Rabu, 28 Juli 2010

Siti: SBY Jangan Cengeng

Headlines | Wed, Jul 28, 2010 at 21:08 | Jakarta, matanews.com

Siti Zuhro (*jo/matanews)

R. Siti Zuhro (*jo/matanews)


Serangan balik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap kelompok Nasionalis Demokrat (Nasdem) dinilai sebagai gambaran kecengengan dan ketidaktangguhan presiden dalam menghadapi kritik.

Presiden melancarkan serangannya itu dengan mengatakan bahwa saat ini ada kampanye menjelek-jelekkan pemerintah yang dilakukan dengan menggunakan sebuah stasiun televisi hingga menghabiskan durasi dua jam. Presiden menyatakan itu saat pencanangan Gerakan Indonesia Bebas Pemadaman Listrik Bergilir di Mataram, Selasa kemarin.
Ucapan sang presiden tersebut tak ditujukan secara jelas kepada stasiun televisi mana, namun diduga kuat stasiun televisi dimaksud adalah MetroTV milik penggagas ormas Nasdem, Surya Paloh.

Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, menilai tanggapan SBY tersebut seharusnya tidak perlu disampaikan di depan umum apalagi dalam acara yang seharusnya tak dikaitkan dengan isu politik.

“SBY harusnya bisa menerima kritikan bila hal tersebut didasarkan pada fakta yang ada. Bahwa kenyataannya selama pemerintahan dia korupsi terus berjalan dan reformasi birokrasi gagal ya memang benar. Itu harus diakui,” ujar Siti dalam percakapan dengan matanews.com, Rabu (28/7).
Meskipun begitu, Siti paham benar bahwa semua orang mungkin tak semuanya bisa menerima kritik, apalagi bila disampaikan secara terbuka dan diketahui publik seperti yang dimunculkan dalam tayangan di MetroTv itu.

“Namun sebagai seorang kepala negara dia seharusnya lebih tough (tangguh) menghadapi kritik mulai dari yang sopan hingga yang kurang sopan sekali pun. Jangan semua kritik langsung ditanggapi dalam forum. Bila SBY berhasil melakukannya, itu baru namanya pemimpin bangsa yang hebat,” tandasnya.

Sudah jadi rahasia umum, setiap acara deklarasi ormas Nasional Demokrat (Nasdem) MetroTV yang notabene milik penggagas sekaligus Ketua Umum Nasdem, Surya Paloh, menayangkan secara langsung selama sekitar dua jam dalam acara Live Event.(*mar/ham)

Selasa, 27 Juli 2010

Incumbent Pemilukada Depok, Diminta Lepas Jabatan

Politikindonesia - Permintaan agar incumbent yang ikut berlaga pada pemilukada untuk mengundurkan diri dari jabatan, masih nyaring terdengar. Kendati Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan sebaliknya. Hal itu pulalah yang dialami pasangan incumbent pada Pemilukada Kota Depok, Nur Mahmudi Ismail dan Yuyun Wira Saputra. Keduanya diminta segera lengser dari jabatannya sebagai Walikota dan Wakil Walikota Depok, terkait dengan pencalonannya pada Pemilukada Kota Depok.

Adalah Selamet Riyadi, anggota DPRD Kota Depok yang meminta agar pasangan incumbent itu mengundurkan diri dari jabatannya. Permintaan ini dimaksudkan agar mereka tak menyalahgunakan jabatannya demi meraih kembali kursi Depok-1.

"Lebih baik kedua pejabat itu mengundurkan diri dari jabatannya. Dengan demikian mereka tidak menyalahgunakannya pada masa kampanye guna memenangkan diri," ujar politisi dari Fraksi Partai Gerindra itu kepada wartawan di Depok, Selasa (27/07).

Hal senada juga diungkapkan, Cahyo Putranto Ketua LSM Gelombang Depok. Cahyo mewanti-wanti agar keduanya tidak menggunakan fasilitas negara dan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk keperluan kampanye. Untuk menghindari hal itu katanya, kedua pejabat tersebut harus segera mundur dari jabatannya.

Tak hanya Nur Mahmudi, istrinya pun yang kini menjabat sebagai Ketua PKK Kota Depok diminta segera mundur dari jabatannya. Hal itu sesuai Surat Edaran Ketua Umum PKK Pusat nomor 156/SKR/PKK.P/ST/V/2008.


Final dan Mengikat



Perdebatan terhadap Putusan MK Nomor 17/ PUU-VI/2008 dalam praktiknya masih debatebel. Padahal putusan yang membatalkan Pasal 58 UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang incumbent sifatnya final dan mengikat.

