Minggu, 30 Desember 2007

Penggabungan Kembali Daerah Otonom

Publikasi YIPD Tahun VI No. 3 Oktober - Desember 2007

Oleh: Jogjo Endi Rukmo dan Eko Susi Rosdianasari

Fakta besarnya dan mahalnya biaya pemekaran yang demikian menjadikan sejumlah pakar otonomi daerah mengungkapkan wacana penolakan pemekaran daerah atau setidaknya evaluasi pemekaran daerah. Di antaranya seperti yang diungkapkan Dr. Siti Zuhro seorang peneliti pemerintahan daerah dari Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (LIPI), pemekaran sangat membebani uang negara dan apabila pembentukan daerah otonom dilepas sedemikian rupa, maka akan menyebabkan negara bangkrut. Karena pembentukan daerah otonom baru berarti harus membiayai organisasi pemerintahan di daerah tersebut dengan fasilitas perkantoran, anggaran termasuk gaji gubernur, bupati atau walikota dan wakilnya serta anggaran operasionalnya.

Selasa, 18 Desember 2007

Perempuan Harus Atasi Kendala Internal Eksternal

JAKARTA, KOMPAS - Dalam mengembangkan dirinya, perempuan Indonesia menghadapi kendala internal dan eksternal. Perempuan Indonesia harus memliki semangat tinggi untuk mengatasi dua kendala ini.

Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Siti Zuhro menyampaikan pandangan itu dalam diskusi di Dewan Perwakilan Daerah, Selasa (18/12). Tema diskusi adalah Dengan Semangat Hari Ibu ke-79 Kita Tingkatkan Persatuan, Etos Kerja, dan Produktivitas Perempuan untuk Menanggulangi Kemiskinan dan Ketertinggalan Guna Mewujudkan Rakyat Indonesia yang Sejahtera.

"Perempuan tidak ada waktu lagi untuk ngerumpi dan sirik dengan yang lain," ucap Siti Zuhro.

Siti justru mengajak semua perempuan Indonesia untuk memiliki semangat merubah kemapanan dengan banyak menimba ilmu pengetahuan. Semula oleh ibunya, dia pun hanya dikatakan cukup berpendidikan Sarjana Muda. Tapi, dia terus berupaya lebih dan akhirnya berhasil meraih gelar doktor.

"Fighting spirit, semangat untuk mendobrak kemapanan harus ada," ucapnya. Kuota 30 persen perempuan dalam pencalonan legislatif, menurutnya, di satu sisi bagus tapi di sisi lain juga bisa menunjukkan kelemahan perempuan karena seolah-olah harus selalu memohon.

Namun demikian, menurut Ida Ayu Agung Mas, DPD Bali, aksi keberpihakan pada perempuan secara politik juga diperlukan karena pada kenyataannya partai politik masih banyak didominasi perempuan.

Ida Ayu mengingatkan perjuangan RA Kartini dalam mengatasi keterperangkapan keusangan sistem penjajahan dengan menuliskan "Habis Gelap Terbitlah Terang" atau Dewi Sartika dalam "Gerakan Perempuan Sedar".

Sekjen DPD Siti Nurbaya yang juga pernah menjadi Sekjen Depfdagri mengajak perempuan Indonesia untuk bekerja keras. Saat sekolah di Belanda ada pepatah mengatakan bahwa perempuan itu harus berbuat dua kali lipat untuk diakui setengahnya oleh laki-laki.

"Artinya kita itu harus bekerja 4 kali lipat. Perempuan itu dalam berpikir memang lain tapi tidak bodoh karena perempuan harus percaya diri," paparnya. (sut)

Minggu, 09 Desember 2007

Kebebasan Pers Harus Eksplisit dalam Konstitusi

HUMANIORA
Reporter : Fardiansah Noor

BANDUNG--MEDIA:
Kebebasan pers belum secara eksplisit disebutkan dalam UUD 1945, padahal kebebasan pers sangat penting untuk mengawasi jalannya kekuasaan pemerintahan. Karena itu kebebasan pers harus diperjuangkan untuk masuk dalam UUD 1945.

Demikian diungkapkan oleh Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Sumatra Barat Irman Gusman, pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada Denny Indrayana, Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, dan dosen Ilmu Hukum Universitas Indonusa Esa Unggul Andi Irmanputra Siddin ketika berdiskusi dengan Koordinatoriat Wartawan Parlemen Indonesia di Bandung, Jawa Barat, Sabtu (8/12).

Menurut Irman Gusman, DPD berencana akan mengajukan usul amendemen UUD 1945 kelima pada 2008 secara komprehensif. Tidak hanya mengubah pasal yang terkait dengan kewenangan lembaga itu saja, tapi juga banyak poin lain yang akan diperjuangkan. Termasuk mempertegas jaminan kebebasan pers oleh konstitusi.

"Tanpa pers, tidak terbayang akan menjadi seperti apa alam demokrasi kita. Untuk itu kebebasan pers harus dijaga dan diperkuat," kata Irman.

Senada dengan Irman, Denny Indrayana menyatakan, amandemen UUD 1945 bukan untuk membuat konstitusi baru. Sehingga upaya DPD untuk menyempurnakan konstitusi harus didukung karena pembukaan, asas Pancasila, bentuk negara kesatuan, sistem pemerintahan presidensial, dan pasal 29 sebagai poin krusial tetap dipertahankan.

"Substansi yang seharusnya diperjuangkan oleh DPD adalah pembatasan kekuasaan dalam bentuk penegasan trias politika eksekutif, legislatif, dan yudikatif, ditambahkan dengan adanya Komisi Negara Independen. Selain itu juga harus mempertegas jaminan konstitusi terhadap perlindungan termasuk di dalamnya jaminan akan kebebasan pers," ungkap Denny.

Dia menambahkan, penegasan sistem Presidensial bisa dilakukan dengan penyempurnaan sistem bikameral dengan membentuk MPR yang joint session. DPD dan DPR bisa diisi oleh calon perseorangan maupun calon dari partai politik. Kemudian hanya DPR dan DPD yang memiliki kekuasaan legislatif, tapi Presiden mempunyai hak veto.

"Salah satu yang harus disempurnakan adalah jaminan konstitusi terhadap HAM dan kebebasan pers termasuk di dalamnya. Sistem seperti ini tidak bisa hanya diatur dalam UU, perlu ditegaskan dalam UUD," cetus Denny.

Sehingga, lanjutnya, dengan UUD yang sempurna negara ini tidak memerlukan banyak sekali Komisi Independen. Hanya lima Komisi Independen yang dibutuhkan, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk tata kelola pemerintahan yang baik, Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk pemilu yang demokratis, dan Komisi Yudisial (KY) untuk peradilan yang berwibawa. Selain itu ada Komisi Pers untuk pers bebas tapi bertanggung jawab dan Komisi Nasional HAM untuk menjamin terjadinya perlindungan HAM.

Sementara itu Siti Zuhro menyatakan, secara hukum penguatan kewenangan DPD tidak cukup hanya dipayungi oleh UU Susduk dan UU Pemda. Lebih penting adalah merealisasikan amendemen kelima UUD1945 secara komprehensif. "Asumsinya dengan kewenangan yang memadai akan berimplikasi positif terhadap terwujudnya efektivitas pemerintahan daerah dan meningkatnya demokratisasi lokal dan realisasi otonomi daerah," ungkap Siti.

Implikasi positif lainnya, tambahnya, adalah tegaknya sistem check and balances tidak hanya antara legislatif dan eksekutif tapi juga internal lembaga legislatif. Yaitu antara DPR dan DPD.


Andi Irmanputra Siddin menyatakan, ketika DPD ingin melakukan amendemen UUD, seharusnya pers menungganginya untuk menjadi sebagai suatu organ kekuasaan, tidak hanya untuk menjadi industri semata. Pasalnya, dalam empat kali perubahan konstitusi tidak ada penegasan terhadap jaminan kebebasan pers, yang dijamin adalah kebebasan berpendapat individu dan bukan entitas pers.

"Sayangnya pers sampai saat ini tidak menyadarinya. Akibatnya pers tidak akan bisa mengubah dirinya. Pers seharusnya menangkap ide DPD untuk melakukan perubahan konstitusi. Biar DPD menguatkan dirinya dan pers ikut serta di dalamnya," tegas Irmanputra. (Far/OL-03)

Jumat, 09 November 2007

Pemekaran Daerah Rawan Masalah



Maraknnya pemekaran daerah di tanah air, diduga adanya konspirasi


Sejak tahun 1999 banyak lahir daerah otonomi baru hasil pemekaran. Tujuannya untuk lebih mendekatkan pelayanan kepada publik. Namun ironisnya, masyarakat kurang merasakan manfaatnya.

Salah satu buah dari reformasi adalah lahirnya banyak daerah otonomi baru yang merupakan hasil pemekaran daerah. Sejak 1999 hingga Oktober 2007 lalu tercatat ada tambahan 7 provinsi, 135 kabupaten dan 31 kota. Saat ini total daerah otonom di Indonesia meliputi 33 provinsi dan 465 kab/kota. Nyaris dua kali lipat dari jumlah pemerintahan kab/kota sebelumnya.

Tujuan utama dari pemekaran dan pembentukan daerah otonomi baru memang mulia. Yakni untuk lebih mendekatkan pelayanan publik dan meningkatkan kehidupan serta kesejahteraan masyarakat setempat. Namun sayangnya, banyak daerah-daerah hasil pemekaran itu belum atau kurang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Hal ini diungkapkan Menteri Dalam Negeri Mardiyanto pada Rapat Kerja Gubernur di Surabaya (22/10). Menurutnya, banyak daerah otonomi justru memunculkan masalah. Terutama soal efektivitas dalam memberikan pelayanan pada masyarakat.

Maraknya pemekaran wilayah mendapat sorotan tajam dari pengamat politik J.Kristiadi dan Fachry Ali. Kristiadi menyebut pemekaran wilayah sudah ‘gila-gilaan’. Pemekaran sudah menjadi komoditas politik. Para politikus memperlakukan pemekaran wilayah sebagai proyek. Dia juga prihatin karena uang negara habis untuk membiayai pejabat-pejabat daerah. Padahal dana itu sangat dibutuhkan untuk membangkitkan perekonomian dan pembangunan daerah.

Sedangkan Fachry Ali menilai, banyaknya daerah yang dimekarkan hanya menguntungkan elit lokal dan memberatkan pemerintah pusat. Dari sisi finansial, anggaran pusat akan bertambah terkait dengan perlunya membangun infrasturktur di daerah pemekaran. Sedangkan dari sisi sosial, pemekaran wilayah berpotensi menimbulkan konflik, seperti sengketa batas, perebutan lokasi ibukota dan konflik politik.


Konspirasi



Dalam bahasa yang berbeda, mantan Menteri Otonomi Daerah Ryaas Rasyid menyatakan, pemekaran wilayah yang marak itu akibat konspirasi intens antara partai politik, birokrat daerah dan pengusaha. “Parpol diuntungkan karena ada DPRD baru, birokrat beruntung karena banyak jabatan baru dan pengusaha juga berkepentingan, karena akan banyak proyek pembangunan kantor dan pengadaan,” katanya seperti dikutip Media Indonesia (18/10).

Akibatnya, terjadilah usaha ‘bahu-membahu’ melalui jalur Depdagri atau DPR untuk menggolkan usul pemekaran itu. Konspirasi ini bisa juga diperkuat calon kepala daerah yang kemudian bekerja sama membiayai ongkos pengurusan melalui salah satu atau kedua jalur itu.

Peneliti senior LIPI, Siti Zuhro, menambahkan, salah satu sumber masalah gagalnya pembentukan daerah-daerah otonom adalah adanya lobi-lobi politik yang sering mengalihkan penilaian obyektif. Manipulasi data pun dilakukan demi tercapainya pemekaran daerah. “Scoring ini sering dimainkan untuk mengelabui,” kata Zuhro seperti dikutip Kompas (27/10).

Lobi-lobi ini bisa terjadi di banyak lini, mulai dari DPRD, pemerintah provinsi/kabupaten/kota, Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD), pemerintah pusat, DPR juga DPD. Berdasarkan evaluasi terhadap 98 daerah otonom baru, menurut Zuhro, ternyata sebanyak 76 daerah bermasalah.

