilai dalam ranah akademik ditengarai telah dinodai oleh pihak-pihak tertentu demi kepentingan politik. Dugaan itu semakin kuat mengingat hasil lembaga-lembaga survei itu variatif meskipun dilakukan dalam waktu saling berdekatan.

Kegeraman pada lembaga survei khususnya datang dari tim sukses capres-cawapres yang merasa dirugikan. Sebab, dampak politik yang ditimbulkannya cukup signifikan. Berbeda dengan legitimasi yang bersumber dari pimpinan kemasyarakatan, seperti kiai dan pondok pesantren, yang bersifat kualitatif, legitimasi lembaga survei bersifat kuantitatif dan oleh karena itu lebih terukur, pasti, dan legitimate dibandingkan dengan lainnya. Atas dasar itu, kubu yang tersudutkan oleh hasil survei merasa tidak cukup untuk mengembalikan legitimasinya hanya dengan menyerang metodologi yang digunakan lembaga survei. Reaksi yang dianggap terbaik adalah mengeluarkan hasil survei tandingan. Oleh karena itu, perang survei pun menjadi pilihan tak terelakkan. Tujuannya adalah membelokkan opini publik yang sudah telanjur terbentuk dan sekaligus untuk mengembalikan dan meningkatkan legitimasi capres-cawapresnya.

Bagi publik yang berpendidikan, perdebatan metodologi survei guna menilai tingkat kualitas survei tertentu merupakan hal yang seharusnya dapat mereka pahami. Tetapi, persoalannya, mayoritas pemilih bukan orang-orang terdidik yang bisa memahami penjelasan akademik sebuah survei. Yang mereka pahami hanya sebatas hasil yang diperolehnya dari televisi, koran, dan media massa lainnya. Bagi mereka, pembicaraan mengenai kualitas sebuah survei bukanlah pada aspek metodologinya, yang merupakan ranah para akademisi, melainkan pada siapa pelaksana, pemberi dana dan pemesannya. Informasi tentang hal itu sangat penting untuk menilai kualitas sebuah survei.

Berdasarkan hal itu, dapat disimpulkan: pertama, guna melindungi rakyat dari pembohongan publik yang dilakukan lembaga-lembaga survei, seharusnya ada lembaga atau dewan kehormatan yang mengawasi kejujuran ilmiah lembaga-lembaga survei. Mereka yang secara sengaja terbukti menggadaikan profesionalitas akademiknya demi alasan apa pun patut diberi sanksi tegas karena telah melakukan pembohongan publik. Lebih-lebih itu berkenaan dengan pilpres.

Kedua, setiap lembaga survei seharusnya mengumumkan kepada publik tentang identitas lembaga penyelenggara survei secara terbuka, terutama afiliasinya ke parpol dan organisasi tertentu, dan sumber pendanaannya secara transparan. Karena itu, bila diperlukan, audit sumber pendanaannya dapat dilakukan. Akhirnya, biarkan publik yang menilai kualitas sebuah survei karena rakyat juga tidak bodoh.***

Rabu, 20 Mei 2009

MENYONGSONG PILPRES: ANALISIS KRITIS KOALISI PARPOL, IMPLIKASI DAN PROSPEKNYA

R. Siti Zuhro, PhD

(Peneliti Utama LIPI)



Puncak pesta pemilu legislatif, 9 April usai sudah. Hasilnya pun telah diumumkan, 9 Mei 2009. Di tengah kecemasan dan kegemasan masyarakat atas buruknya kinerja KPU, pemilu berjalan dengan relatif damai dan demokratis. Secara umum pemilu legislatif (pileg) 2009 berlangsung aman dan lancar. Meskipun demikian, banyak kalangan menilai bahwa kualitas penyelenggaraannya jauh dari harapan. Banyak persoalan yang dipertanyakan partai politik (parpol) peserta pemilu. Yang paling menonjol adalah masalah carut-marut daftar pemilih tetap (DPT)[1], tertukarnya surat suara di beberapa tempat (masalah logistik), dan lambannya penayangan tabulasi elektronik hasil pemilu. Sebagai akibatnya, sejumlah parpol, khususnya yang berada di luar pemerintahan, merasa dizalimi oleh parpol pemerintah, khususnya Partai Demokrat yang menjadi parpol pemenang pemilu. Sebagian parpol yang kalah pileg, bahkan, mengancam akan memboikot pemilu presiden (pilpres) bila hal tersebut tak ditangani dengan baik. Beberapa LSM dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga telah melayangkan gugatan hukumnya, termasuk soal hasil tabulasi elektronik yang sangat lambat.
Banyaknya persoalan dalam pemilu legislatif 2009 yang tidak prospektif bagi perkembangan demokrasi ke depan tentunya perlu dicarikan solusinya agar konstelasi politik nasional pasca Pemilu 2009 menjadi kompatibel dengan upaya konsolidasi demokrasi. Lebih dari itu, Pemilihan Presiden (pilpres) 2009 8 Juli yang akan datang perlu diantisipasi secara cermat mengingat berbagai kelemahan yang terjadi pada pemilu legislatif yang lalu. Hal tersebut penting dilakukan guna mewujudkan kualitas pilpres mendatang yang lebih absah (legitimate) dan kredibel (credible).



