Minggu, 30 Desember 2007

Penggabungan Kembali Daerah Otonom

Publikasi YIPD Tahun VI No. 3 Oktober - Desember 2007

Oleh: Jogjo Endi Rukmo dan Eko Susi Rosdianasari

Fakta besarnya dan mahalnya biaya pemekaran yang demikian menjadikan sejumlah pakar otonomi daerah mengungkapkan wacana penolakan pemekaran daerah atau setidaknya evaluasi pemekaran daerah. Di antaranya seperti yang diungkapkan Dr. Siti Zuhro seorang peneliti pemerintahan daerah dari Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (LIPI), pemekaran sangat membebani uang negara dan apabila pembentukan daerah otonom dilepas sedemikian rupa, maka akan menyebabkan negara bangkrut. Karena pembentukan daerah otonom baru berarti harus membiayai organisasi pemerintahan di daerah tersebut dengan fasilitas perkantoran, anggaran termasuk gaji gubernur, bupati atau walikota dan wakilnya serta anggaran operasionalnya.

Selasa, 18 Desember 2007

Perempuan Harus Atasi Kendala Internal Eksternal

JAKARTA, KOMPAS - Dalam mengembangkan dirinya, perempuan Indonesia menghadapi kendala internal dan eksternal. Perempuan Indonesia harus memliki semangat tinggi untuk mengatasi dua kendala ini.

Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Siti Zuhro menyampaikan pandangan itu dalam diskusi di Dewan Perwakilan Daerah, Selasa (18/12). Tema diskusi adalah Dengan Semangat Hari Ibu ke-79 Kita Tingkatkan Persatuan, Etos Kerja, dan Produktivitas Perempuan untuk Menanggulangi Kemiskinan dan Ketertinggalan Guna Mewujudkan Rakyat Indonesia yang Sejahtera.

"Perempuan tidak ada waktu lagi untuk ngerumpi dan sirik dengan yang lain," ucap Siti Zuhro.

Siti justru mengajak semua perempuan Indonesia untuk memiliki semangat merubah kemapanan dengan banyak menimba ilmu pengetahuan. Semula oleh ibunya, dia pun hanya dikatakan cukup berpendidikan Sarjana Muda. Tapi, dia terus berupaya lebih dan akhirnya berhasil meraih gelar doktor.

"Fighting spirit, semangat untuk mendobrak kemapanan harus ada," ucapnya. Kuota 30 persen perempuan dalam pencalonan legislatif, menurutnya, di satu sisi bagus tapi di sisi lain juga bisa menunjukkan kelemahan perempuan karena seolah-olah harus selalu memohon.

Namun demikian, menurut Ida Ayu Agung Mas, DPD Bali, aksi keberpihakan pada perempuan secara politik juga diperlukan karena pada kenyataannya partai politik masih banyak didominasi perempuan.

Ida Ayu mengingatkan perjuangan RA Kartini dalam mengatasi keterperangkapan keusangan sistem penjajahan dengan menuliskan "Habis Gelap Terbitlah Terang" atau Dewi Sartika dalam "Gerakan Perempuan Sedar".

Sekjen DPD Siti Nurbaya yang juga pernah menjadi Sekjen Depfdagri mengajak perempuan Indonesia untuk bekerja keras. Saat sekolah di Belanda ada pepatah mengatakan bahwa perempuan itu harus berbuat dua kali lipat untuk diakui setengahnya oleh laki-laki.

"Artinya kita itu harus bekerja 4 kali lipat. Perempuan itu dalam berpikir memang lain tapi tidak bodoh karena perempuan harus percaya diri," paparnya. (sut)

Minggu, 09 Desember 2007

Kebebasan Pers Harus Eksplisit dalam Konstitusi

HUMANIORA
Reporter : Fardiansah Noor

BANDUNG--MEDIA:
Kebebasan pers belum secara eksplisit disebutkan dalam UUD 1945, padahal kebebasan pers sangat penting untuk mengawasi jalannya kekuasaan pemerintahan. Karena itu kebebasan pers harus diperjuangkan untuk masuk dalam UUD 1945.

