Minggu, 30 Januari 2011

Saatnya MPR Turun Tangan, Atasi Konflik DPR-DPD

Irman Putra Sidin (Helmi/dok)
Politikindonesia - MPR perlu turun tangan menyelesaikan konflik antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Pertentangan kedua lembaga ini menyangkut kewenangan dalam pembahasan rancangan undang-undang, harus diakhiri.

"MPR perlu turun tangan menyelesaikan konflik dua kamar yang sama-sama ada di Senayan ini. Tak perlu jauh-jauh, di sekitarnya dulu diselesaikan," kata pakar hukum tata negara, Irman Putra Sidin dalam diskusi mengenai arogansi politik dan refleksi legislasi di Gedung DPD, Senayan, akhir pekan ini.

Bisa disebutkan, konflik lembaga itu menunjukkan ego masing-masing mengenai kewenangannya dalam proses legislasi. Pasalnya, DPD ingin berperan lebih besar dalam pembahasan RUU, terutama yang menyangkut kepentingan daerah. Tetapi, DPR tidak mau menerima hal itu, karena merasa lebih berwenang menentukan segalanya.

Dalam pandangan Irman, proses relasi ketatanegaraan antara DPR dan DPD masih sulit mendapatkan bentuk sesungguhnya antara daerah dan kekuasaan politik di DPR.

Yang harus disadari, DPD tidak hanya kerja semata sebagai parlemen. Intinya, DPD harus dilihat sebagai keinginan daerah-daerah di seluruh Indonesia, untuk mengambil peran sebagai aktor utama dalam kebijakan nasional.

Seharusnya, setelah perubahan UU tentang Susunan Kedudukan (Susduk) menjadi Undang Undang MPR/DPR/DPD dan DPRD (MD3), konflik DPD-DPR pelan-pelan tereduksi. Namun, faktanya DPR belum bisa menerima kehadiran daerah (DPD), untuk terlibat dalam pembahasan kebijakan RUU.

"Sesungguhnya ini yang harus direnungkan kembali oleh DPR. Karena, masalahnya sudah konstitusional atau tidak, atau arogansi tanda kutip. Mungkin juga ketidaktahuan atau ada konflik pribadi, sehingga membawa-bawa nama lembaga," kata Irman Putra Sidin.


Menafikan Bikameral



Pengamat politik dari LIPI, Siti Zuhro mengatakan DPR menafikan kesepakatan adanya bentuk bikameral, dengan tidak mengakomodasi keberadaan DPD. Ia berpendapat, kesetaraan itu yang tidak ada.

Karena itu, kata Siti Zuhro, pantas kalau disebutkan ada arogansi kelembagaan yang ditunjukkan DPR. Karena ada upaya untuk mengerdilkan DPD secara jelas dan nyata dari pihak DPR. Ada kesengajaan DPR menyepelekan keberadaan dan upaya DPD untuk menunjukkan kinerjanya.

DPD sudah sangat serius merespon kekinian masalah, dalam hal ini berusaha merumuskan dan menuangkan dalam bentuk RUUK. Namun DPR tidak memberikan semangat, justru mendemoralisasi dan melumpuhkan.

"Ada kesengajaan, atau dalam perspektif politik ini pelumpuhan, apa yang sudah dimiliki tidak hanya semangat, tapi keberadaan dan umumnya memang tupoksi DPD dinafikan begitu saja," kata Siti Zuhro.


Wujud Kemitraan



Sementara itu, Direktur Monitoring, Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Ronald Rofiandri mengatakan, relasi yang terbangun antara DPD-DPR menunjukkan dua ciri khas.

Pertama, upaya salah satu pihak, yaitu DPD dalam menemukan wujud kemitraan dan sinergi yang akan dibangun. Di sisi lain, DPR, menyediakan terbentuknya dua hal tersebut tanpa mengurangi otoritas yang dimiliki.

Kedua, dinamika yang terjadi sebagian memperlihatkan adanya ketegangan di tingkat prosedur. Menurut Ronald, ketegangan ini ternyata tidak dituntaskan dalam tata tertib sidang, hanya berhenti pada batas itu. Padahal ada kebutuhan-kebutuhan alat kelengkapan yang ingin terlibat lebih jauh.

"Konsekuensinya itulah yang terjadi pada Rabu, karena tidak ada pembicaraan jangka panjang, bagaimana menyepakati tentang DPD ikut membahas," katanya.


Arogansi Legislatif



Ketua Komite IV DPD, John Pieris menganggap DPR melakukan arogansi kekuasaan legislatif. Anggota DPD RI dari Maluku itu menunjuk rapat kerja antara Komite I DPD dan Komisi II DPR, mengenai pembahasan RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Rabu (26/01).

Dalam penilaian John, hegemoni kekuasaan ada di DPR, sedangkan DPD diberikan kekuasaan yang sifatnya "marginal power". Kondisi ini menafikan mekanisme checks and balances dari segi trias politika.

Menurut John, kalau DPD selama ini terkesan ngotot mengawal kepentingan daerah, karena RUU yang berkaitan dengan kepentingan daerah-daerah harus menjadi domain DPD. Ia mengaku tidak begitu percaya partai politik atau DPR akan memperjuangkan kepentingan daerah.

"Saya sama sekali saya tidak percaya. Karena DPR itu partai politik. Jadi, mereka itu akan memperjuangkan kepentingan partainya saja," tegasnya.
(nam/rin/nis)

Sabtu, 29 Januari 2011

Soal RUUK DIY DPD Anggap DPR Arogan

JAKARTA, HALUAN – DPD menganggab DPR melakukan arogansi kekuasaan legislatif pada rapat kerja antara Komite I DPD dan Komisi II DPR dalam pembahasan Rancangan Undang Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (RUUK DIY), Rabu lalu (26/01).

Demikian kesimpulan yang muncul pada acara dialog Perspektif Indonesia dengan tema ”Arogansi Politik dan Refleksi Legislasi”, bertempat di pressroom DPD RI, Kom­pleks Parlemen Senayan, Ja­karta, Jumat (28/01) dengan narasumber John Pieris (Ketua Komite IV DPD RI), Siti Zuhro (Pengamat Politik LIPI), Irman Putra Sidin (Pengamat Hukum Tata Negara), dan Ronald Rofiandri (Direktur Monitoring, Advokasi dan Jaringan PSHK).

John Pieris menegaskan, rapat kerja antara Komite I DPD dan Komisi II DPR tidak menunjukkan demokrasi yang elegan. Komisi II dianggap menyalahi sistem-sistem de­mok­rasi. ”Ketua Komisi II saudara Harahap memakai kekuasaan yang terlalu berle­bihan tidak memberikan sedikit peluang kepada tim DPD untuk melaku­kan interupsi”, tegasnya.

John menilai bahwa hege­moni kekuasaan ada di DPR, sementara DPD diberikan kekuasaan yang sifatnya mar­ginal power. Kondisi ini diang­gapnya menafikan mekanisme checks and balances dari segi trias politica.

John melanjutkan, DPD RI selama ini terkesan ’ngotot’ untuk mengawal kepentingan daerah, karena RUU yang berkaitan dengan kepentingan daerah-daerah harus menjadi domain DPD RI. ”Saya tidak begitu percaya kalau kepen­tingan-kepentingan daerah itu diperjuangkan oleh partai politik, sama sekali saya tidak percaya. Karena DPR itu partai politik, jadi mereka akan memperjuangkan kepentingan partainya itu,” jelasnya.