Agar tidak terjadi lagi di masa depan, Zuhro berpendapat perlu ada sanksi pidana bagi pihak-pihak yang memanipulasi data. Sedangkan Kristiadi mengusulkan adanya moratorium pemekaran wilayah. Kalau perlu, segera dilakukan penggabungan wilayah yang dimekarkan.


Namun di mata anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Sulawesi Tengah, Ichsan Loulembah, tak seluruh daerah pemekaran mengalami kegagalan. Sebagai contoh, disebutnya Provinsi Gorontalo yang maju pesat setelah berpisah dengan Provinsi Sulawesi Utara. Begitu pula Kabupaten Parigi Moutong di Sulawesi Tengah.

Dia tak sependapat jika kegagalan pembentukan daerah otonom dibebankan seluruhnya kepada daerah. Kegagalan ini juga menjadi tanggung jawab pemerintah pusat yang punya kewajiban memberikan supervisi. “Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Presiden, juga ikut bertanggung jawab,” tegasnya.

Ke depan, dia menyarankan pemekaran daerah tidak lagi melalui tiga pintu (DPOD, DPD dan DPR) secara paralel, tetapi secara bertingkat. DPOD menganalisa dari sisi teknis, DPD menilai dari sisi hubungan pusat dan daerah. Sedangkan DPR memberi penilaian akhir.

Kajian pun tidak dilakukan secara formalistik, tapi diberikan parameter yang jelas dan terukur. Dengan demikian, bisa dilihat secara jelas, mana daerah yang layak dan mana yang tidak.Daerah yang selama ini dinilai gagal harus digabungkan kembali dengan daerah induk. Kebijakan ini perlu dilakukan agar ada reward and punishment yang jelas. Namun Ichsan tidak yakin presiden berani melakukannya karena kebijakan ini pasti akan dinilai tidak populis. SP (BI 50)

Sabtu, 27 Oktober 2007

LIPI: 85 Persen Gagal

Daerah Hasil Pemekaran Bisa Dibatalkan



JAKARTA, BANGKA POS - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melansir 85 persen daerah kabupaten/kota dan provinsi hasil pemekaran di Indonesia gagal. Maka ada usulan pemekaran dihentikan dan menggabung daerah hasil pemekaran yang gagal kembali ke daerah induk.
“Daerah kabupaten/kota dan provinsi yang dimekarkan sebanyak 173. Dan yang dilakukan kajian 98 dan diperoleh data 76 di antaranya bermasalah. Ini artinya sekitar 85 persen di antaranya hasil pemekaran gagal,” kata Peneliti Senior LIPI Siti Zuhro dalam diskusi mingguan di DPD RI, Jakarta, Jumat (26/10).

Menurut Zuhro, kajian tersebut diambil dari kesimpulan sejumlah lembaga yang memantau pemekaran seperti departemen keuangan, departemen dalam negeri, ADB (Asian Development Bank), dan UNDP (United Nation Development Program).

“Dilakukan skoring terhadap daerah hasil pemekaran dan hasilnya seperti itu. Ternyata mayoritas lembaga yang melakukan kajian soal pemekaran daerah hasilnya nyaris serupa, hasil pemekaran gagal,” jelasnya.

Ada beberapa alasan kegagalan daerah yang dimekarkan. Zuhro menyebut beberapa sejumlah masalah di antaranya sistem pelayanan publik yang belum memuaskan, sistem keuangan yang tidak baik, money politic (politik uang), dan sistem kinerja eksekutif-legislatif yang tidak padu. “Studi kelayakan kadang diabaikan dalam pemekaran daerah dan lebih diutamakan money politic,” kata dia.

Untuk itu, kata Siti Zuhro, muncul ide untuk menggabungkan kembali daerah hasil pemekaran ke dalam daerah induk. “Meski itu adalah isu sensitif karena jelas akan ada penolakan dari daerah hasil pemekaran. Tapi apa mau dipaksakan kalau daerah pemekaran ternyata gagal. Dan penggabungan itu diatur oleh undang-undang (UU) kendati hanya tersirat,” imbuhnya.

Kendati Zuhro mengatakan tidak semua daerah pemekaran gagal, namun perlunya menghentikan pemekaran untuk sementara waktu harus direalisasikan. “Usulan kami sebelum dilakukan pemekaran maka dilakukan daerah persiapan pemekaran dulu. Lima tahun waktu diperlukan untuk memantau daerah persiapan ini. Dari situ kita bisa melihat apakah daerah tersebut bisa dimekarkan atau tidak. Tidak seperti sekarang, ada euforia pemekaran dan akhirnya banyak yang gagal karena belum siap untuk dimekarkan,” jelas Zuhro.


Harus Bertanggung Jawab



Di tempat yang sama, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Ichsan Loulembah mengatakan, pemerintah pusat harusnya ikut bertanggung jawab di balik gagalnya sejumlah daerah pemekaran.
“Jangan pemerintah daerah terus yang disalahkan. Pemekaran kan keputusan pusat juga. Ada DPR dan pemerintah yang sepakati,” kata Ichsan.

Anggota DPD dari Sulawesi Tenggara ini menilai data soal 85 persen daerah hasil pemekaran gagal yang dipaparkan Siti Zuhro masih sumir. “Saya kira perlu pembuktian dan data yang akurat,” kata dia.

Menurut dia kalau daerah hasil pemekaran dikatakan gagal apa ada jaminan daerah induk berhasil lalu harus jadi panutan oleh daerah hasil pemekaran. “Saya kira kalau dikatakan ada kegagalan itu kan imbas dari pusat juga,” tegasnya.

Jadi, lanjut Ichsan, tidak ada alasan bagi pemerintah pusat untuk menghentikan pemekaran daerah. “Karena ini kan aspirasi daerah. Kami akan mendukung sejauh itu untuk kepentingan masyarakat,” ujar Ichsan. (Persda Network/aco)

Kamis, 27 September 2007

Legislasi: DPD Telah Keluarkan 113 Keputusan

JAKARTA (Suara Karya): Dewan Perwakilan Daerah (DPD) hingga kini telah mengeluarkan sebanyak 113 keputusan yang meliputi 10 usul rancangan undang -undang (RUU), 52 pandangan dan pendapat, empat pertimbangan, 30 hasil pengawasan, dan 17 pertimbangan terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Demikian disampaikan Wakil Ketua DPD Irman Gusman ketika menyerahkan keputusan Sidang Paripurna DPD tanggal 20 September 2007 kepada Ketua DPR Agung Laksono di Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (26/9). Pada 1 Oktober mendatang, DPD akan merayakan hari ulang tahunnya yang ketiga.

Menurut Irman Gusman, DPD telah melaksanakan tugas-tugas yang diamanatkan konstitusi. Semua hasil kerja tersebut disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

DPD kembali menyampaikan sebuah usul RUU tentang Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), pandangan dan pendapat tentang kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, serta pertimbangan terkait Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran (TA) 2008.

Dalam pertemuan itu, hadir dari DPD Wakil Ketua Panitia Ad Hoc (PAH) I DPD Hariyanti Syafrin, Ketua Tim Kerja (Timja) RUU Keistimewaan Yogyakarta PAH I DPD Subardi, Ketua PAH IV DPD Eka Komariah Kuncoro didampingi wakil ketua Benyamin Bura dan Ruslan Wijaya, serta Ketua Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD Muspani.

Sedangkan, dari DPR tampak Ketua Komisi VI DPR Didik J Rachbini didampingi Wakil Ketua Komisi VI Anwar Sanusi dan M Midin M Said, serta Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR FX Soekarno.

Menurut Irman, sesuai Pasal 22D UUD 1945 UUD bertugas di bidang legislasi, pertimbangan, dan pengawasan. Sesuai konstitusi, semua hasil pelaksanaan tugas DPD bermuara kepada DPR untuk ditindaklanjuti. Untuk itu, pertemuan dalam rangka menyerahkan hasil pelaksanaan tugas DPD yang ditetapkan melalui keputusan Sidang Paripurna DPD tanggal 20 September 2007.

Dalam rangka perayaan HUT-nya, Senin (1/10), DPD akan menyelenggarakan sarasehan bertema "Peningkatan Efektivitas Perjuangan Anggota DPD dalam Membela Kepentingan Daerah" yang bertempat di Plaza Gedung DPD dengan narasumber Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) Bambang PS Brodjonegoro, peneliti otonomi daerah Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) R Siti Zuhro, dan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Hukum Wilayah Barat Universitas Andalas (Unand) Saldi Isra.

Irman juga menyampaikan catatan menyangkut administrasi dalam undang-undang atau lebih spesifik legal drafting konsiderans "mengingat". Setelah mencermati dokumen salinan delapan undang-undang tentang pembentukan kabupaten/kota yang diterima DPD dari Sekretariat Negara (Setneg), konsiderans "mengingat" delapan undang-undang itu tidak mencantumkan Pasal 22D UUD 1945.

"Sebelumnya, konsiderans 17 UU tentang pemekaran daerah sama sekali juga tidak mencantumkan Pasal 22D UUD 1945," kata Irman.

Sesuai ketentuan Pasal 22D UUD 1945, Pasal 43 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD; dan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, DPD telah ikut membahas dalam proses pembentukan kedelapan undang-undang melalui mekanisme sebagaimana diatur undang-undang dan tata tertib lembaga.

"Berdasarkan ketentuan itulah, DPR berkewajiban konstitusional mencantumkan Pasal 22D UUD 1945 dalam konsiderans 'mengingat' dalam setiap undang-undang yang proses pembentukannya mengikutsertakan DPD," kata Irman.

Ia mencontohkan, UU No 1 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Empat Lawang di Provinsi Sumatera Selatan, UU 2/2007 tentang Pembentukan Kabupaten Nagekeo di Provinsi Nusa Tenggara Timur, UU 3/2007 tentang Pembentukan Kabupaten Sumba Tengan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. (Victor AS/*)

Rabu, 26 September 2007

Keterbukaan Informasi dan Reformasi Birokrasi

183002

R Siti Zuhro

Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)


Selama periode 1998-2007, tuntutan agar birokrasi Indonesia direformasi cenderung menguat. Besarnya tuntutan tersebut didorong oleh kenyataan maraknya korupsi di birokrasi yang makin terbuka. Masalah korupsi tampaknya makin sulit diatasi. Beberapa kasus korupsi besar sejauh ini belum dapat dituntaskan. Oleh karena itu, rakyat menuntut pemerintahan agar secara sungguh-sungguh mengatasi masalah korupsi di birokrasi.

Mereformasi birokrasi berarti memperbaiki kualitas birokrasi. Utamanya memperbaiki kinerja pegawai dalam melakukan pelayanan publik, mengubah perilaku pejabat agar tidak korupsi, menata jumlah pegawai negeri agar sesuai beban pekerjaan, dan mengurangi keengganan birokrat untuk lebih bersikap transparan dalam menjalankan tugas. Pengaruh partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan publik juga masih terkesan kurang signifikan, sehingga ini berdampak pula terhadap akuntabilitas dan kredibilitas pemerintah.

Demokrasitisasi di Indonesia menyaratkan direalisasikannya pemerintahan yang terbuka. Dalam konteks itu, aktivitas pemerintah dapat dimonitor dan melibatkan partisipasi masyarakat. Hak memperoleh informasi, hak menyatakan pendapat, dan hak mendapat perlindungan atas pengungkapan fakta pun seharusnya dimiliki rakyat. Masalahnya, bagaimana masyarakat mau berpartisipasi dalam kegiatan program pemerintah bila mereka tidak mendapatkan informasi yang memadai?

Dalam konteks kebijakan publik, yang diperlukan masyarakat bukan hanya hasil final suatu keputusan pemerintah, tapi yang lebih penting adalah keterlibatan mereka dalam proses pembuatannya. Pengabaian terhadap eksistensi dan partisipasi masyarakat justru bertentangan dengan tekad pemerintah era reformasi yang hendak membuat "perubahan".

Lalu, bagaimana masyarakat bisa ikut serta membantu memberantas korupsi bila kebebasan memperoleh informasi publik yang menjadi keharusan dalam sistem pemerintahan yang transparan dibatasi atau ditutup? Hak-hak politik masyarakat dibatasi, terutama partisipasinya. Belum disahkannya RUU Keterbukaan Informasi Publik (RUU KIP) adalah salah satu indikasinya.

Meskipun birokrasi Indonesia sekarang ini dapat diklasifikasikan ke dalam bureaucratic pluralism--yang relatif lebih melibatkan partisipasi masyarakat--bukan berarti ini sudah final. Akan lebih demokratis bila menguatnya masyarakat sipil (civil society) di Indonesia saat ini tidak diinterupsi oleh pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan politik warga negara.