Evaluasi Pelaksanaan Pemilu Legislatif 2009


Bila dievaluasi, kelemahan penyelenggaraan pemilu legislatif 2009, antara lain, disebabkan oleh beberapa hal berikut: pertama, DPT (daftar pemilih tetap) tidak akurat. Masalah DPT tersebut menjadi isu akut yang senantiasa muncul di setiap pemilu dan pilkada. Masalah DPT sangat terkait dengan management administrasi kependudukan secara nasional.
Kedua, sistem Pemilu 2009 yang berpedoman pada suara terbanyak cukup rumit sehingga menyulitkan petugas lapangan dan masyarakat awam.
Ketiga, kompetensi dan manajerial kepemiluan lembaga penyelenggara pemilu (KPU) sangat lemah. Hampir semua tahapan bermasalah dan menuai kritik tajam. Bila dirujuk, keadaan tersebut disebabkan oleh sistem rekruitmennya yang mirip rekruitmen lowongan pekerjaan pegawai negeri sipil. Akibatnya, orang-orang yang kapabel dan mumpuni tidak begitu berminat untuk berkompetisi memperebutkan pekerjaan tersebut karena dirasakan hanya akan merendahkan reputasi dan profesionalitas mereka. Apalagi karena lembaga yang memilih (DPR) sarat dengan unsur politis. Akhirnya, yang terpilih sebagai anggota KPU adalah mereka yang reputasi dan kapabilitasnya tak dikenal publik. Orang-orang yang dianggap publik memiliki reputasi dan kapabilitas justru tersingkir.
Keempat, mekanisme pencairan anggaran dari Departemen Keuangan sering terlambat sehingga menghambat tahapan pemilu yang sudah terjadwal ketat.
Kelima, tenaga penunjang di Sekretariat – mulai KPU pusat hingga daerah – yang berasal dari kalangan PNS banyak menimbulkan masalah karena ditengarai memiliki loyalitas ganda dan mengalami disorientasi. Kinerja mereka, pada umumnya, cukup rendah dan merasa bukan “bawahan” para anggota KPU yang notabene bukan PNS.
Keenam, masalah golongan putih (golput). Berdasarkan data sementara yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), 9 Mei 2009, golput mencapai 68.997.841 atau 40,31%. Jumlah itu diperoleh dari jumlah suara sah Pemilu Legislatif 2009 dari 33 provinsi dengan 76 daerah pemilihan. Jumlah pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) adalah 171.265.442 pemilih. Sebagai perbandingan pada Pemilu 2004, jumlah suara sah sebanyak 113.462.414 suara atau sekitar 77,09% dari jumlah pemilih yang berjumlah 147.105.259 pemilih. Dengan kata lain, persentase golput Pemilu 2009 jauh lebih besar dari Pemilu 2004.[2]
Dari sekitar 40,31% yang golput tersebut hanya sekitar 10% golput yang sadar tidak mau memilih. Mereka itu adalah orang-orang yang kecewa, apatis, dan bosan karena melihat tidak ada perubahan yang signifikan dari pergantian penguasa.[3]
Menurut Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jierry Sumampow, KPU gagal mencapai target partisipasi pemilih dengan suara sah 80%. Sebab, jumlah suara sah hanya 59,69%. Menurut Jeirry kegagalan KPU tersebut disebabkan oleh ketidakmampuannya dalam melakukan sosialisasi. Dengan kata lain, KPU tidak mampu melakukan sosialisasi dan membersihkan daftar pemilih tetap (DPT).
Di bawah lemahnya kinerja KPU dan bayang-bayang ancaman boikot pilpres, tidak mudah bagi pemerintah untuk meyakinkan kepada publik bahwa pilpres mendatang akan berlangsung secara jujur, adil dan aman.
Kualitas kinerja KPU yang tak kian membaik jelas sangat mencemaskan. Bagi pemerintah tak ada kata yang lebih baik selain dari memperbaiki secara sungguh-sungguh masalah DPT dan mengawal pelaksanaan pilpres dengan baik.
Meskipun UU Pemilu menegaskan kepada para pemilih untuk bersikap proaktif, pemerintah tampaknya tak ingin terkubur di lubang yang sama karena risiko politiknya yang tak bisa dipandang enteng. Di beberapa daerah, misalnya, dilakukan pendataan dan pengecekan kembali pemilih secara door to door. Persoalannya adalah apakah dalam penyelenggaraan pilpres nanti KPU akan mampu menjalani tahapan-tahapan pilpres sesuai dengan jadwal dan memperbaiki kinerjanya? Bila tidak, tak hanya KPU yang akan kehilangan kredibilitas atau integritasnya, tapi juga pemerintah. Meskipun penyelenggaraan pemilu merupakan tanggung jawab KPU, sulit bagi pemerintah untuk menyatakan tidak ikut bertanggung jawab.
Selain isu DPT, masalah penggelembungan suara juga merupakan problem yang paling menonjol dipersengketakan. Yang terakhir ini, bahkan, sampai membuat pemerintah cukup “gerah” karena selain dituding tidak becus dan memanipulasi suara, beberapa elit parpol sampai mewacanakan kemungkinan “memboikot” pemilu presiden 8 Juli 2009. Karena dianggap bisa menimbulkan opini publik yang tidak sehat dan implikasi sosial yang destructive, Susilo Bambang Yudhyono (SBY), bahkan, sampai terpancing untuk membuat pernyataan politik yang agak “mengancam”.