Sikap arogansi DPR terse­but juga dibenarkan oleh Siti Zuhro, yang mengatakan bahwa DPR menafikan kesepakatan adanya bentuk bikameral, dengan tidak mengakomodasi kebe­radaan DPD. ”Equality itu yang tidak ada, dan ini adalah pantas kalau disebutkan aro­gansi tadi karena ada upaya untuk menge­rdilkan secara jelas dan nyata dari pihak DPR terhadap kebe­radaan dan upaya DPD untuk sebetulnya ingin menun­jukkan kinerjanya tadi,” kata Siti.

Siti menambahkan bahwa DPD sudah sangat serius meres­pon kekinian masalah, dalam hal ini berusaha merumuskan dan menuangkan dalam bentuk RUUK. DPR dianggap tidak memberikan semangat, justru mendemoralisasi dan melum­puhkan. ” Ada kesengajaan dalam perspektif politik ini pelumpuhan, apa yang sudah dimiliki tidak hanya semangat, tapi keberadaan dan umumnya memang tupoksi DPD dina­fi­kan begitu saja,” katanya.

Sementara itu Irman Putra­sidin mengatakan bahwa proses relasi ketatanegaraan antara DPR dan DPD masih sulit untuk mendapatkan bentuk yang sesungguhnya antara daerah dan kekuasaan politik yang ada di DPR.”Jadi yang harus disadari semua bahwa DPD tidak hanya kerja semata sebagai parlemen, DPD harus dilihat sebagai keinginan dae­rah-daerah seluruh Indonesia, untuk mengambil peran sebagai aktor utama dalam kebijakan nasional, ” urai Irman.

Seharusnya, lanjut Irman, seteah perubahan susduk men­jadi MD3, konflik DPD-DPR pelan-pelan tereduksi. Namun, faktanya DPR belum bisa menerima kehadiran daerah (DPD-red), untuk terlibat dalam pembahasan kebijakan RUU. ”Saya kira ini yang harus direnungkan kembali oleh DPR bahwa ini sudah konstitusional atau tidak, atau arogansi tanda kutip, atau mungkin juga ketidaktahuan, atau ada konflik sehingga membawa-bawa nama lem­baga,” ujarnya. (sam)

Jumat, 28 Januari 2011

Tepis Eksistensi DPD, DPR Dituding Arogan

REPUBLIKA.CO.ID-- Ketua Komite IV DPD RI John Pieris (anggota DPD RI dari Maluku) menganggap DPR melakukan arogansi kekuasaan legislatif pada rapat kerja antara Komite I Dewan Perwakilan Daerah RI dan Komisi II DPR, mengenai pembahasan RUU Keistimewaan DIY, Rabu (26/1). John juga menilai bahwa hegemoni kekuasaan ada di DPR, sementara DPD diberikan kekuasaan yang sifatnya 'marginal power'. Kondisi ini menafikan mekanisme 'checks and balances' dari segi trias politica.

Menurut John, DPD RI selama ini terkesan 'ngotot' untuk mengawal kepentingan daerah, karena RUU yang berkaitan dengan kepentingan daerah-daerah harus menjadi domain DPD RI. "Saya tidak begitu percaya kalau kepentingan-kepentingan daerah itu diperjuangkan oleh partai politik, sama sekali saya tidak percaya. Karena DPR itu partai politik, jadi mereka akan memperjuangkan kepentingan partainya itu," katanya.

Pengamat politik dari LIPI Dr Siti Zuhro mengatakan bahwa DPR menafikan kesepakatan adanya bentuk bikameral, dengan tidak mengakomodasi keberadaan DPD. "Equality itu yang tidak ada dan ini adalah pantas kalau disebutkan arogansi karena ada upaya untuk mengerdilkan secara jelas dan nyata dari pihak DPR terhadap keberadaan dan upaya DPD untuk sebetulnya ingin menunjukkan kinerjanya," kata Siti.

Siti menambahkan, DPD sudah sangat serius merespon kekinian masalah, dalam hal ini berusaha merumuskan dan menuangkan dalam bentuk RUUK. Namun DPR tidak memberikan semangat, justru mendemoralisasi dan melumpuhkan. "Ada kesengajaan dalam perspektif politik ini pelumpuhan, apa yang sudah dimiliki tidak hanya semangat, tapi keberadaan dan umumnya memang tupoksi DPD dinafikan begitu saja," katanya.

Direktur Monitoring, Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Ronald Rofiandri mengatakan, relasi yang terbangun antara DPD-DPR menunjukkan dua ciri khas. Pertama, upaya salah satu pihak, yaitu DPD dalam menemukan wujud kemitraan dan sinergi yang akan dibangun. Sedangkan di sisi DPR adalah menyediakan terbentuknya dua hal tersebut tanpa mengurangi otoritas yang dimiliki. Kedua, adalah dinamika yang terjadi sebagian memperlihatkan adanya ketegangan di tingkat prosedur.

Menurut Ronald, ketegangan ini ternyata tidak dituntaskan dalam pada tata tertib sidang dan hanya berhenti pada batas itu, padahal ada kebutuhan-kebutuhan alat kelengkapan yang ingin terlibat lebih jauh. "Konsekuensinya itulah yang terjadi hari rabu, karena tidak ada pembicaraan jangka panjang, bagaimana menyepakati tentang ikut membahas," katanya.


Redaktur: Djibril Muhammad
Sumber: Antara

Siti Zuhro : Indonesia Stagnan, Presiden SBY Senang!

JAKARTA, RIMANEWS- Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan (LIPI), Siti Zuhro menilai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diprediksi akan terus menerapkan politik harmoni untuk mengamankan kekuasaan dan partai yang dipimpinnya hingga berakhirnya masa jabatan pada tahun 2014., karena itu masyarakat tak usah bermimpi terlalu tinggi jika Presiden SBY dan pemerintahannya akan melakukan suatu gebrakan yang luar biasa.

"Pak SBY tak akan melakukan terobosan fenomenal menurut saya sampai 2014. Tidak akan pernah melakukan terobosan fenomenal seperti yang kita pikirkan. Karena dia sangat menghitung banyak hal dengan politik yang harmoni, yang didukung, dia paling senang," katanya di Gedung DPD RI, Jumat (28/1/2011).

Siti memproyeksikan SBY tak akan melakukan terobosan yang mengejutkan karena terlalu dibebani oleh politik harmoni yang disenanginya. SBY selalu berkeinginan menjadi payung untuk semua kepentingan di sekitarnya.

"Padahal Indonesia butuh action. Nah itu enggak. Sampai 2014 kita seperti itu, stagnasi. Karena buat dia itu rezeki, sangat beresiko (bagi dia) untuk melakukan gebrakan yang sifatnya bisa dinikmati sebagian besar kita, tapi tidak untuk dia," katanya.