Artinya, upaya-upaya memberdayakan mereka perlu dilakukan secara berkesinambungan dengan memberikan peluang untuk berperanserta dalam proses pembuatan kebijakan publik. Inilah esensi reformasi birokrasi. ***

Selasa, 31 Juli 2007

Penguatan Parlemen

178731

R Siti Zuhro

Peneliti LIPI


Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa ketentuan UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan hanya parpol/gabungan parpol yang dapat mengajukan pasangan calon kepala daerah bertentangan dengan UUD 1945. Disukai atau tidak, keputusan tersebut membuktikan amandemen konstitusi kita memang belum mencerminkan cita-cita kedaulatan rakyat, keadilan, kesejahteraan rakyat, dan persatuan Indonesia. Secara tersirat ini mengindikasikan pentingnya dilakukan amandemen konstitusi untuk memperbaiki sistem politik dan pemerintahan kita.

Mengingat prosesnya tak mudah dan panjang, untuk jangka pendek perhatian kita perlu diberikan kepada proses revisi UU politik yang kini dibahas DPR. UU politik perlu diarahkan untuk memperkuat dan meningkatkan efektivitas sistem pemerintahan presidensial. Ini sangat krusial karena sejarah parlemen kita kerap ditandai dengan kekisruhan politik dan rendahnya produktivitas parlemen.

Sebenarnya penataan sistem perwakilan di Indonesia sudah mulai sejalan dengan sistem pemerintahan presidensial, yakni dengan dibentuknya Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Kehadiran DPD memperlihatkan keinginan kita sebagai bangsa untuk menganut sistem parlemen bikameral ("dua kamar").

Posisi DPR yang lebih dominan daripada DPD telah membuat mekanisme checks and balances antarbagian parlemen menjadi sangat timpang. Karena itu, untuk membangun sistem parlemen "dua kamar" yang kuat, MPR tak bisa lagi dipertahankan sebagai lembaga tersendiri yang seolah-olah terpisah. Selain itu, DPD juga perlu diberi fungsi legislasi agar hak dan kewajibannya tidak terlalu jauh dengan hak dan kewajiban DPR. Paling tidak, DPD diberi fungsi dan hak legislasi dalam hal-hal menyangkut hubungan pusat-daerah, persoalan otonomi daerah, pengawasan, dan anggaran daerah.

Ada tiga alasan mengapa pemberlakuan sistem parlemen bikameral menjadi penting. Pertama, ini merupakan konsekuensi logis pemurnian sistem pemerintahan presidensial hasil amandemen konstitusi. Kedua, merupakan bagian penegasan dan pelembagaan mekanisme checks and balances antara lembaga eksekutif dan legislatif di satu pihak, dan antara bagian-bagian parlemen sendiri. Ketiga, sebagai upaya penguatan lembaga legislatif agar kinerjanya lebih efektif.

Selain itu, peningkatan kapasitas lembaga dan kualitas anggota parlemen juga mutlak diupayakan guna menegaskan rasionalitas demokrasi dan keteraturan pemerintahan. Selama ini sering dijumpai kekritisan DPR yang lebih memperlihatkan nuansa kepentingan politik sempit dan berjangka pendek. Tidak jarang permainan politik mereka merupakan cara yang biasa dijumpai dalam sistem parlementer yang perdana menterinya dapat dijatuhkan parlemen karena perbedaan kebijakan dengan mayoritas anggota parlemen.

Karena itu, susunan dan kedudukan DPR perlu pula ditata kembali guna mendukung kemurnian dan efektivitas sistem presidensial serta demi kestabilan dan kelancaran agenda pemerintahan. ***

Kamis, 12 Juli 2007

Otonomi Daerah, DPD, dan Gubernur

177382

R Siti Zuhro

Peneliti LIPI


Tujuh tahun sudah kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah diterapkan di Indonesia. Selama periode 2001-2007, dua UU Pemerintahan Daerah telah dilaksanakan, yaitu UU Nomor 22/1999 dan UU Nomor 32/2004.

Tujuan desentralisasi dan otonomi daerah adalah memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat dan untuk menyejahterakan rakyat. Namun realisasi desentralisasi dan otonomi daerah (otda) belum substansial.

Sebaliknya, daerah-daerah masih berjuang memperoleh hak otonomi melalui jaminan UU Pemerintahan Daerah yang acap dinilai belum fair. Tuntutan untuk mendapatkan otonomi khusus bagi daerah-daerah kaya sumber daya alam seperti Kalimantan dan Riau, juga daerah pariwisata seperti Bali, adalah salah satu bukti konkret.

Realisasi desentralisasi dan otonomi daerah perlu didorong. Terbentuknya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dimaksudkan untuk itu. Sayangnya, sebagai representasi daerah, DPD masih menghadapi masalah internal yang tak kunjung tuntas karena payung hukumnya belum diamandemen.

Masalahnya, bagaimana mungkin DPD menjalankan tugas bila kewenangan mereka sangat cekak? Jawaban apa yang harus disampaikan kepada daerah bila pertanyaan-pertanyaan muncul berkaitan dengan aspirasi daerah, sementara DPD sendiri tidak memiliki power. Sangat mustahil DPD melakukan tugas melampaui kewenangan yang hanya sebagai "tukang pos". Adakah kewenangan legislasi dan pengawasan yang diberikan secara signifikan? Patutkah DPD dibentuk hanya sebagai ornamen politik?

Pertanyaan dan pemikiran tersebut berkecamuk dalam diri DPD. Dari sini rationale amandemen konstitusi bisa dipahami. Karena itu, amandemen konstitusi sangat relevan, khususnya bila dikaitkan dengan desentralisasi dan otda.

Dukungan jajaran gubernur pada 4 Juni 2007 menegaskan arti penting peran DPD sebagai lembaga legislatif nonpartisan yang semestinya mampu memperjuangan kemajuan ekonomi daerah. Sinergi antara gubernur dan DPD akan memperkokoh suara daerah dan memberikan legitimasi kepada DPD untuk mendapatkan peran seimbang dengan DPR, khususnya dalam bidang kewenangan legislasi otda.

Pelajaran berharga dari tuntutan amandemen konstitusi saat ini adalah agar ke depan pembentukan lembaga tinggi negara mempertimbangkan aspek teori, rasionalitas politik atau logika dan empirik, agar penataan lembaga negara lebih baik. Jangan ada lagi pembentukan lembaga yang menafikan kewajiban krusial karena hanya akan menguras dan menghambur-hamburkan uang negara tanpa memberikan manfaat berarti bagi rakyat.

Amandemen konstitusi secara komprehensif perlu dilakukan untuk menghindari krisis konstitusi yang berkepanjangan. Bila partai politik tidak merespons isu ini, maka rakyatlah yang harus mendesak secara terus-menerus, baik melalui gubernur, bupati/walikota, LSM, pers, mahasiswa maupun intelektual dan profesional. ***

Kamis, 21 Juni 2007

DPR Terlalu Overacting Menggunakan Hak Interpelasi

PARLE - Penggunaan hak interpelasi DPR RI bukan lagi sebuah pekerjaan yang perlu diacungi jempol. Interpelasi memang hak DPR untuk menanyakan suatu masalah kepada pemerintah. Aturannya pun sudah jelas, dibuat oleh pemerintah dan DPR.

Tetapi penggunaan hak interpelasi yang dilakukan DPR RI pekan lalu sangat mencengangkan. Ketika Dewan ingin menanyakan mengapa pemerintah ikut meResolusi Dewan Keamanan PBB yang melarang Iran mengembangkan proyek nuklirnya, DPR RI seolah-olah terkesan memaksakan kehendak agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) harus hadir.
Sikap DPR itu mengingatkan kembali kata-kata mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahwa DPR RI sekarang persis seperti “anak TK” (maksudnya, Taman Kanak-kanak, red.). Mengapa begitu ngotot ketika Presiden SBY tak hadir, padahal pemerintah telah mengutus delapan menterinya untuk menjawab pertanyaan Dewan?

Apa tanggapan publik terhadap sikap DPR RI itu, berikut wawancara Nuryaman dari PARLE dengan Dr. R. Siti Zuhro, M.A., peneliti utama bidang politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Berikut petikannya.


Lakon penggunaan hak interpelasi DPR RI terhadap pemerintah tentang Resolusi DK-PBB terhadap Iran banyak yang menganggap telah kebablasan. Menurut anda?

Saya melihat semangat DPR itu bukan mendudukkan permasalahan pada proporsinya, tetapi bagaimana menunjukkan kelemahan lembaga eksekutif. Memang tugas lembaga legislatif mengawasi dan memonitor kinerja pemerintah, tetapi bukan berarti harus menunjukkan kedigdayaannya terhadap eksekutif.

Kedua lembaga itu mestinya bersinergi, bukan malah saling mensubordinasi dalam arti mengebawahkan yang lain. Sikap seperti itu tak akan membawa bangsa ini menjadi maju. Bersinergi diperlukan karena bagaimanapun kinerja pemerintah juga memerlukan monitoring atau pengawasan dari DPR RI.

Persoalan ini ke depan perlu diperbaiki, bagaimana mencitrakan lembaga legislatif agar tidak lagi seperti ungkapan mantan Presiden Gus Dur seperti “anak TK”. Mereka harus bisa memosisikan diri sebagai lembaga yang merepresentasikan rakyat dan memiliki power yang digunakan proposional untuk mengimbangi kekuasaan eksekutif.


Jadi anda sendiri tidak simpatik dengan sikap DPR itu?

Betul. Karena DPR telah melampaui porsinya melalaui kewenangannya. Kalau pun seandainya ada satu pasal atau fatsoen yang mengharuskan presiden hadir dan ketidakhadiran itu bisa didapatkan pinalti pantas mereka seperti itu. Tetapi dalam ketatanegaraan kita tidak fatsoen apa pun yang menyatakan presiden harus hadir.

Memaksakan kehendak justru menunjukkan ketidakdewasaan mereka. Kesannya ada sesuatu yang dilatarbelakangi tujuan yang tidak murni interpelasi. Menteri yang datang sangat representatif dan itu dianggap tidak representatif karena presiden tidak ada. Itu dari sisi perspektif yang saya lihat kinerja dari lembaga legislatif.


Kekisruhan itu katanya hanya sebuah manuver anggota DPR yang sengaja ingin menciderai kewibawaan dan menggoyahkan presiden. Anda sependapat dengan wacana seperti ini?

Ini politik, tidak tertutup kemungkinan arahnya ke sana . Karena siapa yang bisa mengendalikan interupsi yang bertubi-tubi yang dilakukan anggota DPR. Tanpa presiden hadir kita bisa menyaksikan bagaimana semangat anggota DPR menginterupsi. Apalagi kalau presiden datang bisa jadi semangat mereka menjadi liar keluar dari substansi interpelasi.

Masalahnya ya itu tadi, rasionalitas politik kita belum menjadi sesuatu yang menyatu di hati wakil rakyat; sedangkan rasionalitas politik menyangkut satu kedewasaan kita berpolitik. Kedewasan itu tidak memaksakan, tetapi juga harus menghormati dan menghargai orang lain.


Kalau begitu apa tujuan DPR sebenarnya?

Saya melihat ini akumulasi dari sebagian anggota dewan yang kecewa melihat kinerja pemerintah yang dinilai tidak maksimal. Sudah tahun kedua seperti ini tidak menghasilkan sesuatu yang konkret. Paling tidak mestinya kemiskinan dan pengangguran sudah harus berkurang. Dari segi politik saya melihat memang sudah cukup, tetapi dari segi penegakan hukum masih sangat lamban.

Mungkin dari sisi itu akumulasi tadi terjadi sehingga kesempatan dicari-cari oleh anggota DPR. Ini politik, dan politik itu seni mencari kesempatan dalam kesempitan. Kalau kesempatan ada semua kekecewaan tadi akan dikeluarkan. Karena itu siapa yang bisa menjamin kalau presiden datang suasana akan bisa menjadi aman. Bisa jadi mungkin akan terjadi sebaliknya.


Hak interpelasi ini kabarnya akan terus-menerus digunakan DPR. Rencananya masalah PT Lapindo Brantas pemerintah akan interpelasi lagi. Bagaimana jadinya perpolitikan kita ke depan kalau terus terjadi seperti itu?