Siti Zuhro, peneliti senior pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) kepada politikindonesia.com, Selasa (06/07) mengatakan, karena bersifat final dan mengikat, maka putusan MK tersebut harus dilaksanakan. Artinya, incumbent dapat mencalonkan dirinya tanpa harus mengundurkan diri dari jabatannya. Hanya saja tambahnya, dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilukada, persyaratannya akan diperketat.

Anggota Tim Perumus RUU Pemilukada yang merupakan salah satu pecahan dari UU No.32 Tahun 2004 itu menambahkan, incumbent nantinya dilarang membuat kebijakan yang merupakan kampanye terselubung.

Siti menegaskan, satu tahun sebelum pemilukada, incumbent tidak boleh membuat kebijakan yang populis tetapi dananya dari APBD. Pengawasan terhadap dana APBD juga akan diperketat dengan melibatkan institusi terkait.

Di samping itu juga akan dibuat sistem birokrasi yang solid, profesional, netral. Sehingga PNS tidak lagi dijadikan obyek pendukung incumbent. “Situasi itulah yang membuat posisi PNS bagai makan buah simalakama. Memilih salah, tidak memilihpun salah,” ujarnya.

Tuntutan terhadap profesionalitas birokrasi dan netralitas PNS nantinya masuk di pasal RUU Pemilukada. “Jadi tidak sebatas Surat Edaran Menteri PAN yang lebih bersifat imbauan,” tambahnya.
(sa/yk)

RUU Politik Jangan Batasi Hak Berserikat

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Rancangan Undang-Undang Paket Politik yang rencananya lahir pada 2010 ini diharapkan tidak membatasi hak berserikat warga negara. Meski RUU itu memiliki semangat perampingan jumlah parpol dalam pemilu, namun hal itu jangan dijadikan alasan untuk membatasi pembentukan partai baru.

Demikian disampaikan pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro. Namun, Siti memberi catatan, hak berserikat itu diharapkan bukan untuk membentuk partai sembarangan. "Masyarakat ingin partai yang memiliki akar tunggang, bukan akar serabut," cetusnya di Jakarta, Senin (26/7).

Lebih lanjut Siti menjelaskan, hak berserikat sebaiknya diwujudkan dengan sungguh-sungguh membentuk partai yang memiliki dukungan massa. Selain itu, ujarnya, partai yang baru dibentuk itu jangan setelah muncul lalu meninggal begitu saja. Oleh karenanya, Siti menilai wajar masuknya opsi fusi dan konfederasi dalam RUU Paket Politik.

"Perlu diketahui bahwa tidak semua partai bisa mendapat konstituen, sehingga yang betul-betul tidak mampu juga jangan sekadar mendirikan partai," jelas Siti.

Dia mengatakan, RUU Paket Politik tidak bisa dijadikan alat untuk memangkas perkembangan dan semangat rakyat berdemokrasi. Meski diminta tak membatasi hak berserikat, RUU Paket Politik juga penting untuk memuat prasyarat lebih ketat bagi pendirian parpol. Menurut Siti, hal itu penting untuk memperkuat sistem presidensil.

Redaktur: Budi Raharjo
Reporter: M Ikhsan Shiddieqy

Senin, 26 Juli 2010

Rapor Merah Pilkada

Oleh: R Siti Zuhro

Jika dilihat dari segi kuantitas pemilihan umum kepala daerah atau pilkada, bisa jadi Indonesia adalah negara demokrasi terbesar di dunia. Betapa tidak? Sejak 2005 nyaris tiada hari tanpa pilkada. Selama 2005-2008 telah digelar 484 pilkada. Tahun ini diperkirakan akan ada 244 pilkada.

Meskipun sebagian besar pilkada dinilai berlangsung damai, aman, dan relatif demokratis, pesta demokrasi tersebut cenderung mencerminkan model demokrasi prosedural. Sebab, secara kualitas, rapornya bisa dikatakan merah. Secara umum, pilkada belum mampu menghasilkan kepala daerah yang amanah, kapabel, kredibel, dan menyejahterakan rakyatnya.

Dalam praktiknya, ia justru menyimpan sejumlah masalah, mulai dari politik uang hingga kerusuhan sosial. Alih-alih menjadi bagian dari proses pembelajaran politik dan pendalaman demokrasi, rakyat lebih banyak dibuat tak berdaya oleh kuatnya hegemoni partai politik yang selalu mem- fait accompli mereka untuk menerima calon yang ditentukannya. Akibatnya, tak sedikit kepala daerah terpilih yang menjadi sangat elitis, tak mencerminkan kebutuhan rakyat dan daerah, serta gagal menganalogikan dirinya dengan rakyatnya.