Menurut penilaian Siti Zuhro, SBY bukan seorang tokoh politik yang mau melakukan harakiri politik. Setiap keputusan diperhitungkannya dengan sangat teliti. Oleh karena itu, terobosan yang sangat dibutuhkan pun tak akan diterapkan selama itu merugikan baginya.(ian/kcm)

Jumat, 21 Januari 2011

PENCEGAHAN KORUPSI: KPK Berencana Awasi Pembangunan Gedung Baru DPR


JAKARTA (Suara Karya): Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan kesiapannya untuk mengawasi pembangunan gedung baru DPR. Hal ini terkait dengan kekhawatiran sejumlah pihak terhadap terjadinya tindak pidan korupsi pada proyek tersebut.
"Tentunya KPK bersama masyarakat yang anti terhadap korupsi selalu memantau penyimpangan-penyimpangan yang berindikasi korupsi di mana pun, termasuk proyek pembangunan gedung baru DPR," ujar Pimpinan KPK Bidang Pencegahan M Jasin di Jakarta, Kamis (20/1).
Ia menambahkan, pemantauan tersebut dapat lebih optimal dengan adanya partisipasi masyarakat melalui KPK Whistle Blower System yang dapat diakses dengan mudah. "Itu alat pengaduan canggih berbasis web, jadi dapat membantu KPK di samping proaktif memantau," ujarnya.
Sebelumnya, Sekjen DPR Nining Indrasaleh mengatakan pihaknya mempersilakan KPK dan Badan Pengawas Keuangan (BPK) mengawasi tahapan pembangunan gedung kantor baru DPR.
Hal itu terkait kecurigaan sejumlah pihak mengenai praktik korupsi oknum Setjen DPR dalam proyek tersebut.
Peneliti LIPI Siti Zuhro menilai, pengawasan terutama menyangkut penggunaan anggaran pada pembangunan gedung baru DPR harus dilakukan sejak awal proses perencanaan.
"Jangan sampai nanti setelah terjadi korupsi baru kebakaran jenggot atau meributkannya. Seharusnya, lembaga-lembaga yang berwenang melakukan pengawasan dapat turun tangan sejak awal perencanaan, terlebih lagi sudah banyak muncul penolakan publik," katanya.
Dia menambahkan, pentingnya pengawasan terhadap proyek tersebut mengingat kondisi di Indonesia, khususnya di dalam pelaksanaan suatu proyek pembangunan yang dilakukan pemerintah yang hingga kini masih lekat dengan tindak penyalahgunaan kewenangan yang berujung pada penyimpangan anggaran.
"Kondisi ini selalu berulang dan sudah lama terjadi, tetapi pada kenyataannya seolah-olah dibiarkan. Ini yang menimbulkan efektifitas pengawasan dalam suatu proyek karena terlalu longgar dan dapat dikompromikan," katanya.


Tolak Menempati

Sementara itu menyusul Fraksi Gerindra, Fraksi Hanura juga telah menyatakan penolakannya terhadap pembangunan tersebut.
Bahkan, Wakil Ketua Fraksi Hanura DPR Sarifuddin Suding mengancam, pihaknya tidak akan berkantor di gedung baru itu jika proses pembangunannya tetap dilanjutkan.
Dia mengatakan, penolakan rencana pembangunan gedung baru itu sudah ditetapkan sejak Oktober tahun lalu pada saat fraksi menggelar rapat.
"Penolakan ini adalah arahan Ketua Umum Partai Hanura, Pak Wiranto. Pertimbangannya karena gedung baru itu tidak dibutuhkan. Sebenarnya, yang diperlukan hanyalah sebuah penataan ulang, tidak perlu membangun," katanya.
Menyangkut anggota Fraksi Hanura yang duduk di Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR, dia menjelaskan, fraksinya akan meminta klarifikasi dari yang bersangkutan.
Sedangkan, anggota Fraksi Partai Gerindra Martin Hutabarat juga secara tegas menyatakan penolakan terhadap rencana pembangunan gedung baru DPR.
Dia mengatakan, penolakan itu sudah disampaikan sejak awal rencana pembangunan. Karena itu, dia menyambut baik dengan adanya rencana pimpinan DPR membuka dokumen rapat-rapat BURT.
Sebab, dari dokumen itu diharapkan dapat diperoleh gambaran mengenai sikap Gerindra yang tetap konsisten menolak rencana pembangunan gedung itu. (Tri Handayani/Nefan K)

Rabu, 19 Januari 2011

Home Affairs Minister Fed Up With Graft-Tainted Governors

Anita Rachman & Camelia Pasandaran | January 19, 2011

Home Affairs Minister Gamawan Fauzi has painted a bleak picture of the country’s regional heads, saying too many have been implicated in graft scandals.

“Among the 155 regional heads who have been named graft suspects, as of today, 17 of them are [current and former] governors,” Gamawan said during his meeting with Committee I of the Regional Representatives Council (DPD).

In the latest scandal, Bengkulu Governor Agusrin Najamuddin is facing up to 20 years in prison for allegedly embezzling Rp 20.16 billion ($2.2 million) from the province’s coffers.

Ministry spokesman Rey Donny Zar Moene later explained that the figures cited by the minister spanned cases from 2004 to 2011, and that some of the suspects had already been tried, were being tried or were being questioned as witnesses.

Among them is North Sumatra Governor Syamsul Arifin, who was arrested in October in connection with alleged corruption committed while he was head of Lankat district.

In August, the former governor of Riau Islands, Ismeth Abdullah, was sentenced to two years in prison for his role in a procurement scam that cost the government Rp 98.6 billion.

Also included in the list of graft suspects are Rudy Arifin, governor of South Kalimantan, and Awang Farouk, governor of East Kalimantan.

Rey said the president had already ordered investigations into the listed governors.

Gamawan, meanwhile, urged the issue be taken seriously, calling for closer monitoring of regional heads not only after they are elected but also during election campaigning.

He said candidates in regional elections were known to spend vast amounts of money on their campaigns.

He said some campaign expenditures he had reviewed reached as high as Rp 100 billion, “when, in fact, a governor can only earn about Rp 6 billion during their five-year term in office.”

Gamawan said salaries for governors were Rp 8.6 million a month on average. With additional incentives, such as for helping meet tax collection targets, governors could take home anywhere between Rp 34 million to Rp 90 million per month.

The minister cited Jakarta Governor Fauzi Bowo to illustrate a hypothetical case.

“Let’s say, Pak Fauzi Bowo gets Rp 100 million per month, plus benefits. He could earn Rp 1.2 billion per year. In five years, he could earn Rp 6 billion,” he said.

Siti Zuhro, an analyst from the Indonesian Institute of Sciences (LIPI), said so-called investors supported candidates running for regional elections, who would later ask for the favor to be returned after their candidates were elected.

“Once they are regional leaders, they would work for the investors’ interests,” she said. “This fact just shows how our regional elections have been tainted by money politics and opportunism.”

The minister said that he was increasingly concerned about how pervasive corruption had become. “Every week, there is a regional leader who is named as a [graft] suspect,” he said.

Gamawan said his ministry was ready to hold a special meeting with the DPD to discuss the regional elections, with the government currently re-evaluating the entire monitoring system for all polls.

He said multiple monitoring systems were being looked at, including by the public and Supreme Audit Agency (BPK).

Politisasi Birokrasi Jadi Akar Korupsi

NASIONAL - HUKUM

JAKARTA - Banyaknya kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi dan kemudian dipenjara dinilai merupakan imbas lemahnya pengawasan pemerintah selama bergulirnya era otonomi daerah. Menurunnya komitmen penegakan hukum ke titik nadir pada gilirannya juga memiliki andil dalam memperparah kondisi tersebut.

Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menyatakan, pilkada langsung telah mendorong terjadinya politisasi birokrasi. Untuk menghadapi pertarungan dalam pilkada, banyak incumbent (tokoh yang masih menjabat) yang kerap memanfaatkan berbagai fasilitas, termasuk APBD, untuk melapangkan jalan kemenangan mereka.

Bahkan, kata dia, tidak jarang kepala daerah yang sedang menjabat menggunakan aparaturnya sebagai tim sukses. "Itulah dampak negatif pilkada langsung terhadap birokrasi," kata Zuhro saat ditemui di Hotel Nikko, Jakarta Pusat, kemarin (18/1).