Ini menunjukkan secara jelas bahwa sistem perpolitikan kita belum matang. Transisi kita masih dalam satu tahapan, yakni menuju transisi yang sangat pelik. Tidak sulit dari sisi demokrasi karena pembagian kekuasaan check and balance tidak berjalan sesuai rasionalitas politik.

Ketika check and balance yang menjadi penopang sistem presidensial tidak jalan, saya melihat Indonesia akan mendapatkan banyak kendala ke depan, termasuk pembangunan akan terhambat. Kita tidak lagi konsentrasi bagaimana membangun bangsa dan negara seperti menuntaskan kemiskinan, hal-hal yang sangat substansial menjadi terabaikan.


Dari aspek konstitusi ketidahadiran presiden dalam sidang interpelasi menurut anda bagaimana?

Saya pikir kalau tata tertibnya tidak mengharuskan presiden hadir tidak apa-apa dan itu dilakukan oleh dua presiden sebelumnya. Menurut saya kita ini masih punya pekerjaan rumah yang sangat besar membangun komunikasi politik. Bagaimana komunikasi politik terbangun supaya ada kedewasaan tadi. Kedewasaan akan tumbuh ketika kita membiasakan dengan komunikasi politik, tetapi bukan menjual jargon.

Maksud saya komunikasi antara pemimpin dan yang dipimpin. Satu sisi presiden harus memperbaiki komunikasi politiknya, di sisi lain DPR juga harus memperbaiki bagaimana institusinya menjadi institusi yang profesional dan dewasa. Bukan hanya sekadar mem-blow up isu, kemudian menjatuhkan presiden. Meskipun tidak menjatuhkan tapi mempermalukan juga tidak bagus.


Berarti DPR kita sekarang tidak bisa memberikan pendidikan politik yang baik kepada rakyat?

Persis. DPR itu sudah lama tak pernah memberikan pendidikan politik yang baik kepada rakyat. Begitu juga kekecewaan masyarakat tidak pernah diakomodasi dengan baik. Mereka itu hanya mewakili diri sendiri, kelompoknya, dan partainya.

Tetapi meskipun mengecewakan, lembaga parlemen dan partai politik sebagai pilar demokrasi tetap harus ada. Kita masih berharap kepada kedua lembaga itu dibenahi agar bisa membangun sistem kepartaian yang bagus. Sekarang memang masa-masa sulit untuk Indonesia dalam membangun demokrasi karena demokrasi yang substansial juga dicerminkan oleh dua pilar tadi, yakni parlemen dan partai politik.

■NURYAMAN

Rabu, 20 Juni 2007

Pilkada DKI di Antara Dua Pilihan

175620
R Siti Zuhro

Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)


Genderang "perang" Pilkada DKI sudah dipukul. Dua pasangan calon gubernur (cagub) dan wakil gubernur (cawagub)--Fauzi Bowo-Prijanto dan Adang Daradjatun-Dani Anwar--akan bertarung 8 Agustus mendatang.

Berbeda dengan di Aceh, Pilkada DKI hampir dipastikan tak memberikan kesempatan kepada calon independen, meski desakan akan perlunya calon independen di DKI memang terus menguat. Desakan muncul setelah partai politik (parpol) dinilai lebih memperlihatkan dirinya sebagai kendaraan politik atau "broker politik", ketimbang sebagai sarana rekruitmen pemimpin yang dibutuhkan rakyat.

Jabatan politik di pemerintahan yang seharusnya menjadi haknya kader-kader terbaik parpol dikesampingkan, dan lebih memberikan tempat kepada mereka yang tak memiliki "keringat" dalam pembangunan parpol. Dalam hal ini sejumlah lembaga survei telah memerankan dirinya sebagai "dealer politik" yang menentukan ketokohan seseorang.

Untuk kota sebesar Jakarta, munculnya dua calon pasangan memang sulit dipahami secara nalar. Sebab, Jakarta itu pusat bermukimnya elite nasional. Karena itu, wajar bila parpol-parpol di Jakarta disebut gagal melakukan rekruitmen cagub dan cawagub yang transparan, aspiratif dan bebas dari politik uang.

Munculnya keinginan mendorong adanya calon independen bukan sekadar alasan "demokrasi", tetapi sebagai upaya pembelajaran agar parpol dapat membangun sistem dan kinerja partai secara baik. Parpol dituntut melakukan rekruitmen dan transformasi kepemimpinan dengan baik.

Akibat kegagalan parpol dalam menjalankan fungsinya itu, di banyak daerah "golput" atau pemilih yang tak ingin memberikan suara mereka menjadi sarana perlawanan yang efektif atas hegemoni atau oligarki dan arogansi parpol. Di DKI Jakarta yang sangat heterogen ini jumlah "golput" dalam pilkada diperkirakan mencapai lebih dari 45 persen.

Lepas dari masalah muncul tidaknya calon independen, kini sepertinya tak ada pilihan lain bagi masyarakat DKI kecuali memilih satu di antara dua calon pasangan cagub-cawagub yang ada. Maka, siapa pun yang akan terpilih, mereka harus dapat menepis kesangsian masyarakat akan kualitas kepemimpinan mereka untuk membangun Jakarta.

Berbagai persoalan menanti untuk dapat diselesaikan, mulai dari masalah pelayanan publik, pemberantasan korupsi, transportasi, sampah, permukiman kumuh, banjir, kemacetan, sampai masalah keamanan. Meski tak semua persoalan tersebut diyakini akan dapat diselesaikan dalam satu periode, setidaknya gubernur yang akan datang harus mampu membuat program-program pembaruan yang sifatnya partisipatif dan sustainable.

Lebih penting dari itu, pelaksanaan program harus jujur, adil, transparan, dan akuntabel. Akuntabilitas merupakan masalah krusial dalam penyelenggaraan pemerintahan, yang selama ini absen dan menyebabkan lemahnya kredibilitas kepala daerah di mata publik. ***

Selasa, 12 Juni 2007

Menyegarkan Otonomi Daerah

Perjalanan otonomi daerah di Indonesia telah memasuki tahun ketujuh. Selama periode tersebut (2001-2007) lahir dua undang-undang tentang pemerintahan daerah, yaitu UU 22/1999 dan UU 32/2004. Pertanyaannya, apakah hasil yang sudah dicapai setelah tujuh tahun tersebut? Bila tujuan desentralisasi dan otonomi daerah adalah untuk memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat dan untuk menyejahterakan masyarakat, maka realisasi dari desentralisasi dan otonomi daerah (otda) belum substansial. Sebagian besar daerah belum mampu mewujudkan secara konkret dua tujuan tersebut.

Sebagai contoh, hanya beberapa kabupaten/kota tertentu yang mampu memberikan pelayanan prima kepada masyarakat seperti Kabupaten Jembrana yang relatif sukses dalam memberikan pelayanan publik di bidang pendidikan dan kesehatan. Selain itu, Kabupaten Sragen, Kota Blitar, Kota Solok, dan Kota Tarakan, juga mampu menerobos kebekuan birokrasi dan menciptakan pelayanan publik yang relatif memuaskan, sehingga transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat relatif eksis di beberapa kota tersebut. Sedangkan daerah yang tercatat relatif mampu menaikkan tingkat kesejahteraan masyarakat, antara lain Provinsi Gorontalo.

Dalam realitanya daerah-daerah sedang berjuang untuk mendapatkan otonominya melalui jaminan UU Pemerintahan Daerah, yang sejauh ini dinilai belum fair. Tuntutan daerah tersebut antara lain dapat dilihat dari keinginan daerah-daerah kaya sumber daya alam seperti Kalimantan dan Riau, dan daerah pariwisata seperti Bali untuk mendapatkan otonomi khusus. Ini adalah salah satu bukti konkret yang tentunya tidak bisa diabaikan begitu saja.

Ditetapkannya UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah juga belum memberikan kepastian yang mantap bagi daerah karena UU ini dinilai belum dilengkapi dengan PP yang menjadi petunjuk teknis. Masa transisi dari UU 22/1999 ke UU 32/2004 menimbulkan kegalauan tersendiri bagi daerah. Meskipun UU 32/2004 ditetapkan sejak 2004, hanya pasal mengenai pilkada yang relatif lengkap PP-nya. Sementara itu, pasal-pasal yang memerlukan rujukan teknis, seperti pasal mengenai wewenang dan urusan, belum selesai petunjuk teknisnya (PP) sampai sekarang. Lebih dari itu, beberapa pasal dalam UU 32/2004 juga dianggap kurang merespons dan tidak akomodatif dengan perkembangan demokrasi lokal.

Untuk itu, realisasi desentralisasi dan otonomi daerah perlu didorong. Pertama, merevisi beberapa pasal dalam UU 32/2004, khususnya yang berkaitan dengan wewenang dan urusan. Juga pasal mengenai DPRD perlu direvisi agar institusi ini lebih profesional sebagai lembaga legislatif daerah. Selain itu juga memisahkan UU Pemerintahan Daerah dengan pilkada, dan membenah pasal mengenai pemekaran dan penyatuan daerah. Kedua, selain peran Depdagri serta provinsi dan kabupaten/kota dalam menyukseskan desentralisasi dan otonomi daerah, DPD sebagai representasi daerah yang dipilih langsung oleh rakyat juga sangat penting.

Peran terbatas DPD



Meskipun hadirnya DPD dalam tatanan politik Indonesia relatif baru, lembaga ini pada dasarnya memiliki tugas yang sangat penting dalam memajukan perekonomian daerah. Terbentuknya DPD tak lain dimaksudkan untuk menunjang laju realisasi desentralisasi dan otonomi daerah. Sayang, sebagai representasi daerah, DPD masih menghadapi masalah internal yang tak kunjung tuntas karena payung hukumnya belum diamandemen.

Pasal 22 D UUD 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa (1) DPD dapat mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah dan lain-lain yang berkaitan dengan daerah. (2) DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah dan hal lain yang berkaitan dengan daerah. (3) DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah dan materi yang berkaitan dengan daerah.

Dengan mempertimbangkan pasal 22 D UUD 1945 tersebut, bagaimana mungkin DPD menjalankan tugasnya bila kewenangannya sangat cekak? Jawaban apa yang harus disampaikan oleh DPD kepada daerah bila pertanyaan-pertanyaan muncul berkaitan dengan aspirasi daerah, sementara DPD sendiri tidak memiliki power? Dengan kata lain, sangat mustahil DPD melakukan tugasnya melampaui kewenangannya yang hanya sebagai 'tukang pos'. Adakah kewenangan legislasi dan pengawasan yang diberikan secara signifikan? Patut kah DPD dibentuk hanya sebagai ornamen politik? Pertanyaan dan pemikiran tersebut tampaknya berkecamuk dalam diri DPD. Dari sini logika amandemen Konstitusi bisa dipahami. Oleh karenanya, amandemen Konstitusi sangat relevan, khususnya bila dikaitkan dengan akselerasi desentralisasi dan otonomi daerah.


Dukungan gubernur



Gubernur sebagai kepala daerah provinsi memiliki peran yang sangat vital dalam realisasi otonomi daerah. Lebih-lebih UU 32/2004 sekarang ini cenderung menempatkan gubernur tidak hanya sebagai koordinator wilayah, tapi juga mempunyai kewajiban untuk membina dan mengawasi kabupaten/kota di wilayahnya.

Dukungan para gubernur pada 4 Juni 2007 menegaskan dengan jelas arti pentingnya peran DPD sebagai lembaga legislatif nonpartisan yang semestinya mampu memperjuangan kemajuan ekonomi daerah. Di satu sisi, dukungan DPD terhadap otonomi daerah sangat diperlukan para gubernur. Di sisi lain, sinergi antara gubernur dan DPD akan memperkokoh suara daerah dan memberikan legitimasi kepada DPD untuk mendapatkan peran yang seimbang dengan DPR, khususnya dalam bidang kewenangan legislasi otonomi daerah.

DPD memiliki tugas dan peran yang berbeda dengan DPR. Fungsi dan kewajiban DPD dan DPR mestinya tidak tumpang tindih. Oleh karena itu, area atau bidang garapannya pun memiliki spesifikasi masing-masing. Yang perlu ditumbuhkan adalah, kedua lembaga tinggi negara tersebut bisa bersinergi dan saling melengkapi untuk mewujudkan kemajuan Indonesia.