Politik uang dan implikasinya

Pilkada jelas membutuhkan ongkos politik. Namun, umum diketahui bahwa ”ongkos politik” itu lebih bermakna politik uang. Mengutip Kompas (23/7), untuk calon bupati sekitar Rp 5 miliar, sementara untuk calon gubernur lebih dari Rp 20 miliar. Ongkos politik itu bertambah dengan bertambahnya parpol yang terlibat.

Erat kaitan dengan hal ini, tidak sedikit petahana (incumbent) yang melibatkan birokrasi dan fasilitas negara. Banyak pejabat daerah yang akhirnya berada pada posisi dilematis, berusaha bersikap apolitis atau bias politis dengan risiko yang sama besar. Hal yang sama dirasakan pengusaha, ”investor pilkada”. Bedanya, mereka acap kali mampu bermain di semua pion sehingga baginya tak ada kata ”kalah”. Maraknya politik uang mestinya tak dipandang enteng. Apalagi sampai dianggap sebagai ”kepatutan tradisi”.

Setidaknya, ada tiga implikasi negatif yang ditimbulkan. Pertama, kepala daerah yang terpilih akan terpasung dalam kemenangannya. Mahalnya ongkos politik akan menyulitkannya dalam menyukseskan visi dan misi yang dijanjikannya kepada rakyat. Ibarat pemain teater, ia harus selalu memerankan tokoh berwatak ganda. Namun, ibarat menanam bom waktu, cepat atau lambat hal itu hanya akan menjadikan blunder bagi daerah dan masyarakatnya. Sebab, upaya untuk mewujudkan good governance hanya akan bersifat retoris, jauh panggang dari api. Dalam praktiknya, sejumlah daerah yang mengklaim telah melakukan best practices sekalipun masih sebatas di atas kertas.

Kedua, tidak sedikit kepala daerah terpilih akhirnya terlibat dalam skandal korupsi. Pada 2010 Presiden mengeluarkan lebih dari 150 izin pemeriksaan bupati dan gubernur yang terkait dengan korupsi.

Dengan masa jabatan terbatas, banyak kepala daerah yang seolah berpacu dengan waktu untuk menebus ongkos politiknya tanpa memerhatikan rambu-rambu birokrasi. Alih-alih sebagai pemegang kedaulatan, rakyat justru lebih sering menjadi pihak yang tereksploitasi dan menjadi komoditas politik bagi para elitenya dalam mendorong budaya oportunisme.

Ketiga, dengan mahalnya ongkos politik, banyak calon kepala daerah yang menganut prinsip politik Machiavelli. Dengan prinsip tersebut, banyak di antaranya yang tak siap kalah. Dari 244 pilkada tahun 2010, yang tak bermasalah hanya 35. Selebihnya menjadi sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi dan tak sedikit pula yang meletup menjadi kerusuhan sosial.


Perbaikan rapor pilkada

Rapor merah pilkada bukannya tak bisa diperbaiki. Para aktivis prodemokrasi dan LSM (civil sociecy organization) harus lebih bekerja keras mengawal pilkada. Kesadaran politik rakyat perlu ditumbuhkan, khususnya tentang arti pentingnya pilkada dan bahayanya penggunaan politik uang. Apa pun alasannya, politik uang tak dapat dibenarkan karena merupakan sebuah penistaan terhadap harga diri rakyat dan pendidikan politik yang keliru. Tidak sepantasnya lagi pilkada jadi sekadar ritual politik lima tahunan dan ajang perjudian para elite lokal. Di tengah impitan ekonomi rakyat yang tak kunjung baik, pengedepanan rasionalitas politik merupakan sebuah keniscayaan agar pilkada bisa memberikan makna signifikan bagi terciptanya pemerintahan daerah yang kuat, efektif, dan demokratis, yang mampu menyejahterakan rakyat.

Selain itu, perbaikan rapor pilkada juga menuntut komitmen politik dari para elite partai untuk menjadikan pilkada sebagai pendalaman demokratisasi di tingkat lokal dan bukannya sebagai ladang kehidupan partai. Selama ini parpol cenderung memosisikan diri seperti layaknya agen tiket bus malam. Akibatnya, tak sedikit kader terbaik parpol yang kecewa oleh sikap partainya yang lebih memilih memberikan tiket pilkada kepada orang luar.

Menjadi kepala daerah memang tak mudah. Tak cukup hanya berbekal popularitas, tetapi juga harus memiliki kapasitas, integritas, akseptabilitas dan profesionalitas. Karena itu, semua tahapan pilkada, mulai dari sosialisasi pilkada, pendaftaran calon, pendataan pemilih, kampanye, sampai pencoblosan, mesti disterilkan dari aktivitas politik uang atau pembelian suara. Jika tidak, pilkada akan terus mendapatkan rapor merah.