Menurut dia, kondisi birokrasi saat ini cenderung lebih "membahayakan" daripada saat era Orde Baru (Orba). Saat rezim Orba berkuasa, yang terjadi adalah upaya "meng-Golkar-kan" birokrasi. Saat ini, tegas Zuhro, justru muncul faksi-faksi ala partai politik di birokrasi. "Akibatnya, soliditas birokrasi terancam. Rakyat otomatis dirugikan," ujarnya.

Dia menyebutkan, birokrasi sekarang menjadi ajang tarik-menarik kepentingan perjuangan partai. Tentu, kaitannya tidak jauh-jauh dari urusan finansial alias sumber daya ekonomi. "Sekarang, investor menanam modalnya ke semua calon. Dalam prosesnya, dilihat kandidat yang terkuat, terus digerojok. Pascapilkada, pembangunan sangat bergantung pada instruksi para investor," kritik perempuan kelahiran Blitar, 7 November 1959, itu. Menurut Zuhro, sistem multipartai sejauh ini tidak memberikan manfaat besar terhadap kinerja pemda. "Justru hanya menyuburkan tradisi korupsi," tegasnya.

Di tempat yang sama, Ketua Tim Peneliti Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga Dwi Windyastuti Budi Hendrarti menjelaskan sejumlah kemungkinan pemicu maraknya korupsi yang melibatkan kepala daerah. Salah satunya, banyak kepala daerah yang tergolong "politisi pendatang" yang tidak paham teknis birokrasi. "Padahal, tertib anggaran itu sangat ketat. Mereka tidak menyadari itu sehingga tersandung," ungkapnya.

Aspek lain yang patut dicatat, terang dia, adalah tingginya biaya politik dalam pilkada. "Setelah terpilih, mau tidak mau kepala daerah berusaha mencari uang kembalian," ujarnya.

Dia menyatakan, terkadang inisiatif untuk berkorupsi itu tidak datang dari pribadi kepala daerah. Tetapi, hal tersebut sering didorong mantan anggota tim sukses kepala daerah saat pilkada. "(Hal itu) sebagai balas budi kepada partai pengusung atau tim sukses yang meminta proyek-proyek dari pemda," ujarnya.

Pada bagian lain, peneliti senior CSIS J. Kristiadi menilai, politisasi birokrasi mengakibatkan lembaga tersebut menjadi ajang dan alat pertarungan kekuasaan. Memang, undang-undang melarang birokrat untuk berpolitik. Tapi, dalam realitasnya, ketika pertarungan pilkada melibatkan unsur-unsur pimpinan daerah, kandidat bisa memaksa birokrat untuk menjadi tim sukses mereka.

"Hukum jelas ditabrak dan negara tidak mampu menegakkan peraturan sendiri. Birokrasi menjadi pecah dan saling curiga," ujar Kristiadi. Birokrat yang berani menolak, ungkap dia, akan kehilangan jabatan dan masa depan. Sebab, pembina pegawai negeri sipil (PNS) di daerah adalah kepala daerah. "Pascapilkada, biasanya kemenangan satu pihak akan menggusur para birokrat yang dicurigai sebagai lawan politik," jelasnya.

Ekses politik uang dalam pilkada, lanjut Kristiadi, mengakibatkan kepala daerah terpilih berorientasi pada upaya untuk mengembalikan investasi dalam pencalonannya. Korupsi yang dilakukan tidak melulu terhadap APBD, tapi juga memperjualbelikan jabatan yang menjadi ruang lingkup kewenangannya. "Terutama, dinas-dinas yang basah diperjualbelikan. Mutasi bisa terjadi setiap tahun seharga ratusan juta rupiah," ungkapnya.

Menurut dia, reformasi birokrasi tidak akan pernah bisa dilakukan, kecuali ada kekuatan yang dapat memaksa partai politik untuk mengakhiri pertarungan di ranah birokrasi. Salah satunya melalui regulasi yang mengontrol ketat keuangan parpol serta para kandidat disertai sanksi yang tegas dan keras. (pri/c5/dwi)

Selasa, 18 Januari 2011

Siti Zuhro : Tokoh Lintas Agama Harus Tetap Kritis, Jangan Terjebak Politisasi SBY!

JAKARTA, RIMANEWS- Pengamat Politik dari Lembaga ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro meminta para tokoh lintas agama untuk tidak terjebak dalam politisasi agama dalam mengkritisi kinerja pemerintah.

"Jelas kita tidak setuju jika agama dipolitisasi," Siti Zuhro, Selasa (18/1/2011).

Menurutnya, tidak menutup kemungkinan akan terjadi tarikan politik yang kuat. Agar para tokoh agama ini tidak keblinger dan murni menyuarakan aspirasi umat maka perlu dikawal dengan gerakan umat.

"Para pemuka agama ini jangan sampai masuk ke dalam ranah politik karena masalah politik ini sudah dipresentasikan oleh parpol dan parlemen," tuturnya.

Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama sejumlah tokoh agama melakukan pertemuan di Istana Negara tadi malam. Pertemuan yang dilakukan secara tertutup itu untuk membahas soal kebohongan pemerintah yang dilontarkan para pemuka agama.

Presiden berharap dalam dialog ini baik pemerintah dan tokoh lintas agama bisa sama-sama saling mendengarkan dan saling memberi masukan. (ian/oz)

Pemuka Agama Diminta Tak Terjebak Politisasi

Carolina Christina - Okezone
JAKARTA - Pemuka agama diminta untuk tidak terjebak dalam politisasi agama dalam mengkritisi kinerja pemerintah.

"Jelas kita tidak setuju jika agama dipolitisasi," ujar Pengamat Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, Selasa (18/1/2011).

Menurutnya, tidak menutup kemungkinan akan terjadi tarikan politik yang kuat. Agar para tokoh agama ini tidak keblinger dan murni menyuarakan aspirasi umat maka perlu dikawal dengan gerakan umat.

"Para pemuka agama ini jangan sampai masuk ke dalam ranah politik karena masalah politik ini sudah dipresentasikan oleh parpol dan parlemen," tuturnya.

Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama sejumlah tokoh agama melakukan pertemuan di Istana Negara tadi malam. Pertemuan yang dilakukan secara tertutup itu untuk membahas soal kebohongan pemerintah yang dilontarkan para pemuka agama.

Presiden berharap dalam dialog ini baik pemerintah dan tokoh lintas agama bisa sama-sama saling mendengarkan dan saling memberi masukan. (crl)

Sabtu, 15 Januari 2011

Shake-up ‘unlikely’ given pressure on SBY

Nani Afrida, The Jakarta Post, Jakarta | Sat, 01/15/2011 4:29 PM | National
A | A | A |

An unfavorable performance review of President Susilo Bambang Yudhoyono’s Cabinet led many to believe the President would carry out a comprehensive reshuffle of his ministers, but fear of losing political support may rule out any such a restructure, experts say.

“I am sure the President won’t carry out a major reshuffle. He still needs support from political parties,” Indonesia Survey Institute senior researcher Burhanuddin Mukhtadi told The Jakarta Post on Friday.

Burhanuddin pointed out that Yudhoyono would likely take into account recent developments before restructuring his Cabinet, including a fresh ruling issued by the Constitutional Court on a clause in the 2009 Law on the People’s Consultative Assembly, Regional Representatives Councils and the Regional Legislative Councils that makes it easier for legislators to impeach a president.

Burhanuddin said Yudhoyono would avoid any move that might irk his supporters, such as replacing ministers from parties within the pro-government coalition.

“A Cabinet shakedown will certainly make the political parties unhappy,” he said.

He also suggested that Yudhoyono might do well to consider a recent statement from Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) chairwoman Megawati Soekarnoputri.

“Megawati has said that the party [PDI-P] will not join the coalition with the government,” Burhanuddin said.