Secara politik, dukungan para gubernur untuk mengamandemen pasal 22D UUD 1945 memberi dampak yang signifikan. Karena, bila sebagian besar gubernur tersebut terpilih melalui pilkada langsung, maka hal itu juga dapat diterjemahkan sebagai dukungan rakyat Indonesia terhadap amandemen tersebut.

Pelajaran berharga dari tuntutan amandemen Konstitusi saat ini adalah agar ke depan pembentukan lembaga tinggi negara mempertimbangkan aspek teori, rasionalitas politik, dan empirik, agar penataannya lebih baik. Jangan ada lagi pembentukan lembaga tinggi negara yang menafikan kewajiban krusialnya. Secara umum, amandemen Konstitusi yang komprehensif perlu dilakukan untuk menghindari krisis konstitusi yang berkepanjangan.

Penguatan peran DPD melalui peningkatan kewenangan yang dijamin konstitusi juga sepatutnya didukung. Bila partai politik tidak merespons isu tersebut, maka rakyatlah yang harus mendesakkan secara terus menerus baik melalui para gubernur, bupati/wali kota, LSM, pers, mahasiswa, maupun intelektual dan profesional.


R Siti Zuhro
Peneliti Utama LIPI dan The Habibie Center

Republika

Kamis, 07 Juni 2007

Budaya Politik dan Demokratisasi

174715

R Siti Zuhro

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)


Budaya politik memiliki pengaruh penting dalam perkembangan demokrasi. Demokratisasi tidak berjalan baik bila tidak ditunjang oleh budaya politik yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.

Dalam merespons tuntutan perubahan, muncul dua sikap yang secara diametral bertentangan: "mendukung" dan "menentang" demokrasi. Realisasi demokratisasi dihadapkan pada kedua kutub yang saling bertentangan itu.

Budaya politik terekspresi melalui orientasi, pandangan dan sikap individu terhadap sistem politiknya. Budaya politik demokratis adalah suatu kumpulan sistem keyakinan, sikap, norma, dan persepsi yang menopang terwujudnya partisipasi. Budaya politik yang demokratis merupakan budaya politik yang partisipatif, yang oleh Almond dan Verba diterjemahkan sebagai civic culture. Karena itu, hubungan antara budaya politik dengan demokrasi (demokratisasi) dalam konteks civic culture tidak dapat dipisahkan.

Fenomena demokrasi yang berkembang dalam suatu masyarakat tidak hanya dapat dilihat dari interaksi individu dengan sistem politiknya, tetapi juga interaksi individu dalam konteks kelompok atau golongan dengan kelompok dan golongan sosial lain. Budaya politik dapat dilihat manifestasinya dalam hubungan antara masyarakat dan struktur politiknya, serta dalam hubungan antarkelompok dan golongan dalam masyarakat.

Dalam konteks Indonesia, yang dihadapi tidak hanya kemajemukan etnik dan daerah, tetapi juga "subbudaya etnik dan daerah" yang majemuk pula. Keanekaragaman tersebut akan membawa pengaruh terhadap budaya politik bangsa. Dalam interaksi antar-subbudaya politik ada kemungkinan terjadinya jarak tidak hanya antarbudaya politik daerah dan etnik, tetapi juga antarbudaya politik tingkat nasional dan daerah. Jika pada tingkat nasional yang tampak lebih menonjol itu pandangan dan sikap antar-subbudaya politik yang saling berinteraksi, maka di tingkat daerah yang masih berkembang adalah "subbudaya politik" yang lebih kuat dalam arti primordial.

Berfungsinya budaya politik pada prinsipnya ditentukan oleh tingkat keserasian antara kebudayaan bangsa dengan struktur politiknya. Dengan demikian, semakin serasi budaya suatu bangsa dengan struktur politiknya, maka semakin matang pula budaya politik dalam masyarakatnya.

Dalam demokrasi, hak untuk berpartisipasi dalam politik diperluas, penghargaan terhadap orang lain eksis, jaminan institusional yang mengizinkan kritik atau oposisi cukup kuat. Pada saat yang sama, terjadi pula fragmentasi kekuatan-kekuatan sosial dalam masyarakat. Pelaksanaan demokrasi perlu didukung penuh oleh semua elemen kekuatan bangsa dengan mewujudkan rasa damai, sistem dialog, serta menghindari penggunaan kekerasan, paksaan, dan tembakan. ***

Jumat, 11 Mei 2007

Waspadai “Bola Liar” Amendemen UUD’45

Jakarta – Semua elemen bangsa harus mewaspadai munculnya bola liar dalam amendemen UUD’45 yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Meski DPD hanya menginginkan perubahan yang terkait dengan kewenangannya tidak tertutup kemungkinan gerilya politik untuk pasal lain juga dapat dilakukan di tengah jalan.
Hal tersebut dikemukakan pengamat politik Indo Barometer, Muhammad Qodari, dalam acara diskusi dengan tema “Di Balik Penarikan Dukungan Amendemen” di gedung DPD, di Jakarta, Jumat (11/5).
Diskusi itu juga dihadiri pakar hukum tata negara Universitas Indonesia Yusril Ihza Mahendra dan pengamat otonomi daerah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro.
“Usulan amendemen ini bukan saja bisa menjadi bola liar tetapi juga bisa menjadi bola salju. Gerilya politik bisa terjadi dikemudian hari.Hanya sekarang itu belum kelihatan,” kata Qodari.
Untuk itu, ia mengusulkan supaya amendemen tersebut sebaiknya dilakukan setelah pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2009. Ini juga diperlukan untuk menjaga kestabilan negara mengingat menjelang Pemilu tensi politik akan memanas.
Sementara itu, Yusril mengatakan apabila DPD dapat meyakinkan bahwa amendemen hanya akan dilakukan untuk pasal tertentu, pelaksanaan amendemen bisa dilakukan sebelum 2009. Namun, ia keberatan jika ke depan amendemen hanya dilakukan terhadap pasal-pasal yang terkait dengan DPD. Ia mengharapkan amendemen harus dilakukan secara meluas untuk mendapatkan kualitas UUD yang sesuai dengan kepentingan negara
Di bagian lain, Pimpinan DPD, Bambang Soeroso, menilai surat penarikan dukungan dilakukannya amendemen UUD oleh Ketua Fraksi Partai Demokrat (FPD) Syarif Hassan kepada pimpinan DPD salah alamat. Alasannya, tanda tangan dukungan amendemen dilakukan oleh anggota MPR sehingga jika ada penarikan dukungan, harus dilakukan oleh anggota bersangkutan dan ditujukan kepada pimpinan MPR.
Apa yang dilakukan Syarif Hassan untuk menarik dukungan sah-sah saja tetapi kurang pas dengan mekanisme yang seharusnya. Namun, DPD tidak kecewa dengan perubahan sikap Partai Demokrat yang sangat cepat tersebut.
“Kita hanya bisa kaget dan terkejut saja. Wong, tinta tanda tangannya saja belum kering, tiba-tiba sudah berubah haluan. Kok, bisa ya begitu?” kata Bambang Soeroso. Syarif Hassan mengirim surat Nomor FPD. 748/DPR-RI/2007 tertanggal 9 Mei 2007 perihal penarikan dukungan amendemen oleh 23 anggota Partai Demokrat.
Karena dinilai salah alamat, DPD mengembalikan surat tersebut melalui surat Nomor DN.190/4/ DPD/V/2007 sehari kemudian. Hal itu dilakukan sesuai dengan Pasal 78 Peraturan Tata Tertib MPR bahwa usul perubahan UUD 1945 diajukan kepada Pimpinan Majelis dan Pimpinan Majelis akan menilai persyaratan untuk Perubahan UUD 1945.

Menanggapi hal itu, Syarif Hassan mengatakan akan segera membenarkan mekanisme pengiriman surat tersebut siang ini juga. Ia menjelaskan penarikan dukungan oleh partainya setelah melihat peta pendapat di internal FPD, yakni 23 menyatakan mendukung amendemen sementara 37 menyatakan menolak. “Benar, dukungan disampaikan oleh anggota MPR, tetapi karena kita satu-kesatuan, harus ada kesamaan pendapat,” jelasnya.
Perubahan sikap Partai Demokrat sudah disampaikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selaku Ketua Den Pembina Partai Demokrat. Susilo Bambang Yudhoyono, menurut Syarif Hassan, telah menginstruksikan kepada fraksi untuk mengkaji kembali sikap terhadap usul amendemen tersebut paling lambat dalam dua minggu ke depan. Pertemuan pimpinan FPD dengan Presiden berlangsung, Kamis (10/5) petang di Istana Negara.
“Apa sikap Partai Demokrat nanti bisa lebih jelas setelah dua minggu dari kemarin sore itu,” tambah Syarif Hassan. Ia yakin penarikan dukungan, untuk sementara, terhadap usul amendemen UUD tersebut tak mempengaruhi citra partai di mata masyarakat.
DPD sendiri tak surut semangat karena sikap Demokrat. Malah, pagi ini sejumlah tanda tangan dukungan bermunculan. “Kami tetap melampaui batas jumlah minimal pengusul sekalipun 23 anggota Partai Demokrat dan satu dari Partai Pelopor menarik dukungan,” kata Bambang Soeroso.

Dipertanyakan


Sementara itu, penarikan dukungan Partai Demokrat yang mementahkan keinginan amendemen terhadap UUD 1945 dinilai mengecewakan. Penarikan dukungan tersebut dinilai karena adanya kekhawatiran partai utama pendukung Presiden Yudhoyono itu bahwa agenda amendemen akan mengganggu agenda Presiden. Sebenarnya agenda amendemen adalah untuk mempertegas kewenangan kelembagaan presiden. Partai Demokrat dinilai tak mengetahui hal ini secara komprehensif.
“Tapi dia (Presiden Yudhoyono-red) justru ‘terpenjara’ pasal UUD, karena ketidakjelasan dalam konstitusi tentang proses pemilihan menteri dan tindakan reshuffle dari kabinet yang dia pimpin. Penarikan kembali dukungan suara Partai Demokrat sangat disayangkan dan mengecewakan,” tutur Ketua KRHN (Konsorsium Reformasi Hukum Nasional) Firmansyah Arifin di kantornya, Kamis (10/5).
Firman menjelaskan agenda amendemen yang pernah diangkat ke forum MPR yang pada 8 Mei 2007 dan memenuhi jumlah suara 226 anggota MPR (quorum) kini menjadi “mentah” karena adanya penarikan dukungan dari 23 anggota Fraksi PD itu. Beberapa persoalan sudah ada misalnya mulai dari pengukuhan MPR terhadap Presiden yang memperlihatkan sistem presidensil, namun dalam UUD terlihat campur aduk dengan sistem parlementer.
“Presiden yang terpilih oleh rakyat juga diharuskan konsultasi dengan partai yang memilih kabinet, padahal dalam sistem presidensial yang murni dipilih rakyat tak harus melakukan itu,” ujar Firmansyah.
Di kesempatan sama, Rahmat Bagja, Kadiv Konstitusi KRHN, juga mengungkapkan perlunya penegasan tentang posisi MPR sebagai lembaga permanen yang dalam konsepsi UUD kurang ditegaskan, walau telah dijelaskan UU Susduk sebagai lembaga permanen. “Menurut saya tidak perlu lagi, karena terbentuknya MPR adalah dari DPR dan DPP. MPR bukan lembaga permanen,” ujar Rahmat.
Selain itu, adanya jaminan konstitusional komprehensif untuk suatu mekanisme komplain dalam komisi konstitusi sebagai cerminan dari negara demokrasi. Amendemen UUD 1945 juga tidak bisa dilakukan secara parsial namun harus dilakukan secara komprehensif menyangkut kejelasan posisi dan hubungan (check and balances) Kelembagaan Negara, Kejelasan Sistem Pemerintahan, Kekuasaan Legislatif, Kekuasaan Kehakiman dan diproses sebelum Pemilu 2009.
(tutut herlina/inno jemabut/sihar ramses simatupang)

Jumat, 04 Mei 2007

Reshuffle Kabinet: So What?

172301

R Siti Zuhro

Pengamat politik


Sebersit harapan kembali mencuat. Presiden SBY telah menegaskan segera me-reshuffle sejumlah menteri.

Setahun belakangan ini memang muncul sejumlah masalah yang mengecewakan masyarakat. Masalah yang tergolong aktual, antara lain, kenaikan harga beras, dukungan Indonesia atas resolusi DK PBB tentang nuklir Iran, dan kecelakaan kereta api. Kekecewaan tersebut terakumulasi dan mendorong Presiden SBY merasa perlu melakukan reshuffle kabinet.

