Rabu, 30 September 2009

Sebagian Besar Daerah Pemekaran Gagal

Politikindonesia - Sejak otonomi daerah digulirkan hingga kini tercatat ada 205 daerah pemekaran baru yang terdiri atas tujuh provinsi dan 198 kabupaten/kota. Sayangnya, yang dianggap berhasil baru mencapai 20 persen. Sisanya dinyatakan gagal. Hal itu diungkapkan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Muladi dalam seminar "Urgensi Pemekaran Daerah untuk Meningkatkan Pelayanan dan Kesejahteraan Masyarakat" di Gedung Lemhannas, Jakarta, Selasa (29/9).

Muladi menambahkan, penambahan daerah otonom baru, justru menambah beban keuangan negara. Setiap tahun, dana alokasi umum (DAU) yang dikucurkan pemerintah pusat untuk membiayai kebutuhan dasar, terutama gaji pegawai, terus bertambah.

Hal itu dibenarkan Mardiasmo, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan. Ia mengatakan, jika Dana Alokasi Umum (DAU) yang dikucurkan ke daerah baru pada 1999 berjumlah Rp 54,31 triliun, kini telah mencapai Rp 167 triliun. Daerah pemekaran baru juga berdampak pada berkurangnya proporsi DAU bagi daerah lain. Menurut Mardiasmo, beban lain yang harus ditanggung pemerintah pusat adalah penambahan dana alokasi khusus. Dana tersebut diberikan salah satunya untuk membantu menyediakan kantor-kantor Satuan Kerja Perangkat Daerah.

Hal itu berbanding terbalik dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pelayanan publik yang menjadi tujuan pemekaran daerah. Dana bantuan, baik dari pemerintah pusat maupun daerah induk, biasanya habis untuk memberikan gaji kepada pegawai dan pejabat, termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah baru.

Menurut Harun Al Rasyid, anggota Dewan Perwakilan Daerah periode 2004-2009, pengalaman di banyak daerah otonomi baru menunjukkan nilai tambah lebih dirasakan elite yang mendapat posisi atau jabatan baru. Karena itu menurutnya, diperlukan cetak biru pemekaran daerah untuk mengatur jumlah ideal.

Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro dalam sebuah diskusi di Jakarta bebarapa waktu lalu juga mengungkapkan sebagian besar daerah otonom baru hasil pemekaran wilayah gagal menyejahterakan masyarakat. Siti mensinyalir adanya transaksi-transaksi dalam proses pemekaran wilayah, yang semakin menjauhkan esensi dan kepentingan pemekaran. Pemekaran menjadi semakin jauh dari kebutuhan sebenarnya, yaitu meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

"Pemekaran yang telah dilakukan memang sangat membebani anggaran. Sebenarnya, tidak masalah membebani asalkan bermanfaat bagi masyarakat, mampu meningkatkan kesejahteraan dan mempermudah pelayanan publik," katanya.

Pemekaran wilayah menurut Siti, memang dibutuhkan masyarakat. Persoalanya, kebutuhan pemekaran itu kemudian diintervensi atau dikelola oleh elit-elit partai politik di daerah maupun di pusat serta calo-calo kekuasaan dan anggaran. Apalagi ada transaksi-transaksi uang. Di samping itu, terjadi pengambilalihan kepentingan oleh elit partai politik.

"Kalau 'rojokan'nya (kucurannya) besar, prosesnya cepat," katanya yang menambahkan, adanya kucuran uang dalam proses pemekaran semakin menambah rumit persoalan.

Anehnya menurut Siti, DPR dan pemerintah menyetujui begitu saja usulan pemekaran wilayah, padahal dibalik pemekaran itu sebenarnya terselubung kepentingan partai politik. Akibatnya, pemekaran tidak banyak pengaruh bagi masyarakat. Bahkan masyarakat terbebani sehingga pemekaran tidak ada manfaatnya bagi masyarakat.*

(sa/yk)

Rabu, 02 September 2009

SBY Diminta Rampingkan Kabinet

JAKARTA–- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diharapkan dapat mengurangi personel kabinet pada pemerintahan mendatang. Perampingan kabinet bertujuan untuk efektivitas dan efisiensi kinerja kabinet untuk kepentingan rakyat.

“Saya mengusulkan nama kabinetnya adalah Kabinet Indonesia Maju,” kata peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, kepada wartawan di Jakarta, Selasa (1/9). Kabinet yang disusun SBY, usul Siti, harus didasarkan atas prinsip good governance, realisasi anggaran berbasis kinerja, profesional, kompentensi dan pakta integritas.

Menurut Siti, ada beberapa kementrian yang bisa dilebur menjadi satu dan ada juga kementerian yang bisa dihilangkan. Jika pada periode 2004-2009 terdapat 37 kementerian, Siti menyarankan, kabinet periode selanjutnya tidak lebih dari 23 kementerian.

Siti mencontohkan, Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) harus digabung. Alasannya, semangat otonomi daerah sebagai bagian dari upaya desentralisasi kekuasaan dinilai tidak jalan hingga kini. Selain itu, lanjut Siti, Indonesia memiliki masalah koordinasi antarinstansi terkait. “Untuk pelayanan publik yang lebih baik, Depdagri dan Kementerian PAN harusnya disatukan,” kata Siti.

Selain Depdagri dan Kementerian PAN, Siti juga mengharapkan adanya peleburan kementerian lain seperti Menteri Perekonomian dan Menteri Negara BUMN. Kementerian Perdagangan dan Perindustrian bahkan diminta dilebur bersama Kementerian Pariwisata. Jabatan Menteri Sekretaris Negara dan Sekretaris Kabinet juga disarankan dijabat oleh satu orang menteri.

Adapun untuk Kementerian Pemberadayaan Perempuan, saran Siti, dihapus dan dimasukkan ke dalam jajaran menteri Pendidikan Nasional. Siti menambahkan, di Departemen Pendidikan Nasional terdapat satu direktorat yang mengurusi pendidikan perempuan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan yang ada saat ini, tutur Siti, tidak berkolerasi terhadap pemberdayaan perempuan. “Perempuan Indonesia kuat lebih karena banyaknya LSM perempuan,” tambah Siti.

Siti mengakui Presiden SBY tidak bisa menghindar dari kewajiban mengakomodir kepentingan partai politik yang berkoalisi dengannya. Namun, Siti mengharapkan akomodasi partai politik tidak lebih dari sembilan menteri. Kalangan profesional harus diberi alokasi yang banyak jumlahnya dan ditempatkan pada pos-pos kementerian strategis. Keberhasilan pemerintah ke depan, tambahnya, adalah ketika bisa menyusun kabinet yang bias saling bersinergi dan berinteraksi. dri/rif