Hasil Pemilu Legislatif 2009


Berdasarkan hasil pemilu legislatif (pileg) yang ditetapkan KPU, partai Demokrat memperoleh 20,85% (150 kursi), Golkar 14,45 (107 kursi), PDIP 14,03% (95 kursi), PKS 7,88% (57 kursi), PAN 6,01% (43 kursi), PPP 5,32% (37 kursi), PKB 4,94% (27 kursi), Gerindra 4,46% (26 kursi), dan Hanura 3,77% (18 kursi).[4] Adapun suara 29 parpol lainnya berada di bawah parliamentary Threshold (PT).
Hasil pileg tersebut menunjukkan kenaikan fantastis (sekitar 300%) suara partai Demokrat dan sekaligus menjadikannya sebagai parpol pemenang pemilu. Adapun perolehan suara dua partai besar, yakni Golkar dan PDIP, cenderung turun cukup tajam dibandingkan pileg 2004. Ini berarti merupakan pil pahit bagi Golkar dan PDIP.
Kenaikan suara partai Demokrat yang sangat signifikan telah menggerogoti basis-basis utama kedua partai besar tersebut dan partai-partai kecil dan menengah lainnya. Seperti bermain total football, partainya SBY tersebut nyaris menguasai atau setidaknya mewarnai semua lini. Sulawesi Selatan berhasil dibuatnya tak sekuning dulu lagi. Demikian pula dengan Bali yang tak lagi memerah. Membirunya Jawa Timur dan Jawa Barat jelas merupakan tamparan hebat bagi elit dan kader PDIP dan Golkar.[5]
Kemampuan partai Demokrat mengungguli partai Golkar dan PDIP, antara lain, disebabkan oleh citra Demokrat yang cenderung menunjukkan sifatnya yang inklusif, terbuka, aspiratif, dan relatif bersih. Meskipun secara umum partai Demokrat merupakan anak kandung atau setidaknya “saudara sedarah” partai Golkar dan teman sepenanggungan di pemerintahan, partai Demokrat lebih mampu memisahkan dirinya dari stigma partai Orde Baru yang kolutif, korup, dan nepotisme (KKN). Lepas dari faktor ketokohannya, komitment SBY dalam pemberantasan korupsi tampak lebih kuat dibandingkan dengan Golkar. Dalam banyak kesempatan SBY secara tegas menyatakan dukungannya pada pemberantasan korupsi.[6] Hal ini telah memberikannya citra positif bagi Demokrat di mata rakyat.
Sosok SBY sebagai pembawa gerbong Demokrat tak jarang dikritik sebagai pemimpin yang sangat sensitif.[7] Namun, sensitivitasnya tersebut justru menguntungkan citranya, yang dinilai santun, hati-hati dan mau mendengarkan. SBY, misalnya, tampak berusaha keras untuk menjaga jarak antara ranah kerja dan keluarga besarnya. Ia juga senantiasa merespons semua isu miring yang dilayangkan kepada dirinya, keluarganya, dan juga partainya. Upayanya untuk menjelaskannya secara argumentatif kepada publik tentang keluarga besarnya yang terlibat dalam jabatan parpol dan pemerintahan relatif berhasil sehingga ia tidak dipersepsikan secara negatif sebagai orang yang tengah membangun dinastinya.
Sementara itu, partai Golkar dipandang gagal menunjukkan dirinya sebagai parpol anti korupsi. Banyaknya kasus korupsi dan skandal immoral yang menimpa kader Golkar telah menciderai citranya. Sebagai pimpinan partai, JK kurang mampu menjaga citra positif partainya karena ia tampak lebih defensif dalam menanggapi kader-kader parpolnya.
Selain itu, partai Golkar juga kurang mampu menunjukkan dirinya sebagai partai “terbuka” yang memberikan akses yang sama pada kader-kadernya untuk menduduki jabatan-jabatan politik. Terobosan yang pernah dilakukan Akbar Tanjung dengan membuat konvensi partai Golkar untuk memilih calon presidennya juga tidak diteruskan. Hal ini menimbulkan kegelisahan pada sebagian elit Golkar, seperti yang dirasakan Yudi Krisnandi, Fadel Muhammad, dan Sultan Hamengkubuwono.
Berbeda dengan Golkar, penurunan suara PDIP dalam pemilu legislatif 2009, antara lain, disebabkan oleh citra negatifnya yang semakin mengarah ke kedinastian. Regenerasi kurang berjalan lancar di PDIP. Bila pada pemilu 1999 PDIP mampu memenangkan pemilu dan dipandang sebagai parpolnya wong cilik yang mengusung gagasan Bung Karno, pada pemilu 2004 PDIP dikalahkan Golkar dan berada di urutan kedua. Icon wong cilik yang lekat dengan PDIP cenderung meluntur seiring dengan menguatnya kesan PDIP sebagai parpolnya keluarga Bung Karno. Satu demi satu teman-teman dekat Megawati yang berjasa mengusungnya menjadi ketua dan membesarkan PDIP hengkang.
Lepas dari itu, pengumuman hasil pemilu legislatif KPU, 9 Mei 2009 yang dilakukan tepat waktu telah menghapus kekhawatiran banyak pihak yang meragukannya, mengingat selama ini kualitas kinerjanya dinilai rendah dan bermasalah. Meskipun demikian, tak ada kejutan berarti karena secara umum hasilnya sudah diketahui publik melalui quick count. Sesuai dengan ketentuan, sejumlah parpol yang merasa dirugikan melayangkan gugatan sengketa pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Di luar perkiraan banyak pihak, hanya ada 63 perkara yang masuk ke Mahkamah Konstitusi, yakni 40 perkara dari parpol dan 23 lainnya dari calon DPD[8]. Sedikitnya perkara yang masuk tersebut, terutama, disebabkan karena proses pengaduan sengketa yang harus dilakukan melalui parpol. Banyak kasus yang dialami caleg tak bisa diproses lebih lanjut ke MK karena berbenturan dengan kepentingan internal parpolnya. Umum diketahui bahwa pemberlakuan sistem suara terbanyak telah pula menimbulkan persoalan di antara sesama caleg dalam parpol yang sama. Dengan kata lain, tidak sedikit caleg yang merasa dirugikan oleh teman separtainya atau oleh parpolnya sendiri.
Suhu politik yang kian memanas menjelang pilpres sebenarnya merupakan hal yang wajar. Meskipun demikian, munculnya wacana “ancaman pemboikotan” pilpres 2009 yang dilontarkan sejumlah elit parpol jelas tak bisa dipandang remeh. Selain akan berpengaruh pada legitimasi pilpres, bukan tidak mungkin implikasi ancaman tersebut bisa mengembalikan arah jarum demokrasi kembali ke titik nadir. Yang lebih berbahaya lagi adalah bila hal tersebut sampai menjadi “bola liar” dan dipolitisasi ke dalam ranah SARA sehingga menimbulkan kekacauan sosial (chaos). Oleh karena itu, tanggapan keras yang disampaikan SBY tentang hal tersebut cukup bisa dipahami. Persoalannya ini bukan sekadar masalah “black campaign” terhadap SBY dan partainya, melainkan karena implikasi negatifnya yang bisa mencerai-beraikan persatuan nasional mengingat persoalan SARA teramat sensitif.