Menyusul pernyataan SBY, kini isu di kalangan elite politik dan profesional bergeser: siapa akan mendapat apa, dan apakah menteri baru nanti berasal dari kalangan politisi atau profesional?

Bagi rakyat kecil, itu tidak begitu dipikirkan. Sebagai rakyat kecil, yang dirisaukan apakah reshuffle kabinet akan berhenti pada penggantian menteri saja atau akan ada perubahan kebijakan?

Yang mereka harapkan, reshuffle kabinet kali ini dapat mengubah perilaku korup birokrat pelaksana. Birokrat korup ada di kelurahan, kecamatan, sekolah, rumah sakit, terminal bus, pelabuhan, kantor catatan sipil, sampai ke polsek.

Hingga kini, kinerja dan perilaku buruk birokrat belum banyak berubah. Ekonomi dan birokrasi biaya tinggi masih terus dikeluhkan masyarakat, termasuk di Jakarta yang PNS-nya telah memperoleh insentif tinggi dari Gubernur Sutiyoso.

Biaya pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB) dan surat izin mengemudi (SIM) di Jakarta, misalnya, jauh dari harga standar yang ditetapkan. Demikian juga dengan masalah perizinan transportasi umum.

Adanya resistensi kuat birokrat pelaksana untuk tetap memperlambat perubahan merupakan tantangan berat bagi menteri. Instruksi Presiden SBY untuk tidak menutupi persoalan soal tewasnya praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Cliff Muntu dan sekaligus membenahi IPDN secara komprehensif, misalnya, tak mudah diwujudkan. Pejabat rektor baru IPDN pun mengalami kesulitan untuk sekadar menanggalkan seragam praja yang mirip militer.

Terhadap banyaknya keluhan rakyat atas kinerja pemerintah, menteri-menteri diharapkan lebih proaktif dengan memperbanyak frekuensi inspeksi mendadak (sidak) dan turun ke bawah (turba) sambil menjaring dan membuka akses yang luas atas pengaduan masyarakat. Kebiasaan menerima laporan dari pejabat bawahan, apalagi yang berkenaan dengan pelayanan publik di front terdepan, harus ditinggalkan karena hal itu cenderung menghasilkan laporan "asal bapak senang" (ABS). Sikap tegas dengan memberlakukan reward dan punishment merupakan hal yang amat dinantikan rakyat.

Penegasan Presiden SBY untuk segera merombak kabinet kita apresiasi. Semoga komitmen SBY melakukan perubahan ke arah yang lebih baik bisa menjadi kenyataan.***

Senin, 30 April 2007

Reshuffle dan Reformasi Birokrasi

Republika

R Siti Zuhro
(Peneliti Senior The Habibie Center)

Polemik tentang reshuffle kabinet berakhir sudah. Baik presiden maupun wapres menegaskan bahwa tujuan reshuffle adalah untuk memperbaiki kinerja dan bukan karena adanya tekanan politik.

Menanggapi hal tersebut, tak sedikit kalangan yang menyatakan bahwa yang terpenting bukanlah perombakan kabinet itu sendiri, tetapi bagaimana menjadikan agenda reformasi birokrasi sebagai agenda utama untuk mengatasi persoalan bangsa. Dengan cara itu diharapkan pemerintah akan keluar dari lingkaran setan perombakan kabinet setiap tahun.

Faktor pendorong utama reshuffle adalah munculnya ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja pemerintah. Masalahnya, rakyat merasa hidupnya makin sengsara sementara harga-harga kebutuhan pokok terus meningkat. Kemerosotan bidang ekonomi dicerminkan dengan jelas melalui makin banyaknya jumlah rakyat miskin dan pengangguran. Presiden dihadapkan pada pilihan yang realistis untuk mengganti menterinya yang dinilai kurang bagus kinerjanya sehingga kerja pemerintah tidak maksimal dan perekonomian Indonesia sulit bangkit.


Mengapa reformasi birokrasi?



Indonesia sering dijadikan contoh dari masyarakat yang mengalami perubahan ekonomi, sosial, dan politik, tapi masih menampakkan beberapa ciri tradisional. Menurut Crouch (1979), tak sedikit gambaran tentang sistem politik Indonesia yang berwajah patrimonial. Argumen tersebut masih relevan untuk digunakan dalam menganalisis politik Indonesia di era transisi. Kultur politik patrimonial itu masih sangat kental sampai 1998.

Masalah yang dihadapi birokrasi mencakup rendah kinerja, yang disebabkan oleh pola pikir PNS yang kurang berorientasi pada profesionalisme. Hal ini disebabkan oleh belum diberlakukannya penghargaan dan imbalan gaji sesuai pencapaian prestasi dan masih berlangsungnya hubungan kerja yang kolutif, diskriminatif, serta kurang mendidik.

Tak sedikit kalangan yang menuntut dilaksanakan reformasi birokrasi secara riil. Ada beberapa alasan penting mengapa reformasi birokrasi perlu mendapat perhatian serius. Pertama, sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa birokrasi senantiasa tidak ditempatkan pada posisi, fungsi, dan perannya sebagai sebuah organisasi yang mengurus negara secara profesional. Hal ini bisa ditelusuri mulai masa sebelum kolonial Belanda sampai era transisi sekarang ini.

Kedua, semasa orde baru, Indonesia tergolong negara yang relatif maju secara ekonomi, tapi terbelakang secara politik. Asumsi yang mengatakan bahwa Indonesia mengalami kemajuan ekonomi ternyata tidak sepenuhnya benar. Krisis yang melanda Indonesia membuktikan secara konkret bahwa fundamental ekonomi Indonesia tidak cukup kuat. Ini menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi yang tidak diikuti pembangunan politik menghasilkan rapuhnya institusi demokrasi.

Ketiga, dibanding Singapura, Malaysia, dan Thailand, birokrasi Indonesia tertinggal jauh. Di ketiga negara tersebut birokrasi mereka sudah memasuki tahap profesional.

Keempat, isu korupsi dalam birokrasi terus saja menjadi berita harian berbagai media. Di era transisi ini, isu tersebut tak juga mereda. Sebarannya malah meluas.

Asumsi dasar pentingnya agenda reformasi birokrasi salah satunya karena eksistensinya sebagai prasyarat penting bagi keberhasilan peningkatan daya saing Indonesia. Sulit dibantah bahwa rendahnya daya saing global Indonesia hingga kini adalah karena kentalnya praktik ekonomi biaya tinggi dalam birokrasi dan regulasi yang tidak probisnis.

Menurut Forum Ekonomi Dunia, posisi daya saing global Indonesia pada 2005 berada di peringkat ke-74 atau turun dibanding 2004 yang berada di peringkat ke-69 (dari 117 negara yang diteliti). Ini berbeda dengan Singapura dan Taiwan, yang memiliki peringkat tinggi dalam daya saing global karena keduanya telah memiliki pengelolaan lembaga publik dan swasta yang transparan serta efisien.


Konsep birokrasi modern



Konsep birokrasi modern dan rasional yang dianut banyak negara maju selama ini tak dapat dilepaskan dari gagasan Weber (1947:150). Weber memandang birokrasi sebagai sebuah organisasi yang hierarkhis, di mana PNS berkewajiban melaksanakan tugas yang berkaitan dengan urusan-urusan publik. Sebagai sebuah lembaga, birokrasi juga melaksanakan fungsi dan kewajiban pemerintahan. Idealnya, dalam suatu negara demokrasi, PNS memfokuskan tugasnya pada masalah pelayanan kepada masyarakat (Gladden, 1956:17-18).

Bagi Weber, birokrasi modern dan rasional dipandang sebagai bentuk yang paling efisien ketimbang administrasi patrimonial. Ini karena birokrasi modern dianggap sebagai suatu lembaga yang aktivitasnya terukur dan dapat diprediksi. Ini yang membedakannya dengan sistem administrasi patrimonial yang tidak mempertimbangkan gagasan tentang profesionalisme.

Namun, pemikiran Weber tersebut dipandang kurang partisipatif. Menurut Osborne dan Gaebler (1995), birokrasi perlu memerhatikan kerja tim dan kontrol rekan kerja dan bukan semata didominasi atau dikontrol atasan. Menurut mereka, paradigma baru birokrasi setidaknya memiliki ciri-ciri berikut: mengarahkan, memberdayakan, dan menciptakan persaingan dalam pelayanan publik.

Model birokrasi entrepreneur tersebut memerlukan sinergi antara pemerintah dan birokrasi. Keduanya perlu memosisikan diri sebagai pengarah dan bukan sebagai pengurus semua bidang kehidupan. Oleh karena itu, ke depan perlu membangun birokrasi yang dapat mendukung secara luas terciptanya ruang partisipasi publik, pemberdayaan, dan peningkatan kreativitas masyarakat.

Selain itu, penting pula bagi birokrasi untuk merekrut SDM dari luar guna memperkuat institusi dan transformasi birokrasi entrepreneur. Birokrasi yang kompetitif mengisyaratkan pentingnya membangun semangat kompetisi di dalam dan antarbirokrasi. Sebagai contoh, kehadiran Telkom, Indosat, dan perusahaan telekomunikasi lainnya, bisa menimbulkan persaingan yang sehat, menghindari terjadinya kelangkaan barang, dan memberikan harga terbaik bagi konsumen.

Masalahnya, sekarang ini adalah bagaimana membangun semangat kepeloporan dan mengurangi 'budaya petunjuk'. Setiap birokrat perlu membiasakan diri mencari cara-cara baru yang praktis untuk pelayanan publik, inisiatif, antisipatif dan proaktif, tangkas membaca kebutuhan publik, memandang semua orang sederajat di depan hukum, serta menghargai prinsip kesederajatan. Kentalnya budaya petunjuk, misalnya, telah membuat lambannya pelayanan publik di negeri ini.

Bila perbaikan kinerja birokrasi dipandang sebagai hal yang signifikan dan lebih menjanjikan, maka reformasi birokrasi adalah suatu hal yang niscaya dan saatnya menjadi gerakan nasional. Perombakan kabinet jangan sampai hanya menjadi komoditas politik, dan upaya mengalihkan perhatian masyarakat. Reshuffle kali ini juga diharapkan dapat menjadi awal yang positif dan riil bagi gerakan reformasi birokrasi secara nasional dan memberikan dampak signifikan terhadap kebangkitan Indonesia di segala bidang.

  • Pendorong utama reshuffle adalah ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah.
  • Karena itu, reshuffle semestinya tidak hanya dilakukan untuk menghadirkan 'orang baru' tapi juga harus diikuti peningkatan kinerja.
  • Saat ini, kinerja birokrasi masih kurang berorientasi pada profesionalisme. - Kinerja birokrasi masih kolutif, koruptif, dan bergaya patrimonial.

Rabu, 18 April 2007

Quo Vadis IPDN?

171040

R Siti Zuhro

Peneliti The Habibie Center Jakarta


Kematian Cliff Muntu, mahasiswa IPDN, pada 3 April 2007, merupakan bukti konkret bahwa IPDN melakukan praktik kekerasan dan tindak kriminal. Sejauh ini tercatat lebih dari 30 praja IPDN meninggal.

Kasus itu menyulut pro-kontra dalam masyarakat. Ada yang ingin agar sistem pendidikan di IPDN dirombak total dan ada desakan agar IPDN dibubarkan saja.

Kelompok pertama menilai, IPDN patut dipertahankan namun sistem yang selama ini diterapkan harus dirombak total, termasuk sistem rekrutmen dan kurikulumnya. Dengan kata lain, sistem di IPDN perlu diformat ulang, termasuk apakah harus tetap nyantol ke Depdagri atau menjadi lembaga pendidikan pencetak pamong praja yang independen.

Tuntutan bagi kelompok kedua bukan tanpa alasan. Tak sedikit kalangan yang menilai IPDN sarat dengan warisan masa lalu. Budaya kekerasan telah menodai sistem pendidikan yang diterapkan. Praja dibekali budaya kekerasan dan budaya kekuasaan yang sama sekali tidak penting dan tidak relevan dengan tujuan pendidikan di IPDN.