On Thursday, top presidential aide Kuntoro Mangkusubroto said he had submitted the Cabinet evaluation results to the President. Two of four ministers in the Cabinet were given “red marks”, Kuntoro said.

Yudhoyono’s Cabinet consists of 35 ministers, more than half of them come from the coalition parties. Rumors of a major shakedown surfaced following rising tension in the ruling coalition amid boiling rivalry between the Golkar Party and Yudhoyono’s Democratic Party over some contentious issues, including the special status of Yogyakarta.

Siti Zuhro, an expert on regional autonomy with the Indonesian Institute of Sciences, said that right now Yudhoyono was in an unfavorable position.

“The fact that most ministers who belong to political parties have set their own agendas makes it difficult for Yudhoyono to control his Cabinet. It is difficult for Yudhoyono to ensure commitment from the ministers in carrying out the development programs,” she said.

Yudhoyono, she added, would likely prefer to maintain good relations with political parties rather than spoil them.

“A peaceful relationship sometimes spells status quo,” she said.

Concurring with Siti Zuhro, Burhanuddin said he was disappointed by the lack of progress made by the Cabinet.

“You can see there has been no progress in micro-economic sectors, for instance. Since most ministers are from political parties, they have no capability to handle their respective fields,” he said.

Jumat, 14 Januari 2011

Experts pessimistic over Cabinet shakedown plan

Nani Afrida, The Jakarta Post, Jakarta | Fri, 01/14/2011 3:24 PM | National

Following the submission of the Cabinet evaluation results to President Susilo Bambang Yudhoyono, some political pundits expressed their pessimism that the evaluation would prompt the President to carry out a significant overhaul of his Cabinet, despite apparent dissatisfaction on ministers' performances.

“I am sure that the President won't undergo a major reshuffle. He still needs support from political parties,” Indonesia Survey Institute (LSI) senior researcher Burhanuddin Mukhtadi told The Jakarta Post on Friday.

Burhanuddin pointed out Yudhoyono would likely take into account recent developments before making any shakedown, including the fresh ruling issued by the Constitutional Court on a clause in the 2009 Law on the People's Consultatives Assembly, Regional Representatives Councils and the Regional Legislative Councils that paves the way for lawmakers to impeach a president.

Burhanuddin said that Yudhoyono would avoid any moves that may irk the political parties including the replacement of the ministers who are mostly cadres from the parties.

“A Cabinet shakedown will certainly make the political parties unhappy,” he said.

He also suggested that Yudhoyono might consider a fresh statement from Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P) chairwoman Megawati Soekarnoputri before making any reshuffle.

“Megawati has said that the party would not join the coalition with the government,” Burhanuddin said.

On Thursday, top presidential aide Kuntoro Mangkusubroto said he had submitted the Cabinet evaluation result to the President. Two of four ministers in the Cabinet were given “red marks”, Kuntoro said.

Yudhoyono's Cabinet consists of 35 ministers, more than half of them come from the coalition parties. Rumors of a major shakedown surfaced following rising tension in the ruling coalion amid boiling rivalry between the Golkar Party and Yudhoyono's Democratic Party over some contentious issues, including the special status of Yogyakarta.

Siti Zuhro, an expert on regional autonomy with the Indonesian Institute of Sciences (LIPI), said that right now Yudhoyono was in an unfavorable position.

“The fact that most ministers who belong to political parties have set their own agendas makes it difficult for Yudhoyono to control his Cabinet. It is difficult for Yudhoyono to ensure commitment from the ministers in carrying out the development programs,” she said.

Yudhoyono, she added, would likely prefer to maintain good relations with political parties rather than spoil them.

“The peaceful relationship sometimes spells status quo,” she said.

Concurring with Siti Zuhro, Burhanuddin lamented minimal progress has been undertaken by the Cabinet.

“You can see there has been no progress on micro economic sectors, for instance. Since most ministers are from political parties, and they have no capabilities to handle their respective fields,” he said.

SBY has nothing to lose by ordering Cabinet reshuffle: Expert

Nani Afrida, The Jakarta Post, Jakarta | Fri, 01/14/2011 2:06 PM | National

President Susilo Bambang Yudhoyono should not hesitate to reshuffle his Cabinet to improve the administration, Indonesian Institute of Sciences (LIPI) political expert Siti Zuhro says.

“This is his last term as President. He should provide the public with better service by removing ministers who failed in their duties. He has nothing to lose,” Siti Zuhro told The Jakarta Post.

One year was ample time to evaluate ministers' performance, Siti said.

“Ministers are the President's assistants, but the success of this country depends on the President,” she said.

Siti added, however, that politics in Indonesia was like a mutual hostage of the President and political parties, which made compromises to maintain their interests without considering the people’s needs.

“While we know Indonesia has a presidential mechanism, the multi-party mechanism is still stronger,” she said.

On Thursday, Presidential Work Unit for Development Monitoring and Controls (UKP4) chief Kuntoro Mangkusubroto said he had submitted Cabinet members' performance evaluations to the President.

However, Kuntoro declined to comment on the results, saying any decisions would be the prerogative of the President.

Kamis, 13 Januari 2011

Konflik Internal Bakal Gembosi Suara PKB

Headline
Siti Zuhro - flickr.com

Oleh: Moh Anshari
Nasional - Kamis, 13 Januari 2011 | 01:05 WIB

INILAH.COM, Jakarta - Pengamat politik Siti Zuhro memprediksi partai-partai besar bakal mendapat limpahan suara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada Pemilu 2014. Partai-partai besar diuntungkan jika konflik internal PKB tak kunjung usai.

"Suara PKB terancam lari ke partai-partai besar seperti Demokrat, PDIP dan Golkar," terang Siti kepada INILAH.COM, Rabu (12/1/2011).

Peneliti LIPI ini menunjuk hasil Pemilu 2009 lalu dimana basis suara PKB di Jawa Timur banyak yang lari ke Partai Demokrat. Menurut Siti, meski pangsa pasar suara PKB hampir sama dengan PPP namun partai Ka'bah ini tidak mendapat keuntungan signifikan.

"PPP nggak bakal mendapat keuntungan dari konflik PKB. Meskipun puluhan ulama PKB hijrah ke PPP itu bukan garansi akan diikuti oleh umat yang di bawah akan lari ke PPP," paparnya.

Hal ini, menurut Siti, merujuk pada hasil Pilkada Jawa Timur yang lalu, dimana suara ulama tak sepenuhnya diikuti masyarakat penganutnya.

"Karena masyarakat pemilih santri sekarang sudah tercerahkan. Hasil Pilkada Jatim sudah menunjukkan betapa ulama sudah tak dianut lagi oleh masyarakatnya. Jadi, belum tentu mereka akan pindah ke PPP," tegasnya. [tjs]

Rabu, 12 Januari 2011

Politik Monarki Bikin Konflik PKB Berlarut-larut





Siti Zuhro - Foto: Istimewa
Oleh: Moh Anshari
Nasional - Rabu, 12 Januari 2011 | 11:21 WIB

INILAH.COM, Jakarta - Pengamat politik LIPI Siti Zuhro menilai berlarut-larutnya konflik internal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) lantaran terlalu kental dengan politik kekerabatan.

"PKB terlalu kental dengan politik kekerabatan dan politik keturunan. PKB jadi medan konflik laten yang sulit disatukan," papar Siti kepada INILAH.COM, Rabu (12/1/2011).

Menurut Siti, kekuatan yang dominan duduk dalam struktur PKB berasal dari keturunan darah biru. Kader-kader partai nondarah biru sulit mendapat tempat, meski memiliki kapasitas yang sangat memadai.

