Jumat, 30 September 2011

Zuhro: Hentikan Drama Ketoprak DPR RI

CAHAYAMANADO, JAKARTA – Hubungan DPR dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang panas. Pimpinan Banggar tak hadir saat dipanggil sebagai saksi kasus Kemnakertrans sebelum KPK hadir dalam rapat konsultasi terkait kinerja Banggar. KPK sendiri tak hadir dalam rapat dengan alasan menjaga kredibilitas. DPR pun diminta menghentikan ketoprakannya.

“Hentikan drama, ketoprakan yang dilakukan DPR. Sama sekali tidak lucu, merugikan, tidak bermanfaat dan ini bisa dicatat oleh kita, rakyat. Siapa sih orang yang melakukan itu,” kata pengamat politik Siti Zuhro usai diskusi bertajuk ‘DPD RI dan Perjuangan Daerah’, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (30/9/2011).

Siti mendorong adanya saling kontrol antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sudah terlanjur ada kesan kekuasaan absolut seolah-olah di DPR. Padahal bukan DPR saja yang menilai pemerintah, namun pemerintah juga harus menilai DPR, karena pemerintah juga punya hak.

Mendukung KPK yang tidak datang rapat konsultasi DPR? “Ya nggak apa-apa. Menurut saya kita tidak sedang meng-endorse parlementer kita, sedang tidak mengabsahkan parlementer tapi presidensial. Sistem penguatan presidensial melalui parlementer,” ucap Siti.

Siti mengapresiasi salah satu pimpinan Banggar Tamsil Linrung yang bersedia memenuhi panggilan KPK untuk hadir dalam pemeriksaan pekan depan. “Nah itu bagus,” kata Siti.

Dua pimpinan Badan Anggaran DPR yakni Tamsil Linrung dan Olly Dondokambey pun sudah dipanggil KPK secara resmi untuk diperiksa Rabu (28/9) lalu, namun keduanya tidak hadir. KPK pun melayangkan panggilan kedua untuk pemeriksaan pada Senin (3/10). Kini KPK benar-benar menunggu komitmen Tamsil dkk untuk memenuhi panggilan pemeriksaan di KPK.

DPR pada Kamis (29/9) melakukan pemanggilan atas pimpinan KPK terkait pemeriksaan pimpinan Badan Anggaran. Namun dengan alasan menjaga kredibilitas, KPK menolak. DPR tak patah arang, surat pemanggilan dilayangkan lagi pada Senin (3/10). Jadi pada hari Senin itu, DPR dan KPK sama-sama melakukan pemanggilan.(dtc/cm)

Rabu, 28 September 2011

KINERJA MENTERI: Reshuffle Harus Dongkrak Mutu Kabinet


Siti Zuhro

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Rabu, 28 September 2011

JAKARTA (Suara Karya): Reshuffle (perombakan) Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II yang rencananya akan dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebelum 20 Oktober mendatang, harus mampu mendongkrak mutu dan peningkatan kinerja menteri kabinet.

Reshuffle bukan sekadar melakukan reposisi para menteri untuk melanggengkan eksistensi pemerintahan SBY-Boediono.

Demikian kumpulan pendapat yang disampaikan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, pengamat ekonomi Institute for Development on Economic and Finance (Indef) Iman Sugema, ekonom Central for Information and Development Studies (Cides) Umar Juoro, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman, anggota Fraksi Partai Golkar DPR Lili Asjudiredja, di Jakarta, Selasa (27/9).

Siti Zuhro mengingatkan Presiden SBY bahwa reshuffle harus mampu menciptakan kabinet yang berpihak kepada kepentingan rakyat. "Reshuffle harus mampu mendongkrak mutu kabinet, bukan hanya untuk melanggengkan pemerintah dari kritik," ucapnya.

Menurut dia, adanya sinyal dari SBY untuk melakukan reshuffle dalam waktu dekat ini tidak boleh tertunda lagi. "Rakyat telah lama menunggu perbaikan kinerja dari pemerintah. Jangan sampai terjadi penundaan sehingga makin mengecewakan rakyat," ujarnya.