Sabtu, 17 Juli 2010

Siti Zuhro: Bubarkan Saja HKTI

Headlines | Sat, Jul 17, 2010 at 13:05 | Jakarta, matanews.com

Dualisme kepemimpinan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) menunjukkan bahwa suara petani sangat seksi bagi para elit politik. Hal itu tercermin dari rebutan kursi kepemimpinan oleh Prabowo Subijanto, Ketua DPP Gerindra, yang mengaku terpilih secara aklamasi sebagai Ketua HKTI dan Oesman Sapta Odang, Ketua Umum Partai Persatuan Daerah (PPD), yang menyebut dirinya sebagai Ketua HKTI tandingan.

Rebutan suara seksi kaum petani itu diamini oleh pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro. Menurutnya, rebutan suara tersebut terjadi karena keduanya memiliki kepentingan politik masing-masing dan berusaha memakai HKTI sebagai kendaraan politik mereka.

“Suara petani memang sangat seksi bagi elit parpol. Suara mereka sangat signifikan dan bisa diandalkan dalam pemilu, itu sebabnya jadi rebutan dalam pemilihan ketua HKTI kemarin,” ujar Siti saat dihubungi matanews.com, Sabtu (17/7).

Terjadinya dualisme kepemimpinan HKTI sangat disayangkan oleh Siti karena hal itu hanya akan memperkeruh suasana dalam tubuh internal HKTI dan menjauhkan fokus organisasi itu yang ditujukan pada kesejahteraan petani.

Peneliti LIPI itu menilai HKTI seharusnya menjadi organisasi petani yang independen dan benar-benar memperhatikan kesejahteraan para petani. Menurutnya, bila HKTI sudah tak lagi menjadi wadah bagi peningkatan kesejahteraan petani maka sebaiknya organisasi itu dibubarkan saja.

“Kalau HKTI sudah tidak bisa dipertahankan lagi independensinya sebagai organisasi yang sungguh-sungguh memberdayakan petani untuk apa lagi dipertahankan? Masa mau jadi mesin pencetak suara? Kasihan para petani yang suaranya dikebiri dan dipaksa untuk memilih siapa yang akan memimpin HKTI,” ujarnya.(*mar/z)

Kamis, 08 Juli 2010

Panwaslu Bengkulu Akan Pidanakan Calon Incumbent

Politikindonesia - Panitia Pengawas Pemilu Provinsi Bengkulu menemukan indikasi adanya dugaan politik uang dan penyalahgunaan jabatan dalam proses pemilihan Gubernur Bengkulu 3 Juli lalu. Karena itu pihaknya berencana memidanakan calon gubernur incumbent, Agusrin Maryono Najamudin dan Junaidi Hamzah.

Demikian penegasan Ketua Panwaslukada Provinsi Bengkulu, Sakroni kepada wartawan di Bengkulu, Kamis (08/07).

Menurut Sakroni dugaan itu didasarkan pada laporan dua pasangan calon gubernur yang menjadi saingan mereka, yaitu Imron Rosyadi-Rosian Yudi Trivianto dan Sudirman Ail-Dani Hamdani. Laporan itu disertai dengan bukti-bukti kecurangan.

"Bukti-bukti yang diserahkan masih fokus pada politik uang dan penyalahgunaan kekuasaan," ujarnya.

Dosen Universitas Muhammadyah Bengkulu itu lebih lanjut mengatakan, berdasarkan bukti-bukti yang ada, calon incumbent telah menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk membiayai kampanye. Padahal larangan terhadap hal itu telah diatur dalam Permendagri No 270/614 Tahun 2001 tentang Akuntabilitas dan Transparansi Pelaksanaan Pilkada.Meski demikian, pihaknya masih menunggu keterangan dari saksi-saksi sebelum kasus ini dilaporkan secara pidana.

Sedang Imron Rosyadi membenarkan pihaknya memberikan laporan soal kecurangan yang dilakukan pasangan incumbent itu. "Kami laporkan kemarin," ujarnya. Selain itu Imron juga meragukan hasil perhitungan suara. Menurutnya, berdasarkan rekapitulasi laporan saksi di TPS, ia menang di beberapa kabupaten. Tapi laporan perhitungan sementara kemenangan hanya mengarah ke incumbent.