Pola Hubungan Partai Politik dan Massa


Dalam sitem politik yang demokratis, setiap partai politik (parpol) semestinya mampu menunjukkan dirinya sebagai parpol yang terbuka, inklusif, dan transparan. Apalagi dengan diberlakukannya sistem suara terbanyak dalam pemilu legislatif sekarang ini. Semestinya setiap calon legislatif dan tokoh politik tidak saja mendekatkan dirinya dengan konstituennya, melainkan juga harus menjaga citranya sebagai tokoh yang bersih, aspiratif dan akomodatif.
Pola hubungan antara parpol dan massa ditengarai ikut berperan dalam memengaruhi munculnya fragmentasi kepartaian. Menurut Syaiful Muzani, instabilitas hubungan antara parpol dan massa menjadi penyebab fragmentasi kepartaian.[9] Sebagai contoh menurunnya perolehan suara PDI-P, Golkar, PAN, PPP dan PKB dalam Pemilu Legislatif 2009 di satu pihak, dan naiknya perolehan suara partai Demokrat ke posisi pertama di pihak lain merupakan salah satu bukti konkret. Instabilitas pola hubungan ini akan mengancam proses demokratisasi karena partai politik yang menjadi pilar demokrasi sulit melakukan konsolidasi.
Selain itu, tingkat ketidakpuasan massa terhadap parpol menjelang pemilu legislatif cenderung tinggi. Ini karena aspirasi dan kepentingan massa tidak terwakili dalam proses pengambilan keputusan (kebijakan publik). Parpol tidak melakukan fungsi representasi dan intermediasi secara maksimal. Parpol juga tampak sibuk dan terjebak dalam pergulatan kepentingannya sendiri dan tidak mengabaikan massa yang menjadi pendukungnya dalam pemilu. Disadari atau tidak, proses pengabaian ini secara lambat namun pasti telah mendelegitimasi eksistensi partai politik. Bagi massa, parpol gagal melaksanakan peran dan fungsinya selama ini dan cenderung menggunakan institusi parpol hanya untuk memperjuangkan kekuasaan dan kepentingannya sendiri.
Idealnya partai politik[10] merupakan sarana terpenting tegaknya demokratisasi. Sebab, dalam dirinya, antara lain, terkandung makna sebagai alat agregasi kepentingan, sosialisasi politik dan sistem rekruitmen elit. Karena itu, partai politik tidak saja bertugas menyaring para pejabat publik, elit politik dan sekaligus mengontrol jalannya pemerintahan, tetapi juga harus mampu menyerap aspirasi masyarakat. Kehendak dan kepentingan masyarakat tidak bisa diabaikan begitu saja.