Sebab, jika perbaikan terhadap kinerja kabinet terus ditunda, akan makin menurunkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah yang akhirnya dapat berimbas pada meledaknya kemarahan rakyat melalui munculnya berbagai aksi radikal.

Siti menilai perlu adanya format baru di dalam pemerintahan SBY pasca-reshuffle. Dalam kaitan ini, tidak hanya didasarkan pada hasil evaluasi Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) terhadap kinerja menteri-menteri yang buruk, tetapi juga terkait dengan kesadaran untuk memberantas praktik korupsi maupun suap dalam birokrasi, yang saat ini sudah dalam tingkat luar biasa.

Menurut dia, perlu adanya terobosan-terobosan yang fundamental terkait dengan reformasi kelembagaan sehingga mampu memberikan kepastian hukum yang diikuti dengan berbagai sanksi yang terukur.

"Reshuffle dapat menjadi pintu masuk untuk memperbaiki kinerja kabinet saat ini yang jalan di tempat. Selanjutnya, akan memberikan efek untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik sehingga mampu memberikan peningkatan terhadap pelayanan dan pembangunan," katanya.

Dengan demikian, ujar Siti, efek berantai dari perbaikan kinerja pemerintahan tersebut tentu akan berdampak pada pengurangan angka kemiskinan dan pengangguran di Indonesia.

Yang terpenting, menurut Siti, dalam pergantian menteri-menteri tersebut didasarkan keinginan untuk membangun pemerintahan yang memiliki orientasi terhadap kesejahteraan rakyat.

"Tentunya SBY harus memprioritaskan orang-orang yang akan duduk dalam jajaran kabinetnya tidak hanya berbasis kredibilitas, tetapi juga integritas dan loyalitas dalam menjalankan program-program yang pr0 rakyat," katanya.

Usai menerima panitia Festival Anak Soleh Indonesia (FASI) untuk Sumatera Barat di gedung DPR, Jakarta, Irman Gusman mengatakan, dalam hal melakukan penilaian kinerja para menteri, Presiden-lah yang paling memahami, dan dia juga yang tahu menteri mana yang harus diganti dan dipertahankan.

"Presiden tampaknya membutuhkan reshuffle atau reposisi. Tetapi, yang paling penting dalam hal ini bagaimana meningkatkan mutu kabinet ke depan," ujar senator asal daerah pemilihan Sumbar itu.

Kabinet ke depan, tutur Irman, harus banyak melakukan terobosan-terobosan, terutama dalam bidang ekonomi. Sebab, jika setelah reshuffle kabinet tidak ada langkah kongkret untuk perbaikan nasib bangsa Indonesia ke depan, reshuffle akan menjadi kurang berarti.

"Kita semua berharap, setelah reshuffle nanti akan ada perbaikan-perbaikan di berbagai sektor, terutama sektor ekonomi yang dapat memberikan imbas kepada kesejahteraan rakyat," kata Irman.

Sementara itu, Imam Sugema mengatakan, kinerja sejumlah menteri bidang ekonomi di KIB II belum maksimal. Karena itu, layak untuk diganti.

"Kinerja menteri ekonomi belum baik. Karena untuk hal-hal yang menyentuh kepentingan masyarakat, jabatan menteri-menteri bidang ekonomi banyak yang dikuasai oleh partai politik," ujarnya.

Menurut dia, akibat banyaknya menteri yang berasal dari partai politik, maka kebijakan yang dihasilkan menjadi bias. Artinya, kebijakan yang dilahirkan bukan karena keinginan serta untuk kepentingan masyarakat.

"Jadi, kebijakan yang diambil itu berdasarkan kepentingan partai politik. Kalau sudah begitu, banyak menteri yang layak dicopot," ujarnya.