Layaknya sebuah lembaga pendidikan, mestinya IPDN mampu menghasilkan lulusan yang berdedikasi tinggi dan siap mengabdi kepada negara dan masyarakat. Penerapan sistem pendidikan yang salah selama ini berpengaruh negatif terhadap kualitas pamong praja yang diharapkan menjadi garda depan pelayanan publik dan pelaksana pembangunan Indonesia. Meskipun hasil lulusan IPDN bukan satu-satunya yang menyebabkan buruknya kinerja birokrasi Indonesia, setidaknya kualitas lulusan yang masih jauh dari harapan juga ikut memperburuk kondisi birokrasi kita.

Fenomena di IPDN menunjukkan bahwa budaya kekerasan dan budaya kekuasaan harus diakhiri. Sistem di IPDN harus dikembalikan ke esensi pendidikan yang benar, yang mendidik dan membekali praja supaya menjadi pamong praja yang baik. Payung hukum juga diperlukan agar keberadaan IPDN tidak melanggar UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Akan lebih baik lagi bila IPDN dan pendidikan kedinasan di luar militer dan polisi ditata ulang berdasarkan UU Sisdiknas.

Solusi atas kasus IPDN tidak cukup hanya dengan ditundanya penerimaan praja baru untuk tahun ajaran 2007/2008, penonaktifan Rektor IPDN I Nyoman Sumaryadi, dan pembentukan Tim Evaluasi IPDN yang diketuai Ryaas Rasyid. Adalah penting dipikirkan dan dipertimbangkan secara jernih dan serius, apakah IPDN layak diteruskan, baik ditinjau secara substansial maupun secara finansial.

Beban anggaran yang harus ditanggung APBN (juga APBD) sungguh tidak kecil. Ini mengisyaratkan bahwa Indonesia mestinya lebih memfokuskan upaya keluar dari kemiskinan ketimbang mendanai IPDN yang tidak memberikan kontribusi positif terhadap perbaikan nasib bangsa.***

Selasa, 20 Maret 2007

Cagub DKI Jakarta: Committed to You?

168948

R Siti Zuhro

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)


"Menjengkelkan!" Itulah yang terasa ketika mengurus izin mendirikan bangunan (IMB) di sebuah kecamatan di Jakarta Selatan, baru-baru ini. Tak jelas di mana letak standar mutu layanan ISO 2000 yang pernah disandangnya! Ketika berhadapan dengan birokrasi, tiba-tiba kita seolah berada di pasar gelap. Tak ada standar waktu dan transparansi soal biaya yang jelas. Pertanyaan pun mencuat, "Ini kantor makelar atau pemerintah?"

Gubernur Sutiyoso bukannya tidak berupaya memperbaiki kinerja birokratnya. Dengan tunjangan khusus, mestinya tak ada alasan lagi untuk berkilah. Kini gaji guru SD DKI Jakarta telah melebihi gaji profesor Universitas Indonesia (UI). Ini jelas merupakan pekerjaan rumah (PR) dan sekaligus tantangan bagi calon gubernur (cagub) DKI yang bertarung dalam arena pilkada, Agustus 2007. Siapa pun yang menjadi cagub, dia harus mampu menghapus potret hitam birokrasi.

Dalam iklim politik yang demokratis, rasionalitas politik pemilih tak lagi dapat digantungkan pada sentimen suku, aliran, ras, agama (SARA), dan kekuasaan, tetapi lebih pada ekonomi. Karena itu, masalah "politik" perlu didekati dengan perspektif public choice, dan bukan budaya atau kekuasaan.

Dalam perspektif public choice, politik merupakan sebuah contractual agreement yang bersifat sukarela antara politisi (suppliers) dan pemilih (demanders). Meskipun unsur kekuasaan tetap melekat, politik lebih dilihat dalam terminologi paradigma pertukaran yang di dalamnya tak ada unsur paksaan atau dominasi kekuasaan.

Sebagai pengemban amanat rakyat, sukses-tidaknya sebuah pemerintahan amat ditentukan oleh kemampuannya mewujudkan pelayanan birokrasi yang baik. Pelayanan birokrasi yang tidak profesional selama ini telah mengakibatkan rendahnya kualitas hidup masyarakat. Berbagai persoalan akut di Jakarta, mulai dari banjir, harga beras, transportasi, sampai masalah pedagang kakilima tak bisa dilepaskan dari kualitas kinerja birokrasi.

Dalam konteks lebih luas, birokrasi Indonesia yang tidak probisnis telah memperlemah daya saing ekonomi Indonesia. Dalam lima tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sekitar 5%. Salah satu masalahnya karena proses perizinan usaha berbelit-belit, lama, dan mahal. Menurut Survei Doing Bussiness 2006, pengurusan izin usaha di Indonesia membutuhkan 97 hari. Sementara di Malaysia hanya 30 hari, dan Vietnam 50 hari.

Contoh kecil pengalaman mengurus IMB menunjukkan bahwa kinerja birokrasi publik di Jakarta belum committed to public. Dalam Pilkada DKI Jakarta nanti, rakyat sangat berharap pada cagub yang -- seperti PT Telkom -- berkomitmen mewujudkan motto birokrasi: committed to you.

Menggelikan, di era reformasi sekarang ini ada cagub yang masih bermimpi menjadi "tuan", dan bukan "abdi" masyarakat. Untuk menjadi pemimpin, good will saja tak cukup, tapi perlu integritas dan political commitment.***

Rabu, 28 Februari 2007

Menanti Palu Paduka

167510

R Siti Zuhro

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)


Jakarta kebanjiran itu sudah biasa. Rakyat juga tahu diri bahwa mereka turut bersalah. Soal "kerugian", mereka pasrahkan kepada Yang Maha Kuasa. Mana mungkin berharap kepada pemerintah. Yang terendam lumpur di Jatim saja tak jelas penyelesaiannya. Kini agenda mereka sudah ke soal lain, yakni ancaman penyakit dan "perut".

Mestinya pemerintah tak merasa beruntung atas ketabahan rakyat. Rakyat memang sangat pemaaf dan cepat lupa. Kalau pun ada kritik, tak pernah bergreget. Bahkan terhadap masalah yang mendera rasa kemanusiaan mereka, seperti kasus orang hilang, kerusuhan Mei, dan tragedi Semanggi. Kecuali kalau persoalan sudah menyangkut soal "perut".

Meski hampir 62 tahun merdeka, kondisi kita makin buruk karena hampir separo penduduk Indonesia berada dalam kemiskinan atau rentan terhadap kemiskinan. Kecuali kebebasan berbicara, program-program pembangunan -- khususnya menyangkut soal "perut" -- boleh dibilang gagal. Kini banyak rakyat kembali mengonsumsi thiwul dan nasi aking. Ironinya, ketika harga beras melangit, nasib petani padi tak kunjung terdongkrak.

Alih-alih memikirkan secara serius ketahanan pangan dan swasembada beras, sejumlah politisi justru sibuk memolitisasikan soal beras demi Pemilu 2009. Wakil-wakil rakyat di daerah malah berdemo menolak revisi PP 37/2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD ketimbang mengawasi operasi pasar beras murah yang bermasalah di banyak tempat.

Ketidakmampuan mengatasi masalah beras mencerminkan buruknya kinerja birokrasi pemerintah. Niat (good will) SBY-JK tentang "perubahan" bukannya tidak ada. Tetapi seperti presiden-presiden sebelumnya, implementasi niat itu hanya sebatas kata. Keduanya tak cukup tegas mengatasi ketidakbecusan dan resistensi birokrat.

Hingga kini reshuffle kabinet masih sekadar wacana, meski sejumlah menteri tak menunjukkan kinerja yang baik. Antarinstansi, misalnya, tak memperlihatkan sikap tegas terhadap mereka yang bertanggung jawab atas krisis pangan, termasuk kesimpangsiuran data ketersediaan beras dan tentang siapa yang bertanggung jawab atas terbitnya PP 37/2006.

Kini rakyat menunggu "palu" pemerintah untuk memberlakukan reward and punishment terhadap pembantu dan pegawai yang nakal. Sebuah jabatan tak selalu harus berorientasi pada reward seperti tampak saat ini, tetapi juga pada punishment.

Kompromi dan pemaafan atas ketidakbecusan mereka bukan sikap mendidik. Transparansi dan pelayanan publik yang cepat, murah, dan tak berbelit merupakan hak rakyat. Persoalan "perut" (termasuk ketiadaan pekerjaan) yang dihadapi banyak rakyat dewasa ini bukan soal sepele. Kesabaran rakyat pasti ada ujungnya. Sejarah membuktikan bahwa kekuasaan besar Soekarno dan Soeharto berakhir karena soal "perut".***

Rabu, 21 Februari 2007

Birokrasi sebagai masalah ekonomi Indonesia

Ketika terpilih sebagai presiden dan wapres pada Pemilu 2004, masyarakat sempat menaruh harapan besar pada duet Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK).

Kemenangan keduanya dipandang akan memiliki legitimasi yang sangat kuat untuk memerintah dan mengambil kebijakan tepat dan tegas, baik di bidang ekonomi, hukum, maupun politik. Tetapi, harapan tersebut secara perlahan meredup. Perubahan signifikan, khususnya menyangkut angka pertumbuhan ekonomi, tak juga tampak. Salah satu faktornya adalah masalah investasi yang tak juga bergerak naik.

Tanpa peningkatan investasi, pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat menjadi seperti orang yang kehilangan darah. Akibatnya, angka pengangguran dan kemiskinan semakin meluas.

Pemerintah bukannya tidak menyadari pentingnya faktor investasi ini. Beberapa program promosi dan kunjungan ke luar negeri telah dilakukan pada 2005-2006 dengan menyertakan pengusaha. Tetapi, hasil yang diperoleh tak signifikan.

Peringkat daya saing Indonesia tetap berada pada urutan bawah di antara negara yang disurvei. Bahkan, dalam dua tahun terakhir semakin merosot. Realisasi PMA semester I/2006 misalnya, minus 24,44% dibandingkan periode yang sama 2005 (data BKPM, Agustus 2006).


Faktor penyebab



Faktor yang mempengaruhi minat investor untuk berinvestasi memang tidak hanya soal politik dan kelembagaan. Faktor ekonomi, seperti pasar, sumber daya alam yang bisa diolah, kemampuan ekonomi mitra lokal, ketersediaan infrastruktur, dan ketersediaan tenaga kerja merupakan beberapa faktor yang biasa menjadi perhitungan para investor.

Namun, faktor politik dan kelembagaan pemerintah memberi kontribusi signifikan pada iklim usaha atau iklim investasi di suatu negara. Dari sisi ekonomi, setiap bentuk dan cara kerja suatu lembaga pemerintahan memiliki nilai ekonomi tertentu bagi kegiatan usaha.

Artinya, ada bentuk dan cara kerja lembaga pemerintah yang memberi kontribusi positif terhadap kegiatan dunia usaha dan sebaliknya, ada juga yang menghambat atau tidak memberi keuntungan.

Rendahnya dukungan DPR dan DPRD, serta lambannya insiatif reformasi di lembaga pemerintah semenjak era reformasi, sebagaimana tercermin dari kinerjanya yang belum profesional, sangat berpengaruh terhadap investasi.

Di tingkat nasional, di DPR misalnya, berbagai rancangan undang-undang (RUU) yang berkaitan dengan upaya reformasi birokrasi seperti RUU Pajak, Investasi, Kepabeanan, Pelayanan Publik, dan Administrasi Pemerintahan memakan waktu pembahasan yang berlarut-larut, hingga lebih dari dua tahun sejak masuk agenda pembahasan Dewan.

Sementara itu, di tingkat lokal banyak daerah membuat perda hanya guna mengejar peningkatan PAD dengan menciptakan ekonomi biaya tinggi. Sebaliknya, masih sedikit daerah yang berinovasi guna meningkatkan kualitas pelayanan publik.

Para ahli ekonomi kelembagaan menyebut biaya yang timbul dari fungsi kelembagaan birokrasi sebagai biaya transaksi. Biaya transaksi itu adalah biaya penggunaan jasa pemerintahan yang dinilai dari efisiensi waktu, kualitas pelayanan, efektivitas pelayanan, dan kepuasan subjektif pengguna jasa pemerintahan.

Variabel biaya transaksi tersebut bisa disebabkan oleh fungsi berbagai faktor, seperti kualitas SDM, budaya dan politik. Tetapi, seringkali rancangan teknis dan penggunaan sumber daya teknikal tidak bisa diwujudkan dan dioperasikan karena kultur yang belum berubah dan faktor politik yang tidak mendukung.