Koalisi (Longgar) Partai


Koalisi antarparpol dalam rangka menentukan calon presiden dan wakil presiden tak boleh hanya didasarkan atas hitung-hitungan kepentingan politik jangka pendek. Idealnya, koalisi parpol dibangun berdasarkan kesamaan platform ideologi dan program. Tetapi, seperti diketahui, hal tersebut sulit diwujudkan karena hampir semua parpol di Indonesia tidak memiliki kejelasan ideologi. Hal ini juga terlihat dari corak koalisi dalam pemilihan langsung kepala daerah, di mana koalisi yang terbentuk lebih didasarkan atas kepentingan untuk memenangkan pemilihan. Tidak bisa dihindarkan, koalisi semacam itu hanya merupakan strategi berbagi kekuasaan daripada memperjuangkan kepentingan masyarakat.
Pertanyaannya, apakah manuver-manuver koalisi parpol menjelang pilpres tersebut dimaksudkan untuk mendorong sistem politik yang lebih baik dengan memperkuat ideologi partai dan pembentukan political merit system? Atau sebaliknya, fenomena tersebut cenderung membuktikan bahwa budaya oposisi di kalangan elit dan pengurus partai politik belum eksis? Menjadi oposisi belum dianggap bagian terpenting penguatan sistem demokrasi. Ketidaksiapan elit dan parpol untuk berada di luar ring kekuasaan dan menjadi oposisi melahirkan kesulitan tersendiri dalam membentuk koalisi pemerintahan.
Di tataran empirik koalisi yang terbentuk menunjukkan besarnya kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan di pemerintahan. Hal ini bisa jadi tidak akan menciptakan kinerja pemerintahan yang baik. Masalahnya hal tersebut tidak hanya akan mengaburkan kontrol DPR terhadap pemerintah, tetapi juga akan menyebabkan terlalu bervariasinya kepentingan politik di pemerintahan. Tidak jelas siapa yang menjadi partai yang memerintah dan siapa yang menjadi partai oposisi.
Pengalaman pemerintahan SBY-JK bisa dijadikan pelajaran penting. Sejumlah menteri justru ikut menyikapi secara kritis kebijakan pemerintah. Selain bertentangan dengan etika berpolitik, hal itu juga sangat kontraproduktif dan mengancam soliditas pemerintahan. Karena itu, perlu dikembangkan diskursus tentang apa yang menjadi tujuan akhir sebuah koalisi. Jika platform ideologi parpol sulit dijadikan dasar koalisi, paling tidak harus ada nilai dasar (basic/core value) yang akan dicapai koalisi pemerintahan. Esensi dasar pemerintahan adalah terselenggaranya pelayanan dan kesejahteraan masyarakat sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Dengan kata lain, berpemerintahan adalah memperjuangkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Keberadaan pemerintah baru akan dirasakan masyarakat jika ada peningkatan kualitas pelayanan dan kesejahteraan, bukan sebaliknya.
Pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat merupakan nilai dasar yang harus dijadikan syarat koalisi. Tampaknya hal ini sulit diwujudkan jika para elit politik hanya menganggap koalisi sebagai cara untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Oleh karena itu, kontrak politik seperti yang dilontarkan SBY merupakan hal yang penting untuk dijadikan dasar pembentukan koalisi.[11] Kontrak politik tidak hanya berisi kewajiban dan hak parpol dalam koalisi, lebih dari itu hendaknya juga memuat tujuan yang akan dicapai koalisi dalam pemerintahan. Tujuan-tujuan tersebut, misalnya, adalah untuk membangun pemerintahan yang bersih, berwibawa, dan profesional; mewujudkan terjadinya reformasi birokrasi; peningkatan kualitas pelayanan publik; dan terpenuhinya hak ekonomi, sosial, dan politik masyarakat sebagai hak-hak asasi warga. Kesepakatan atas tujuan yang akan dicapai koalisi dalam pemerintahan jauh lebih penting daripada sekadar mengatur hak dan kewajiban parpol dalam koalisi.
Selain itu, hal penting yang juga tidak boleh dilupakan dalam koalisi adalah masalah pengisian kabinet. Karena mesin pemerintahan ditentukan dan digerakkan kabinet, kesepakatan pengisian kabinet harus menjadi bagian pembicaraan koalisi. Terlalu banyak partner koalisi jelas akan menyulitkan presiden terpilih dalam menentukan formasi kabinetnya.
Presiden terpilih juga harus mendapatkan dukungan politik dari DPR. Karena itu, gabungan parpol dalam koalisi pengusung calon presiden setidaknya perlu memiliki 51 persen suara di DPR. Idealnya, partai pengusung calon presiden meraih suara mayoritas mutlak di DPR dengan komposisi koalisi partai yang sederhana.[12] Tetapi, mengingat banyaknya jumlah parpol, untuk meraih suara mayoritas di DPR diperlukan pula koalisi parpol di Parlemen. Sebagaimana terlihat dari hasil pileg 2009, tak satu pun parpol yang mampu memperoleh suara yang signifikan.[13]
Pada sisi lain, perlu pula dipikirkan untuk membentuk pemerintahan yang berdasar prinsip profesionalisme. Pengisian kabinet pemerintahan hendaknya tidak hanya didasarkan atas pertimbangan politis, tetapi juga kemampuan, kompetensi, komitmen, dan pengalaman seseorang. Pertimbangan profesionalisme ini penting agar koalisi pemerintahan tidak hanya menjadi ajang politisasi pemerintahan, tetapi merupakan upaya untuk mewujudkan tujuan-tujuan bernegara. Oleh karena itu, selain berasal dari kalangan parpol yang tergabung dalam koalisi, untuk hal-hal tertentu pengisian kabinet tersebut bisa dijuga diambil dari luar parpol, khususnya dari kalangan profesional.
Lepas dari persoalan tersebut, yang menarik adalah bahwa sejak pengumuman hasil quick count pileg, semua parpol yang lolos parliamentary threshold (PT), khususnya, sibuk melakukan komunikasi politik dan menjajaki pembentukan koalisi dengan sesama mereka, terutama, guna menghadapi pilpres. Dengan jumlah parpol yang besar, tidak satu parpol pun yang bisa menjadi kekuatan politik yang dominan, baik di pemerintahan maupun di parlemen, tanpa berkoalisi dengan parpol lainnya.
Sebagai parpol pemenang pemilu dan ditambah dengan elektabilitas SBY yang tinggi, Partai Demokrat telah menjadi “gadis cantik” yang mengundang banyak “pria”. Selain sejumlah parpol kecil yang tak lolos PT, seperti PBB, partai menengah seperti PKS, PAN, PKB, PPP juga menunjukkan minatnya untuk berkoalisi dengan Demokrat. Hal yang sama juga ditunjukkan Golkar sebelum akhirnya membentuk koalisi sendiri. Menyadari perolehan suaranya yang lebih kecil daripada Demokrat, Golkar berencana mengusung kembali pasangan SBY-JK. Tapi keinginan Golkar tersebut tampaknya “ditampik” SBY. Meskipun sangat membutuhkan Golkar, SBY tampaknya agak kurang sreg untuk bersanding kembali dengan JK dan karena itu meminta Golkar untuk mengajukan cawapres lainnya. Pengalaman SBY berduet dengan JK selama periode 2004-2009, membuatnya relatif hati-hati. Selain karena pemerintahannya dinilai banyak orang memiliki “dua nakhoda”, sebagai pimpinan Golkar, JK juga mengesankan bermain mata dengan PDIP.[14]
Penolakan halus SBY terhadap JK telah membuat Golkar kemudian melirik kembali PDIP dengan mengusung JK sebagai capres. Keadaan tersebut membuat peta koalisi besar beralih dari blok SBY ke blok Megawati. Golkar, PDIP, Gerindra, Hanura, dan sejumlah parpol kecil lainnya pun mendeklarasikan “koalisi besar” di parlemen. Tetapi, keceriaan tersebut seolah terhenti ketika mereka tidak bisa menemukan titik temu untuk mengusung capresnya. Sebab semua pimpinan parpol berlindung di balik amanat parpolnya untuk hanya menjadi capres dan bukan cawapres.
Tanpa mengesampingkan faktor lainnya, seperti elektabilitas, jalan buntu yang dihadapi blok Megawati tersebut agaknya juga disebabkan oleh usia para capres masing-masing parpolnya. Usia rata-rata mereka yang di atas kepala 6 dan mendekati kepala 7 telah membuat mereka tak melihat kesempatan lain, kecuali dalam pemilu (2009) ini.[15] Itulah sebabnya mengapa realitas perolehan suara pileg masing-masing parpol seperti dikesampingkan.
Dengan motto “lebih cepat lebih baik”, akhirnya partai Golkar dan partai Hanura melompat ke luar dan mendeklarasikan JK-Wiranto sebagai pasangan capres-cawapres.[16] Keputusan tersebut dengan sendirinya membuyarkan impian “koalisi besar” blok Megawati dan sekaligus pula memupus ancaman boikot pemilu yang pernah diwacanakan. Jalan buntu yang dihadapi PDIP – Gerindra pun semakin tampak karena masing-masing pihak tak juga bergeming dari pendiriannya. Sementara itu, pilihan untuk mencari cawapres dari parpol lain semakin sulit. Sebab PKB, PKS, PAN dan PPP sudah menunjukkan kecenderungannya untuk merapat ke Demokrat. Seolah menyertai Golkar - Hanura, pada detik terakhir Prabowo Subianto merelakan dirinya untuk menjadi cawapres Megawati. Dengan demikian, terdapat tiga pasangan capres – cawapres yang maju dalam pilpres 2009.[17]
Melihat jalannya drama koalisi politik tersebut, tampak sekali bahwa pembangunan koalisi antarparpol sangat dipengaruhi oleh faktor kepentingan partai dan elitenya. Ibarat seekor burung mereka bisa hinggap di mana saja tanpa terbebani oleh perbedaan ideologi, platform dan misi partai masing-masing. Fenomena ini sesungguhnya bukan hal baru. Pada masa Orde Lama, misalnya, dua partai Islam terbesar, yakni NU dan Masyumi saling berseberangan. NU lebih memilih merapat ke Sukarno, sedangkan Masyumi justru memilih menjadi rivalnya Sukarno.[18]
Kalaupun pernah terjadi koalisi antarparpol Islam dalam bentuk “Poros Tengah”, koalisi tersebut bersifat sangat rapuh karena sarat dengan kepentingan politik. Meskipun koalisi tersebut berhasil menjadikan Gus Dur sebagai presiden pertama era reformasi, masa koalisi tersebut tak lebih dari seumur jagung yang pupus seiring dengan dilengserkannya Gus Dur dari kursi kepresidenannya, khususnya, oleh kelompok mereka sendiri.
Fenomena yang sama juga dialami oleh SBY dan partainya. Tidak sedikit kebijakan pemerintah yang tak didukung oleh parpol yang mengaku berkoalisi dengan Demokrat. Sejumlah hak angket di DPR, misalnya, juga dimotori oleh beberapa anggota DPR dari parpol yang berkoalisi dengan pemerintah, termasuk PKS dan Golkar. Oleh karena itulah, jauh-jauh hari SBY sudah menyatakan hanya akan membangun koalisi dengan kontrak politik yang jelas.
Mengingat pengalamannya tersebut, akhirnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memilih Boediono sebagai calon wakil presiden dalam pemilu 8 Juli 2009. Tetapi, pilihan SBY tersebut tak berlangsung mulus. Parpol-parpol menengah yang menjadi mitranya, yakni Partai keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan pembangunan (PPP) menyatakan keberatannya.[19] Penolakan terhadap Boediono juga disampaikan oleh mahasiswa dari beberapa kampus, LSM dan kelompok buruh.[20] Tetapi, kontroversi tersebut akhirnya mereda setelah para petinggi parpol Islam tersebut mendapat penjelasan langsung dari SBY tentang pilihannya terhadap Boediono. Selain memperoleh dukungan parpol menengah, pasangan SBY-Boediono juga memperoleh dukungan 18 parpol yang tak lolos parliamentary threshold.[21]