Dia juga menjelaskan, kinerja tim ekonomi KIB II selama ini tidak melahirkan program dan kinerja yang memuaskan. Karena itu, komposisi menteri di bidang ekonomi nanti harus lebih baik.

"Kita harapkan komposisi lebih baik. Memang tidak perlu dari kalangan profesional, karena banyak juga profesional yang tidak profesional. Namun, walaupun dari partai politik lagi, setidaknya harus mempunyai kepekaan di bidang ekonomi," ujar Direktur EC-Think ini.

Umar Juoro mengatakan, bila perombakan kabinet direalisasikan, selain kapabilitas dan akuntabilitas calon menteri, profesionalitas juga tetap harus dijunjung tinggi, tentunya dengan meminimalisasi peran dari politisi.

Misalnya, posisi Menteri BUMN yang harus diisi oleh orang yang berhasil dan berpengalaman mengelola BUMN, sehingga lebih mudah mengurus 159 BUMN. "Menteri BUMN sebaiknya dari profesional, atau yang mempunyai penguasaan korporasi lebih baik dengan pengalaman di BUMN sebelumnya," katanya.

Selain mengejar keuntungan, Umar juga mengingatkan, BUMN mempunyai peran sebagai agen bagi kesejahteraan rakyat. Jadi, sangat riskan jika memilih politisi atau dari swasta yang cenderung liberal.

Sementara itu, Lili Asdjudiredja mengatakan, jika terjadi reshufle, Partai Golkar di kabinet perlu mendapat perhatian yang serius dari Presiden SBY. Karena, tutur Lili, "kader beringin" di kabinet dinilai cukup memiliki kinerja yang baik.

"Saya kira, sebagai mitra koalisi, wajar kalau Presiden SBY memberi perhatian yang lebih serius kepada kader Partai Golkar di kabinetnya," kata Lili Asdjudireja kepada Suara Kaya.

Ketika ditanya apa bentuk perhatian tersebut, Lili mengatakan, misalnya dengan memberikan peluang lebih luas kepada kader Partai Golkar yang ada di kabinet sekarang untuk mengembangkan gagasan-gagasan mereka bagi kepentingan rakyat. Bahkan, bila perlu, SBY menambah jumlah menteri dari Partai Golkar.

"Tetapi, itu pun tidak harus kader yang ada di partai, bisa saja kader partai yang ada di kalangan akademisi," kata Lili.

Meski demikian, ucap Lili, semua itu kembali kepada keinginan dan kebutuhan Presiden SBY sendiri, apakah beliau merasa perlu menambah menterinya atau tidak. Kalau memang perlu, tutur Lili, bisa saja Pak SBY meminta kepada pimpinan Partai Golkar untuk mengajukan kadernya sebagai calon menteri KIB II ini.

"Begitu pun kalau Pak SBY menginginkan kader dari partai lain, bisa saja dia meminta kepada pimpinannya," kata Lili. (Kartoyo DS/Jimmy R Radjah/Tri Handayani/Andrian)

Sabtu, 24 September 2011

Soal Petani, Pemerintah Harus Contoh Orde Baru

Hasil pertanian Indonesia masih tertinggal, kalah dengan Thailand, Malaysia dan Vietnam.




Demo Serikat Petani Indonesia (SPI) di Bundaran HI (Foto: PelitaOnline/Denisa)


Jakarta, PelitaOnline -- MOMENTUM Peringatan Hari Tani Nasional harus menjadi refleksi yang serius bagi pemerintah. Pasalnya, pertanian Indonesia sangat jauh tetinggal dari negara tetangga, seperti Thailand, Malaysia, dan Vietnam.

"Hasil pertanian kita masih tertinggal, kalah dengan Thailand, Malaysia dan Vietnam," ujar peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, Sabtu (24/9).

Menurut dia, undang-undang atau kebijakan pemerintah harus mencerminkan kebutuhan petani karena bangsa ini tidak mungkin terus menerus mengimpor bahan pangan.

