Senin, 22 Desember 2008

Ani Dan Tutut Tersingkir PKS Award Nggak Politis

LEGISLATIF

Tidak Pengaruhi Perolehan Suara

Mbak Tutut dan Ibu Ani Yudhoyono tersingkir dari nominasi penerima PKS award. Acara penghargaan bertajuk 8 inspiring woman itu sepi peminat. Alhasil manuver politik itu, tak berhasil menggaet hati pemilih perempuan.

Harapan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mendulang suara dari kaum hawa, melalui ajang PKS award tak terpenuhi.

Tersingkirnya nama besar perempuan Indonesia seperti, first lady Ibu Ani Yudhoyono dan putri mendiang Soeharto Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut, dari daftar calon unggulan penerima penghargaan membuat acara itu, jauh dari gaung politik.

Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menilai, penghargaan itu tak membawa dampak positif sama sekali, untuk mendongkrak perolehan suara PKS dari kaum perempuan.

"Kalau cuma acara seremonial, tanpa ada tindak lanjutnya, maka acara itu tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap perolehan suara PKS dari kaum perempuan," ujar Siti Zuhro saat dihubungi Rakyat Merdeka melalui ponselnya, kemarin.

Apalagi, lanjut Siti Zuhro, media massa baik cetak atau elektronik tidak memblow up acara itu, maka dipastikan gawe PKS itu mubazir. Alhasil acara itu, kurang direspon masyarakat, karena hanya kalangan tertentu saja yang mengetahui itu.

"Seharusnya acara itu dibantu juga lewat iklan, supaya masyarakat mengetahui dan menjadikan perempuan yang menerima penghargaan itu, menjadi motivator baginya," pungkasnya.

Sementara itu, Ketua Bidang Kewanitaan DPP PKS, Leida Hanifa Amaliah membeberkan, perempuan penerima penghargaan PKS berasal dari bidang birokrasi, pendidikan, sosial-budaya dan lingkungan.

"Inspirasi itu tak mesti datang dari orang besar. Seringkali datang dari orang yang dianggap kecil oleh orang lain," katanya.

Lebih lanjut, Leida melalui pesan singkatnya kepada Rakyat Merdeka mengungkap, tersingkirnya nama Ibu Ani Yudhoyono, Mbak Tutut dan Mufidah Kalla dari daftar unggulan penerima penghargaan, bukan berarti lantaran mereka tidak menginpirasi perempuan Indonesia. Nama-nama itu tak muncul, lantaran dukungan mereka kurang kuat.

"Ini kan mekanismenya polling melalui SMS, jadi yang banyak dukungan, maka dialah yang tampil. Polling ini tidak ada keterpautan dengan PKS," katanya.

Ribuan pesan pendek yang diterima PKS dari perempuan Indonesia, hanya memilih delapan orang yakni, Marwah Daud Ibrahim, Neno Warisman, Nani Zulmarini, Edi Sedyawati, Bunda Iffet, Eniya Listiani Dewi, Maria M. Hartaningsih, dan Sri Wulandari.

Sekadar informasi, ke delapan nomine yang keluar itu, telah menerima penghargaan pada Jum'at (19/12). Acara malam penghargaan itu digelar di Ballroom Hotel Sari Pan Pacific.

Saat menerima penghargaan, Marwah Daud Ibrahim mengajak kaum perempuan untuk terjun ke dunia politik.

Rakyat Merdeka |

Rabu, 03 Desember 2008

The Habibie Center dan Kepemimpinan Nasional

Hbbie_web.jpgThe Habibie Center (THC) pada tanggal 25 November 2008, bertempat di Ballroom Hotel Gran Melia, mengadakan rangkaian acara rutin tahunan berupa penganugerahan The Habibie Award dan Beasiswa S-3 serta seminar dengan tema "Pemilu 2009: Konsolidasi Demokrasi dan Transformasi Kepemimpinan Nasional."

Dr. Ahmad Watik Pratiknya atas nama THC memberikan pengantar seminar berjudul "Krisis Kepemimpinan dan Kepemimpinan dalam Krisis: Refleksi THC tentang Kepemimpinan Nasional."

Beberapa hal menarik disampaikan dalam refleksi THC tentang kepemimpinan nasional antara lain: Pertama, sesungguhnya banyak potensi (muda) yang berkualitas di partai maupun sumber yang lain untuk jadi presiden, masalahnya adalah sedang terjadi "sumbatan" pada proses rekruitmen dan aktualisasi potensi calon.

Kedua, THC juga mencermati bahwa bangsa Indonesia sedang mengalami sindrom kepemimpinan "semu" (quasi leadership syndrome). Attitude lebih sebagai politisi dari pada sebagai pemimpin (leader); Behavior lebih transactional daripada transformative; dan dalam action dan decision lebih simbolik (hadir secara fisik yang dirundung krisis, kunjungan ke lokasi bencana) daripada functional (aksi nyata berupa keputusan atau kebijakan yang tertata, terukur dalam mengatasi persoalan secara tepat dan cerdas).

Ketiga, banyak pemimpin melihat kekuasaan sebagai tujuan dan bukan sebagai alat mencapai tujuan. Kepemimpinan transactional lebih diambil dengan pertimbangan "untung rugi" seperti perdagangan, bukan benar-salah atau tepat-melenceng; mengandalkan hard power seperti perintah, reward, hukuman dan kepentingan pribadi (self interest) sementara kepemimpinan transformative berorientasi pada perubahan demi mencapai tujuan, dengan melibatkan sebanyak mungkin pengikut serta lebih memanfaatkan soft power seperti; memberi contoh, memotivasi pengikut untuk memiliki idealisme dalam mencapai tujuan.

watikKeempat, Dr. Watik kemudian mengutip Karen Boehnke dkk (1998) yang melakukan penelitian lintas budaya dan menemukan bahwa pemimpin transformational memiliki kesamaan perilaku: Visioning (mampu memberikan rumusan masa depan, ke mana kita akan mengarah); Inspiring (mampu menimbulkan kegairahan); Stimulating (bisa merangsang minat); Coaching (bisa memberikan bimbingan) dan Team Building (mampu membangun tim kerja yang solid).

Kelima, dalam krisis urutan kriteria pemimpin menurut The Habibie Center adalah: 1) Kriteria Utama (decisive) yang berarti kemampuan mengambil keputusan secara cepat dan tepat waktu serta akurat serta mampu menjalankan keputusan dan mengelola perubahan secara sistemik; 2) Kriteria Dasar (kapabilitas) memiliki visi dan pandangan jauh kedepan, bisa mengarahkan dan memobilisasi rakyat mencapai tujuan, punya kecerdasan emosional dan bisa berempati serta kemampuan komunikasi, memahami dinamika daerah serta visi internasional dalam bentuk track record yang nyata; dan (integritas moral, kejujuran publik, adil, tak tersangkut KKN atau kasus asusila; 3) Kriteria Pendukung (akseptabilitas) atau bisa diterima atau dapat dukungan publik.

zuhro-dfaDr. R. Siti Zuhro (THC), mengingatkan bahwa makna pemilu bukanlah sekadar pembeda antara sistem demokrasi dan otoriter tapi merupakan sarana suksesi kepemimpinan secara demokratis, untuk mencari pemimpin yang berintegritas, kredibel, kapabel, akseptabel, akuntabel, visioner dan berani dan tegas dalam membuat dan menjalankan keputusan, memiliki jiwa kenegarawanan, solidarity maker, berwawasan daerah, nasional dan internasional, dan mampu menyelesaikan masalah mendasar bangsa dan bisa membawa perubahan.

Prof. Dr. Dewi Fortuna Anwar (THC), mengingatkan bahwa presiden adalah icon yang tidak bisa didelegasikan. Perlu memahami kompleksitas global dan keterkaitan luar dan dalam negeri. Pemimpin nasional perlu mengartikulasikan kepentingan nasional dan pandangan tentang tatanan regional dan global di setiap panggung.

effendi-komaruddinProf. Dr. Sofian Effendi (THC) melihat pentingnya peran birokrasi, dan memberikan kriteria pemimpin nasional sbb: Integritas dan kepribadian tinggi, kredibilitas, kapabilitas, akseptabilitas, akuntabilitas, visioner, pemberani, negarawan, solidarity maker dan berwawasan global. Ia juga mengingatkan bahwa saat ini ada 503 kabupaten/kota dengan sumber pembiayaan 90 persen dari pusat, dan 80 persen dari dana tersebut untuk kepentingan rutin pengelolaan pemerintahan, hanya 20 persen untuk kesejahteraan masyarakat. Pemimpin nasional perlu mencermati hal ini secara khusus.

Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Syarif Hidayatullah). Menyatakan bahwa kalau dulu Bung Karno political builder, Pak Harto economic builder, pemimpin sekarang harus menjadi cultural and education builder. Pemimpin yang diperlukan saat ini adalah civilization builder yang bisa mengkombinasikan ketiga kapasitas di atas, dengannya diharapkan mampu pula menyatukan pilar ekonomi, masyarakat, birokrasi, universitas dan media. Harus ada impian besar untuk mengikat kebersamaan.

baswedanDr. Anis Baswedan menyatakan pemimpin Indonesia harus bisa memberikan optimisme. Adalah sebuah ironi bahwa dulu di Zaman Bung Karno penduduk mayoritas miskin dan tidak terdidik, sedang dijajah sehingga kita punya semua alasan untuk pesimis, tapi Bung Karno dan pejuang segenerasinya memunculkan sikap optimisme. Saat ini kita punya semua alasan untuk menjadi optimis tapi kita, termasuk media, dilanda oleh gelombang pesimisme kolektif. Jadi self defeating nation. Salah satu tugas pemimpin adalah menimbulkan optimisme.

Para pembicara mengingatkan bahwa Pemilu 2009, harus menjadi arena konsolidasi demokrasi. Dewi Fortuna menegaskan bahwa demokrasi bukan alat tapi nilai (values) yang harus diperjuangkan. Anis Baswedan mengingatkan agar kita tidak hanya sibuk memikirkan input tapi juga output delivery dan manfaat dan jelas serta rangkaian dan komponen arsitek demokrasi.

Prof. Ing. B.J. Habibie yang mengkuti dengan saksama dialog dan menjadi penanggap mengingatkan perlunya pemimpin fokus pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Serta mengingatkan tentang pentingnya peran agama, budaya, dan iptek dalam proses pengembangan peradaban.

Kepemimpinan adalah faktor penting untuk mewujudkan Nusantara Jaya. Rangkaian studi dan seminar The Habibie Center telah membantu kita untuk melihat dengan perspektif yang lebih tajam dan luas. Tantangan kita adalah mencari, menemukan dan membentuk barisan kepemimpinan nasional yang tangguh dalam era tarikan globalisasi di satu ujung dan tarikan otonomi daerah di ujung yang lain.

Mari kita lakukan dengan hati. Salam Nusantara Jaya 2045.

www.marwahdaud.com dan marwahdi@yahoo.com

Rabu, 26 November 2008

Sistem Multi Partai Lahir Kader Asal Comot

multipartaiJAKARTA-- Mantan Rektor Universitas Gajah Mada (UGM) Prof Dr Sofian Effendi menilai, sistem politik multi partai telah menyebabkan lahirnya kader-kader partai "asal comot".

"Kader 'asal comot' itu tidak dibekali pengetahuan yang cukup tentang fungsi sistem politik, bermoral rendah, dan menganggap politik adalah lapangan pekerjaan baru, dan menjadikan proses politik sebagai komoditi atau barang dagangan," katanya di Jakarta, Selasa.

Hal tersebut dikatakannya pada seminar bertema "Pemilu 2009: Konsolidasi Demokrasi dan Transformasi Kepemimpinan Nasional" yang diselenggarakan dalam rangka HUT ke-9 The Habibie Center (THC).