Tabel Perolehan Kursi 3 Pasangan Calon


No.

Nama Pasangan Calon

Partai Pendukung

Jumlah Kursi

1.

SBY – Boediono

Partai Demokrat, PKS, PPP, PKB, PAN

314

2.

JK – Wiranto

Partai Golkar dan
Partai Hanura

125

3.

Megawati-Bowo

PDIP dan
Partai Gerindra

121


Sumber: diolah dari beberapa media massa ibukota, 11 Mei 2009.

Ketiga pasangan tersebut masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan. Dari sisi jumlah dan persentase perolehan suara serta kursi di DPR hasil Pemilu Legislatif 2009, pasangan SBY-Boediono sangat unggul dibandingkan JK-Wiranto dan Megawati-Prabowo Subianto. Pasangan SBY- Boediono memperoleh 56% suara. Namun, hal tersebut tidak dengan sendirinya menjamin keterpilihan. Sejarah Pemilu Presiden 2004 membuktikan bahwa pasangan SBY-JK yang pada waktu itu tak didukung Golkar justru menjadi pemenang pilpres. Padahal, seperti diketahui, perolehan suara partai Demokrat hanya sekitar 7%.
Masalah ekonomi jelas merupakan masalah krusial yang akan diusung oleh ketiga pasangan tersebut di atas dalam kampanyenya. Di antara ketiga pasangan tersebut, baru pasangan SBY-Boediono yang secara singkat, padat tapi jelas menyampaikan kebijakan ekonomi yang hendak dilaksanakan, sebagaimana disampaikan dalam pidato deklarasi pasangan ini. Meskipun pasangan SBY-Boediono percaya pada mekanisme pasar, pada saat yang sama keduanya berpendapat bahwa pasar juga harus diatur pula oleh pemerintah. Dengan pernyataan tersebut mereka menepis anggapan bahwa Boediono adalah penganut neoliberal yang tidak pro rakyat.[22]
Sementara itu, pasangan Mega-Prabowo belum secara jelas dan tegas menyampaikan rencananya di bidang ekonomi meskipun pasangan ini acapkali menyampaikan model ekonomi kerakyatan yang ingin dibangunnya. Di tengah derasnya arus globalisasi yang menerpa negeri ini, yang patut dipertanyakan adalah apakah pasangan Mega-Prabowo akan menawarkan bentuk ekonomi berdikari yang menutup pasar Indonesia dari pelaku ekonomi asing? Atau apakah pasangan ini akan menawarkan model “ekonomi benteng” yang pernah digagas Prof. Sumitro Djojohadikusumo tahun 1950-an atau, bahkan mungkin, akan menawarkan pilihan model ekonomi Pancasilanya Prof. Mubyarto?
Seperti halnya pasangan Mega-Prabowo, bentuk model ekonomi yang akan diusung pasangan JK-Wiranto juga belum jelas.
Keunggulan pasangan capres-cawapres tidak hanya diuji dari kompetensinya menghadapi dan mengatasi masalah ekonomi politik domestik, tapi juga dari kapasitasnya dalam memahami politik luar negeri dan posisi serta peran Indonesia di forum regional dan internasional. Sejumlah pertanyaan yang perlu mendapat penjelasan, misalnya, mau dibawa ke mana arah politik luar negeri Indonesia ke depan? Apakah semboyan “mendayung di antara dua karang” (seperti dilontarkan Bung Hatta pada awal era Perang Dingin) dan “berlayar di antara banyak karang/rintangan” (seperti yang dikonsepkan oleh SBY pada awal pemerintahannya) masih relevan dan akan menjadi kebijakan penting politik luar negeri Indonesia? Apakah reposisi diperlukan Indonesia dalam konteks hubungannya dengan ASEAN dan demikian juga dengan wilayah Asia Pasifik, Eropa Utara dan Timur Tengah?
Last, but not least, seperti pada pilpres 2004 kebanyakan pemilih yang berasal dari kelas menengah bawah tampaknya kurang mempedulikan bentuk kebijakan ekonomi atau model politik luar negeri apa yang akan diusung masing-masing pasangan. Sebab, bagi mereka hal tersebut terlalu sulit untuk dipahami. Bagi mereka yang lebih penting adalah persoalan citra dan popularitas capres-cawapres. Oleh karena itu, seperti halnya pada pilpres 2004, keunggulan pasangan capres-cawapres dalam pilpres 2009 akan lebih ditentukan pada kemampuan masing-masing pasangan dalam membangun politik pencitraan dan popularitasnya untuk meyakinkan rakyat.