"Selama undang-undang yang diusulkan petani bermanfaat bagi mereka, pemerintah semestinya mengabulkan, bukan malah menghambat."

Idealnya, lanjutnya, negara menjamin kelangsungan nasib petani, apalagi Indonesia negara berbasis pertanian bukan industri.

"Mestinya bidang pertanian dikuatkan dan dilindungi cukup, seperti di Thailand, supaya para petaninya makin kreatif, produktif dan kompetitif."

Dia mencontohkan banyak kasus kesenjangan terjadi antara peraturan perundang-undangan dengan praktik pelaksanaannya, pengawasan yang kurang, dan tiadanya sanksi tegas terhadap pelanggaran.

"Kementerian Pertanian tidak banyak membuat terobosan penting yang menguntungkan atau memberdayakan petani. Akibatnya petani kesal, masa depannya tak pasti. Belum lagi kemungkinan politisasi isu berkaitan dengan petani yang justru malah merugikan mereka sendiri."

Untuk itu, bagi dia, pemerintah seharusnya mencontoh pada Orde Baru terkait masalah pertanian.

"Pemerintah harus terus memantau pertanian ini dengan cukup jeli, seperti era Orde Baru, yang membuat para petani kita cukup nyaman waktu itu."

(ali | irman)

Kamis, 22 September 2011

Reformasi Birokrasi dan Reshuffle Kabinet

Tiga belas tahun sudah era Reformasi berjalan. Tapi, apa daya, harapan rakyat yang memimpikan terwujudnya pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien tak juga menjadi kenyataan.

Sebab, perubahan rezim tak serta-merta membuat rakyat dapat bernapas lega. Sama seperti rezim sebelumnya, era Reformasi juga tak kuasa membebaskan dirinya dari sindrom kolusi,korupsi, dan nepotisme (KKN). Sifat persebarannya malah makin mengerikan karena tidak saja merasuk ke hampir semua institusi negara, termasuk legislatif, tetapi juga ke partai politik dan dunia usaha.

Hal ini, misalnya, terlihat dari kasus suap Sesmenpora dan Kemenakertrans yang ramai dibicarakan akhir-akhir ini. Harus diakui bahwa era Reformasi telah berhasil melahirkan kebebasan berdemokrasi. Tapi, kualitas sistem dan perilaku politik dan birokrasi masih tetap tersandera oleh budaya patrimonial. Sebagai lokomotif pemerintahan, idealnya birokrasi bisa menjadi garda terdepan dalam menyejahterakan rakyat dan mewujudkan pelayanan publik yang baik.

Oleh karena itu, selain memiliki good will dan komitmen yang kuat, birokrasi harus berani memperlihatkan perlawanannya dari dan bukan menghambakan dirinya pada premanisme politik dan kekuasaan. Di mata publik, potret buram birokrasi di Indonesia bersumber dari rendahnya kinerja pegawai negeri sipil (PNS).Ada banyak faktor yang menyebabkannya.

Salah satunya karena belum diterapkannya merit system dan gaji yang memadai. Bagi birokrat, gaji tak selalu identik dengan pendapatan. Kondisi ini telah menciptakan berlangsungnya hubungan kerja yang kolutif,nepotis,dan diskriminatif. Sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa birokrasi senantiasa tidak ditempatkan pada posisi, fungsi, dan perannya sebagai sebuah organisasi yang mengurus negara dan pelaksana pembangunan.

Sejak Indonesia merdeka sampai sekarang, pembenahan yang dilakukan belum substansial. Bahkan,umum dijumpai bahwa birokrasi digunakan sebagai mesin politik dan menggantikan fungsi serta peran partai politik sekaligus.Penetrasi politik dalam birokrasi pada akhirnya hanya menghasilkan disorientasi PNS/ birokrat yang hanya mengabdi kepada penguasa dan par-tainya dan bukannya menjadi “abdi negara” dan “abdi masyarakat”.