"Kalau bukan berasal dari darah biru, sulit menerobos posisi strategis di PKB. Tidak terjadi demokrasi pluralisme aktor yang memberi peluang dan akses orang-orang di luar kerabat darah biru," terangnya.

Menurut Siti, PKB dulu sebenarnya bertaburan bintang, namun mereka tersingkir dan disingkirkan. Beberapa yang keluar dan tersingkir di antaranya, Mahfud MD (Ketua MK), Ali Masykur Moesa (BPK), Alwi Sihab (utusan khusus Presiden), AS Hikam (mantan Menristek), Khofifah Indarparawansa (mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan), Saifullah Yusuf (Wagub Jatim), dan lain-lain.

"Kalau mereka-mereka yang berkualitas itu tersingkir dan hanya diperebutkan antarkerabat, lalu apa bedanya PKB ini dengan partai monarki. Partai ini eksklusif dan bercorak monarki," tutupnya.

Sebagaimana diberitakan, dalam waktu dekat, akan muncul lagi PKB versi ketiga jika Lily Wahid (adik kandung KH Abdurrahman Wahid) menggelar Muktamar Islah.

Lily Wahid berencana menggelar Muktamar Islah dengan menghadirkan dua kubu PKB yakni PKB Muhaimin Iskandar (keponakan Abdurrahman Wahid) dan Yenny Wahid (anak kandung Abdurrahman Wahid). [bar]

Minggu, 09 Januari 2011

Calon Bupati Tersangka tetap Dilantik: Kasus Boven Digul dan Tomohon Bisa Jadi Efek Bola Salju

Penulis : Edna Agita Merynanda Tarigan

JAKARTA--MICOM: Akan dilantiknya Bupati terpilih Boven Digul, Papua Yusak Yaluwo, semakin menunjukkan dibutuhkannya peraturan yang jelas mengenai keikutserataan seorang yang telah melanggar hukum.

Pengamat pemerintahan daerah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro berpendapat, kembali terulangnya pelantikan seorang terpidana menjadi kepala daerah bisa memberikan efek bola salju kepada daerah-daerah lainnya.

"Sudah seharusnya RUU Pemilu Kada mengeksplisitkan mengenai penalti kepada peserta pemilihan kepala daerah yang terkena kasus hukum. Ini serius, supaya hal-hal yang terjadi di Tomohon atau di Boven Digul tidak menjadi preseden buruk dan juga menjadi memberi efek bola salju kepada daerah-daerah lainnya," jelas Siti saat dihubungi Media Indonesia, MInggu (9/1).

Ia pun menerangkan, saat ini memang tidak ada pasal dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah dan PP Nomor 49 tahun 2008 tentang tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang menjelaskan bahwa peserta pemilu kada yang terjerat kasus dapat dimundurkan.

Namun mumpung saat ini Kemendagri dan DPR masih terus membahas RUU Pemilu Kada, ia pun mengingatkan agar dalam undang-undang tersebut nantinya ada pasal yang menerangkan bahwa jika hasil pemilihan nantinya dimenangkan oleh pasangan tertentu yang menjadi tersangka atau sudah terbukti melakukan pidana dapat batal oleh hukum dan tidak boleh dilantik.

"Tidak pantas daerah dipimpin oleh orang di balik jeruji. Kalau ini tidak direspon serius, berarti memang pendekatan hukum dalam pemilu kada kita sudah mati, dan jika ini diteruskan maka negara ini sudah gagal," cetusnya. (ED/OL-3)

Jumat, 07 Januari 2011

Catatan Krusial Politik


R Siti Zuhro

Peneliti Utama LIPI


Jumat, 7 Januari 2011
Sampai kapan rakyat harus menanti? Tampaknya itulah gugatan yang selalu diajukan rakyat. Meski era reformasi telah berjalan 12 tahun, keadilan dan kesejahteraan rakyat tak kunjung datang. Bahkan, hidup terasa makin susah. Belum lagi jika harga bahan bakar minyak (BBM) dinaikkan dan subsidinya dikurangi oleh pemerintah.
Masalahnya, pertumbuhan ekonomi (makro) hingga 6% yang dicapai pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono selama tahun pertama ini tidak berdampak ke rakyat bawah. Itu hanya makin memperlebar kesenjangan si miskin dengan si kaya. Pendidikan tinggi, khususnya, yang menjadi satu-satunya harapan rakyat kecil untuk bisa mengubah nasib mereka cenderung makin komersial dan tak terjangkau.
Gambaran itu makin memprihatinkan apabila dihubungkan dengan masih maraknya praktik korupsi di satu pihak, dan rendahnya political will dan political commitment atau komitmen pemerintah dalam menangani masalah tersebut di pihak lainnya. Absennya law enforcement menambah maraknya skandal-skandal korupsi. Data Transparency International Ranking 2010 menyebutkan Indonesia berada di peringkat 110 indeks persepsi korupsi, dari 200 negara di seluruh dunia. Sementara itu, penanganan dua kasus korupsi yang paling menyita perhatian publik, yakni kasus Century dan kejahatan mafia pajak, dinilai mengecewakan.
Bagi SBY, pemerintahan periode keduanya bisa dikatakan telah kehilangan starting point. Survei Indo Barometer, misalnya, mencatat bahwa pasca-Pemilu 2009 tingkat kepuasan rakyat pada pemerintah sesungguhnya cukup tinggi, yakni mencapai 90,4 persen. Sayangnya, momen tersebut tak berhasil dimanfaatkan dengan baik. Akibatnya, sampai Oktober 2010 tingkat kepuasan itu menunjukkan penurunan menjadi 50,9%.
Meskipun demikian, tidak berarti bahwa jalan bagi pemerintah untuk menorehkan tinta emasnya telah tertutup. Sebagaimana yang banyak dituntut rakyat, yang diperlukan adalah komitmen dan ketegasan pemerintah untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Hal itu pertama-tama menyangkut masalah penegakan hukum. Kalau pemerintah bisa menunjukkan ketegasannya dalam penanganan terorisme, mestinya sikap yang sama juga dapat ditunjukkan dalam penanganan korupsi. Apalagi, mengingat dampak yang ditimbulkannya jauh lebih luas dan mengerikan dibandingkan dengan terorisme.
Kedua, komitmen dan ketegasan yang sama juga harus diperlihatkan dalam praktik penyelenggaraan negara. Reformasi birokrasi harus dilakukan secara konseptual dan komprehensif, mulai dari pemerintah pusat sampai daerah, sehingga lebih kredibel, efektif, efisien, dan kuat. Pada era teknologi informasi sekarang ini tak semestinya ada sisi-sisi birokrasi yang menampakkan wajahnya yang gelap seperti hutan belantara.
Sejauh ini hasil indeks integritas nasional sektor pelayanan publik masih mengecewakan. Survei yang dilakukan KPK memperlihatkan bahwa kalau pada tahun 2009 indeks integritas tersebut mencapai 6,5, pada 2010 turun menjadi 5,42.
Selain itu, yang juga mendesak untuk dilakukan adalah upaya merekonstruksi sistem politik Indonesia, mulai dari sistem pemilu, sistem kepartaian, sistem pemerintahan hingga tata kelola pemerintahan agar menjadi lebih baik. Rakyat sangat berharap pada pemerintah dan para elite politik lainnya untuk bersikap dan berpikir sebagai negarawan. Mereka hendaknya tidak hanya berpikir dan semata-mata berfokus pada kepentingan pribadi/kelompoknya dan kepentingan politik jangka pendek saja, tapi para elite atau aktor yang berperan penting dalam politik dan pemerintahan hendaknya berperilaku memberikan teladan dan memberikan pembelajaran politik dan pemerintahan yang baik kepada rakyat. Perilaku para elite itu juga sangat diperlukan dalam mewujudkan demokrasi yang sehat dan bermartabat serta dalam menciptakan Indonesia yang damai.***

Rabu, 05 Januari 2011

Pemilu 2014 Milik Para Capres Perempuan

Polhukam
Muhammad Saifullah - Okezone

Ilustrasi. Ani Yudhoyono yang disebut-sebut bakal jadi Capres di 2014 (Foto: Setneg)
JAKARTA - Ajang Pemilihan Presiden 2014 mendatang diprediksi akan diramaikan oleh sejumlah calon presiden (capres) perempuan. Sederet nama seperti Ani Yudhoyono, Sri Mulyani, dan Puan Maharani digadang-gadang akan turut serta dalam bursa tersebut.