Diperketat



Dr. Siti Zuhro MA, peneliti senior LIPI dan The Habibie Center mengakui rentannya penyalahgunaan jabatan pasca ditolaknya permohonan judicial review pasal 58 huruf q UU No 12/2008 tentang perubahan kedua atas UU No 32/2004. Pasal tersebut mengatur tentang pengunduran diri incumbent yang menyalonkan diri pada pemilukada. MK sudah memutuskan bahwa incumbent yang mau mencalonkan kembali tidak perlu mengundurkan diri.

Sebagai tindaklanjut keputusan MK tersebut, Mendagri era Mardiyanto telah mengeluarkan Surat Edaran No 188.2/2302/Sj. Surat edaran itu mengatur cuti kepala daerah yang ikut pemilihan kembali untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Namun dalam praktiknya, tidak efektif. Incumbent tetap aktif melakukan kegiatan pemerintahan. Tak mengherankan jika penyalahgunaan jabatan oleh incumbent tak terhindarkan.

Karena itu ke depan, kata Siti, aturannya akan diperketat. Siti yang juga anggota Tim Perumus RUU Pemilukada itu menambahkan, satu tahun sebelum Pemilukada, incumbent tidak boleh membuat kebijakan yang populis tetapi dananya dari APBD. “APBD juga harus diawasi sedemikian rupa karena banyak kasus incumbent yang menyalonkan diri lalu kemudian terlibat korupsi,” ujarnya.

Juga akan dipikirkan pula bagaimana membuat suatu sistem birokrasi yang solid, profesional, netral. PNS tidak dijadikan alat pendukung incumbent. Tuntutan terhadap profesionalitas birokrasi dan netralitas PNS juga nantinya masuk di pasal RUU Pemilukada. Jadi tidak sebatas Surat Edaran Menteri PAN yang lebih bersifat imbauan. Karena itu ke depan harus ada reward and punishment yang menyatakan birokrasi wajib hukumnya untuk netral, dan profesional.
(sa/yk)

Rabu, 07 Juli 2010

Siti Zuhro: Peradilan Ad Hoc Buat Sengketa Pemilukada

Politikindonesia - Usulan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi agar penyelesaian sengketa Pemilukada di daerah, mendapat banyak dukungan. Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD salah satu yang mendukung ide tersebut. Tim perumus RUU Pemilukada, kini tengah menyiapkan dua skenario alternatif model penyelesaian sengketa Pemilukada di daerah. Melalui pengadilan tinggi, atau Mahkamah Konstitusi bersidang di daerah.

Dr. Siti Zuhro MA, peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) saat ditemui politikindonesia.com di Gedung LIPI, Selasa (06/07) mengatakan, rumusan RUU Pemilukada itu tidak sekadar menarik kembali kewenangan penyelesaian sengketa Pemilukada dari MK. Bahkan, dalam setiap tahapan Pemilukada nantinya, akan dibentuk peradilan ad hoc.

Siti yang merupakan anggota tim perumus RUU Pemilukada usulan Kemendagri itu menegaskan, upaya ini dimaksudkan agar tidak ada lagi penumpukan perkara pasca pencoblosan di MK. Di samping itu juga meminimalisir kemungkinan terjadinya konflik, yang dalam beberapa kasus bahkan menimbulkan tindakan-tindakan anarkhis.

Peneliti senior pada The Habibie Center itu menengarai, salah satu penyebab munculnya tindakan anarkhis pada Pemilukada, dipicu oleh ketidakdewasaan kandidat. Nah, dalam RUU Pemilukada yang tengah dipersiapkan ini, diatur persyaratan dengan ketat, bagi calon yang akan maju pada Pemilukada. Kadar kepemimpinan calon akan menjadi salah satu batu ujian.

Pada sisi lain, perempuan kelahiran Blitar, 7 November 1959 tersebut mengatakan, pendidikan politik tidak hanya perlu diberikan untuk masyarakat tetapi juga para elit dan aktor yang terlibat pada Pemilukada.

Banyak hal yang dikemukakan Doktor ilmu politik dari Curtin University, Perth, Australia itu kepada Sapto Adiwiloso dari politikindonesia.com. Berikut petikannya:

Bagaimana anda menilai pelaksanaan Pemilukada yang sudah berlangsung selama ini?

Kalau kita mengambil starting point 2010 ini, saya nilai memang muncul konflik, kerusuhan dan tidak on the right track. Pada tahapan pencalonan saja, sudah mulai ada resistensi masyarakat. Bahkan ada kantor KPUD yang dibakar massa.

Semua tahapan Pemilukada sangat rentan dengan konflik. Untuk level pencalonan saja misalnya, sudah harus diantisipasi sedemikian rupa supaya nanti publik bisa menerima keputusan KPUD bahwa pasangan A, memenuhi syarat dan pasangan B tidak memenuhi syarat.