Kondisi ini jelas berdampak negatif terhadap karier PNS dan perkembangan birokrasi. Upaya untuk mereformasi birokrasi bukannya tak ada, melainkan tak memadai. Sejauh ini reformasi birokrasi lebih dimaknai sebagai remunerasi atau kenaikan gaji pegawai tanpa disertai dengan ketegasan penegakan hukum.Yang tersebut terakhir ini penting dikedepankan, antara lain untuk menggenjot peningkatan daya saing ekonomi.

Selain karena regulasi yang tak probisnis, rendahnya penegakan hukum telah menyuburkan praktik ekonomi biaya tinggi yang memperlemah daya saing ekonomi global Indonesia. Kasus Indonesia menunjukkan pentingnya membangun semangat kepeloporan dan mengurangi “budaya petunjuk”.

Setiap birokrat perlu membiasakan diri mencari caracara baru pelayanan publik yang praktis, nondis krimintaif, tangkas, inisiatif, antisipatif, dan proaktif dalam membaca kebutuhan publik.Kentalnya budaya petunjuk, misalnya, telah menurunkan kualitas pelayanan publik. Ciri birokrasi tersebut diperlukan untuk memutus mata rantai nilai-nilai patrimonial yang telanjur menjangkiti birokrasi dan mengganggu efektivitas kinerja pemerintahan.


Berharap Berkah Reshuffle Kabinet


Jauh di luar harapan publik, sejak tahun pertama Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II tak mampu memperlihatkan kinerja terbaiknya. Bahkan, para tokoh lintas agama, misalnya, mengungkap 18 tuduhan kebohongan publik yang dilakukan pemerintah. Usulan reshuffle kabinet telah berkalikali dikumandangkan, tetapi tak pernah mendapat tanggapan serius.

Dengan munculnya berbagai kasus suap/korupsi belakangan ini, tampaknya kali ini pemerintah tak lagi bisa mengelak. Indikasi akan adanya reshuffle kabinet, bahkan, telah diperlihatkan secara tersirat oleh SBY dan orang-orang terdekatnya. Buat rakyat, masalah reshufflekabinet menjadi penting bila hal tersebut bukanlah sekadar terjadinya perubahan personal para menteri,melainkan menjadi momentum percepatan pembangunan, khususnya melalui reformasi birokrasi dan penegakan hukum.

Kedua hal ini dibutuhkan untuk mewujudkan program KIB II yang disebut pro-poor,pro-job, dan propemerataan. Rendahnya kinerja kabinet sesungguhnya tak hanya disebabkan oleh lemahnya kepemimpinan seorang menteri, melainkan juga karena sistem pemerintahan dan birokrasinya yang belum tertata secara baik. Cerita sukses dari seorang menteri akan menjadi sia-sia bila hal itu tak dibingkai dalam sebuah sistem pemerintahan dan birokrasi yang memungkinkan terjadinya kesinambungan.

Tiadanya jaminan kesinambungan inilah yang mengharuskan Indonesia membangun sistem yang mantap. Pengalaman selama dua tahun terakhir ini menunjukkan bahwaIndonesiapadadasarnya memerlukan dibentuknya zaken kabinet atau kabinet ahli (kabinet kerja 2012–2014).Para ahli ini bisa berasal dari berbagai profesi, termasuk partai. Tak seperti dewasa ini,idealnya anggota kabinet yang berasal dari partai terlarang merangkap jabatan, apalagi se-bagai pimpinan partai.

Kondisi tersebut cenderung menyandera Presiden dalam upayanya memperbaiki kinerja dan mengakselerasi program-program kerja pemerintahannya. Presiden, misalnya, akan merasa ewuh pekewuh dan mengalami kesulitan untuk bersikap tegas kepada anggota kabinetnya yang diduga keras melanggar etika jabatan dan tersangkut korupsi dan manipulasi. Melihat maraknya korupsi dan suap di eksekutif,legislatif, dan yudikatif, kiranya penting dibuat format/formula budaya etika kerja yang memungkinkan terjadinya budaya lengser jabatan seperti yang banyak terjadi di Jepang, misalnya.