Selain Sofian Effendi, pembicara lain dalam seminar tersebut adalah Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Komarudin Hidayat, pengamat politik Dewi Fortuna Anwar dan peneliti senior THC Siti Zuhro.

Karena itu, katanya, partisipasi politik masyarakat hanya bersifat formal dan terbatas hanya pada kegiatan pemilu. Ia juga mengatakan bahwa menjelang Pemilu 2009 belum nampak tanda-tanda akan terjadinya perubahan yang signifikan terhadap kemacetan konsolidasi demokrasi di Tanah Air.

Sedangkan peneliti senior THC Siti Zuhro mengatakan bahwa pemilu bukanlah sekadar pembeda antara sistem demokrasi dan sistem otoriter.

Namun, katanya, pemilu merupakan sarana bagi suksesi kepemimpinan secara demokratis, untuk mencari pemimpin yang berintegritas, kredibel, kapabel, akseptabel, akuntabel, dan mampu menyelesaikan masalah bangsa serta menjanjikan perubahan.

Karena itu, dia berharap, Pemilu 2009 mampu menciptakan sistem, mekanisme, dan proses pemilu yang memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas keterwakilan dan akuntabilitas politik.

Sedangkan pengamat politik Dewi Fortuna Anwar yang juga Direktur Program dan Riset THC dalam seminar tersebut memaparkan makalah tentang kepemimpinan nasional dan konstelasi politik global.

Ia mengatakan bahwa presiden merupakan simbol utama negara dan mewarnai pelaksanaan politik luar negeri dan ikon tersebut tidak bisa didelegasikan.Karena itu, katanya, pemimpin nasional ke depan perlu memahami kompleksitas global dan mampu mengartikulasikan kepentingan nasional dan meningkatkan citra politik RI di lingkungan internasional. ant/ah

Selasa, 25 November 2008

Koalisi Tak Berlanjut, Tanda Semunya Politik Indonesia

JAKARTA, SELASA - Koalisi yang tak berkelanjutan dipandang sebagai tanda bahwa proses politik yang dimainkan oleh partai politik di Indonesia masih semu, tidak hakiki dan hanya digunakan untuk mewujudkan ambisi elit politik melalui parpol sebagai mesin kekuasaan.

Hal ini diungkapkan oleh manajer Riset The Habibie Center (THC), Siti Zuhro, dalam seminar nasional THC yang bertajuk "Pemilu 2009, Konsolidasi Demokrasi dan Transformasi Kepemimpinan Nasional" di Hotel Gran Melia Jakarta, Selasa (25/11).

"Koalisi yang dibangun antar parpol seringkali membingungkan masyarakat dan tidak berbasis pada ideologi dan platform partai," ujar Siti.

Menurut dia, dalam kondisi ini proses politik belum dimaknai sebagai proses pendidikan politik secara utuh untuk masyarakat. Parpol juga belum menyadari dirinya sebagai media artikulasi kepentingan masyarakat untuk mewujudkan harapan, keinginan dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat.

Siti mengharapkan ke depannya perlu kesamaan antara koalisi partai di daerah dengan koalisi partai di tingkat nasional dengan memberlakukan electoral treshold sebesar lima persen. "Ini maksudnya, agar Indonesia di masa yang akan datang cuma punya dua partai saja," tutur Siti.

LIN

Minggu, 23 November 2008

'KPU Harus Profesional'

Mekanisme kontrol ada di tangan masyarakat.



JAKARTA -- Demi membangun kepercayaan masyarakat pada penyelenggara pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) diminta agar dapat bekerja secara profesional. Jika masyarakat tidak memercayai penyelenggara pemilu, akan berimplikasi pada pelaksanaan pemilu. ''Harus membangun kepercayaan dari masyarakat dengan bekerja secara transparan dan akuntabel,'' kata Valina Singka, mantan anggota KPU, Sabtu (22/11).

Ditemui setelah menjadi pembicara dalam seminar Belajar dari Pilkada Langsung Menuju Pemilu 2009 yang diselenggarakan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat, Valina Singka juga meminta KPU agar lebih transparan, bekerja sesuai jadwal, bertanggung jawab dalam menyelenggarakan pemilu, dan memberikan informasi yang menyeluruh pada masyarakat.

Hal senada juga disampaikan Siti Zuhro, peneliti utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Ia menilai, anggota KPU saat ini belum menunjukkan profesionalismenya. ''Perlu ada peningkatan profesionalisme dan independensi KPU,'' katanya.

Siti Zuhro mencontohkan, banyak pelaksanaan tahapan pemilu yang meleset dari jadwal yang telah ditentukan. Selain itu, sering terjadi kesalahan dalam data yang dikeluarkan KPU. Ia berharap, dalam waktu yang relatif singkat, KPU dapat membenahi kinerjanya.


Waspadai persekongkolan



Selain itu, Siti Zuhro pun meminta agar masyarakat mewaspadai kemungkinan adanya persekongkolan politik dan bisnis dalam pemilihan umum yang melibatkan peserta pemilu dengan pemilik modal.

Ia mengingatkan, kemungkinan persekongkolan tersebut juga terjadi dalam pemilu legislatif serta pemilihan presiden dan wakil presiden 2009.
''Ini perlu dicermati dan diwaspadai kemungkinan persekongkolan politik dan bisnis yang dapat menjadikan pemilu hanya sebagai seremonial belaka,'' katanya.

Dia menjelaskan, jika persekongkolan ini dibiarkan begitu saja, dikhawatirkan pemerintah hasil pemilu hanya akan loyal pada klien politik dan bisnisnya daripada rakyat. ''Ini harus diakhiri. Mekanisme kontrol ada di masyarakat. Harus ada gerakan untuk menghentikan ini,'' katanya.

Pemilik modal, lanjut dia, tidak dilarang untuk memberikan bantuan pada peserta pemilu. Sebaliknya, peserta pemilu juga diperbolehkan untuk menerima bantuan, namun mereka harus tetap mempertahankan independensi.

''Selama dana yang diberikan tidak mengikat pemenang pemilu untuk selalu mengikuti kemauan pemilik modal maka tidak masalah. Akan tetapi, bagaimana jika itu mengikat?'' katanya. ant
(-)

KPU Diminta Lebih Transparan

JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum diminta untuk lebih transparan dan bertanggung jawab dalam menyelenggarakan pemilu sehingga mampu mempertahankan serta membangun kepercayaan masyarakat pada penyelenggara pemilu.

Menurut mantan anggota KPU Valina Singka, di Jakarta, Sabtu, membangun kepercayaan masyarakat pada penyelenggara pemilu sangat penting. Jika masyarakat tidak mempercayai penyelenggara pemilu, maka akan berimplikasi pada pelaksanaan pemilu."Harus membangun kepercayaan dari masyarakat dengan bekerja secara transparan dan akuntabel," katanya.

Ditemui setelah menjadi pembicara dalam seminar "Belajar dari Pilkada Langsung Menuju Pemilu 2009" yang diselenggarakan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat, Valina Singka mengatakan KPU harus profesional, bekerja sesuai jadwal, dan memberikan informasi yang menyeluruh pada masyarakat.

Hal senada juga disampaikan Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro. Ia menilai anggota KPU saat ini belum menunjukkan profesionalismenya. "Perlu ada peningkatan profesionalisme dan independensi KPU," katanya.

Siti Zuhro mencontohkan banyak tahapan pemilu yang pelaksanaannya meleset dari jadwal yang telah ditentukan. Selain itu sering terjadi kesalahan dalam data yang dikeluarkan KPU. Ia berharap dalam waktu yang relatif singkat KPU dapat membenahi kinerjanya.

Jenuh, pemilih



Sementara itu, untuk mengantisipasi terjadinya penurunan partisipasi masyarakat dalam pemilu, maka KPU diminta untuk lebih menggiatkan sosialisasi yang lebih menyeluruh. Menurut Valina, tugas KPU tidak berhenti pada memberikan informasi teknis pelaksanaan pemilu, melainkan juga pendidikan politik bagi masyarakat bagaimana memilih dengan benar."Masyarakat harus diberikan edukasi bahwa menggunakan hak pilih itu penting," katanya.

Ia mengatakan terdapat kejenuhan dalam masyarakat sehingga mereka tidak merasa perlu untuk menggunakan hak pilihnya. Pemikiran ini harus diubah dengan memberikan pendidikan politik.KPU dapat memanfaatkan sarana dan prasarana yang efektif untuk sosialisasi sehingga dapat menjangkau pemilih hingga daerah terpencil.

Namun, KPU tidak dapat bekerja sendiri. KPU perlu membangun komunikasi politik dengan pemerintah, pemerintah daerah, dan partai politik.Selain itu, membangun jaringan dengan masyarakat sipil. ant/kp

Sabtu, 22 November 2008

"Quick Count" Dituding Membingungkan Rakyat

Peneliti LIPI Siti Zuhro, Koordinator JPPR Jerry Sumampow, dosen FISIP UI Valina Singka dan fungsionaris PDI-P Firman Jaya Daeli (kanan ke kiri) dalam Seminar Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) bertajuk 'Belajar dari Pilkada Langsung Menuju Pemilu 2009' di Hotel Acacia Jakarta, Sabtu (22/11).



JAKARTA,SABTU - Banyaknya lembaga survei yang melakukan penghitungan cepat (quick count) terhadap hasil pilkada atau pemilu berpotensi besar membingungkan rakyat.

Hal itu diungkapkan peneliti senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro dalam Seminar Nasional 10 Tahun Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) bertajuk 'Belajar dari Pilkada Langsung menuju Pemilu 2009' di Hotel Acacia Jakarta, Sabtu (22/11).

"Iya, Jatim membuktikan dengan sangat jelas dan secara kuat membuktikan quick count itu membingungkan rakyat. Kalau mereka (rakyat) nggak dewasa, rakyat itu bisa bunuh-bunuhan. Sense of terrorizing-nya tinggi sekali, tentara saja (kemarin) sampai turun," tutur Siti.

Siti menyayangkan banyaknya lembaga survei seperti itu yang bertebaran sepanjang pilkada berlangsung. Tak ada yang dapat menjamin bahwa lembaga survei tersebut independen dari kepentingan bisnis tertentu.

Siti menyebutkan keuntungan survei seperti itu mencapai miliaran rupiah. Belum lagi jika terkait dengan kepentingan politik tertentu. "Oleh karena itu, test case seperti itu jangan dicoba-coba secara nasional," tandas Siti.

Siti menekankan pentingnya sosialisasi dan pengumuman bahwa hasil perhitungan cepat tak selamanya benar. Harus ada keterbukaan yang dibangun oleh lembaga-lembaga survei tersebut.

Caroline Damanik

Rabu, 22 Oktober 2008

ADS Alumni Profile

R Siti Zuhro

Year of graduation: 2005
University: Curtin University of Technology
Qualification: PhD in Politics
Current employer: LIPI
Current position: Senior Researcher

Current Employment


Since completing her AIDAB Scholarship, Siti (whom like to be called Wiwiek) has been active as a researcher and writer, with more than 100 books, journals and articles to her credit.. In 2007 Wiwiek travelled to the USA to present two papers, the first titled ‘Three Border Regions (Indonesia-Malaysia-Philippines): Indonesia’s Perspectives’ at the US Pacific Command in Hawaii and the second ‘The Importance of the Habibie’s Regional Autonomy Policy for Indonesia: Reflections on the Habibie Era’ at the Johns Hopkins University in Washington DC.

Today Wiwiek is a Research Manager at the Habibie Center and lectures for postgraduate students at the Muhammadiyah University in Jakarta.