Ini pembelajaran, bahwa persyaratan calon harus disosialisasikan sedemikian rupa. Tahapan-tahapan yang berpotensi timbul konflik harus diantisipasi hingga Pemilukada selesai. Dalam beberapa kasus, yang terjadi bukan konflik lagi tetapi rusuh, amuk massa dan tindakan anarkhis.

Tim perumus RUU Pemilukada tengah memikirkan langkah antisipatif dalam setiap tahapan, agar dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya konflik dan bentrokan massa. Termasuk menyiapkan lembaga peradilan ad hoc di setiap tahapan.

Ini yang sedang kami pikirkan dimasukkan di pasal yang mana, dan siapa yang berwenang untuk menyelesaikannya. Apakah dikembalikan ke Pengadilan Tinggi atau MK yang bersidang di daerah, seperti usulan Mendagri itu.

Jadi sengketa Pemilukada nantinya akan diselesaikan di daerah?

Benar, karena kalau semua ditangani di MK, biayanya menjadi sangat besar. Bayangkan untuk bayar lawyer saja, tidak murah. Bisa capai miliaran. Belum lagi untuk bersidang di MK yang berada di Jakarta, butuh biaya tak kecil. Di samping itu, waktunya relatif panjang jika semuanya sengketa Pemilukada menumpuk di MK.

Jika dikembalikan ke Pengadilan Tinggi apakah dijamin independensinya?

Masalahnya sekarang. Apakah perlu ada pengadilan khusus untuk Pemilukada agar kekhawatiran itu tidak muncul? Kemungkinan seperti itu memang sedang kami pikirkan. Mengingat ada 244 pemilukada pada 2010.

Tim perumus rencananya akan berkonsultasi dengan pakar hukum untuk membahas hal itu. Konsultasi itu dijadwalkan pada 15 Juli mendatang. Kami akan membahas secara rinci. Kalau masalah mekanisme, sudah kita bahas. Tinggal teknis pelaksanaannya. Ini betul-betul kami seriusi, supaya sengketa Pemilukada tidak lagi dibawa ke MK.

Jadi nantinya MK tidak akan mengadili sengketa pemilukada lagi?

Kemungkinan ke arah itu sedang kami jajaki. Misalnya MK bersidang di daerah. Tapi kan pekerjaan MK juga banyak. Bukan hanya konstitusi saja, tetapi juga perundang-undangan. Karena itu, menurut hemat kami kenapa hal-hal kecil harus juga dibebankan ke MK? Dari situlah muncul pemikiran untuk membentuk pengadilan ad hoc yang khusus menangani sengketa Pemilukada.

Sengketa Pemilukada merupakan imbas dari kurangnya pendidikan politik kader. Komentar anda?

Betul. Pilar demokrasi itu, sebetulnya partai politik, pemilu dan parlemen. Tapi ada satu subpilar demokrasi lagi, yaitu nilai-nilai budaya politik, aktor, juga kelembagaannya. Dalam konteks Pemilukada tak hanya budaya politik yang belum baik, tapi teladan dari para aktor, juga sangat minim.

Tak akan ada kerusuhan kalau tidak diiyakan para elit. Sayang sekali masyarakat masih dijadikan sebagai jangkrik, lalu diadu para elit yang kepentingannya saling berbenturan. Jadi protes antar pasangan calon tidak hanya didominasi oleh pasangan calon itu tetapi sudah melibatkan masyarakat. Sedang masyarakat yang dilibatkan itu mudah tersulut emosi. Maka terjadilah amuk massa tadi.

Saya berpendapat, pendidikan politik tidak hanya untuk masyarakat tetapi juga untuk elit dan para aktornya. Sekarang yang harus kita pikirkan bagaimana para elit, para aktor betul-betul dewasa untuk tidak sekedar mengambil kekuasaan, tapi juga menjunjung tinggi demokrasi.

Kalau sekadar strugle of power (mengambil kekuasaan) jangan bermimpi bahwa dia akan mampu menjadi pemimpin masyarakat, dan memberikan pelayanan yang baik. Tidak ada itu rumusnya itu.

Jadi dalam persyaratan calon nanti akan lebih diperketat?

Betul. Nantinya ada parameter calon yang terukur jelas. Misalnya dia harus punya track record yang baik. Basic pendidikan memadai. Dan yang tak kalah penting, memiliki leadership. Di saat pragmatisme masyarakat sangat marak, leadership sangat dibutuhkan.

Parameternya nanti seperti apa?

