Selasa, 14 September 2004

Dialog Capres sebagai Ajang Kolusi

Jakarta, Sinar Harapan

Dialog pasangan calon presiden (capres) mulai Selasa (14/9) pukul 20.00 sampai Kamis (16/9) merupakan ajang yang kolutif karena sudah ada kompromi-kompromi dan rekayasa. Hal ini terlihat dari panelis yang tidak independen karena diajukan oleh pasangan capres, bukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Demikian pendapat pengamat bidang politik, birokrasi dan otonomi daerah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr R Siti Zuhro, PhD. Pengamat komunikasi politik, Viktor Manayang yang juga Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), ketika dihubungi secara terpisah menilai panelis dalam dialog nanti tidak independen.

Siti Zuhro yang dihubungi SH Selasa pagi, menegaskan bahwa dalam acara capres nanti malam tidak ada debat sehingga sama sekali tidak ada dinamikanya. Padahal kalau kedua pasangan capres-cawapres itu disandingkan, akan sangat menarik karena ada spontanitas jawaban dari para capres-cawapres dan ini memperlihatkan figur mereka, serta pengetahuan dan ketangkasan mereka.
“Saya tidak tahu mengapa berubah dari acara kampanye untuk pilpres putaran pertama dulu, yang saling menanggapi. Dengan acara monoton sekarang ini jadi sangat linier, tidak ada greget, hanya ungkapan yang semestinya lewat media massa juga bisa,” tambah Siti Zuhro.
Ia menilai pergeseran itu karena persoalan individu, karena dulu kedua capres yaitu Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berada dalam satu kabinet. “SBY kan dulu pembantunya Megawati, jadi memang ada efek psikologis bagi Megawati; bagaimana, dia dulu bosnya masak pembantu disandingkan dengan bosnya. Tapi seharusnya persoalan ini dilepaskan saat mereka berdua menjadi capres. Nah, ini rancunya.”
Ia berpendapat, seharusnya kampanye capres seperti dulu, ada debat sehingga ada dinamika. Mengenai panelis, seharusnya menjadi wewenang bagi penyelenggara yaitu KPU untuk merekrutnya. Jadi kalau panelis ditunjuk oleh capres, berarti menjadi ajang yang kolutif, sudah ada kompromi dan rekayasa sedemikian rupa.
Oleh karena itu Siti Zuhro mengusulkan, di masa depan kalau sudah ada kesepakatan hubungan langsung antara pemilih dan yang dipilih, maka jangan setengah-setengah. Sebab seperti sekarang, demokrasi di Indonesia setengah-setengah, yakni tidak otoriter tapi juga tidak demokrasi penuh. “Debat juga, mestinya debat yang sesungguhnya. Tapi sekarang ini debat-debatan. Jadi percuma saja kalau sepert ini, tidak objektif.”

Viktor Manayang ketika dihubungi SH, Senin (13/9), mengungkapkan hal serupa. Menurutnya, panelis yang tampil dalam acara “dialog penajaman visi, misi dan program pasangan capres dan cawapres” kurang independen, sebab panelis diajukan oleh pasangan capres-cawapres. “Kredibilitas dialog itu yang kurang, karena panelis diusulkan sendiri pasangan calon. Ya, dengan sendirinya independensinya berkurang. Seharusnya pasangan calon cukup mengajukan kriteria dari panelis.”
Dialog tersebut berlangsung selama tiga hari (14-16 September 2004) dengan dipandu oleh tiga moderator dan 24 panelis, di Hotel Hilton, Jakarta, pukul 20.00 WIB. Kedua pasangan capres-cawapres tampil secara terpisah. Menurut Manayang, idealnya panelis diusulkan dan ditetapkan oleh KPU sebagai penyelenggara, namun pasangan calon harus tetap diberi kesempatan untuk menolak panelis dengan alasan yang bisa diterima. “Kalau ada panelis yang diperkirakan akan menyudutkan pasangan calon tertentu, maka pasangan calon bisa menolak. Tapi kalau ikut menentukan panelis, itu akan menyebabkan kurang independen.”
Ia mengungkapkan, di berbagai negara maju, pasangan calon bisa menolak panelis yang dianggap memusuhi mereka, sehingga panelis itu bisa ditolak. Tapi yang terjadi di negara kita, panelis yang tampil justru sangat berpihak pada pasangan calon. “Bila panelis diusulkan pasangan calon, tentu yang dipilih merupakan yang berpihak,” tuturnya.
Mengenai argumen dari tim kampanye bahwa usulan panelis itu agar ada jaminan visi, misi dan program bisa digali lebih jauh, Manayang mengatakan, tentunya tim kampanye memikirkan agar pasangan calon yang didukung tetap aman. Jadi, sejauh sesuatu itu bisa dikontrol, maka tim kampanye akan berusaha mengontrol. “Memang ini akan menguntungkan pasangan calon, tapi sebenarnya merugikan publik.”


Massa Mengambang



Ditanya tentang efektivitas dialog selama tiga hari untuk meraih dukungan, Manayang menjelaskan, pasangan calon hanya bisa membidik massa mengambang, sebab sebagian besar pemilih sudah menentukan pilihan pada putaran pertama. Artinya, kedua pasangan calon hanya memperebutkan suara yang mendukung Amien Rais, Wiranto dan Hamzah Haz pada pilpres putaran pertama lalu.
“Kalau pada putaran pertama, mereka yang memilih Megawati atau SBY akan tetap memilih itu pada putaran kedua ini. Jadi, massa mengambang itu kian sedikit menjelang hari pencoblosan,” jelasnya. Ia juga memperkirakan dialog itu tidak akan membawa pengaruh besar untuk perolehan suara, karena dari berbagai kegiatan yang mirip kampanye selama ini pemilih sudah bisa menentukan pilihan.
“Kan sudah ada yang pilih golput, dukung calon ini atau itu. Jadi, tidak terlalu banyak pemilih yang bisa digoyahkan dengan dialog selama tiga hari itu,” kata Manayang. Selain itu, publik yang menyaksikan acara dialog itu tidak lagi menjadikan acara dialog sebagai satu-satunya referensi untuk menentukan pilihan pada 20 September 2004. “Tentu, dialog itu ada pengaruhnya, tapi saya kira tidak terlalu besar.”

Hal itu juga ditanggapi Siti Zuhro. Menurutnya, posisi Megawati sebelum terjadi bom Kuningan sudah baik, ini terlihat dari hasil jajak pendapat. Tapi setelah bom Kuningan, posisi Megawati tidak diuntungkan, karena ini menyangkut kinerja pemerintahan Megawati. “Bagaimanapun, rakyat melihat dari itu. Tapi masalahnya, bagaimana dia mengatasi masalah ini, bagaimana meyakinkan kembali kepercayaan masyarakat. Ini yang saya lihat belum dilakukan secara maksimal.” (ayu/ady)