Di bawah sistem politik Pancasila yang berketuhanan, setiap pejabat publik yang terindikasi kuat melanggar sumpah jabatannya harus menunjukkan sikap legawa dan bukannya berlindung di balik SK jabatan sebagaimana banyak terjadi. Dengan kemenangan mutlak dalam pemilihan presiden langsung 2009, rakyat sangat berharap munculnya keberanian Presiden dalam menyusun anggota kabinet yang lebih mengakomodasi kebutuhan rakyat ketimbang kepentingan partai.

Politik pencitraan jelas perlu, tetapi hal itu tak cukup diwujudkan dalam bentuk wacana, melainkan mesti dalam tindakan nyata sebagai jawaban konkret, misalnya atas pernyataan para tokoh lintas agama tentang 18 tuduhan kebohongan publik yang dilakukan pemerintah.●

R SITI ZUHRO
Peneliti Utama Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Sumber: Harian Seputar Indonesia

Mau jadi saksi, Anas diapresiasi

Oleh John Andhi Oktaveri - Bisnis Indonesia

JAKARTA: Sejumlah kalangan mengapresiasi keputusan Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Anas Urbaningrum untuk memberikan keterangan sebagai saksi di hadapan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi hari ini.

Sekretaris Fraksi Partai Amanat Nasional, Teguh Juwarno mengatakan langkah yang diambil Anas tersebut perlu diapresiasi karena tidak sedikit politisi yang akan melakukan apapun untuk menghindari pemeriksaan hukum. Bahkan, menurut dia, tidak jarang pula pemeriksaan pejabat senior akan mengundang kontroversi dan kemarahan anggota partai.

"Sebagai Ketua umum Parpol terbesar, pemenang pemilu. Komitmennya untuk taat pada proses hukum harus diapresiasi," ujar Teguh kepada wartawan di Gedung DPR hari ini. Anas hadir di Gedung Komisi Pemberantasan Koruspi (KPK) sekitar pukul 10.00 WIB tanpa ditemani anggota fraksi Partai Demokrat maupun penasihat hukumnya.

Peneliti senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro mengatakan sebagai ketua umum partai tebesar di pemilu 2009, sudah seharusnya Anas Urbaningrum menunjukkan leadership dan kepemimpinannya.

Menurut dia, kalau memang tak bersalah Anas harus berani menghadapi permintaan bersaksi di KPK dan menerangkan dengan bukti sehingga bisa menepis klaim-klaim yang disampaikan Muhammad Nazaruddin. "Kedatangan dia di KPK sangat positif. Ini merupakan pembelajaran reformasi parpol, bahwa ketua umum parpol memberi contoh pembelajaran dalam hal partisipasi serta public accountability," kata Siti saat dimintai pendapatnya.

Kedatangan Anas jelas menunjukkan bahwa seorang ketua umum partai tetap harus menghargai hukum, ujar Siti. "Tak ada yg immun alias kebal hukum. Menurut saya apa yang dia lakukan cukuip elegan dan gentle. Dia memang harus menonjolkan leadership yang elegan," ujarnya.(api)

Senin, 05 September 2011

PPP Tetap, Golkar Berbasis Kinerja

Soal Bantuan Dana APBN untuk Parpol



Jakarta, Padek— Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menilai upaya parpol melakukan pendidikan politik terbatasi karena kurangnya bantuan anggaran. PPP mengusulkan agar bantuan APBN yang selama ini dialokasikan berdasarkan kursi, ditambah anggaran tetap untuk pendidikan politik.

Hal tersebut disampaikan Sekretaris Jenderal PPP M Romahurmuziy di Jakarta, kemarin (4/9). Menurut Romi, persoalan anggaran saat ini baru bisa tuntas jika ada perombakan sistem anggaran. ”Salah satunya memperbesar ruang pendanaan negara kepada parpol,” ujarnya.