Paling tidak, calon itu tidak menimbulkan kontroversi. Itu penting untuk meminimalisir konflik. Kami harapkan, RUU Pemilukada akan memberikan satu jaminan, bahwa calon kepala daerah tidak sekadar populis tetapi juga profesional, memiliki kapabilitas dan akseptabilitas yang tinggi.

Tapi kan sengketa Pemilukada juga disebabkan belum berfungsinya Panwasda dalam mengendalikan pelaksanaan Pemilukada yang jurdil?

Persis. Saya sangat setuju sekali. Tidak sedikit konflik Pemilukada yang disebabkan ketidakmampuan penyelenggara Pemilukada sendiri. Baik KPUD maupun Panwasda-nya. Penting bagi penyelenggaranya independen. Di beberapa Pemilukada muncul kasus, mereka tidak independen dan cenderung partisan. Misalnya panwasda-nya cenderung ke incumbent, atau KPUD-nya condong ke calon lain.

Padahal masing-masing harus independen, netral, profesional. Itu kunci sukses penyelenggara. Birokrasi juga punya peran penting, apalagi kalau ada incumbent. Kemungkinan menggunakan fasilitas, menggerogoti APBD itu tetap ada.

Apakah di dalam revisi nantiya juga akan diatur soal incumbent?

MK sudah memutuskan bahwa incumbent yang mau menyalonkan diri, tidak perlu mengundurkan diri sebelum pencalonan. Karena itu, nantinya akan ada persyaratan bagi incumbent yang mau menyalonkan diri. Ia tidak boleh membuat kebijakan untuk mengampanyekan dirinya. Jadi satu tahun sebelum Pemilukada, incumbent tidak boleh membuat kebijakan yang populis tetapi dananya dari APBD. Itu nanti tidak boleh. Dia tidak boleh menggunakan fasilitas negara. APBD juga harus diawasi sedemikian rupa karena banyak kasus incumbent yang menyalonkan diri lalu kemudian terlibat korupsi.

Akan dipikirkan pula bagaimana membuat suatu sistem birokrasi yang solid, profesional, netral. PNS tidak dijadikan sebagai pendukung, yang nuansanya memilih salah, tidak memilih pun salah. Tuntutan terhadap profesionalitas birokrasi dan netralitas PNS juga nantinya masuk di pasal RUU Pemilukada. Jadi tidak sebatas Surat Edaran Menteri PAN yang lebih bersifat imbauan.

Memang birokrasi dan PNS menjadi hal yang rentan untuk diperebutkan. Persoalan itu terjadi karena tidak ada payung hukum yang jelas. Aturan lama berupa Surat Edaran Menteri PAN tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Karena itu ke depan harus ada reward and punishment yang menyatakan birokrasi wajib hukumnya untuk netral, dan profesional.


Biodata Singkat:

Nama: Dr.R.Siti Zuhro MA

Tempat/Tgl lahir: Blitar, 7 November 1959

Pekerjaan: Peniliti Senior LIPI dan The Habibie Center

Pendidikan:
-S1 jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Jember.
-S2 ilmu politik di The Flinders University, Adelaide, Australia
-S3 ilmu politik di Curtin University, Perth, Australia.

Suami: Abdussomad Abdullah

Pekerjaan Suami: Peneliti bidang sosiologi LIPI

Anak: Galan Azra Wirawan

(Sapto Adiwiloso/yk)

Senin, 05 Juli 2010

KOALISI: Penyederhanaan Parpol Tekan Biaya Sosial



RAKORNIS GOLKAR - Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie berbincang dengan Ketua Dewan Pertimbangan Akbar Tandjung, Wakil Ketua Umum Theo L Sambuaga (kedua dari kiri), Sekjen Idrus Marham (kiri), Bendahara Umum Setya Novanto (kanan), dan Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Wilayah Jawa Bali NTB Sharif C Sutardjo (kedua dari kanan) di sela Rakornis DPP Partai Golkar Tahun 2010 PP Wilayah Jawa,Bali dan NTB, di Jakarta, Minggu (4/7). (Suara Karya/Hedi Suryono)