The benefit of an Australian Government Scholarship


Having had the benefit of both a Masters and PhD scholarship provided by the Australian Government, Siti summaries the time in Australia as a “great learning experience”, describing the education system in Australia as independent, rational and focused. Siti concludes by stating that in everything she does in Indonesia, she adopts the concepts acquired from her educational experience in Australia.

Jumat, 19 September 2008

Pemilu Terancam Meleset Dari Jadwal

Dinujumkan Pemilu 2009 dikhawatirkan akan meleset dari jadwal yang telah ditetapkan. Pasalnya faktor yang mengganjal proses pelaksanaan baik dari internal Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun eksternal dinilai banyak pihak masih banyak yang tidak mendukung.

Ini sangat berbahaya sebab seperti dikatakan Dr. R.Siti Zuhro, MA, peneliti utama bidang politik dari Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI), Pemilu yang tidak memiliki keabsa han bisa jadi akan melahirkan keadaan yang tidak stabil.

Otoritas untuk memerintah akan jauh lebih kuat jika pemerintahan hasil pemilihan umum diakui telah terpilih sesuai dengan undang-undang di bawah pengawasan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang independen. Berikut pernyataannya kepada Nuryaman dari Tabloid Parle.


Banyak kekhawatiran Pemilu 2009 akan meleset dari jadwal. Mungkinkah?

Kita sadari tugas KPU memang berat tapi kalau mereka tidak fokus, tidak menunjukkan profesionalismenya untuk on time memang dikhawatirkan pemilu bisa jadi akan meleset dari jadwal. Apalagi peraturan yang ada seperti paket UU politik juga belum kongrit, sehingga banyak faktor internal maupun eksternal yang juga tidak mendukung.

Jadi ini yang perlu dipikirkan bagaimana kita bisa secara sama-sama mendorong, mengawal agar KPU tidak lengah dan tidak kedodoran. Kemudian KPU jangan fokus dulu ke soal jalan-jalan ke luar negeri, tetapi lebih fokus pada tahapan yang mesti dilalui dan semestinya on time.


Bisa dijelaskan ganjalan internal itu seperti apa?

Kita sudah memaafkan loading kerjaan KPU yang begitu membludak, cuma bagaimana memprioritaskan tadi yang memang sudah harus difokuskan. Jadi ada hal yang sebetulnya bisa KPU lakukan dan tangkas direspon tapi itu tidak terjadi padahal bisa menjadi ganjalan.

Misalnya pengalaman kami di KPUD DKI Jakarta menjadi timsel, bikin soalnya sendiri, padahal soal harusnya dibuat oleh KPU karena usulan dari timsel daerah. Akhirnya karena harus dihadapkan pada tugas seperti itu apa yang terjadi terlambat semua. Kita timsel bikin sendiri soal karena di situ sudah ada lima pakar.

Atas dasar itu memang kita sendiri sudah makfum dari anggota KPU yang ada saat ini. Jadi yang perlu kita kontribusikan sekarang bagaimana mengawal mereka ini supaya tidak kedodoran seperti saya katakan tadi. Caranya diingatkan bahwa ini tidak boleh luput dari jadwalnya.


Ganjalan eksternal tadi bahayanya buat KPU?

Oh ya kendala eksternal itu akan menguji kapasitas dari KPU itu sendiri bagaimana mereka dengan tangkas merespon kendala-kendala tersebut. Tapi dari awal memang banyak pihak yang sangat mengkhawatirkan penundaan pemilu itu akan terjadi.


Apakah ganjalan itu sengaja diciptakan atau bagaimana?

Saya kira kalau yang berkaitan dengan paket undang-undang politik Anda pasti tau silakan terjemahkan sendiri. Tetapi mungkin seperti godaan mau jalan-jalan ke luar negeri itu loh menurut saya yang tidak tepat. Kalau kinerja KPU-nya sudah wahid mungkin tidak masalah tapi kinerja seperti sekarang ini janganlah proses dulu ke internal KPU untuk menyongsong Pemilu 2009.


Kesiapan KPU sendiri bagaimana untuk menghadapi Pemilu 2009?

Kalau ditanya persepsi kita dengan persepsi KPU pasti berbeda. Dari kami kesannya kesiapan mereka memang kurang ngejos. Jadi kita bisa melihat profesionalimenya masih kurang maksimal karena kita sudah kenal person-person-nya.


Apa yang harus dilakukan KPU agar pemilu bisa berkualitas?

Sebenarnya berbagai aspek hampir terpenuhi, cuma bagaimana pun mentoknya di pelaksana juga yang menentukan pemilu bisa berkualitas atau tidak. Anggota KPU yang tertera sekarang bukan tenaga ahli jadi begitulah ini memang negara kita lagi diuji. Dengan kesulitan yang tinggi kita memiliki anggota KPU yang seperti sekarang ini.


Konsistenkah menurut Anda KPU mengeluarkan aturan?

Saya pikir ini berkaitan dengan kecanggihan dan pemahaman KPU terhadap semua peraturan undang-undang di atasnya. Jadi UU politik harus ada sinkronisasi dengan UU yang lain apakah pemahaman itu cukup. Karena kalau kita tau bagaimana harus merespon hasil pilkada yang konflik itu kan ternyata menciptakan konflik yang lain.

Itu artinya ada ketidakberesan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam merespons persoalan sehingga kebijakan yang diberikan KPU Pusat itu malah merupakan kesalahan fatal. Ini yang mungkin ke depan perlu banyak pendamping untuk KPU. Dalam konteks itu bisalah memberikan masukan.

Rabu, 17 September 2008

Ketahanan Politik Cegah Disintegrasi Bangsa

Suara Tanah Air
Penulis : Maya Puspita Sari

JAKARTA--MI:
Ketahanan politik dinilai mampu mencegah terjadinya disintegrasi bangsa. Pasalnya, ketahanan politik berkaitan erat dengan kepemimpinan nasional dan sistem demokrasi suatu bangsa. Kualitas elite politik yang memadai dan pelaksanaan sistem demokrasi melalui Pemilihan Umum (Pemilu) yang jujur dan adil dinilai mampu meminimalisir munculnya gerakan separatisme.

Demikian diungkapkan oleh Direktur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas), Muladi saat mengisi sambutan seminar "Peningkatan Ketahanan Politik Guna Mengatasi Separatisme Dalam Rangka Keutuhan NKRI" di Gedung Lemhanas RI, Jakarta, Rabu (17/9).

"Ketahanan politik merupakan salah satu aspek yang penting dalam ketahanan nasional yang tidak akan lepas dari kondisi ketahanan faktual dan sosial," ujar Muladi.

Ketangguhan sistem politik dan kemampuan mengembangkan kekuatan nasional, sambung dia, mampu mengatasi segala tantangan dan hambatan yang datang dari luar maupun dalam negeri. Hal tersebut mampu menjamin kukuhnya identitas, integritas, dan kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam mewujudkan utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Muladi menegaskan, disintegrasi merupakan ancaman yang serius bagi sebuah negara. Khususnya, bagi Indonesia yang sangat majemuk, berkonotasi primodialistik serta memiliki geografi yang luas dan bersifat kepulauan.

Terlebih, lanjutnya, Indonesia telah bersepakat melaksanakan sistem demokrasi sentrifugal dalam bentuk otonomi daerah. Fenomena disintegrasi atau dikenal dengan istilah balkanisasi, menurut Muladi, terjadi karena adanya proses fragmentasi negara menjadi wilayah atau negara-negara kecil yang disertai dengan semangat permusuhan satu sama lain.

Muladi menyatakan, disintegrasi diantaranya disebabkan oleh globalisasi yang tidak diiringi dengan penguatan ideologi kebangsaan. Sehingga timbul lah bahaya-bahaya keamanan asimetrik berupa kesenjangan dan ketidakadilan sosial yang dikenal dengan istilah global paradoks.

Saat ini, tambah dia, Indonesia dapat dikatakan sebagai fragile state (negara yang rapuh) karena sifat pluralistik bangsa ini tidak diiringi dengan kesejahteraan sosial dan situasi politik yang kondusif. "Kesemuanya diakibatkan karena bangsa ini tidak menganut sistem demokrasi secara konsisten," imbuhnya.

Hal senada disampaikan oleh Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), R Siti Zuhro. Bahkan melihat kondisi Indonesia saat ini, Zuhro mempertanyakan apakah bangsa ini benar-benar telah membangun ketahanan politiknya. Pasalnya, aroma menyengat separatisme masih tercium di beberapa wilayah.

Oleh karenanya, ia menyatakan, bangsa ini hendaknya melakukan evaluasi diri saat momentum 10 tahun era keterbukaan. Zuhro menegaskan, kondisi ketahanan politik tidak terlepas dari pembangunan sistem demokrasi dan perubahan paket undang-undang seperti UU Susduk, UU Pemilu, dan UU Pilpres yang digodok oleh anggota dewan. Termasuk didalamnya UU Otonomi Daerah yang pada pelaksanaannya dinilai tidak dijalankan secara konsisten.

"Nasib wilayah di perbatasan dan pulau-pulau terluar masih sangat memprihatinkan. Ini masih kurang terpotret oleh pemerintah pusat," kata Zuhro.

Menurut Zuhro, secara umum pemerintah daerah gagal dalam menangani otonomi. Kegagalan ini, sambung dia, tidak terlepas dari kegagalan pemerintah pusat dalam membuat desain daerah yang adil dan merata. "Masalah rasa kecewa dan ketidakadilan daerah kepada pemerintah pusat dapat mengakibatkan instabilitas politik nasional yang berujung pada gerakan separatisme," cetusnya.


Letjen TNI Purnawirawan, Kiki Syahnakri menghimbau bangsa Indonesia untuk melakukan reorientasi terhadap tata cara berdemokrasi. Apabila proses demokrasi dinilai tidak sesuai dengan roh konstitusi dan arah kebangsaan maka, lanjutnya, perlu dilakukan revisi atau koreksi sistematik terhadap proses demokratisasi.

"Konsolidasi kebangsaan dan reorientasi demokratisasi serta kesadaran semangat bela negara yang diiringi dengan diperkuatnya institusi TNI merupakan modal utama sekaligus 'jalan masuk' untuk memperkuat ketahanan politik dalam rangka mencegah disintegrasi bangsa," tukasnya. (*/OL-03)

Muladi: Pemerintah Harus Sistematis hadapi Separatis

By Republika Newsroom

JAKARTA -- Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Muladi mengatakan, pemerintah harus sistematis dalam mengatasi akar permasalahan separatis.

Muladi: Pemerintah Harus Sistematis hadapi Separatis "Ada beberapa penyebab gerakan, yang tentunya memiliki pendekatan berbeda dalam penyelesaiannya," katanya pada seminar "Ketahanan Politik Bagi Tegaknya NKRI" yang diselenggarakan oleh Program Pendidikan Reguler Angkatan 41 Lemhanas, di Jakarta, Rabu.

Muladi mengatakan, gerakan separatis tumbuh subur apabila kualitas sumber daya alam dan manusia daerah tersebut memadai, namun wawasan kebangsaan di kalangan elit dan rakyat setempat sangat lemah.

Tak hanya itu, bibit-bibit gerakan separatis masa lalu juga menjadi salah satu alasan, termasuk adanya jaringan internasional yang mendukung gerakan tersebut, tambah dia. "Tapi perasaan diperlakukan tidak adil oleh pemerintah pusat, bisa dibilang faktor utama," kata Muladi.

Ia mengatakan, untuk mengatasi gerakan separatis di masa depan yang merupakan bahaya laten, sekaligus bahaya keamanan non tradisional, diperlukan payung hukum, yakni Undang-undang Keamanan Nasional yang saat ini tengah digodok Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.

"Adanya UU tersebut akan didukung keberadaan dewan keamanan nasional, sebagai suatu forum yang memberikan nasehat kepada presiden dalam menentukan kebijakan keamanan nasional," tutur Muladi.