Pengamat politik LIPI Siti Zuhro membenarkan bahwa Pilpres 2014 bisa menjadi tahun milik para capres perempuan. Menurutnya, sudah saatnya kaum hawa berpartisipasi meramaikan bursa pencapresan. Situasi ini didukung dengan jumlah pemilih di Indonesia yang mayoritas kaum hawa. “2014 perempuan sudah mulai masuk ke ranah RI 1 dan RI 2,” ujarnya kepada okezone di Jakarta, Rabu (5/1/2011).

Menurut Siti, pengarusutamaan perempuan dalam politik dimulai sejak 1999 silam. Saat itu wacana pemberian akses perempuan ke ranah politik telah didengungkan. Hasilnya pada Pemilu 2004 ada kuota 30 persen perempuan di parlemen. Dari sisi jumlah, pada 1999 jumlah perempuan di parlemen hanya sekira 9 persen. Jumlah ini naik signifikan menjadi 11 persen pada 2004 dan hampir 19 persen pada 2009.

“Saya melihat 2009 menjadi tahun kemunculan perempuan Indonesia di bidang politik. Dari aspek kualitas memang belum fenomenal tapi lumayan memberikan penyadaran bahwa perempuan bisa mendapatkan akses ke politik dan pemerintahan,” ujarnya.

Secara perlahan tapi pasti sejak 2005 juga mulai bermunculan kepala daerah perempuan. Baik di level kabupaten, kota, maupun provinsi. Sehingga tidak menutup kemungkinan pada Pilpres 2014 mendatang banyak perempuan yang akan ikut berpartisipasi.

Kendati demikian, Siti berharap para Srikandi yang akan berlaga di Pilpres tak hanya sekadar turut meramaikan, tapi juga bisa mewarnai bursa pemilihan pemimpin Republik ini. Syarat rekam jejak yang baik serta kapabilitas juga harus dipenuhi agar layak tanding. “Tampilnya harus betul-betul berkualitas, istilahnya, signifikan perannya, perempuan harus begitu, tak sekadar pelengkap,” ungkapnya.

Dia mencontohkan, beberapa perempuan telah terbukti berhasil memimpin negaranya. Seperti Margaret Thatcher di Inggris dan Indira Gandhi di India. Menurut Siti, salah satu kelebihan pemimpin perempuan adalah persepsi mereka terhadap jabatan. Bagi para perempuan, jabatan adalah sebuah amanat yang harus diemban. “Dengan sepenuh hati seperti menjalankan perannya mengatur rumah tangga,” ungkapnya.

Rekam jejak yang baik, popularitas, serta kapabilitas saja, bagi Siti, belum cukup sebagai bekal maju sosok Srikandi di bursa pemilihan presiden. Masih diperlukan jam terbang yang tinggi terutama di kancah regional dan internasional. Sehingga bisa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan para pemimpin negara lain di pergaulan internasional.(ful)(mbs)

Selasa, 04 Januari 2011

PILPRES 2014: Persamaan Ani Yudhoyono dan Megawati

Laporan: Yayan Sopyani Al Hadi

MEGAWATI-ANI YUDHOYONO/IST
RMOL. Elektabilitas Ani Yudhoyono masih dinamis sampai 2014, sehingga masih sulit mengukur tingkat popularitasnya pada saat ini.

Demikian disampaikan peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, kepada Rakyat Merdeka Online, beberapa saat lalu (Selasa, 4/1).

"Namun jika diukur sekarang, Ani Yudhyono cukup potensial secara pribadi. Namun juga kinerja SBY ke depan juga akan mempengaruhi tingkat elektabilitasnya. Namun, Ani masih belum diketahui track-record-nya. Posisi Ani sekarang sama seperti posisi Megawati tahun 1999 yang belum diketahui track-record-nya," kata Zuhro.

Menurut Zuhro, track-record dan kemampuan mengelola negara akan menjadi pertimbangan penting dalam Pilpres 2014.[yan]

Minggu, 02 Januari 2011

Capres 2014 Demokrat: Anas Urbaningrum, Ani SBY atau Pramono Edhi Wibowo?

JAKARTA,RIMANEWS- Masih tanda tanya, apakah Anas Urbaningrum, Pramono Edhi Wibowo atau Ani SBY yang bakal jadi capres 2014? Situasi ini mewarnai diskursus di kalangan Demokrat dan masyarakat. Tentu pro-kontra ketiga nama (Anas, Ani dan Pramono) itu muncul, namun wajar saja. Ken Ward, Indonesianis ANU Canberra menduga, bisa jadi Pramono Edhi Wibowo yang diajukan Demokrat, kalau bukan Anas atau Ani SBY. "Semua masih mungkin, tergantung situasi 2013-14 nanti, siapa yang akan diajukan Cikeas," kata Ken Ward dalam satu diskusi.

Baru saja setahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) jilid II berjalan, masyarakat telah disibukkan dengan target pemilihan umum (pemilu) 2014.

Nama calon presiden (capres) pengganti SBY pun kini sudah bermunculan, dengan tujuan untuk mempopulerkan sosok capres sejak dini. Bahkan nama Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum kini disebut-sebut akan dicapreskan partainya.

Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menilai, tidak ada salahnya menggadang capres 2014 sejak dini agar masyarakat tidak gagap saat pemilihan umum nanti.

"Saya melihat gini ya untuk calon-calon, nomor satu itu dicarikan yang populer supaya enggak capek mengampanyekannya nanti," ujar Zuhro , Minggu (2/1/2011).

Anas, menurutnya, memiliki kepopuleran dan ketampanan yang mampu memikat para pemilihnya, jika digadang sebagai capres. Namun Zuhro menegaskan, meski dua hal tersebut menjadi salah satu faktor kuat, namun tidak berarti akan menentukan kemenangannya dalam pemilihan umum.

"Tidak menentukan, yang lebih menentukan nanti elektabilitas, ini sudah kualitas. Orang bisa populer karena kebaikannya, kejelekannya. Tapi elektabilitas lebih substansial dari skedar populer." jelasnya.

Namun Zuhro menilai, akan ada beberapa partai yang menggadag ketua umum partainya sebagai capres. Dan bagi sang ketua umum partai, lanjut dia, akan lebih mudah mencari dukungan masyarakat, memperkenalkan kualitas dirinya kepada konstituennya.

"Apa lagi kalau ketua partai, mereka memiliki peluang yang besar untuk membangun kualitas, memperkenalkan diri ke bawah, ini harus mengakar, partai harus memberlakukan pemberdayaan terhadap rakyat," ujarnya. [*)

Popularitas dan Ketampanan Anas Bukan Modal Capres


Headline
inilah.com/Wirasatria

Oleh: Laela Zahra

Nasional - Minggu, 2 Januari 2011 | 09:00 WIB

INILAH.COM, Jakarta - Baru saja setahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) jilid II berjalan,masyarakat telah disibukkan dengan target pemilihan umum (pemilu) 2014.