Senin, 5 Juli 2010

JAKARTA (Suara Karya): Langkah sejumlah partai politik kecil dan organisasi massa (ormas) untuk bergabung dengan Partai Golkar patut diapresiasi dalam rangka penyederhanaan sistem kepartaian. Sejumlah partai politik besar lainnya juga akan meniru Partai Golkar untuk merangkul parpol-parpol gurem.
"Bergabungnya partai-partai kecil dan ormas dengan Partai Golkar dan partai lainnya tidak hanya berdampak positif pada biaya ekonomi dan biaya politik, tapi juga menekan biaya sosial," ujar peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro kepada Suara Karya, di Jakarta, Minggu (4/7).
Sebelumnya kepada Siti Zuhro ditanyakan mengenai fenomena sejumlah parpol dan ormas yang menjajaki keinginan untuk bergabung dengan partai besar.
Contohnya, ormas Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) dan Partai Bintang Reformasi (PBR) melakukan pertemuan dengan Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie. Pertemuan itu akhirnya memunculkan spekulasi bahwa Parmusi dan PBR akan bergabung dengan Partai Golkar.
Di tempat terpisah, Aburizal Bakrie mengatakan, Partai Golkar selama ini terbuka untuk partai politik atau ormas yang ingin bergabung. Ajakan untuk bergabung dari Partai Golkar tidak dilakukan secara paksa.
"Kalau ada sebuah parpol atau ormas ingin jadi bagian dari Partai Golkar, why not?" kata Aburizal kepada wartawan usai membuka Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) Partai Golkar, di Jakarta, Minggu (4/7).
Aburizal yang akrab disapa Ical itu mengemukakan, Golkar adalah partai pluralis, terbuka bagi siapa pun, dan tidak memaksakan kehendak. "Jadi kami terbuka mengikutsertakan seluruh agama, ras, suku, dan golongan," tuturnya.
Golkar tidak menutupi upayanya mendongkrak suara yang lebih besar di pemilu mendatang, termasuk dengan cara merangkul ormas dan partai peserta Pemilu 2009 yang gagal lolos ke DPR.
Bagi Golkar, menjadi pemenang Pemilu 2014 adalah ambisi yang tidak bisa ditawar. "Kita berpendapat, organisasi adalah alat untuk mencapai tujuan, organisasi bukan tujuan," ujar Ical.
"Soal Partai Golkar menghubungi beberapa pihak untuk bergabung, saya klarifikasi bahwa yang benar adalah mereka yang menghubungi Partai Golkar. Jadi kita tidak pernah memaksa mereka untuk bergabung," katanya.
Siti Zuhro mengemukakan, penyederhanaan jumlah partai politik sangat erat kaitannya dengan menciptakan kestabilan sosial masyarakat.
"Demokrasi itu seharusnya berkorelasi untuk menciptakan budaya damai sehingga memberikan ketenteraman di masyarakat, tetapi kenyataannya mengapa hingga saat ini banyak sekali tindakan anarkis di masyarakat, terutama saat pemilu," katanya.
Hal ini, menurut dia, membuktikan ada yang salah dalam pelaksanaan demokrasi di dunia politik Indonesia. Dia menilai, kekerasan yang terjadi dalam proses demokrasi tersebut menunjukkan kanalisasi aspirasi masyarakat tidak berjalan baik. "Banyaknya jumlah parpol politik akan diimbangi dengan biaya sosial yang membengkak seperti maraknya berbagai kerusuhan dalam pemilu dan pilkada," ujarnya.
Dengan kondisi banyaknya partai yang terbentuk saat ini, menurut dia, tidak menjamin aspirasi masyarakat benar-benar terakomodasi.
Dia menilai, partai politik juga memiliki tanggung jawab sebagai alat pemersatu bangsa sehingga makin mendorong terciptanya NKRI yang kuat. "Sebab, kalau seluruh aspirasi dapat diakomodasi oleh partai-partai yang ada, maka tidak akan ditemukan demonstrasi yang mengarah pada tindak kekerasan," ujarnya.
Menurut Siti, perampingan partai politik merupakan hal yang sudah seharusnya dilakukan di negara ini. Terlebih lagi sesuai dengan sistem pemerintahan presidensial yang dianut Indonesia.
Selain itu, dari sisi biaya ekonomi, penyederhanaan jumlah partai politik diharapkan makin mengurangi beban anggaran yang harus dikeluarkan negara.
Dengan demikian, jika jumlah partai dapat dibatasi, terutama melalui peningkatan parliamentary threshold, secara tidak langsung anggaran negara untuk pembentukan partai politik dapat dialihkan kepada pos-pos yang lebih penting bagi kesejahteraan rakyat.
Sekjen DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Irgan Chairul Mahfiz mengakui partainya akan meniru jejak Partai Golkar berupaya merangkul parpol atau ormas tertentu.
Partai Amanat Nasional (PAN) juga terus berupaya melakukan lobi-lobi politik kepada partai yang tidak lolos parliamentary threshold.
Sementara itu, Ketua Umum PBR Bursah Zarnubi mengakui pihaknya tengah mengintensifkan komunikasi dengan Partai Golkar. (Rully/Tri Handayani/Grace S)