Kritik Pendekatan Militer



Pada kesempatan yang sama, Pengamat LIPI Siti Zuhro mengatakan, pendekatan militer kini tidak efektif lagi dalam mengatasi separatisme. "Selama ini timbul paradigma militer menjadi solusi utama penyelesaian separatisme. Padahal, opini di masyarakat menunjukkan keadaan yang sebaliknya," ujarnya.

Dicontohkannya, masyarakat di salah satu desa di Aceh Timur gundah karena belum lama ini dibangun pos militer. "Penduduk bertanya-tanya mengapa dibangun pos tersebut. Bahkan sampai beranggapan ada ketidakpercayaan pusat terhadap keadaan damai di Aceh," ungkap Siti.

Kondisi tersebut jelas membuat rentan ketahanan politik di daerah itu, dan masalah ini harus ditanggapi serius, lanjut dia.


Sementara itu, pendapat berbeda dilontarkan Letjen (Purn) Kiki Syahnakri yang mengatakan perlu ada upaya serius untuk memperkuat kembali institusi TNI. Tidak hanya posturnya yang dibangun, tapi lebih penting dari itu adalah soliditas dan perannya.

Alasannya, tidak ada lagi institusi yang cukup kuat untuk memproteksi kepentingan nasional di tengah kerapuhan institusional saat ini. "Andaikata kerapuhan ini akhirnya berujung fragmentasi dan bermuara pada disintegrasi bangsa, TNI pun bakal kesulitan mengambil peran karena kini sebagai kekuatan penangkal dan menjalankan tugas pokoknya saja TNI tidak cukup tangguh," ujarnya.

Karena itu, upaya pelemahan TNI melalui persepsi yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan dengan bungkus tuntutan terhadap reformasi internal TNI harus dikurangi.

Kiki beranggapan, kekuatan sipil dalam masa transisi demokrasi lebih dikuasai lembaga swadaya masyarakat yang orientasinya tidak jelas. "Bahkan tidak sedikit yang berorientasi pada kepentingan asing," kata dia. "Itulah alasan mengapa TNI perlu diperkuat," ujar mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat itu. (ant/ah)

Kamis, 04 September 2008

Bakal Caleg 2009

208526

R Siti Zuhro

Peneliti Utama LIPI


Seiring dengan ditetapkannya jumlah parpol peserta pemilu oleh KPU, ke-44 parpol (termasuk 6 parpol lokal di Aceh) sibuk menetapkan para calegnya untuk menyongsong pemilu legislatif 9 April 2009. Sebanyak 12.198 bakal caleg yang tersebar di 77 daerah pemilihan (dapil) akan memperebutkan 560 kursi di DPR. Jumlah tersebut belum termasuk bakal caleg untuk memperebutkan kursi DPRD provinsi, kabupaten, dan kota.

Demokrasi yang bergulir kembali sejak 1998 telah memberikan dampak nyata terhadap kebebasan, kompetisi, dan partisipasi politik masyarakat. Demokrasi juga relatif berhasil membangun rasa percaya diri masyarakat bahwa mereka layak menjadi pejabat publik. Namun, satu hal yang sering dilupakan adalah, modal percaya diri saja tidaklah cukup.

Masalahnya, apakah bakal caleg tersebut memahami bahwa hingga saat ini Indonesia belum berhasil mengatasi isu krusial kemiskinan dan pengangguran? Apakah mereka siap dan sanggup menghadapi indeks kesengsaraan (misery index) yang makin mengkhawatirkan dan cenderung mengancam stabilitas nasional? Apakah mereka nanti akan konsisten menunaikan kewajibannya untuk mengelola mandat dan amanat, bertanggung jawab dan mewakili rakyat? Memadaikah kapasitas mereka untuk membawa Indonesia menjadi lebih baik secara ekonomi, sosial, dan politik?

Beberapa pertanyaan di atas sangat penting, relevan dan urgent disampaikan. Pertama, karena mengingat rendahnya tingkat isu keterwakilan politik dari para caleg. Padahal, ini merupakan salah satu indikasi penting yang menunjukkan bahwa mereka hadir di tengah-tengah konstituensnya dan memiliki hubungan langsung dengan mereka.

Kedua, keterwakilan perempuan dalam politik masih belum memadai meskipun payung hukum telah ditetapkan melalui paket UU Politik yang baru. Tidak mudah bagi kaum perempuan untuk bisa menggunakan kuota 30% yang menjadi haknya. Kendala eksternal kaum perempuan secara riil tampak ketika fungsionaris parpol enggan ikut mengawal keterwakilan perempuan di legislatif.

Ketiga, masih banyaknya bakal caleg gaek yang mencalonkan diri. Padahal, negeri ini memerlukan regenerasi, baik di legislatif pusat maupun daerah. Dalam konteks ini, perubahan dan perbaikan riil yang dimotori generasi muda sangatlah signifikan.

Keempat, masih ada sejumlah bakal caleg yang memiliki rekam jejak yang tidak baik atau jelas-jelas terindikasi skandal korupsi dan isu imoral lainnya. Hal ini jelas akan mengancam konsolidasi demokrasi. "Politisi busuk" tak sepatutnya lagi dimunculkan dalam Pemilu 2009 bila demokrasi Indonesia tak ingin ternoda.

Adalah jelas bahwa saat ini Indonesia merindukan politisi yang dekat dengan konstituen/rakyat dan yang mampu memutus kesinambungan dengan elite lama yang nondemokratis. Pergantian pemerintahan sejak 1998 belum juga berhasil menghadirkan perilaku demokratis yang sangat diperlukan dalam era konsolidasi demokrasi. Masalahnya karena nyaris di semua parpol "politisi-politisi busuk" bukan saja masih tetap dibiarkan bercokol, melainkan juga masih berpengaruh kuat. ***

Senin, 04 Agustus 2008

Penasaran Parpol? Buka Internet!

INILAH.COM, Jakarta – Teknologi membuat dunia kini bak tanpa batas. Arus informasi begitu cepat tersebar berkat teknologi internet. Ke-34 parpol kontestan Pemilu 2009 mulai pula intens menyentuhnya. Dunia maya dijadikan saluran kampanye.

Bukan hal baru, memang. Tapi, dari waktu ke waktu, parpol-parpol di Tanah Air kian kencang memanfaatkan internet dalam mensosialisasikan program kerja mereka.

Boleh jadi terinspirasi sukses Barack Obama di AS ketika menggalang suara dan dana lewat internet, ke-34 parpol kini masing-masing membuka blog atau pun website.

Efektifkah?

Menurut pakar komunikasi Dedi Noor Hidayat dari Universitas Indonesia (UI), kampanye melalui dunia maya belum bisa dibilang efektif. "Meski punya potensi tinggi dan kuat, saat ini belum efektif," katanya kepada INILAH.COM, Senin (4/7) di Jakarta.

Dedi menilai, kampanye parpol lewat internet di Indonesia baru efektif untuk sasaran komunitas kelas menengah ke atas dan berpendidikan tinggi. "Pengguna internet di Indonesia kan masih sangat terbatas," jelasnya.

Dengan target komunitas yang tersegmentasi, imbuh Dedi, elit maupun parpol tidak boleh sembarangan dalam pembentukan blog atau website-nya. "Kualitasnya harus betul-betul dijaga. Jika asal bikin, hasilnya jelas tidak efektif atau malah negatif," tandasnya.

Dedi melihat, tampilan dan isi blog atau website parpol yang ada saat ini masih berupa perpindahan materi pamflet. "Harusnya menampilkan program kerja parpol dan elit politik yang lebih argumentatif dan substantif," katanya.

Dedi juga menyarankan, blog atau website itu harus dilengkapi sisi interaksi, mengajak publik untuk terlibat dalam perumusan program parpol.

Sementara pakar telematika Roy Suryo mengungkapkan, efektif tidaknya internet sebagai media kampanye sangat tergantung bentuk penyuguhan.

"Efektifitasnya sangat tergantung pada teknis sajian yang harus disesuaikan dengan komunitas yang dijadikan target," ujar Roy.

Media internet, lanjut Roy, memang makin dibutuhkan sesuai perkembangan zaman. Tak terkecuali sebagai media kampanye. Jumlah pengguna internet di Indonesia kini 24,5 juta orang atau 11% dari total populasi penduduk.

Roy menyebutkan, jenis blog atau website yang ada sekarang cukup beragam. Ada yaitu statis, dinamis, dan interaktif dengan tren up date. Ia merekomendasikan, sebaiknya situs parpol dan elit politik bersifat dinamis meski tetap terukur dan terkendali.

Dalam pandangan Roy, situs parpol-parpol besar tampak masih konvensional dan statis. "Yang dinamis justru situs parpol baru. Ini bisa dimaklumi. Mereka kan ingin cepat dikenal publik," ujarnya.

Terkait dengan maraknya elit politik dan parpol membentuk blog atau website sendiri, Roy mengingatkan bahwa tradisi AS dan Indonesia berbeda.

"Jika jaringan internet dimaksudkan untuk menyasar pemilih pemula, itu jelas harus dipertimbangkan," kata Roy. Ia menyebutkan, harus dihitung berapa persen pemilih pemula dari total pengguna internet di Indonesia.

Lain lagi pendapat peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro. Ia mengatakan, harusnya parpol secara kontinu mengaktifkan blog atau website-nya. "Jangan hangat-hangat tahi ayam. Jangan hanya mengaktifkan situs menjelang Pemilu. Harus konsisten dan kontinu," tegasnya.

Siti menyebutkan, promosi tokoh atau parpol melalui media internet memiliki plus minus. "Karena internet bentuknya transparan, parpol harus siap dinilai dan dikritisi publik," katanya.

Tak kalah penting, menurut Siti, masing-masing parpol dan elit politik harus menampilkan bentuk dan isi blog atau website yang berbeda-beda satu dengan yang lain. [I3] (j01/ini/rfar)
Berita - Politik / www.waspada.co.id /

Sabtu, 02 Agustus 2008

Popularitas Bukan Syarat Pemimpin

R FERDIAN ANDI R

JAKARTA - Rekrutmen kepemimpinan nasional di Pemilu 2009 harus didasari pada kualitas dan kapabilitas figur. Bukan dari popularitas calon yang diperoleh melalui politik pencitraan. Sebab, hal itu cenderung menyesatkan publik.

Setahun menjelang Pemilu 2009 publik memang mendapat suguhan iklan politik yang masif. Baik melalui media visual maupun media luar ruang. Kondisi ini tidak terlepas dari tren politik yang mengarah pada politik pencitraan. Elit berlomba-lomba mencari populairtas di depan rakyat.

Menurut Wakil Ketua DPD RI Laode Ida, proses rekrutmen politik nasional maupun lokal hingga kini cenderung menyesatkan. Selain itu juga belum memiliki komitmen untuk menyentuh persoalan di daerah.

"Pimpinan Indonesia harus memiliki daya sentuh terhadap persoalan daerah, tapi yang terjadi para penentu kebijakan di Jakarta tidak peduli," katanya di Jakarta, kemarin.

Ia juga menegaskan, publik juga harus jeli dalam memilih pemimpin. Jangan terjebak hanya pada kepopuleran semata. "Tapi yang terpenting adalah kapasitas individunya. Ini yang sulit, apalagi di tengah kondisi yang saat ini terjadi," ingatnya.

Berkaitan dengan munculnya wacana kepemimpinan muda dalam Pemilu 2009, Laode menganggapnya bukan isu penting. Ia menilai menciptakan dikotomi tua-muda dalam kepemimimpinan sangat tidak relevan. "Yang penting siapa yang bisa menyelesaikan persoalan bangsa ini," tegasnya. Meski demikian, ia lebih suka dengan munculnya anak muda yang memiliki keunggulan yang dapat menyelesaikan persoalan.

