Kamis, 12 November 2009

Bongkar-Pasang UU Pemerintahan Daerah

Politikindonesia - Rapat dengar pendapat (RDP) antara Komisi II DPR RI dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi di Ruang rapat Komisi II DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (11/11) berlangsung cukup hangat.

Penelanjangan terhadap pelaksanaan otonomi daerah yang telah berjalan selama satu dasa warsa ini, tak terhindarkan dalam RDP tersebut. Ilustrasi menarik digambarkan Alex Litaay, politisi senior dari Partai Demokrasi Perjuangan (PDIP) ketika menggambarkan betapa masih timpangnya pembangunan di wilayah timur dibanding di wilayah Barat. Ini semua akibat masih setengah hatinya kebijakan-kebijakan yang menyangkut otonomi daerah.

Alex pun mengajak peserta rapat melihat peta Indonesia, yang konon merupakan warisan Fraksi ABRI kepada Komisi II. Di atas peta, bertengger lambang burung Garuda Pancasila yang kepalanya menengok ke arah kanan (ke wilayah Indonesia Barat jika dilihat di peta-Red). Seraya berkelakar Alex mengatakan, ?Ini gara-gara burung garudanya selalu menengok ke kanan atau Barat. Sehingga wilayah Timur selalu tertinggal,? ujar Alex yang disambut gelak tawa anggota dewan dan pengunjung yang memadati ruangan tersebut.

Alex juga melihat masih adanya ketimpangan pemberian Dana Alokasi Umum (DAU) di Indonesia Timur. Depdagri di era kepemimpinan terdahulu katanya, telah mengeluarkan kebijakan tentang parameter besar-kecilnya DAU yang didasarkan pada batas wilayah daratan. Tidak termasuk wilayah lautan. Tak mengherankan jika daerah yang wilayah daratannya kecil, DAU-nya pun kecil. Contohnya Buton, Maluku Utara, yang konotasinya berada di wilayah Indonesia Timur.

Harus Al Rasyid, mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) yang kini juga duduk di Komisi II dari Fraksi Partai Gerindra pun tak kalah pintar dalam menanggapi guyonan Alex. Ia mengatakan, ?Bukan tertinggal tetapi ditinggalkan,? ujarnya.

Kelakar para anggota dewan itu, bukan sekedar guyonan biasa tetapi merupakan ekspresi keprihatinan atas ketimpangan pembangunan sejak era Orde Baru hingga diberlakukannya otonomi daerah yang telah berlangsung selama satu dasa warsa ini.

Kebetulan topik yang mengemuka pada RDP tersebut berkaitan erat dengan misi pemerintah dan DPR dalam menata kembali pelaksanaan otonomi daerah. Tak mengherankan jika wacana revisi UU No.32 Tahun 2004 menjadi topik yang mengemuka pada dengar pendapat tersebut.

Mekar di Tengah Kuncup


Pemekaran daerah yang merupakan salah satu amanat dari UU Pemerintahan Daerah dimulai sejak era kepemimpinan BJ Habibie atau tepatnya sejak otonomi daerah digulirkan tercatat telah 45 daerah yang dimekarkan. Di Era Gus Dur dan Megawati (1999-2004) meningkat menjadi 103 daerah baru yang dimekarkan, Sedang di era SBY-JK dalam kurun waktu tiga tahun (2005-2008) ada 57 Daerah Otonomi Baru (DOB). Ini belum termasuk usulan pemekaran setelah itu.

Kenyataan, dari sekian banyak daerah yang dimekarkan, sebagian besar diantaranya tidak mampu mengembangkan diri, bahkan semakin menambah beratnya beban anggaran pemerintah.

Dr. Kausar, mantan Dirjen Pemerintahan Umum Depdagri dalam diskusi otonomi daerah dengan Dewan Pertimbangan daerah (DPD) beberapa waktu lalu mengatakan, daerah baru yang sangat bergantung pada Dana Alokasi Umum (DAU) mencapai 83,5%.

Siti Zuhro, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menilai, tidak berkembangnya DOB disebabkan beberapa hal. Diantaranya, usulan pemekaran daerah lebih banyak didasarkan pada pertimbangan politis. Terbatasnya kapasitas pemerintah kemampuan (dalam hal ini Depdagri) dalam melakukan pembinaan terhadap DOB. Juga kualitas eksekutif dan legislatif di DOB yang masih rendah.

Sebenarnya di era pemerintahan SBY-JK telah terbit PP No.78 Tahun 2007 yang membatasi dengan ketat pemekaran daerah. Misalnya, daerah yang dimekarkan harus sudah berfungsi selama 10 tahun untuk provinsi dan 7 tahun untuk kabupaten/kota. Provinsi minimal harus memiliki 5 kabupaten/kota, kabupaten memiliki 5 kecamatan dan Kota harus memiliki 4 kecamatan. Usulan tersebut harus didukung 2/3 dari seluruh wilayah desa atau kelurahan.

Namun PP tersebut, nyatanya tak dapat membendung hasrat politik untuk memekarkan daerah. Presiden SBY pun berkali-kali mengeluarkan ?himbauan? untuk melakukan moratorium (mengehentikan sementara) pemekaran daerah. Sayangnya, himbauan itu tidak segera ditindaklanjuti dengan aturan yang mendasarinya. Tidaklah mengherankan jika beberapa anggota Komisi II, melihatnya dengan sinis dan mengatakannya hanya sebatas omong kosong.

Ganjar Pranowo, Wakil Ketua Komisi II kepada www.politikindonesia.com menganggap usulan moratorium itu tidak pernah ada. ?Itu omongan Presiden yang tidak memiliki argumentasi kokoh, karena tidak diikuti dengan kebijakan-kebijakan berikutnya,? ujarnya dengan nada kesal.

Khatibul Umam Wiranu dari Fraksi Partai Demokrat juga mempertanyakan hasil evaluasi pemekaran daerah yang dilakukan Depdagri terhadap 148 Daerah Otonomi Baru (DOB). ?Apa hasil evalusi itu ? Sampaikan hasilnya kepada kami,? ujarnya kepada Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi yang menghadiri RDP tersebut.

Senada dengan Khatibul, Arif Wibowo, politisi dari F-PDIP juga mempertanyakan {grand design} dan evaluasi penataan otonomi daerah. Menurutnya tidak bisa usulan pemekaran itu disetujui sebagai DOB. Ia juga menambahkan evalusi pemekaran daerah, tidak bisa hanya evaluasi yang sifatnya rekapitulatif. Menyatakan sekian daerah dianggap layak, dan sisanya dianggap tidak layak. ?Itu dasarnya harus jelas tidak {waton} (asal) mengevaluasi,? ujarnya. Dari situlah, pijakan Komisi II untuk menindaklanjuti atau tidaknya usulan pemekaran itu bahkan sebenarnya ada beberapa daerah yang tidak layak dan harus digabungkan.

Wa Ode Nurhayati dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) mengingatkan agar {grand design} pemekaran daerah (penataan otonomi daerah) tidak boleh menghambat keinginan yang sudah diajukan dan dilakukan penelitian. Ia menyontohkan rencana pembentukan Provinsi Papua Selatan yang telah didukung infrastruktur dan kelembagaan yang telah memadai seperti Korem, Lantamal dan sebagainya. Satu-satunya kendala tinggal persetujuan dari Gubernur Papua.

Tossy Aryanto dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menggambarkan suasana kebatinan itu dengan istilah bayi dalam kandungan. Ia mewanti-wanti agar {grand design} tidak menggugurkan bayi yang masih dalam kandungan. Terlepas apakah bayi yang dikandung itu akibat pemerkosaan atau hasil hubungan gelap.

Rusli Ridwan, dari Fraksi PAN mendukung adanya upaya moratorium, seraya mengingatkan, perlunya mempertimbangkan pembentukan daerah baru yang berlatar daerah administratif. Karena hasilnya ternyata lebih baik, dibanding daerah yang tiba-tiba dimekarkan. Ia menyontohkan Kota Cilegon yang dinilai berhasil dalam mengembangkan dirinya.

Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi menanggapi usulan dan pertanyaan anggota Komisi II mengakui UU No.32 Tahun 2004 telah membuka kran seluas-luasnya bagi pemekaran daerah. Namun mantan Gubernur Sumatera Barat itu mempertanyakan keinginan untuk memekarkan daerah yang selama ini terjadi. ?Apakah ini aspirasi murni dari masyarakat. Mengapa bukan Negara saja yang menentukannya?? ujarnya.

Dari pernyataannya, Mendagri menyangsikan kemurnian aspirasi dalam pemekaran daerah. Karena itu pihak Depdagri merasa perlu untuk menyatakan jeda terhadap keinginan tersebut, sambil menunggu {grand design} yang tengah dipersiapkan. Mendagri juga mengaku tengah melakukan identifikasi 5 daerah yang sudah dimekarkan tetapi PAD-nya jalan di tempat, bahkan katanya PAD-nya masih nol besar.

?Kalau dibuka terus katanya, saya khawatir keinginan itu akan terus mengalir,? ujarnya. Mendagri juga menghimbau agar di masa jeda, Komisi II agar menunda terlebih dulu pembahasan UU menyangkut pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB).

Persoalan lain yang tak kalah menariknya yakni tentang titik berat otonomi daerah, yang memunculkan wacana diletakkan di tingkat provinsi. Wacana ini pun mendapat tanggapan yang beragam.

Djufri, dari Fraksi Partai Demokrat tidak setuju jika titik berat otonomi daerah dialihkan ke tingkat provinsi. Alasannya, menarik kewenangan dari tingkat kabupaten/kota ke provinsi akan menimbulkan banyak problem. Jufri juga menambahkan jika titik berat otonomi daerah di tingkat provinsi, maka kabupaten/kota hanya menjadi wilayah administratif. Ini juga akan rawan konflik.

Berbeda dengan Djufri, Ganjar Pranowo justru sebaliknya. Ia lebih cenderung meletakkan titik berat tersebut di tingkat provinsi. Hal itu didasarkan pada praktik yang dilakukan negara-negara maju. Diantaranya Jepang dan Spanyol. Meski demikian, Ganjar belum berani memastikan apakah jika titik berat di tingkat provinsi, pelaksananan otonomi daerah akan semakin efektif, efisien apa tidak. ?Lha wong kita kan belum pernah melaksanakannya. Saya kan hanya menduga-duga saja, kayaknya akan lebih baik jika di tingkat provinsi,? ujarnya.

Ganjar menambahkan, tahap pertama yang harus dilakukan Komisi II dan Depdagri adalah melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap pelaksanaan otonomi daerah. Sehingga pihaknya dapat menilai apakah para penyelenggara otonomi daerah yang selama ini muncul sudah tepat apa belum. Sudah baik apa belum. ?Baru dari situ kita bisa beranjak. Hal ini pulalah yang sedang disiapkan teman-teman dari Depdagri,? katanya.

Prof Ryaas Rasyid yang ikut membidani lahirnya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah menjadi UU No.32 Tahun 2004 mengakui saat pembentukan, Presiden Habibie mengemukakan gagasan agar meletakkan titik berat otonomi daerah di tingkat provinsi dengan alasan biayanya lebih efisien dan dapat meminimalisir konflik-konflik kepentingan yang ditimbulkannya katimbang meletakkan di tingkat kabupaten/kota yang jumlahnya jauh lebih banyak.

Namun saat itu, dialah yang paling keras menentangnya. Ia mengemukakan alasan, jika titik berat diletakkan di tingkat provinsi, maka sama saja mengembalikan sistem pemerintahan di masa penjajahan Belanda. ?Ini sama saja akan kembali ke masa Belanda,? ujarnya dalam suatu paparan di Gedung Dewan Pertimbangan Daerah (DPD).

Solusi yang dihasilkan : otonomi di tingkat provinsi tidak dihapus, tetapi diberikan otonomi terbatas. Sedang kabupaten/kota diberikan otonomi penuh. Palu pun diketok dan lahirlah UU No.22 Tahun 1999 itu.

Sepuluh tahun sudah, UU otonomi daerah itu diimplementasikan. Pasang surut, bongkar pasang dilakukan. Penerapannya salah kaprah bahkan cenderung kebablasan sehingga sempat memunculkan raja-raja kecil di daerah. Beberapa diantaranya bahkan lepas kontrol dan korup. Peradilan tindak pidana korupsi pun diwarnai wajah-wajah memelas para koruptor di jajaran pemerintahan baik pusat maupun daerah. Sementara rakyat yang digembar-gemborkan akan memperoleh kesejahteraan dengan dilaksanakannya otonomi daerah, tetap saja merana.

Sudah saatnya revisi UU Pemerintah Daerah direvisi secara menyeluruh dengan meletakkan kembali ke tujuan semula yakni demi meningkatnya kesejahteraan rakyat. Hasrat-hasrat untuk memperkaya diri sendiri, maupun demi kepentingan kelompok, parpol maupun golongan, sudah saatnya ditinggalkan. Sebab otonomi daerah adalah juga amanat reformasi yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Jangan sampai rakyat meminta kembali amanat tersebut sebagai akibat ketidakpercayaannya kepada pemerintah dan para wakil rakyat di DPR. Semoga.*
(Sapto Adiwiloso/yk)