Demikian diungkapkan oleh Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Sumatra Barat Irman Gusman, pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada Denny Indrayana, Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, dan dosen Ilmu Hukum Universitas Indonusa Esa Unggul Andi Irmanputra Siddin ketika berdiskusi dengan Koordinatoriat Wartawan Parlemen Indonesia di Bandung, Jawa Barat, Sabtu (8/12).

Menurut Irman Gusman, DPD berencana akan mengajukan usul amendemen UUD 1945 kelima pada 2008 secara komprehensif. Tidak hanya mengubah pasal yang terkait dengan kewenangan lembaga itu saja, tapi juga banyak poin lain yang akan diperjuangkan. Termasuk mempertegas jaminan kebebasan pers oleh konstitusi.

"Tanpa pers, tidak terbayang akan menjadi seperti apa alam demokrasi kita. Untuk itu kebebasan pers harus dijaga dan diperkuat," kata Irman.

Senada dengan Irman, Denny Indrayana menyatakan, amandemen UUD 1945 bukan untuk membuat konstitusi baru. Sehingga upaya DPD untuk menyempurnakan konstitusi harus didukung karena pembukaan, asas Pancasila, bentuk negara kesatuan, sistem pemerintahan presidensial, dan pasal 29 sebagai poin krusial tetap dipertahankan.

"Substansi yang seharusnya diperjuangkan oleh DPD adalah pembatasan kekuasaan dalam bentuk penegasan trias politika eksekutif, legislatif, dan yudikatif, ditambahkan dengan adanya Komisi Negara Independen. Selain itu juga harus mempertegas jaminan konstitusi terhadap perlindungan termasuk di dalamnya jaminan akan kebebasan pers," ungkap Denny.

Dia menambahkan, penegasan sistem Presidensial bisa dilakukan dengan penyempurnaan sistem bikameral dengan membentuk MPR yang joint session. DPD dan DPR bisa diisi oleh calon perseorangan maupun calon dari partai politik. Kemudian hanya DPR dan DPD yang memiliki kekuasaan legislatif, tapi Presiden mempunyai hak veto.

"Salah satu yang harus disempurnakan adalah jaminan konstitusi terhadap HAM dan kebebasan pers termasuk di dalamnya. Sistem seperti ini tidak bisa hanya diatur dalam UU, perlu ditegaskan dalam UUD," cetus Denny.

Sehingga, lanjutnya, dengan UUD yang sempurna negara ini tidak memerlukan banyak sekali Komisi Independen. Hanya lima Komisi Independen yang dibutuhkan, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk tata kelola pemerintahan yang baik, Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk pemilu yang demokratis, dan Komisi Yudisial (KY) untuk peradilan yang berwibawa. Selain itu ada Komisi Pers untuk pers bebas tapi bertanggung jawab dan Komisi Nasional HAM untuk menjamin terjadinya perlindungan HAM.

Sementara itu Siti Zuhro menyatakan, secara hukum penguatan kewenangan DPD tidak cukup hanya dipayungi oleh UU Susduk dan UU Pemda. Lebih penting adalah merealisasikan amendemen kelima UUD1945 secara komprehensif. "Asumsinya dengan kewenangan yang memadai akan berimplikasi positif terhadap terwujudnya efektivitas pemerintahan daerah dan meningkatnya demokratisasi lokal dan realisasi otonomi daerah," ungkap Siti.

Implikasi positif lainnya, tambahnya, adalah tegaknya sistem check and balances tidak hanya antara legislatif dan eksekutif tapi juga internal lembaga legislatif. Yaitu antara DPR dan DPD.


Andi Irmanputra Siddin menyatakan, ketika DPD ingin melakukan amendemen UUD, seharusnya pers menungganginya untuk menjadi sebagai suatu organ kekuasaan, tidak hanya untuk menjadi industri semata. Pasalnya, dalam empat kali perubahan konstitusi tidak ada penegasan terhadap jaminan kebebasan pers, yang dijamin adalah kebebasan berpendapat individu dan bukan entitas pers.

"Sayangnya pers sampai saat ini tidak menyadarinya. Akibatnya pers tidak akan bisa mengubah dirinya. Pers seharusnya menangkap ide DPD untuk melakukan perubahan konstitusi. Biar DPD menguatkan dirinya dan pers ikut serta di dalamnya," tegas Irmanputra. (Far/OL-03)