Romi—sapaan akrab Romahurmuziy—menyatakan, fungsi pendidikan politik adalah amanat di undang undang. Namun, parpol saat ini direduksi oleh sekelompok tertentu, hanya difungsikan sebagai parpol yang bersifat elektoral. ”Hanya berfungsi untuk dapat suara, setelah itu tidak berfungsi lagi,” kata Romi.

Parpol dengan motif elektoral, kata Romi, hanya diisi kumpulan kepentingan. Ideologi parpol tidak jelas. Fungsi parpol yang sebenarnya harus dikembalikan dengan memberi dukungan melalui kontribusi negara. ”Parpol harus kembali menjadi muara dan kumpulan ideologi,” jelasnya.

Karena itu, dukungan dana APBN yang bersifat tetap harus ada untuk mendukung kerja parpol. Romi menyatakan, jumlah alokasi dana untuk pendidikan politik ini diberikan sama rata, kepada siapa pun parpol yang meraih kursi di DPR. Sementara, alokasi yang berbeda tetap bisa menggunakan bantuan APBN berdasarkan perolehan kursi. ”Jadi, ada dua variabel,” ujarnya.

Dukungan dana yang tetap, kata Romi, karena pendidikan politik kepada publik tidak memandang jumlah suara. Ini karena, berapapun jumlah suara yang diperoleh, parpol tetap memiliki kewajiban yang sama untuk memberikan pendidikan politik. ”Kalau tetap menggunakan suara nanti akan bias dengan ketimpangan daerah dalam mendapat pendidikan politik,” tandasnya.

Berbeda dengan PPP, Kapoksi Fraksi Golkar di Badan Legislasi Taufiq Hidayat menilai, pendanaan parpol oleh rakyat sebaiknya berbasis kinerja. ”Kalau untuk pendidikan politik, sebenarnya itu bisa ditempuh tidak dengan membebani APBN,” kata Taufiq saat dihubungi.

Menurut Taufiq, selama ini bantuan APBN kepada parpol dicairkan berbasis perolehan kursi. Jika pola pendanaan itu ditambah masih melalui APBN, hal itu justru akan membebani rakyat. ”APBN saat ini kan sudah berat, jangan ditambah lagi,” ujarnya.

Dia menyatakan, sudah saatnya dipikirkan pola pendanaan parpol dari rakyat berdasarkan kinerja. Pola semacam itu bisa dilakukan melalui mekanisme pajak alokasi. ”Sudah perlu dirintis pendanaan parpol melalui pajak alokasi,” kata Taufiq menegaskan.

Pola pendanaan ini, kata Taufiq, sudah diterapkan di Amerika Serikat. Dia menjelaskan, pendapatan parpol bisa didapat dari pajak berdasarkan persetujuan dari masyarakat. Jika parpol memiliki kinerja baik, maka masyarakat mengalokasikan pajak mereka untuk pendanaan parpol. ”Tolok ukurnya kepuasan masyarakat,” kata Taufiq.

Sebelum sumbangan masyarakat dari pajak itu disampaikan, terlebih dahulu parpol harus menyampaikan laporan kinerja tahunan. Dengan begitu, tidak semua parpol nantinya akan mendapatkan pendanaan dari rakyat. Hanya parpol yang kinerjanya pro rakyat yang nantinya mendapatkan sumber pendanaan. ”Kalau tidak perform, ya tidak mendapat apa-apa,” ujar Taufiq.

Pakar politik LIPI Siti Zuhro secara garis besar ikut mendukung agar pendanaan parpol diambilkan dari APBN. ”Saya setuju, sejak tahun lalu saya sudah ikut mendorong, sebab daripada mendapatkan dana APBN secara ilegal, lebih bagus legal dan itu akan relatif lebih kecil (alasan mencuri APBN, red),” ujar Siti Zuhro. (bay/dyn/jpnn)

[ Red/Redaksi_ILS ]