Implikasi dan Prospeknya


Bangsa Indonesia tampaknya masih menafikan pentingnya arti sejarah bangsa. Tumbangnya pemerintahan Orde Baru seharusnya menjadi pelajaran berharga bahwa institusi demokrasi, etika dan kejujuran merupakan aspek penting yang perlu dibangun. Tetapi, sejarah tersebut tampaknya kembali dilupakan oleh elit politik dan penguasa. Perpecahan internal partai politik kerap terjadi sebagai akibat dari kepemimpinan parpolnya yang tidak demokratis. Keadaan tersebut dapat dikatakan tak berbeda jauh dari masa kepartaian di zaman Orde Baru sang penguasa partai kerap memperlihatkan hak vetonya dalam mengatasi masalah ketimbang aturan-aturan kepartaian dan demokrasi. Bedanya, pada masa Orde Baru, kader partai yang tak puas harus tersingkir dari panggung politik karena tak bisa mendirikan parpol baru.
Keadaan internal partai yang tidak terselesaikan dengan baik sesuai dengan rambu-rambu demokrasi membuat parpol makin sulit meyakinkan konstituennya untuk memberikan dukungannya dalam pemilu. Dengan institusionalisasi parpol yang masih lemah, sulit diharapkan lahirnya kebijakan yang dapat memihak kepentingan rakyat. Keadaan inilah yang membuat masalah pengangguran, kemiskinan, pendidikan dan masalah pembangunan pada umumnya tak juga menemukan pemecahannya. Dengan kata lain, proses pemilu dan pasca pemilu seharusnya berkorelasi positif, sehingga dapat menghasilkan pemerintahan baru yang mampu merealisasikan pemerintahan yang baik untuk melayani masyarakat.
Hasil Pemilu Legislatif 2009 menunjukkan bahwa diterapkannya sistem suara terbanyak, semakin memperkuat otoritas rakyat. Kemenangan pileg adalah kemenangan rakyat. Otoritas rakyat dalam memilih wakil dan partai yang dikehendakinya tercermin dengan sangat gamblang melalui hasil penghitungan KPU. Hasil pemilu menunjukkan bahwa rakyat telah memberikan pelajaran dan hukuman kepada parpol yang dinilainya telah lalai mewakili aspirasi dan kepentingannya sehingga nasib mereka tetap terpuruk.
Lepas dari itu, ada beberapa hal penting yang harus dibenahi berkenaan dengan pilpres 8 Juli 2009. Pertama, masalah DPT Pilpres harus bisa diselesaikan dengan baik. Dalam hal ini, Selain KPU, Pemerintah dan partai politik juga harus bertanggungjawab mengatasi masalah DPT sesuai dengan kewenangan dan tugas masing-masing. Kedua, dalam waktu yang sangat terbatas menjelang pilpres, KPU harus mampu merencanakan dan mengatasi masalah kebutuhan logistik pemilu dengan baik, seperti jumlah TPS, pengangkatan KPPS, tinta, kotak suara, bilik suara, surat suara, dan formulir-formulir.
Dalam hal koalisi pilpres, idealnya arah koalisi dalam membentuk konser demokrasi yang terkonsolidasi harus jelas, terformat, terukur dan solid agar penguatan sistem presidensial yang mengedepankan mekanisme checks and balances dapat diwujudkan. Dengan kata lain, koalisi “pelangi” yang sudah terbentuk saat ini semestinya terbangun secara kokoh tanpa menonjolkan pragmatisme dan kepentingan jangka pendek. Dengan begitu, koalisi yang terbangun tidak semata-mata mengesankan koalisi untuk “bagi-bagi kursi” di kabinet, tetapi juga dalam kerangka rekonstruksi sistem politik demokratik yang kuat, stabil dan produktif/efektif.
Di tataran praksis, drama koalisi politik yang berlangsung belakangan ini tak urung telah membuat banyak rakyat seperti menonton dagelan ketoprak atau lenong yang ceritanya berakhir dengan antiklimaks dan happy ending. Meskipun suhu politik menjelang pilpres semakin memanas, isu tentang pemboikotan pemilu tampaknya tak terwujud. Runtuhnya koalisi besar Megawati dkk menjadi blessing in disguise bagi SBY dkk. Faktor kepentingan elit dan partai yang lebih mengemuka membuat peta perubahan politik sulit diprediksi. Apalagi elit parpol acapkali bersembunyi di balik ungkapan “tak ada yang tak mungkin dalam politik”. Komunikasi politik yang dilakukan Partai Demokrat dan PDIP di tengah upaya Demokrat membangun koalisi dengan parpol Islam dan PDIP dengan Gerindra, bukan saja telah mengejutkan parpol Islam dan JK-Wiranto, tetapi juga rakyat banyak. Selain membingungkan, zig-zag politik tersebut tidak memberikan pendidikan politik yang baik pada masyarakat. Hal tersebut bisa mencederai kepentingan politik para pemilihnya. Sebab, harapan rakyat untuk memperbaiki nasibnya akan semakin jauh dari kenyataan.
Pupusnya ancaman boikot pilpres telah membuat rakyat dapat bernafas lega. Bagi rakyat, dalam kemiskinan hanya rasa aman yang membuat mereka masih bisa tersenyum. Pertanyaannya adalah apakah kali ini para elit parpol, baik yang terpilih di parlemen maupun di pemerintahan memiliki mata hati untuk tidak terus mencederai rakyat?
Pemilihan presiden 2009 prospeknya akan cerah bila para elit mampu melakukan terobosan politik yang signifikan dan bermanfaat bagi rakyat. Calon pemimpin yang berkontestasi dan berkompetisi dalam pilpres mampu menawarkan program-programa yang bisa memperbaiki nasib warga negara. Hanya melalui tawaran program yang bisa dipertanggungjawabkan tersebut rakyat bisa menagih janji kepada pemimpin yang telah berikrar dalam kampanye pilpres.
Selain peran pemimpin yang sangat krusial dalam membenahi negeri ini, ke depan Indonesia juga perlu melakukan perampingan parpol agar pemerintah lebih dapat berkonsentrasi penuh merealisasikan program pembangunan ekonomi. Ini dimaksudkan agar efektivitas pengambilan keputusan politik dapat terwujud. Perampingan parpol juga diperlukan karena sesungguhnya banyak partai yang berasal dari spektrum atau domain ideologi yang sama sehingga dapat digabungkan ke dalam partai yang sama. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa masyarakat pada dasarnya tak menghendaki banyaknya parpol karena membuat mereka semakin bingung.[23]
Oleh karena itu, yang perlu dibangun adalah pola koalisi yang lebih terformat, terukur dan permanen. Koalisi tersebut seyogyanya pula perlu dipayungi oleh undang-undang. Pengerucutan koalisi partai menjadi hanya dua saja menjadi prasyarat penting. Demikian juga dengan fraksi di Parlemen cukup dua saja, yakni fraksi pemerintah dan fraksi oposisi. Realisasi dan konsistensi ini sangat diperlukan untuk menjamin efektivitas dan stabilitas pemerintahan yang pro-rakyat dan berlangsungnya sistem presidensiil.[24]





[1] Permasalahan DPT menyebabkan jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya (golput) relatif meningkat, yaitu sekitar 40,31 persen, lihat Kompas dan Media Indonesia, 10 Mei 2009.