Hal senada dikemukakan peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro. Dalam mengajukan figur calon presiden, kata dia, masyarakat maupun elit parpol harus menggunakan parameter yang jelas. Perempuan berkacamata ini menyebutkan, parameter yang harus dimiliki presiden 2009 adalah memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat (strong leader).

"Selain itu pemimpin ke depan harus memiliki semangat itu. Jika tidak, maka mustahil Indonesia mampu berkembang," tandasnya.

Kondisi yang terjadi selama 10 tahun reformasi ini, imbuh Zuhro, terjadi karena tak ada ketegasan pemimpin. "Di tengah kondisi saat ini, masih belum ada pemimpin yang tegas. Jadi dikotomi tua-muda maupun asal gender itu tidak relevan," tandasnya.

Selain itu, meningkatnya angka golput terutama dalam pilkada provinsi, kata dia, terjadi karena jarak antara yang memimpin dan yang dipimpin semakin jauh. "Saya khawatir dalam Pilpres 2009 angka golput juga tinggi, karena ada keberjarakan antara pemilih dan yang dipilih," katanya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif menegaskan, dalam rekrutmen kepemimpinan nasional maupun daerah basis perekrutannya diambil dari ormas/TNI. "Dengan demikian parpol belum bisa menjadi basis rekrutmen kepemimpinan, baik lokal maupun nasional," jelasnya.

Menurut dia, jika performa pemerintah daerah semakin bagus, maka rekrutmen kepemimpinan nasional pun akan berpijak pada pemimpin daerah. Selain itu, Yudi juga menegaskan, pemimpin juga tidak sekadar penampilan semata. "Tapi pemimpin yang memiliki otoritas," tandasnya.

Yudi juga menegaskan, harusnya pemimpin memiliki quality of judgement (kualitas dalam menentukan keputusan), jadi tidak tergantung pada figur senior atau yunior. "Tanpa quality of judgement tokoh politik mana pun tak layak disebut pemimpin," tegasnya.
(j01/ini)

Seminar Refleksi Perjalanan Bangsa dan Konsolidasi Demokrasi dalam Menyongsong Pemilu 2009

20080802004649

Oleh : Ruslan Andy Chandra

KabarIndonesia - Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam), Laksamana Widodo AS (31/7) di Puri Ratna, Sahid Jaya Hotel membuka seminar “Refleksi Perjalanan Bangsa dan Konsolidasi Demokrasi dalam Menyongsong Pemilu 2009.” Pada sesi pertama tampil sebagai pembicara Dr. R. Siti Zuhro (The Habibie Center), Dr. Saiful Mujani (Lembaga Survei Indonesia) dan Ferry Mursyidan Baldan (DPR RI). Sedangkan pada sesi kedua Panel II mengangkat thema Capaian Kesejahteraan Rakyat dan Dinamika Pergantian Kepemimpinan yang menampilkan Andrinof Chaniago (The Habibie Center, Prof. Dr. Didik J. Rachbini (DPR RI), Dr. Suahasil Nazara (Universitas Indonesia) dan Moderator Umar Juoro
Dr. R. Siti Zuhro (Peneliti LIPI dan THC) dalam makalahnya menyampaikan bahwa DPR memiliki kewenangan yang cukup strategis dalam Pemilihan Pejabat Publik. Sebagai contoh, Dewan melakukan fit and proper test terhadap pejabat publik yang berada di lembaga eksekutif.

Namun, kewenangan tersebut acapkali dilakukan tanpa mempertimbangkan secara serius aspirasi publik. Sebagai contoh, pemilihan Pimpinan KPK, Hakim Mahkamah Agung dan Bawaslu yang menimbulkan kontroversi dalam masyarakat. Akuntabilitas anggota dewan dapat dinilai dari seberapa jauh aspirasi masyarakat diserap pada waktu anggota Dewan melakukan reses.
Di tataran praksis menurut Zuhro menunjukkan bahwa anggota Dewan cenderung melakukan konsolidasi internal partai daripada menyerap aspirasi masyarakat. Hampir semua anggota yang terpilih ditentukan oleh nomer urut partai dan bukan oleh besarnya konstituen yang direpresentasikannya.
Sedikitnya terdapat 10 anggota/mantan anggota DPR yang pernah dan sedang tersangkut kasus korupsi atau asusila. Jumlah kasus yang belum terungkap dinilai jauh lebih banyak. Fenomena tersebut memunculkan pertanyaan dalam masyarakat yang mempertanyakan moralitas anggota DPR. Secara umum kinerja DPR belum memuaskan. DPR belum dapat menjalankan fungsi legislasi dan fungsi pengawasan secara maksimal.

Akuntabilitas DPR dalam mengartikulasikan aspirasi masyarakat masih jauh dari harapan. Sejumlah kasus yang melibatkan anggota Dewan, seperti korupsi, suap dan tindak asusila, menurunkan citra dan kredibilitas DPR di mata masyarakat. Soft bicameralism kurang tepat untuk sistem presidensial. Oleh karena itu, kewenangan dan fungsi pengawasan DPD perlu dipertegas dan diperkuat, sehingga kedudukan DPD relatif seimbang dengan DPR.DPR dan DPD harus bersinergi sehingga bisa melakukan checks and balances, baik internal legislatif maupun antara legislatif-eksekutif.

Banyaknya makalah yang dipresentasikan dalam seminar tersebut dari para nara sumber lainnya akan dirangkum Harian Online Kabar Indonesia (HOKI) pada kesempatan selanjutnya. Hadir dalam kesempatan itu Prof. Muladi (Ketua Dewan Direktur The Habibie Center), Christian J. Hegemer (Direktur Hanns Seidel Foundation Jakarta), Benny Horas Panjaitan (Anggota DPD RI asal Kepulauan Riau) dan Pimpinan/Anggota Parpol, Pergiruan Tinggi, LSM Ormas dan Media Massa.


* Foto by Ruslan Andy Chandra: Dr. R. Siti Zuhro (tengah) dan para nara sumber serta moderator.

Jumat, 01 Agustus 2008

Mencari Figur Calon Presiden dan Calon Wapres yang Ideal

Oleh : Aldy Madjid

KabarIndonesia - Dalam suatu rapat kerja Dewan Perwakilan Daerah (DPD-RI) dengan para pejabat Pemerintahan Daerah beberapa waktu lalu terungkap bahwa selama ini daerah tidak merasakan manfaat dari adanya Pemerintah Pusat.

Hal ini diungkapkan oleh Wakil Ketua DPD-RI, Dr. Laode Ida mengawali paparannya pada dialog publik bersama sejumlah media massa di Ruang Rapat DPD-RI, Lantai 8 Gedung Nusantara III kompleks parlemen Senayan Jakarta (01/8). Dialog bertajuk “Sosok Presiden dan Wakil Presiden Ideal 2009: Siapa yang Bervisi Daerah?” berlangsung dari pukul 10.30 WIB hingga menjelang sholat Jumat.

Selain Laode Ida, forum dialog tersebut juga menghadirkan dua pembicara lain, yakni Yudi Latief (Direktur Eksekutif Reform Institute) dan R. Siti Zuhro (Peneliti otonomi daerah Pusat Penelitian Politik LIPI).

Lebih lanjut Laode Ida menjelaskan bahwa daerah mengeluhkan Pemerintah Pusat yang bersikap tidak konsisten dalam mengimplementasikan konsep otonomi daerah.

“Pemerintah Pusat sudah menggulirkan penerapan Otonomi Daerah bagi setiap daerah di Indonesia, tetapi pada kenyataannya Pemerintah Pusat tidak benear-benar memberi ruang kepada daerah untuk menjalankan fungsinya sebagaimana diatur oleh Undang-Undang tentang Otonomi Daerah, terjadilah apa yang diistilahkan sebagai otonomi daerah setengah hati,” ujar Laode Ida.

“Ini lebih disebabkan karena sistim pemerintahan kita yang semata-mata dihasilkan oleh partai politik, sementara kita tahu bahwa parpol-parpol itu sentralistik,” tegas Laode Ida.

Sementara itu, Siti Zuhro, yang diberi kesempatan sebagai pembicara kedua, mengingatkan bahwa resistensi daerah terhadap pemerintah pusat bukanlah hal baru.

“Dari hasil penelitian yang saya lakukan, sejak tahun 2005 sudah terjadi penolakkan yang amat kentara dari pemerintah daerah dan masyarakatnya terhadap kebijakan-kebijakan dari pemerintah pusat,” katanya.

Menurut Siti Zuhro, ancaman paling nyata terhadap keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia adalah kegagalan otonomi daerah. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka salah satu jalan keluar yang perlu diupayakan adalah menciptakan kepemimpinan di tingkat pusat yang benar-benar memiliki komitmen untuk membangun daerah-daerah.

“Perlu ada terobosan baru dalam pengelolaan pemerintahan negara. Dan kemampuan ini dimiliki oleh calon-calon alternatif, yang bukan dari partai politik,” tandas ibu peneliti senior LIPI itu seraya menyebut nama Fadel Muhammad sebagai salah satu figur yang layak dilirik oleh rakyat.

Pembicara terakhir, Yudi Latief mengulas mengenai fenomena ramainya pendatang dadakan di pentas perpolitikan Indonesia saat ini yang mendeklarasikan diri mampu menjadi pemimpin Indonesia. Ia kemudian mengingatkan prinsip demokrasi dengan menyitir pendapat Montesquieu, seorang filosof Prancis.

“Demokrasi, menurut Montesquieu, terhambat tidak hanya ketika seseorang terkendala untuk menjadi pemimpin, namun juga karena terlalu banyak orang yang mengaku bias menjadi pemimpin,” ujarnya.

Keadaan banyaknya jumlah orang yang tiba-tiba muncul mempromosikan diri untuk jadi pemimpin bangsa “secara instant” adalah hal yang perlu disikapi dengan arif.

“Yang paling penting saat ini adalah bagaimana kita mengedukasi pemilih agar mereka tidak terjebak oleh popularitas dan ketenaran seseorang. Pemilih harus dididik untuk memilih pemimpin yang benar-benar memiliki kapasitas sebagai pemimpin,” lanjut pria yang akrab dipanggil Yudi ini.

Pada akhir pemaparannya, Yudi Latif mengungkapkan bahwa pembuatan parameter kepemimpinan yang baik dan kredibel sangat diperlukan, yang salah satunya adalah bagaimana seseorang membuat kebijakan yang berkualitas dalam mengelola persoalan-persoalan daerah.

“Yang seharusnya menjadi ukuran potensialnya seoang kandidat pemimpin bukan dari usia muda dan umur tua-nya, tapi lebih kepada quality of judgment, kulaitas kebijakan yang dibuatnya,” pungkas Yudi.

POLITIK
* Sumber: Bagian Hubungan Antar-Lembaga dan Pemberitaan Sekretariat Jenderal DPD

Korupsi: Kredibilitas DPR di Titik Nadir

POLITIK
JAKARTA (Suara Karya): Kredibilitas anggota DPR kini boleh dikatakan berada di titik nadir akibat sejumlah anggotanya diduga terlibat praktik korupsi. Untuk itu, di pemilu mendatang, partai politik harus memperbaiki rekrutmen calon anggota legislatif (caleg) sehingga kasus-kasus yang memalukan tidak terulang.

205860Demikian disampaikan peneliti The Habibie Centre Siti Zuhro dalam seminar bertajuk "Refleksi Perjalanan Bangsa dan Konsolidasi Demokrasi dalam Menyongsong Pemilu 2009", di Jakarta, Kamis (31/7).