Ada dua alasan penting mengapa masalah reformasi birokrasi dalam mendukung daya saing ekonomi daerah menjadi krusial. Pertama, birokrasi disalahgunakan peran dan fungsinya sebagai alat kepentingan bagi penguasa untuk mempertahankan kekuasaanya.

Kedua, di bidang birokrasi, Indonesia tergolong tertinggal dibandingkan dengan Singapura, Malaysia dan Thailand. Birokrasi di ketiga negara tersebut sudah memasuki tahap profesional, baik ditinjau dari segi pelayanan (terutama Singapura), maupun netralitasnya dalam politik.


Dampak bagi investasi



Profesionalisme birokrasi ditunjukkan melalui terciptanya iklim yang kondusif bagi dunia usaha dan yang menunjang aktivitas masyarakat bisnis. Sampai saat ini Indonesia masih menghadapi masalah kapasitas dalam mengelola ekonomi, perdagangan internasional dan efisiensi sistem pemerintahan.

Selain itu, transparansi dan akuntabilitas menjadi indikator penting profesionalisme birokrasi. Permasalahannya adalah bagaimana menekan biaya ekonomi tinggi yang disebabkan oleh mekanisme kebijakan yang tidak transparan dan birokrasi yang tidak efisien agar kesulitan yang dialami pelaku bisnis selama ini dapat diatasi.

Bila transparansi dan akuntabilitas birokrasi ini dapat diperlihatkan, skandal korupsi yang makin marak belakangan ini tentu tak akan terjadi.

Dampak dari ketidakprofesionalan birokrasi Indonesia antara lain bisa dilihat dari capaian Indonesia di bidang investasi. Sampai September 2006, misalnya, Indonesia dinilai tidak probisnis. Meskipun dikatakan Indonesia telah berhasil melakukan reformasi bisnis, capaian reformasi bisnis yang dilakukan negara lain ternyata jauh lebih baik ketimbang Indonesia.

Di Indonesia, proses perizinan bisnis memakan waktu yang lama dan biaya yang mahal. Survei terbaru Bank Dunia menyebutkan, jumlah hari yang diperlukan untuk mengurus izin usaha di Indonesia memakan waktu 97 hari. Jumlah ini jelas jauh lebih lama dibandingkan Malaysia yang hanya 30 hari, Thailand 33 hari, Philipina 48 hari, dan Vietnam 50 hari.

Kondisi birokrasi Indonesia yang buruk mengisyaratkan perlunya menjadikan birokrasi sebagai pelayan publik yang melayani dan memberikan kemudahan kepada masyarakat dan dunia usaha.

Dengan ini kita berharapa dapat memperbaiki citra diri bangsa karena hasil penelitian Doing Business 2007 International Finance Corporation menunjukkan bahwa Indonesia hanya lebih baik dibandingkan dengan Kamboja, Laos, dan Timor Leste. Inilah saatnya Indonesia menunjukkan bahwa birokrasi bukanlah masalah bagi ekonomi.

R. Siti Zuhro
Peneliti LIPI
http://www.bisnis.com/

Rabu, 31 Januari 2007

Depdagri Biarkan Daerah Bergerak Liar

EVALUASI KABINET

MENTERI Dalam Negeri M Ma'ruf, setahun belakangan ini termasuk menteri yang paling banyak disorot kinerjanya.

Menurut penilaian sejumlah pihak, Mendagri dianggap sebagai figur menteri yang kurang tegas dalam memfasilitasi, sekaligus "mengendalikan" roda pemerintahan daerah. Muncul kesan, pemerintahan di daerah jalan sendiri, tidak sejalan dengan pemerintah pusat.

Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Dr Siti Zuhro, menunjukkan contoh terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No 37/2006 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD. PP ini menunjukan ketidakberdayaan pusat menghadapi tekanan pemerintah daerah.

Siti Zuhro mengatakan, dari pemberitaan di media massa, terungkap bahwa motivator terbitnya PP itu justru pimpinan dan anggota DPRD provinsi, kota, dan kabupaten. Padahal, Depdagri yang seharusnya menjadi leading sector dalam pelaksanaan otonomi daerah harus membuat pedoman yang wajib diikuti pemerintah daerah atas nama kepentingan bersama. Bukannya daerah yang memaksa pemerintah pusat membuat peraturan yang hanya menguntungkan kepentingan elite daerah.

"Di bawah M Ma'ruf, Depdagri kurang berwibawa di mata pemerintah daerah. Contohnya, banyak pemerintah daerah justru membuat peraturan daerah (perda) atau kebijakan yang jelas-jelas bertentangan dengan UU di atasnya. Kecenderungan ini dibiarkan Depdagri," kata Siti.

Banyak perda yang jelas-jelas bertentangan dengan peraturan di atasnya dibiarkan begitu saja oleh Depdagri. Sebutlah perda bernuansa syariat agama, perda yang menghalangi usaha ekonomi dan perda yang hanya "memeras" rakyat atas nama restribusi atau pajak . Depdagri dinilai lamban menginvetaris serta mengkaji perda-perda bermasalah itu, sekaligus mencabutnya.

Selain itu, banyak persoalan pemilihan kepala daerah yang seharusnya menjadi domain Depdagri tidak bisa diselesaikan segera dan tuntas. Yang paling aktual adalah kontroversi Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Lampung. Dualisme pemerintahan di provinsi itu tidak bisa diselesaikan Mendagri. Masalahnya baru beres setelah Wakil Presiden Jusuf Kalla turun tangan membenahinya.

Siti Zuhro menilai, kinerja Depdagri di bawah M Ma'ruf dalam konteks desentralisasi, revitalisasi, dan otonomi daerah jauh dari mengesankan. Sebab, tidak banyak yang dilakukan Ma'ruf berkait dengan upaya desentralisasi, revitalisasi, dan otonomi daerah. Depdagri lamban membuat PP yang diperlukan sebagai implementasi dari sejumlah undang-undang bidang otonomi daerah.

"Undang-undang harus ditindaklanjuti oleh peraturan pemerintah. Misalnya saja tentang PP yang menyangkut urusan daerah; yang dulu disebut dengan istilah wewenang daerah itu banyak yang belum keluar. Padahal, di tingkat teknis PP itu sangat diperlukan sebagai petunjuk daerah merumuskan kebijakan desentralisasi," ujarnya.Kelambanan ini, kata dia, dapat dilihat ketika ada revisi UU No 22/1999 ke UU No 32/2004 dengan judul yang sama tentang Pemerintahan Daerah. UU itu disahkan begitu saja pada 2004. Tetapi, selama 2005 sampai 2006, pemerintah pusat, dalam hal ini Depdagri, masih menggodok pembahasan sejumlah PP-nya.

"Kelambanan ini menyulitkan daerah. Sebab, dalam melaksanakan otda pada masa transisi UU lama ke UU baru, daerah belum dilengkapi PP tersebut. Sangat tidak menguntungkan daerah. Akibatnya, daerah seperti dipanggang oleh peraturan itu," ujarnya.

Selama enam tahun pelaksanaan otonomi daerah, Depdagri juga tidak bisa melakukan penilaian prestasi dan kontraprestasi otonomi daerah. Sebaliknya, yang sering diembuskan justru wacana revisi UU Otonomi Daerah. Bahkan, Depdagri justru sudah berniat untuk merevisi UU No 32/2004. "Revisi sah-sah saja. Tetapi yang benar adalah mengevaluasi dulu pelaksanaannya," katanya.

Jika komitmen pimpinan tertinggi negeri sudah didapat, langkah berikutnya adalah memperbaiki kualitas pelaksanaannya. Harus diakui dengan lapang dada bahwa desentralisasi yang telah dilaksanakan enam tahun ini baru sebagian saja yang berdampak positif bagi daerah.

Kritik terhadap kinerja Mendagri juga datang dari anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar, A Mudjib Rochmat. Dia minta Mendagri bersikap sebagai menteri dan melaksanakan tugasnya demi kepentingan bersama, bukan kepentingan satu atau beberapa pihak tertentu.

Kritik ini mungkin berkait dengan sejumlah pilkada yang merugikan kader Partai Golkar akibat "campur tangan" Mendagri. Sebut saja kisruh Pilkada Lampung dan Pilkada Depok.

"Jangan kemudian karena ada kedekatan dengan kekuasaan lalu merugikan masyarakat dan menguntungkan kelompoknya sendiri," ujar Mudjib.

Bagi Mudjib, kinerja Mendagri adalah kinerja politik dalam negeri. "Kalau dia (Mendagri-Red) tidak menempatkannya secara objektif, akan berbahaya, bukan saja pada pemimpin republik ini, tapi juga negara ini," ujarnya.

Meski demikian, Mudjib lebih memilih Mendagri memprioritaskan penyegaran orang-orang di departemennya. "Saya lebih setuju jika Mendagri membuat penyegaran dalam timnya. Sebab, perubahan kebijakan di departemen tanpa disertai penyegaran tim tetap akan menimbulkan persoalan. Bagi saya, perubahan tim itu harus berdasarkan objektivitas, kompetensi, kapabilitas, dan rekam jejak orang-orang dalam tim itu," katanya. (M Kardeni)

Selasa, 30 Januari 2007

Ancaman Revolusi Sosial

165631
R Siti Zuhro

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)


Sejak 2004 Indonesia mengalami musibah yang bertubi-tubi, mulai dari tsunami, gempa bumi, banjir bandang, tanah longsor, lumpur Lapindo, sampai banjir. Tak hanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang telah menyengsarakan kehidupan ekonomi masyarakat luas, tapi musibah tersebut juga menambah derita rakyat.

Sementara itu, era reformasi sekarang ini belum memberikan jawaban konkret atas pengentasan kemiskinan dan pengangguran. Jumlah penduduk miskin tahun lalu mencapai sekitar 39,1 juta, penduduk hampir miskin 28,6 juta, dan penduduk di bawah kemiskinan mencapai 67,7 juta jiwa.

Jumlah pengangguran juga meningkat menjadi 11,1 juta dan setengah menganggur 29,9 juta jiwa. Diperkirakan total pengangguran mencapai 41 juta (38,6%) dari angkatan kerja atau 18,5% jumlah penduduk. Realitas sosial ini mengindikasikan kesengsaraan rakyat Indonesia sekarang.

Pemerintah telah membuat langkah-langkah strategis untuk menyelesaikan masalah tersebut. Namun angka kemiskinan dan pengangguran tak juga menunjukkan penurunan. Lantas, apa yang salah dengan governance yang berlangsung selama ini?

Makna governance merujuk pada kapasitas pemerintah dalam membuat dan merealisasikan kebijakan (policy). Intinya adalah bagaimana mengelola ekonomi dan masyarakat, dan cara mencapai tujuan bersama (Pierre dan Peters, 2000). Ini yang tampaknya belum terwujud secara riil di negeri ini.

Perbaikan kapasitas pemerintah sangat diperlukan dalam mengatasi berbagai masalah yang muncul. Namun sistem aparatur negara dan administrasi publik tidak mendukung terwujudnya good governance (tata pemerintahan yang baik). Walhasil, KKN pun makin marak.

Hasil survei yang dilaksanakan TNS Indonesia menunjukkan bahwa popularitas Presiden SBY di mata publik merosot ke angka 24%. Bila benar, ini akan menjadi indikator penting tentang kemungkinan menurunnya legitimasi pemerintahan SBY. Kemungkinan menurunnya legitimasi yang disebabkan oleh ketiadaan perbaikan kualitas governance bisa jadi mendorong munculnya ancaman revolusi sosial.

Dalam sejarah Indonesia, perubahan besar yang terjadi dilatarbelakangi oleh gerakan revolusioner. Sumpah Pemuda, Kemerdekaan Indonesia 1945, dan Gerakan G30/PKI 1965 adalah beberapa bukti. Gerakan reformasi 1998, sebagaimana dinilai banyak pengamat, cenderung menghasilkan perubahan setengah hati. Reformasi total mati suri dan tidak mampu membasmi KKN.

Kesabaran masyarakat Indonesia pasti ada batasnya. Kesengsaraan yang dirasakan rakyat juga ada toleransinya. Bila masalah kemiskinan dan pengangguran tak juga dapat teratasi dan rakyat dibiarkan mencari solusi sendiri, ancaman revolusi sosial bukan tidak mungkin menjadi kenyataan. Kita berharap ada jalan terbaik tanpa saling melukai.***