[2] Kompas, 11 Mei 2009.

[3] Ibid.

[4] Berdasarkan hasil pengumuman KPU yang dimuat di berbagai media massa, 17 Mei 2009.


[5] Lihat antara lain R. Siti Zuhro, “Pemilu Legislatif 2009: Sebuah Catatan Kritis”, Media Indonesia, 13 April 2009.

[6]Relatif konsistennya SBY dalam memberantas korupsi ini bisa dilihat dari keseriusannya untuk tidak melindungi koruptor meskipun itu melanda besannya sendiri. Lihat Keterangan Pers Presiden “Pemberantasan Korupsi Perlu Dukungan Semua Pihak”, www.ri.go.id

[7] “Wiranto Mulai Perang Terbuka dengan SBY”, http: //hariansib.com.

[8] www.rri-online.com, 13 Mei 2009.

[9] Media Indonesia, 15 Mei 2007.

[10] Sejarah partai politik di Indonesia cenderung menunjukkan pasang surut, sesuai dengan rezim yang memerintah. Di bawah pemerintahan Orde Lama partai politik relatif berperan penting dalam kancah politik meskipun akhirnya mengalami pelemahan fungsi karena dinilai menjadi ”duri dalam daging” dalam membentuk pemerintahan yang kuat dan efektif. Di bawah Orde Baru partai politik tidak difungsikan (alias dibonsai). Partai yang banyak mengalami fusi sehingga tinggal tiga: Golkar, PDI dan PPP. Dinamika partai sejak tahun 1950an sampai 2009 cenderung diwarnai konflik, yang membuat partai politik di Indonesia belum sungguh-sungguh fokus untuk menjadikannya sebagai partai kader yang berorientasi merepresentasikan kepentingan rakyat. Konsolidasi internal partai condong mengangkat isu yang tidak menjawab kebutuhan esensial dari partai itu sendiri, sehingga gagal menjadi partai kader. Partai belum melaksanakan fungsinya secara maksimal sebagai pilar demokrasi. Karena itu, pembenahan partai mendesak dilakukan. Karena pengabaian atasnya akan berpengaruh terhadap profesionalisme partai dan juga kualitas koalisi partai yang hendak dibangun.

[11] Kontrak politik yang berkembang belakangan ini semestinya dimaknai sebagai suatu cara untuk meminta pertanggungjawaban pemimpin atas visi, misi program yang disampaikan selama masa kampanye. Sistem presidensiil yang dikombinasikan dengan sistem multipartai menyebabkan koalisi pemerintahan yang efektif dan kuat sulit dibangun. Kontrak politik juga dimaksudkan sebagai upaya menjaga agar pemerintahan tidak mudah goyah, dan untuk mengikat partai politik yang telah sepakat membentuk koalisi pemerintahan agar konsisten dan tidak saling menyerang.

[12] Di antara ketiga pasangan calon presiden dan wakil presiden, hanya pasangan SBY-Boediono yang didukung oleh lebih dari 51% suara. Pasangan yang didukung oleh partai Demokrat, PKS, PAN, PPP, dan PKB tersebut memiliki sekitar 56% suara.

[13] Sebagai pemenang pemilu legislatif 2009, perolehan suara partai Demokrat kurang dari 25%.

[14] Hal tersebut bermula dari adanya pertemuan kedua parpol tersebut di Palembang tahun 2007. Keberatan terhadap JK juga secara jelas dinyatakan elit PKS.

[15] Hanya Prabowo Subianto yang usianya masih di bawah 60 tahun.

[16] Pasangan JK-Wiranto ini juga didukung satu partai yang tidak lolos parliamentary threshold.

[17] Ketiga pasangan capres-cawapres tersebut adalah SBY-Boediono dengan jargon SBY Berbudi , JK-Wiranto dengan jargon JK Win, dan Megawati Prabowo dengan jargon Mega Pro Rakyat.

[18] Lihat R. Siti Zuhro, “Dramaturgi Koalisi Parpol dalam Pilpres”, Media Indonesia, 11 Mei 2009.

[19] Keberatan tersebut dikarenakan Boediono tidak mewakili aspirasi “ummat Islam”. Karena SBY dianggap mewakili tokoh nasionalis, mereka berharap calon wakil presidennya berasal dari “tokoh Islam”. Menurut Amien Rais, selama ini pasangan presiden dan wakil presiden selalu mencerminkan perpaduan antara tokoh nasionalis dan Islam.

[20] Menurut mereka Boediono adalah ahli ekonomi pendukung neoliberalisme.

[21] Selain PDIP dan Gerindra, pasangan Megawati – Prabowo didukung pula oleh 7 parpol yang tak lolos PT.,

[22] Tidak sedikit orang yang salah mengartikan neoliberal (neolib) sebagai bangkitnya kembali liberalisme. Neolib dalam kaitan ini dapat dimaknai sebagai aliran ekonomi yang ingin memperbaiki pendekatan liberalisme ekonomi dengan memasukkan unsur-unsur etika di dalam kebijakan, implementasi atau permainan ekonomi di lapangan. Masalahnya, berapa persen rakyat Indonesia yang menjadi pelaku pasar finansial di negeri ini? Agaknya jumlahnya terlalu kecil untuk dibandingkan dengan jumlah yang tidak bermain di sektor tersebut.

[23] Lihat antara lain Syamsuddin Haris (ed), Partai Dan Parlemen Lokal Era Transisi Demokrasi di Indonesia. Jakarta: LIPI Press, 2007. Selama dua tahun terakhir ini (2007-2009) keinginan untuk merampingkan jumlah partai politik semakin gencar disuarakan mengingat fragmentasi partai cenderung makin marak. Ironisnya, banyaknya jumlah partai saat ini tidak berkorelasi positif terhadap pluralisme masyarakat Indonesia. Sebaliknya, fenomena banyaknya partai tersebut justru membingungkan masyarakat dan ikut berkontribusi negatif terhadap pelaksanaan pemilu legislatif 2009. Argument tersebut juga sangat mengemuka dalam dikusi yng dilakukan oleh “Kaukus untuk Konsolidasi Demokrasi” yang diselenggarakan atas kerjasama Pusat Penelitian Politik LIPI, The Habibie Center dan FISIP UI, Widya Graha LIPI, 27 April 2009.

[24] R. Siti Zuhro, op.cit.