Tampil pula sebagai pembicara anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ferry Mursyidan Baldan dan Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Saiful Mujani.

Menurut Siti Zuhro, sebenarnya anggota DPR yang tidak terlibat kasus korupsi dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap tugasnya sebagai wakil rakyat lebih banyak. Namun, karena publikasi yang luas dan intensif dari media massa, citra DPR sebagai institusi menjadi rusak.

"Anggota DPR belum punya kredibilitas yang baik, sampai-sampai di-infotainment-kan," katanya.

Ia menambahkan, liputan media massa yang begitu intensif dan ekstensif terhadap sejumlah kasus yang melibatkan anggota Dewan, seperti korupsi, suap dan tindak asusila, secara tidak langsung juga telah membuat rakyat menjadi apatis dan khawatir terhadap partai politik.

Karena itu, menurut dia, perlu pemulihan akuntabilitas anggota DPR melalui peningkatan fungsi legislasi, perjuangan, dan pendanaan.

Siti Zuhro menilai parpol dan parlemen gagal melakukan demokratisasi karena banyak aspirasi masyarakat yang tidak direaliasikan. Ia mencontohkan, dengan sikap parlemen yang tidak begitu keras dan cenderung memolitisasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) ketimbang memperjuangkan kebutuhan rakyat untuk memperoleh energi yang murah.

Ferry Mursyidan Baldan membantah masyarakat cenderung kehilangan kepercayaan terhadap parpol dan DPR. Menurut dia, banyaknya golput di pilkada sebagian besar diakibatkan karena kesalahan administrasi sehingga mereka tidak terdaftar dan tidak dapat memilih.

"Jadi, bukan karena rakyat apatis dan tidak percaya kepada parpol," tuturnya.

Mengenai pemberitaan yang begitu luas terhadap perilaku anggota DPR, Ferry mengatakan, hal itu sebagai konsekuensi demokrasi yang membuka kebebasan sebesar-besarnya bagi masyarakat untuk mencari dan memperoleh informasi.

"Sebelumnya orang tidak tahu dia anggota DPR, setelah masuk infotaintment mereka jadi tahu itu anggota DPR," ujar Ferry.

Saiful Mujani mengatakan, mayoritas masyarakat merasa puas dengan pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Jumlah yang merasa puas ini cenderung meningkat dalam sepuluh tahun terakhir.

Saiful mengatakan, komitmen masyarakat terhadap demokrasi sangat kuat. Tidak ada kelompok di masyarakat-- dengan kekuatan yang berarti-- yang menantang demokrasi.

"Masyarakat umumnya menghendaki Indonesia semakin demokratis. Masyarakat sudah mampu membedakan antara pemerintah sekarang dan pemerintah Orde Baru, di mana pemerintah yang sekarang jauh lebih demokratis dibanding Orde Baru. Namun bicara soal kesejahteraan, publik menghendaki agar Indonesia semakin demokratis, tapi lebih ingin lagi agar rakyat makin sejahtera," katanya.

Siti Zuhro dan Saiful Mujani berharap, partai politik dan kadernya di DPR bisa membangkitkan kembali semangat rakyat untuk memercayai parpol dan DPR sebagai alat untuk memperjuangkan aspirasi mereka.

Siti Zuhro mengingatkan, bagaimana pun parpol dan DPR adalah institusi demokrasi sehingga harus ada upaya untuk memperkuat peran dan legitimasi mereka di mata rakyat.

"Jadi, bukannya menghancurkan peran DPR dan parpol. Karena bagaimana pun, demokrasi akan bisa berjalan kalau DPR dan parpol melaksanakan tugasnya dengan baik," tuturnya.

Sementara itu, pengamat politik dari Center for Indonesian National Policy Studies (Cinaps), Endah Dewi Nawangsasi, menilai masyarakat akan semakin apatis terhadap partai politik karena banyaknya anggota DPR dari kader partai yang terlibat kasus korupsi.

"Sangat disayangkan jika ternyata di Indonesia parpol banyak meloloskan pribadi-pribadi yang bermasalah untuk duduk di parlemen," kata Dewi di Depok, Kamis, menanggapi banyaknya anggota DPR yang diduga tersangkut kasus korupsi.

Menurut dia, parpol harus lebih dulu menyelesaikan masalah domestik yang menyeret dan mempertaruhkan nama baiknya di meja hijau. Seorang kader seharusnya matang dan mapan baik secara finansial maupun akademis.

"Seharusnya kader parpol punya dasar moral, etika yang stabil dan kuat, agar tidak terjadi cultural shock ketika telah duduk di parlemen," katanya.

Selain itu, katanya, kader parpol harus selalu dapat menjaga, menegakkan citra dan kehormatan lembaga tinggi negara, karena etika dan moralitas itu secara substansi mengikat diri sendiri dan institusi.

Ia mengatakan hal tersebut membuat semakin buram potret para anggota legislatif di hati masyarakat.

Dewi menyoroti dugaan sejumlah anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 yang disebut-sebut menerima dana dari Bank Indonesia.

"Apa ini yang dinamakan demokrasi dan reformasi," katanya dengab nada bertanya.

Untuk itu, ia mengharapkan parpol seyogianya punya terobosan guna mengambil hati masyarakat dan mengembalikan kepercayaan, dan legitimasi publik. Menurut dia, parpol harus bekerja keras menyaring kadernya. (Rully)

Senin, 23 Juni 2008

Pengamat Politik Lokal Siti Zuhro: Tata Kembali Hubungan Pusat-Daerah

LIPUTAN KHUSUS

JAKARTA, SINAR HARAPAN - Pembangkangan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat sudah terjadi sejak tahun 2001, tepat saat desentralisasi dimulai. Menurut pengamat politik lokal LIPI, Siti Zuhro, akhir pekan lalu, pembangkangan pemerintah daerah terjadi karena pemerintah pusat tidak konsisten atas kebijakan yang telah dibuatnya sendiri. Berikut petikan wawancara SH dengan Siti Zuhro.

Bagaimana Anda melihat hubungan pemerintah pusat dengan daerah belakangan ini?
Di tatanan praktis otonomi daerah banyak kendala-kendala yang besar terutama konsistensi pemerintah pusat atas kebijakan otonomi daerah. Pemerintah daerah merasa terhambat dalam melaksanakan otonomi daerah. Di satu sisi, daerah harus mandiri sementara di sisi lain harus menjadi perpanjangan tangan pemerintah. Pekerjaan ini tidak dapat dilaksanakan daerah sekaligus.

Apakah ini juga akibat Pilkada langsung?
Pilkada adalah rentetan dari realisasi otonomi daerah. Karena merasa dipilih masyarakat lokal, pertanggungjawaban kepada rakyat.
Namun, jangan lupa ada perbedaan kewenangan yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 dengan UU Nomor 32 Tahun 2004. Untuk menata hubungan ini, harus merevisi UU tentang pemerintahan daerah.

Apa saja yang menjadi hal krusial yang perlu direvisi?
Revisi UU pemerintahan daerah sudah dibahas. Beberapa hal krusial yang harus dimasukkan dalam perubahan tersebut antara lain partisipasi publik, pelayanan
publik dan kewenangan DPRD. Pelayanan publik menjadi ikon dalam revisi pemerintah daerah.
Ke depan kita harapkan pemerintah tidak terjebak dalam kekuasaan. Namun, pemerintah menempatkan diri sebagai pelayan publik. Harus beralih dari dilayani menjadi dilayani.

Tapi, ada usulan dari Partai Golkar untuk memperbaiki koordinasi, agar gubernur dipilih oleh presiden?
Tampaknya ke depan ada kecenderungan kepala daerah akan dipilih oleh pemerintah pusat. Namun, risikonya memang tidak ada DPRD. Kecenderungan ini ditentukan dari perpanjangan tangan pusat yang dilengkapi sistem. Dalam konteks NKRI ini lebih konsistensi pada negara Indonesia yang menjadi negara kesatuan yang tidak kenal pembagian wilayah. Indonesia dalam bentuk archipelago (kepulauan) membutuhkan kesatuan yang utuh.

Jika menggunakan sistem tersebut, apakah justru tidak mengganggu?
Tidak. Karena yang menjadi wakil rakyat adalah pemerintahan di tingkat desa. Sebanyak 60 persen carut-marut Indonesia itu ada di desa, desa menjadi entitas. Perubahan dilakukan mulai dari desa (romauli)

Kamis, 29 Mei 2008

Diragukan, Pemilu Hasilkan Pemimpin Prorakyat

SUARA PEMBARUAN DAILY
--------------------------------------------------------------------------------

SP/Charles Ulag

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), La Ode Ida (kanan), bersama Ketua Pelaksana Harian Pimpinan Kolektif Nasional Partai Demokrasi Pembaruan, Roy BB. Janis tampil sebagai pembicara dalam diskusi satu abad Kebangkitan Nasional di Jakarta, Rabu (28/5).



[JAKARTA] Pemilihan Umum 2009 diragukan akan menghasilkan pemimpin yang berkomitmen terhadap kepentingan rakyat. Pasalnya, parpol yang ada saat ini hanya didiami oleh kader karbitan dan jauh dari profesionalisme.

Pandangan itu disampaikan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, seusai diskusi yang digelar Dewan Perwakilan Daerah (DPD) bertajuk "Komitmen Pemimpin Terhadap Rakyat" di Jakarta, Rabu (28/5).

Bagi Siti, tumbuh suburnya parpol saat ini tidak menjamin lahir kader unggulan. "Parpol seharusnya menjadi gudang kader. Memang banyak parpol lokal, tapi kader karbitan juga banyak. Bahkan, jika ada koalisi, sebatas koalisi anomali," ujarnya.

Wakil Ketua Umum DPP Partai Damai Sejahtera, Denny Temu mengatakan rendahnya komitmen para pemimpin terhadap rakyat menyebabkan berbagai persoalan bangsa sulit terselesaikan.

Dikatakan, setelah satu abad Kebangkitan Nasional, ternyata keadaan belum berubah menjadi lebih baik. Masih banyak rakyat yang miskin, tidak berpendidikan, dan bangsa pun masih dijajah asing.

Artinya, kata Denny, belum ada kemauan yang kuat dari pemimpin bangsa untuk mengubah kondisi itu. Oleh karena itu, dia khawatir setelah peringatan dua abad kebangkitan nasional pun situasinya belum banyak berubah dari sekarang. [ASR/O-1]

Parpol Masih Sakit

R Ferdian Andi R

INILAH.COM, Jakarta – Sepuluh tahun reformasi terasa tak cukup untuk mendesain partai politik yang mampu menciptakan pemimpin berkualitas. Selain proses demokratisasi yang masih belum matang, tragedi pembunuhan potensi yang dilakukan selama 32 tahun oleh rezim Orde Baru telah mengakibatkan sistem pengkaderan parpol tak pernah berkembang.

30523Menurut peneliti senior LIPI, Siti Zuhro, dibutuhkan sedikitnya tiga periode pemerintahan untuk menghasilkan kader parpol yang betul-betul berkualitas. “Pemimpin tidak lahir dalam waktu setahun dua tahun,” kata Siti Zuhro kepada INILAH.COM, di Jakarta, Rabu (28/5).

Di tengah menghangatnya suasana politik menjelang pemilihan umum, Siti Zuhro sengaja membahas isu kepemimpinan nasional serta prospek Pemilu 2009 terhadap proses demokratisasi di Indonesia. Berikut ini petikan wawancaranya:


Anda melihat Pemilu 2009 sulit menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Bisa dijelaskan lebih jauh?

Sebagai gudang kader, partai politik kita ternyata masih sakit. Sehingga tidak mungkin dalam tempo satu tahun langsung menglahirkan kader-kader yang bagus. Kader yang tidak karbitan, dalam sejarahnya itu, selalu memakan waktu yang cukup lama. Jadi Pemilu 2009 tidak akan mendapatkan kader-kader yang benar-benar kita harapkan.


Termasuk partai politik yang baru muncul menjelang Pemilu 2009 ini?

Ya. Jadi saat ini adalah masa kebangkitan partai politik. Tapi bukan masa kebangkitan kemunculan kader-kader yang unggulan. Karena, Orde Baru sudah berhasil memangkas kaderisasi yang sangat intens. Proses reformasi selama sepuluh tahun ini memang menumbuhkan masyarakat sipil. Tapi sepuluh tahun belum cukup bagi kita untuk bisa mengejar ketertinggalan akibat proses 32 tahun oleh Orde Baru tersebut.

Kita masih butuh waktu yang agak lama untuk menghidupkan semangat yang telah dibunuh sekian tahun oleh Orde Baru. Saat ini, kebangkitan politik lokal belum betul-betul mampu memberikan porsi yang yang tepat untuk memunculkan kader yang betul-betul baik. Pemimpin karbitan memang banyak. Tapi yang berkuaitas, belum.


Bagaimana Anda melihat proses koalisi partai-partai politik selama ini?

Partai politik di Indonesia tidak mengikuti aturan (fatsoen) politik yang bagus. Koalisi yang selama ini berlangsung, tidak memiliki format yang jelas. Karena dari pusat ke daerah, tidak ada bentuk yang pas dan cocok. Sehingga menyulitkan hubungan antara pusat dan daerah. Akibatnya proses desentralisasi terhambat karena munculnya sistem multipartai.


Jadi Pemilu 2009 masih belum akan menghasilkan pemimpin yang berkualitas?

Belum. Kita tidak bisa berharap banyak dalam Pemilu 2009. Mungkin pada pemilu selanjutnya, yaitu pada 2014, agak berbeda. Mudah-mudahan. Tapi dalam tempo periode tiga periode (15 tahun) kita tidak bisa menuai dengan cepat, kecuali kader karbitan yang tidak memiliki nuansa kenegarawanan. Kaderisasi pemimpin itu adalah proses yang alami. Setelah 15-20 tahun baru kita akan mendapatkan kader yang berkualitas.


Bagaimana dengan penolakan oleh beberapa pemda dan kepala desa atas program bantuan langsung tunai (BLT) yang dicanangkan pemerintah sebagai kompensasi kenaikan harga BBM?

Penolakan itu adalah dampak yang sangat konkrit dari realisasi otonomi daerah. Jadi daerah memang sudah tidak bisa didikte lagi oleh pusat, terutama kabupaten dan kota, termasuk desa. Selain itu, memang ada kekecewaan yang lama terhadap pemerintahan pusat.

Baik di Jawa maupun di luar Jawa tingkat kekecewaannya kepada pemerintah pusat, sama. Karena pusat dianggap tidak konsisten berkaitan dengan kebijakan dari pusat yang menyangkut daerah. Jadi daerah merasa terkekang dan tidak mendapat porsi yang semestinya.


Bagaimana sebenarnya format hubungan antara pusat dan daerah dalam ketatanegraan kita?

Dalam bentuk ketatanegaraan kita, provinsi bertanggung jawab kepada pusat. Tentu saja kabupaten dan kota juga demikian. Kita tidak memiliki satu pengawasan yang bagus, ketika desentralisasi diterapkan. Jadi pada 2001 itu realisasi desentralisasi terjadi. Namun pengawasan dan pendampingan dari Depadgri tidak terjadi. Akhirnya ada semacam distorsi di level praksis.

Jadi meski desentralisasi berjalan, tapi tidak kemudian lepas sama sekali. Ini bukan negara federal. Untuk konteks BLT, bagi pemda yang menolak, maka akan mendapat sanksi secara administrasi. Ini bukan pembangkangan juga, tapi bagian dari bentuk kemandirian daerah. Ini kan era otonomi daerah, daerah juga punya hak untuk menolak sesuatu dari pusat. Itu sah-sah saja.

Tapi dalam konteks BLT kan kebijakannya top down. Jadi jangan dipisahkan kebijakan BLT dalam konteks kebijakan stabilitas nasional. NKRI harus terjaga. Supaya terjaga, maka diadakan BLT. [P1]

Jumat, 23 Mei 2008

Konferensi Internasional “Indonesia’s Decade of Democratisation: The Rise of Constitutional Democracy”

21-22 Mei 2008

Bertepatan dengan momentum 10 tahun reformasi, Pusat Penelitian Politik LIPI bekerjasama dengan Monash University Australia dan The Habibie Center mengadakan konferensi internasional bertajuk “Indonesia’s Decade of Democratisation: The Rise of Constitutional Democracy”. Acara ini berlangsung selama dua hari, dari tanggal 21 hingga 22 Mei 2008 bertempat di Ruang Seminar Gedung Widya Graha LIPI. Acara dibuka dengan opening remarks dari masing-masing pimpinan ketiga institusi penyelenggara, secara berturut-turut, Prof. Dr. Umar Anggara Jenie selaku Kepala LIPI; Prof. Muladi sebagai Kepala The Habibie Center; dan Prof. Stephanie Fahey yang merupakan Deputy Vice-Chancellor International of Monash University Australia. Film dokumenter “The Road to ‘Reformasi’: Democracy For A Better Future” yang menjadi pengantar sebelum memasuki sesi diskusi seolah menjejaki kembali peristiwa 10 tahun yang lalu, tuntutan reformasi dan turunnya Soeharto dari tampuk kepemimpinan.

Sesi diskusi pada konferensi hari yang pertama mengangkat tema “’Reformasi’, Monetary Crises and Soeharto’s Resignation” menghadirkan tiga pembicara, yaitu Prof. Hermawan Soelistyo (peneliti senior Pusat Penelitian Politik LIPI) dengan makalahnya yang berjudul “Chicken’s Price Tag: Political Economy of the Downfalling Soeharto”; Ir. Sukmadji Indro Tjahyono (SKEPHI/Sekretariat Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia) membawakan makalahnya “Reformasi: Momentum Perubahan Yang Sia-sia”; serta Syafi’ Aliel’ha (Forum Kota/ FORKOT) dengan makalahnya “Reformasi Yang (Semata) Berbuah Oligarki”. Moderator dari sesi pertama ini adalah Prof. Dr. Dewi Fortuna Anwar, Deputi Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI.

Setelahnya, sesi kedua hadir dengan mengangkat tema “Political Reform and Democratization”. Kembali menghadirkan tiga pembicara, yaitu Prof. Mochtar Pabottingi (peneliti senior Pusat Penelitian Politik LIPI) dengan makalahnya “The Balance Sheet of The 1998 Reform in Indonesia”; Dr. R. Siti Zuhro (peneliti senior Pusat Penelitian Politik LIPI sekaligus Manajer Program dan Riset The Habibie Center) yang membawakan makalahnya dengan judul “Political Reform and Democracy: Regional Autonomy, Local Bureaucratic Reform and Pilkada”; serta Dr. David Bourchier (University of Western Australia) dengan makalahnya “Victories and Looming Dangers In Indonesia’s Transition From Authoritarian Rule”. Prof. Lance Castell dari Monash Unversity menjadi moderator diskusi sesi kedua pada hari yang pertama ini.

Sesi ketiga yang mengangkat tema “Military Reform and Democratization” kemudian hadir dengan moderator, Dr. Edi Prasetyono, Kepala Departemen Hubungan Internasional, Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Ketiga pembicara yang dihadirkan adalah Prof. Ikrar Nusa Bhakti (Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI) dengan makalahnya “Agenda and Objectives Of Security Sector Reform in Indonesia”; Let. Jend. (Ret) Kiki Syahnakri yang membawakan makalahnya dengan judul “Reformasi Internal TNI Dan Demokratisasi”; Ass. Prof. Leonard Sebastian (Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapura) dengan makalahnya “Tentara Nasional Indonesia: Impact of 10 Years Of Democratic Transformation”.

Panel keempat sekaligus sesi terakhir dari konferensi di hari pertama ini mengangkat tema “Islam and Democracy” menghadirkan tiga pembicara, masing-masing, Prof. Azyumardi Azra (dari Kantor Wakil Presiden) dengan makalahnya “Indonesian Islam And Democracy”; Dr. Syafi’i Anwar (dari ICIP/ International Centre for Islam and Pluralism” dengan makalahnya yang berjudul “Islam, Democracy. And The Clash Of Religio-Political Thought In Post-Soeharto Indonesia”; terakhir, Prof. Greg Barton (dari The Herb Feith Foundation, Monash University Australia) membawakan makalahnya “Islam In Indonesia After A Decade Of Democracy: Two Steps Forward, Two Steps Backward?”. Syahrul Hidayat, dosen di Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia, menjadi moderator dalam sesi ini.

Hari kedua pelaksanaan komferensi internasional yang didukung oleh Departemen Dalam Negeri, TIFA Foundation, Bank BRI, dan The Asia Foundation ini dimulai dengan sesi pertama yang mengambil tema “Bureaucratic, Legal Reform and Decentralization” menghadirkan tiga pembicara, yaitu Eko Subowo (Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri) dengan makalahnya yang berjudul “The Policy of Decentralization in Indonesia”; Prof. Miftah Toha (dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta) yang membawakan makalahnya “Bureaucratic, Legal Reforms And Decentralization”; serta, Dr. Denny Indrayana (dosen Universitas Gadjah Mada) dengan makalahnya “Indonesia Judicial Reform In The Midst Of Judicial Corruption”. Andrinof Chaniago, peneliti senior The Habibie Center sekaligus dosen Program Pasca Sarjana Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia, menjadi moderator pada sesi pertama di hari kedua ini.

Sebagai sesi kedua, tema “Civil Society and The Media” menjadi topik yang diangkat dengan moderator Dr. Meuthia Ganie Rochman, dosen sekaligus sosiolog dari Universitas Indonesia. Keempat pembicara yang dihadirkan adalah Bambang Harymurti (Direktur Utama TEMPO Media Group) dengan makalahnya yang berjudul “The Media Environment In Indonesia: ‘Bright Light At The End Of Long Tunnel?”; Lilies Nurul Huda (Direktur PP LAKPESDAM/ NU) membawakan makalahnya dengan judul “Civil Society In 10 Years Of Reformation”; Prof. David T. Hill (Murdoch University Australia) dengan makalahnya yang berjudul “The Indonesian Media Ten Years On: The Transition To Post-Authoritarianism”; serta Dr. Charles Coppel (University Of Melbourne Australia) dengan makalahnya “Normalizing Chinese Indonesians?: The past Ten Years”.

Tema “The Economy” menjadi topik bahasan sesi diskusi selanjutnya dengan moderator Siwage Dharma, peneliti di Pusat Penelitian Ekonomi LIPI. Ketiga pembicara yang hadir adalah Dr. Rizal Ramli dengan makalahnya yang berjudul “Ten Years After: Impact Of Monetarist And Neoliberal Solutions In Indonesia”; Stephen B. Schwartz dari International Monetary Fund (IMF); serta, Ass. Prof. Ross H. McLeod dari Australia National University dengan makalahnya “A Decade of Reformasi: What Has Indonesia Gained, And What Has It Lost?”.

