Jumat, 07 Januari 2011

Catatan Krusial Politik


R Siti Zuhro

Peneliti Utama LIPI


Jumat, 7 Januari 2011
Sampai kapan rakyat harus menanti? Tampaknya itulah gugatan yang selalu diajukan rakyat. Meski era reformasi telah berjalan 12 tahun, keadilan dan kesejahteraan rakyat tak kunjung datang. Bahkan, hidup terasa makin susah. Belum lagi jika harga bahan bakar minyak (BBM) dinaikkan dan subsidinya dikurangi oleh pemerintah.
Masalahnya, pertumbuhan ekonomi (makro) hingga 6% yang dicapai pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono selama tahun pertama ini tidak berdampak ke rakyat bawah. Itu hanya makin memperlebar kesenjangan si miskin dengan si kaya. Pendidikan tinggi, khususnya, yang menjadi satu-satunya harapan rakyat kecil untuk bisa mengubah nasib mereka cenderung makin komersial dan tak terjangkau.
Gambaran itu makin memprihatinkan apabila dihubungkan dengan masih maraknya praktik korupsi di satu pihak, dan rendahnya political will dan political commitment atau komitmen pemerintah dalam menangani masalah tersebut di pihak lainnya. Absennya law enforcement menambah maraknya skandal-skandal korupsi. Data Transparency International Ranking 2010 menyebutkan Indonesia berada di peringkat 110 indeks persepsi korupsi, dari 200 negara di seluruh dunia. Sementara itu, penanganan dua kasus korupsi yang paling menyita perhatian publik, yakni kasus Century dan kejahatan mafia pajak, dinilai mengecewakan.
Bagi SBY, pemerintahan periode keduanya bisa dikatakan telah kehilangan starting point. Survei Indo Barometer, misalnya, mencatat bahwa pasca-Pemilu 2009 tingkat kepuasan rakyat pada pemerintah sesungguhnya cukup tinggi, yakni mencapai 90,4 persen. Sayangnya, momen tersebut tak berhasil dimanfaatkan dengan baik. Akibatnya, sampai Oktober 2010 tingkat kepuasan itu menunjukkan penurunan menjadi 50,9%.
Meskipun demikian, tidak berarti bahwa jalan bagi pemerintah untuk menorehkan tinta emasnya telah tertutup. Sebagaimana yang banyak dituntut rakyat, yang diperlukan adalah komitmen dan ketegasan pemerintah untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Hal itu pertama-tama menyangkut masalah penegakan hukum. Kalau pemerintah bisa menunjukkan ketegasannya dalam penanganan terorisme, mestinya sikap yang sama juga dapat ditunjukkan dalam penanganan korupsi. Apalagi, mengingat dampak yang ditimbulkannya jauh lebih luas dan mengerikan dibandingkan dengan terorisme.
Kedua, komitmen dan ketegasan yang sama juga harus diperlihatkan dalam praktik penyelenggaraan negara. Reformasi birokrasi harus dilakukan secara konseptual dan komprehensif, mulai dari pemerintah pusat sampai daerah, sehingga lebih kredibel, efektif, efisien, dan kuat. Pada era teknologi informasi sekarang ini tak semestinya ada sisi-sisi birokrasi yang menampakkan wajahnya yang gelap seperti hutan belantara.
Sejauh ini hasil indeks integritas nasional sektor pelayanan publik masih mengecewakan. Survei yang dilakukan KPK memperlihatkan bahwa kalau pada tahun 2009 indeks integritas tersebut mencapai 6,5, pada 2010 turun menjadi 5,42.
Selain itu, yang juga mendesak untuk dilakukan adalah upaya merekonstruksi sistem politik Indonesia, mulai dari sistem pemilu, sistem kepartaian, sistem pemerintahan hingga tata kelola pemerintahan agar menjadi lebih baik. Rakyat sangat berharap pada pemerintah dan para elite politik lainnya untuk bersikap dan berpikir sebagai negarawan. Mereka hendaknya tidak hanya berpikir dan semata-mata berfokus pada kepentingan pribadi/kelompoknya dan kepentingan politik jangka pendek saja, tapi para elite atau aktor yang berperan penting dalam politik dan pemerintahan hendaknya berperilaku memberikan teladan dan memberikan pembelajaran politik dan pemerintahan yang baik kepada rakyat. Perilaku para elite itu juga sangat diperlukan dalam mewujudkan demokrasi yang sehat dan bermartabat serta dalam menciptakan Indonesia yang damai.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar