Jumat, 23 September 2005

Wali Nangroe sebagai arena pertempuran kekuatan politik lokal di Aceh

Dalam RUU (rancangan undang-undang) inisiatif otonomi khusus Nangroe Aceh Darussalam dikatakan bahwa di masa yang akan datang anggota DPRD I akan berjumlah 100 orang dan hukum Islam secara murni akan diterapkan. Selain itu akan dibentuk Wali Nangroe selain Gubernur/Wakil Gubernur. Bagi pengamat politik otonomi daerah LIPI, Dr R Siti Zuhro, MA fenomena Aceh memang lain dari yang lain. Doktor lulusan Australia ini tidak begitu yakin bahwa penerapan syariah Islam akan benar-benar dijalankan meskipun dalam beberapa waktu yang lalu hukuman cambuk akan benar-benar ditegakkan sebagai kompensasi dijalankannya hukum Islam secara resmi. Bagi ibu satu putra ini kebijakan yang cenderung top down kurang bisa mengena sehingga hal di atas tidak yakin diterapkan dalam tataran baik elit maupun di tingkat grass root.

Dalam salah satu butir peraturan RUU tersebut juga dibahas masalah perimbangan keuangan daerah dengan porsi 80% untuk daerah dan 20% untuk pusat. Bagi Siti Zuhro hal ini hanya akan terwujud jika pemerintah benar-benar ikhlas dan didukung adanya political will, political commitment dan law enforcement diantara pemerintah pusat dan daerah. Jika beberapa syarat tersebut tidak ada maka kemungkinan hanya akan membuat otonomi khusus berwajah banci katanya. Disamping itu perlu untuk melihat kondisi aceh paska tsunami yang membutuhkan tidak hanya double tapi tripple perhatian serta perbaikan menyongsong otonomi khusus. Perjanjian Helinsky dipandang positif membawa kondisi aman di Aceh sehingga segala rencana ke arah pelaksanaan otonomi khusus dapat kondusif dilaksanakan.

Menanggapi masalah pembentukan wali nangroe diharapkan siapapun yang jadi wali nangroe harus ada semacam mekanisme fit and propper test. Lewat mekanisme ini diharapkan orang yang terpilih benar-benar capable mewakili dan mengakomodir semua kekuatan yang ada di Aceh. Menilik tujuan dibentuknya wali nangroe adalah sebagai simbol pemersatu rakyat Aceh bak sultan di Yogyakarta. Tetapi jika menengok proses pemilihannya yang dilakukan oleh lembaga Ahlul Hali Wal Aqdi dengan anggota 99 orang yang terdiri dari DPRD, MPU (majelis permusyawarakat ulama) maupun tokoh adat maka tidak tertutup kemungkinan ini akan menjadi semacam struggle of power oleh partai-partai yang termanifestasikan di dalam DPRD. Hal ini akan semakin panas jika partai lokal benar-benar terbentuk disana. Partai lokal sebagai salah satu tuntutan GAM dan akan direalisasikan 18 bulan setelah penandatanganan MoU Helinsky.

Secara adat dan budaya diharapkan wali nangroe dapat mengakomodir semua elemen yang ada dalam masyarakat baik GAM, pemerintah Indonesia maupun rakyat di luar GAM dan pemerintah. Namun jika kita menengok ke belakang wali yang diibaratkan seperti posisi sultan di Yogyakarta ini dalam prakteknya belum kita temukan. Hal ini terlihat tidak adanya tokoh pemersatu yang mampu meredam (baca berwibawa,dituruti dan dihormati) dan jadi mediator diantara GAM dan pemerintah Indonesia. Siti Zuhro membenarkan bahwa Aceh sudah lama kehilangan leadership. Maka munculnya wali nagroe hanya akan menjadi ajang perebutan kekuatan politik lokal yang ada di Aceh jika wali ini dianggap mempunyai peran penting karena posisinya yang cenderung “paling atas” secara adat melebihi gubernur yang lebih merupakan simbol wakil pemerintah Indonesia. (septi satriani)

Jumat, 22 Juli 2005

Hamid & Anas Kapan Disentuh?

Executive Summary
Rangkuman pemberitaan beberapa media masa yang terkait dengan KPK

Gebrakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar dugaan korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU) hendaknya jangan pilih kasih. Siapa saja yang terindikasi hendaknya segera di jadikan tersangka, termasuk Hamid Awaluddin yang kini menjadi Menhuk dan HAM, serta Anas Urbaningrum yang menjadi Ketua DPP Partai Demokrat. Terobosan KPK yang sudah menetapkan lima orang yang jadi tersangka dan satu jadi tedakwa (lihat tabel), itu langkah hebat meskipun prosesnya terkesan lamban. Tapi lebih hebat lagi kalau semua yang terindikasi melakukan korupsi segera di jadikan tersangka. KPK di harapkan tidak pandang bulu untuk memeriksa anggota KPU, termasuk yang sudah keluar seperti Hamid Awaluddin dan Anas Urbaningrum. Hal ini dikatakan Ketua Majelis Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Hendardi dan Pengamat Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) R Siti Zuhro kepada Rakyat Merdeka di Jakarta, kemarin. (Rakyat Merdeka, 22 Juli 2005)

Senin, 18 Juli 2005

Kepala Daerah harus punya Sense of Innovation

Agus Yuwono, Kota Malang - Dalam acara seminar sehari dengan tema Menciptakan Daya Saing Perekonomian Daerah di Hotel Tugu tadi pagi, Siti Zuhro Pakar Otonomi Daerah dari The Habibie Centre menyatakan Desentralisasi sampai saat ini masih belum terlaksana secara maksimal.

“Penyebab Desentralisasi itu masih belum bisa berjalan secara maksimal karena pelaksana birokrasi sampai saat ini masih belum tereformasi. Reformasi birokrasi yang diperlukan adalah reformasi secara kelembagaan yang diiringi dengan peranan Leadership lokal seperti pimpinan daerah. Pimpinan Daerah diharapkan harus bisa membuat terobosan yang bisa memancing masuknya investasi, yang memang saat ini dimungkinkan dengan sistem desentralisasi itu,” jelas R. Siti Zuhro.

Menurut R. Siti Zuhro, saat ini reformasi birokrasi yang dimaksudkan itu tergantung pada sense of innovation atau memiliki visi misi ke depan yang dimiliki seorang Kepala Daerah untuk bisa memajukan daerah yang dipimpinnya.

“Tindakan-tindakan riil yang bisa membuat sebuah daerah itu maju antara lain tentang pelayanan publik yang bagus, dan bagaimana menciptakan agar tidak terjadi High Cost Economy. Selama terobosan oleh Pimpinan Daerah itu untuk pelayanan dan kebaikan masyarakat, maka tidak akan bertabrakan dengan kebijakan pemerintah pusat,” tegas Siti. (AY)