Sebagai penutup rangkaian acara konferensi internasional yang berlangsung dua hari ini, closing remarks bertajuk “Indonesia Ten Years On” dibawakan oleh Prof. Dr. Dewi Fortuna Anwar, mewakili Pusat Penelitian Politik LIPI dan The Habibie Center; Prof. Greg Barton, mewakili The Herb Feith Foundation Monash University Australia; Dr. Douglas E. Ramage, mewakili The Asia Foundation; dan, Yuli Ismartono sebagai wakil dari TIFA Foundation. (Lidya C. Sinaga)


Pengaruh Ormas Membuat Kinerja KPU Lamban

Molornya pelaksanaan verifikasi awal tehadap parpol dinilai akibat tarik-menarik kekuatan organisasi kekuatan masyarakat dan agama yang berpengaruh terhadap anggota KPU. Tarik-menarik NU dan Muhammadiyah sangat terasa di kalangan anggota KPU sehingga kerap terjadi beda pendapat. Memang tidak sampai menimbulkan konflik, namun kinerja KPU menjadi lamban.

"Memang beda pendapat di kalangan anggota KPU akibat tarik menarik kepentingan ormas seperti NU dan Muhammadiyah itu tidak sampai menimbulkan konflik atau konfrontasi, tapi ini memperlambat kinerja KPU. Selama ini kelambanan itu dimaklumi karena keterlambatan pengesahan UU No 10/2008. Belakangan ini penyebab kelambanan, itu perbedaan pendapat dan kuatnya tarik-menarik kepentingan ormas dan parpol. Kalau ini terus terjadi, KPU tidak akan bisa melaksanakan tahapan pemilu secara profesional sesuai jadwal," kata Peneliti Senior LIPI Siti Zuhro kepada Media Indonesia di Jakarta, Kamis (22/5).

Siti mengatakan KPU harus meminimalisasi kepentingan pihak-pihak ormas, parpol, dan pemerintah. "Itu pasti bisa dilakukan KPU kalau tetap menjaga independensi dan menghindari praktik KKN (korupsi, kolusi, nepotisme). Tak perlu KPU melakukan upaya-upaya yang tidak profesional berpihak ke parpol atau ormas pendukungnya saat mengikuti seleksi KPU," katanya.

Siti mengatakan Sekretariat KPU sebagai perpanjangan tangan pemerintah juga sangat berpengaruh terhadap kinerja KPU. "Bisa saja keputusan di tingkat KPU sudah ada tapi pelaksanaannya lamban di sekretariat. Saya melihat pemerintah juga sangat berkepentingan sehingga pengaruhnya sangat kuat terhadap KPU, kalau kepentingannya untuk pemilu aman, jujur dan adil, tak masalah. Yang masalah itu, kalau pemerintah mengutamakan kepentingan poltik tertentu," katanya. (mediaindonesia)

Senin, 21 April 2008

Jenderal Purnawirawan dan 'Incumbent' Sudah Tidak Laik Jual

Polhukam
Reporter: Markus Junianto Sihaloho

JAKARTA--MI:
Tokoh tua, purnawirawan jenderal, dan incumbent sudah tak laik jual dalam pemilihan kepala daerah. Hasil pilkada di Jabar dan Sumut sudah menunjukkan kecenderungan rakyat memilih calon baru.

Pengamat politik dan otonomi daerah LIPI, Siti Zuhro menyampaikan hal tersebut saat dihubungi Media Indonesia. "Sudah tak laik jual? Iya. Sudah ada kejenuhan di masyarakat bagi tokoh lama, apalagi yang hanya didaur ulang," kata Siti Zuhro.

Dia lalu menyontohkan keberadaan Agum Gumelar yang memang pernah menjabat menteri, calon wapres pada pemilu 2004, sempata menjadi bakal calon gubernur DKI Jakarta dan terakhir jadi cagub di Jawa Barat. Menurutnya, Agum adalah representasi tokoh lama yang didaur ulang kembali di dalam proses apilkada.

Lebih lanjut, Siti menjelaskan era tokoh berlatar belakang purnawirawan jenderal dan incumbent mencapai puncaknya saat pilkada DKI Jakarta yang memenangkan Fauzi Bowo-Mayjen (Purn) Prijanto. Usai itu, praktis masyarakat jenuh dengan tokoh lama dan menginginkan wajah baru.

"Warga sudah tak mau daur ulang pemimpin lama. Mereka ingin sesuatu yang baru, bahasa saya perubahan. Sebenarnya perubahan yang ditunggu itu adalah terobosan dari calon yang muda dan baru itu," jelasnya.

Dia melanjutkan wajar bila masyarakat mencari calon yang membawa terobosan baru. Sebab kehidupan di era lama sudah menjadikan masyarakat kapok.

Sementara, Sosiolog dari Universitas Airlangga, Hotman Siahaan menilai dari kedua pilkada, tidak bisa langsung disimpulkan bahwa calon incumbent dan purnawirawan jenderal tak lagi laik jual.

Untuk kasus Pilkada Jawa Barat, Hotman memang sepakat masyarakat di sana sudah jenuh dan tidak menginginkan figur lama memimpin. Figur yang dimaksud adalah mantan gubernur Danny Setiawan, dan mantan wagub Nu'man Abdul Hakim yang berpasangan dengan Agum Gumelar.

"Kekalahan mereka adalah tanda ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja mereka yang lama. Warga tidak melihat adanya alternatif lain selain pasangan Hade," kata Hotman. (Mjs/OL-2)

Sabtu, 22 Maret 2008

PEMERINTAHAN NAGARI DI ERA ORDE BARU

Di antara pakar ada yang memahami otonomi daerah hanya sebagai pelimpahan wewenang kepada daerah untuk menyelenggarakan salah satu bagian kegiatan pemerintahan, seperti yang dikemukakan Hoessein (1998), bahwa otonomi daerah adalah memberikan sebagian kekuasaan pemerintahan oleh sekelompok yang berkuasa di pusat kepada kelompok lain yang masing-masing memiliki otoritas di samping merupakan hak dan wewenang daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Seperti Lemieux yang dikutip oleh Zuhro (1998), menyatakan bahwa otonomi daerah sebagai suatu kebebasan untuk mengambil keputusan sendiri, baik keputusan politik maupun keputusan administrasi dengan tetap menghormati peraturan perundang-undangan. Sedangkan menurut Koswara (1999), hakekat otonomi daerah itu adalah sebagai perwujudan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan merupakan penerapan konsep areal devision of power yang membagi kekuasaan suatu negara secara vertikal menjadi kekuasaan “pemerintahan pusat” dan “pemerintahan daerah”. Sedang di lain pihak otonomi daerah diistilahkan oleh Kjellberg (1995) local “selfgevernment“. Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam otonomi daerah terdapat three sets of values, how ever, are generally perceived to be essential to it : liberty, or otonomy, democracy or partisipation and effeciency.


Sitasi
R. SitiZuhro (ed). Pemerintahan Lokal dan Otonomi Daerah di Indonesia, Thailand dan Pakistan. PPW-LIPI. Jakarta.

Rabu, 23 Januari 2008

Pemekaran Tak Terkendali

Pemerintah Tak Konsisten, Orientasi DPR Kekuasaan



Jakarta, Kompas - Pemekaran atau pembentukan daerah otonom terus terjadi, tak bisa lagi dikendalikan. Dalam rapat paripurna, Selasa (22/1), Dewan Perwakilan Rakyat kembali menyetujui 21 rancangan undang- undang usul inisiatif anggota tentang pembentukan provinsi dan kabupaten menjadi RUU usul inisiatif DPR.

Daerah yang diusulkan untuk dibentuk itu, delapan di antaranya merupakan provinsi baru dan 13 merupakan daerah kabupaten. Rapat dipimpin Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Semua fraksi menyetujui 21 RUU usul inisiatif itu secara aklamasi.

Beberapa waktu lalu, DPR juga sudah mengajukan 12 RUU pembentukan daerah otonom. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menurunkan surat presiden untuk membahas ke-12 RUU tersebut.

Padahal, saat berpidato di Dewan Perwakilan Daerah, Presiden Yudhoyono yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu sudah dua kali meminta semua pihak berani menolak usulan pemekaran.

Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga Ketua Umum Partai Golkar juga pernah melarang partainya untuk mendukung pemekaran. Menteri Dalam Negeri Mardiyanto juga pernah menegaskan, pemerintah akan lebih selektif terhadap usulan pemekaran daerah.

Catatan Kompas, sejak diberlakukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sampai tahun 2007, sudah terbentuk 173 daerah otonom (7 provinsi, 135 kabupaten, dan 31 kota). Selama periode 2005-2007 itu sendiri yang disetujui DPR bersama pemerintah ada 31 daerah.


21 RUU USUL INISIATIF DPR



Pembentukan Propinsi:
  1. Papua Tengah
  2. Papua Selatan
  3. Papua Barat Daya
  4. Papua Barat
  5. Kalimantan Utara
  6. Aceh Barat Selatan
  7. Aceh Leuser Antara
  8. Sulawesi Timur

Pembentukan Kabupaten:
  1. Pegunungan Arfak (Papua)
  2. Grime Nawa (Papua Barat)
  3. Monokwari Selatan (Papua Barat)
  4. Banggai Laut (Sulawesi Tengah)
  5. Morowali Utara (Sulawesi Tengah)
  6. Kolaka Timur (Sulawesi Tenggara)
  7. Muna Barat (Sulawesi Tenggara)
  8. Kota Raha (Sulawesi Tenggara)
  9. Mamuju Tengah (Sulawesi Barat)
  10. Musi Rawas Utara (Sumatera Selatan)
  11. Penukal Abab Lematang Ilir (Sumatera Selatan)
  12. Rokan Darussalam (Riau)
  13. Pesisir Barat (Lampung).


Main-main



Pengamat otonomi daerah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Siti Zuhro, menilai pembentukan daerah otonom sudah sangat tidak terkendali dan membebani keuangan negara. ”Kita ini memang kelihatannya agak main-main betul,” ucap Siti.

Meski demikian, Siti berpendapat kesalahan ini tidak bisa dilemparkan ke daerah karena persoalan ini lebih disebabkan tidak adanya parameter yang jelas, proses pendampingan, dan pengawasan yang ketat.

”Di tataran realisasi, tidak ada konsistensi. Kita punya aturan bagus, tetapi sering tidak mengikat. Memang, penegakan hukum belum terjadi,” papar Siti.

Penilaian DPR terhadap pembentukan daerah otonom pun lebih didasarkan pada pendekatan kekuasaan. Akhirnya, DPR lebih merepresentansikan rakyat elite yang punya modal ketimbang rakyat banyak.

Siti berharap, ke depan, DPR benar-benar mempertanggungjawabkan keputusan yang telah dibuatnya. Dia khawatir, apabila pembentukan daerah otonom dilepas sedemikian rupa, maka akan menyebabkan negara bangkrut.

”Lobi-lobi dikurangi seminimal mungkin,” ujarnya.

Informasi yang berkembang di DPR, sampai semalam, menyebutkan beberapa fraksi sempat berencana menolak menyetujui 21 RUU usul inisiatif yang diajukan tersebut. Namun, pagi harinya berubah. Dalam pandangan umum fraksi di paripurna, semua fraksi justru menyatakan memahami dan menyetujui.

”Sampai semalam itu ada fraksi yang mau menolak. Saya juga heran kok tiba-tiba bisa semua setuju,” ucap seorang pimpinan fraksi. (SUT)

Kamis, 17 Januari 2008

Salam Kebangsaan : Sebuah Catatan

Y. Rudiat

Seorang peneliti, R. Siti Zuhro (LIPI), menyampaikan analisanya meskipun sedikit berspekulasi, "Kesabaran masyarakat Indonesia pasti ada batasnya. Kesengsaraan yang dirasakan rakyat juga ada toleransinya. Bila masalah kemiskinan dan pengangguran tak juga dapat teratasi dan rakyat dibiarkan mencari solusi sendiri, ancaman revolusi sosial bukan tidak mungkin menjadi kenyataan. Kita berharap ada jalan terbaik tanpa saling melukai".


Selengkapnya di
http://yrudiat.blogspot.com/2008/01/salam-kebangsaan.html