Nama calon presiden (capres) pengganti SBY pun kini sudah bermunculan, dengan tujuan untuk mempopulerkan sosok capres sejak dini. Bahkan nama Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum kini disebut-sebut akan dicapreskan partainya.

Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menilai, tidak ada salahnya menggadang capres 2014 sejak dini agar masyarakat tidak gagap saat pemilihan umum nanti.

"Saya melihat gini ya untuk calon-calon, nomor satu itu dicarikan yang populer supaya enggak capek mengampanyekannya nanti," ujar Zuhro saat berbincang dengan INILAH.COM, Minggu (2/1/2011).

Anas, menurutnya, memiliki kepopuleran dan ketampanan yang mampu memikat para pemilihnya, jika m=digadang sebagai capres. Namun Zuhro menegaskan, meski dua hal tersebut menjadi salah satu faktor kuat, namun tidak berarti akan menentukan kemenangannya dalam pemilihan umum.

"Tidak menentukan, yang lebih menentukan nanti elektabilitas, ini sudah kualitas. Orang bisa populer karena kebaikannya, kejelekannya. Tapi elektabilitas lebih substansial dari skedar populer." jelasnya.

Namun Zuhro menilai, akan ada beberapa partai yang menggadag ketua umum partainya sebagai capres. Dan bagi sang ketua umum partai, lanjut dia, akan lebih mudah mencari dukungan masyarakat, memperkenalkan kualitas dirinya kepada konstituennya.

"Apa lagi kalau ketua partai, mereka memiliki peluang yang besar untuk membangun kualitas, memperkenalkan diri ke bawah, ini harus mengakar, partai harus memberlakukan pemberdayaan terhadap rakyat," ujarnya. [lal]

Sabtu, 01 Januari 2011

Pak Beye Jangan Takut Reshuffle

Taufik Hidayat - Okezone
Ilustrasi (Foto: Dok Okezone)

JAKARTA - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) harus melakukan evaluasi terhadap kinerja para pembantunya, yakni menteri Kabinet Indonesia Bersatu II.

Menurut Pengamat LIPI Siti Zuhro, SBY perlu mengambil keputusan memformat ulang Setgab Koalisi dan melakukan reshuffle kabinet.
"Artinya kalau rapot merah harus ada evaluasi serius. Evaluasi target kemarin. Jadi kalau reshuffle dengan kontrak politik kerja," katanya saat berbincang dengan okezone, Sabtu (1/1/2011)

Pengantian menteri disesuaikan dengan kinerja dan komitmen saat dilakukan perekrutan. Jika publik mempertanyakan kinerja para menteri yang jauh dari kata baik presiden harus berani bukan ragu karena para menteri memiliki bargaining politik dalam koalisi.

"Jika integritas dipertanyakan dan kinerja jelak menteri dipertanyakan kinerjanya, itu harus jadi pertimbangan SBY. Tidak perlu takut karera sudah ada kontrak," tambahnya.

Lebih lanjut Sekretariat Gabungan (Setgap) perlu dievaluasi kinerja mereka. Sebab kinerja Setgab tidak maksimal dalam melakukan koordinasi dan interaksi dalam menjebatani presiden dan partai koalisi.

"Saya melihat kinerja Setgap tidak maksimal. Dalam berkoordinasi , berinteraksi tidak ada polanya. Akhirnya kualitas dari koalisi harus dipertanyakan. Memang belum satu tahun tapi paling tidak ada sesuatu yang dibangun dengan arah yang jelas," tandasnya.
(ful)

Duet Ani Yudhoyono-Hatta Cukup Populer, tapi ..

Polhukam
Taufik Hidayat - Okezone

Ilustrasi (Foto: Koran SI)

JAKARTA - Wacana pencalonan presiden dan wakil presiden pada 2014 mulai mencuat. Popularitas Ibu Negera Ani Yudhoyono dan Ketua Umum PAN Hatta Radjasa cukup menjanjikan jika keduanya disandingkan sebagai calon pasangan pemimpin republik Indonesia pada 2014.

"Saya melihat Bu Ani maupun Pak Hatta popularitas cukup bagus. Mungkin tidak perlu capek-capek lagi karena sebagai istri presiden dan meteri cukup dikenal seantero archipelago," kata Pengamat LIPI Siti Zuhro saat dihubungi okezone, Sabtu (1/1/2011)

Namun, popularitas tersebut belum tentu sebanding dengan tingkat elektabilitas masyarakat. Pasalnya masyarakat memandang miring kinerja pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang jauh dari kata baik.

"Popularitas tidak menentukan elektabilitas, elektabilitasnya meragukan. Publik akan berkata gimana Ibunya (Ani), (kinerja) Bapaknya sudah nggak bisa," tambahnya.

Peningkatan elektabilitas masyarakat, kata Siti harus dimulai dari SBY untuk meningkatkan kinerja dipemerintahannya. Perogram pemerintah harus dijalankan secara konkret dan konsisten. Jika tidak sangat berat bagi Ani Yudhoyono untuk melaju ke bursa calon presiden.

"Kalau SBY mau mempromosikan dengan kinerja yang baik. Dia harus menjalankan program pemerintah yang telah dibuat. Kalau itu tidak diwujudkan nggak perlu mengusulkan istrinya," tandasnya.(ful)

Paket UU Politik: Jangan Hanya untuk Kepentingan 2014

Editor: Asep Candra

KOMPAS/ALIF ICHWAN
Ilustrasi

JAKARTA, KOMPAS.com - Konstelasi politik tahun 2011 ini diprediksi akan lebih "panas". Jika 2010 diisi dengan gonjang ganjing kasus yang memiliki relasi dengan kekuatan politik, tahun ini akan diwarnai dengan ramainya pembahasan paket UU politik. Sejumlah UU tersebut di antaranya UU Pemilihan Umum baik legislatif dan presiden, UU penyelenggara pemilihan umum dan beberapa UU lainnya.

Pengamat Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro mengatakan, partai politik yang akan membahasnya di parlemen harus memikirkan bahwa desain yang dirancang adalah untuk kepentingan jangka panjang, bukan hanya untuk kepentingan politik 2014.

"Dalam pembahasan UU ini, pasti mereka (partai politik) akan merespon dengan cara mereka. Paket UU politik bersentuhan langsung dengan kepentingan dan minat partai-partai. Oleh karena itu, akan terjadi pertarungan yang cukup sengit baik antar partai besar, menengah dan kecil. Belum lagi partai di luar parlemen. Tapi, harus dipikirkan bahwa parpol tidak sekedar untuk meghadapi kepentingan jangka pendek menjelang pemilu," ujar Siti yang biasa disapa Wiwik ini, saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (1/1/2011).

Menurutnya, yang terpenting dari UU itu adalah, bagaimana sistem dan peraturan yang berlaku dapat menjadikan partai politik benar-benar menjadi pilar demokrasi.

"Pilarnya kepentingan publik. Jangan kepentingan yang sangat jangka pendek, pragmatis. Revisi UU jangan hanya untuk 2014. Kenapa harus berpikir 2014? Mestinya long term. Jadi kalaupun harus diperbaiki bukan hanya untuk 2014 tapi bagaimana meletakkan gagasan penyelenggaraan pemilu yang tidak boleh diintervensi oleh politisi," paparnya.