Minggu, 22 Februari 2009

Keunggulan Lokal yang Tidak Terwujud

SAAT ini, sudah saatnya pemerintah menghentikan laju pemekaran daerah. Kasus yang menimpa Ketua DPRD Sumatra Utara Abdul Aziz Angkat menuai banyak tuntutan agar pemerintah mengevaluasi pemekaran daerah ini.

Filosofi pemekaran yang bertujuan mengembangkan local competitiveness di bidang ekonomi bagai api yang kian jauh dari panggang. Hal ini setidaknya didukung oleh evaluasi Depdagri atas 148 daerah pemekaran, Depdagri menyatakan 80% di antaranya bermasalah dan termasuk kategori gagal. Selain itu, peningkatan jumlah daerah dinilai telah membebani anggaran negara. Pasalnya, negara harus menyediakan dana alokasi umum (DAU) bagi setiap daerah. Selama periode 1999-2007, terdapat 173 daerah pemekaran, terdiri atas 7 provinsi, 135 kabupaten, dan 31 kota.

"Negara kita tidak akan maju jika daerahnya tidak bisa diandalkan. Tadinya kan kita pikir bahwa desentralisasi akan meningkatkan local competitiveness secara ekonomi, tapi ternyata setelah delapan tahun, itu tidak juga terwujud," kata peneliti di Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr. R. Siti Zuhro, M.A., ketika ditemui di rumahnya di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis (19/2).

Menurut dia, kini pemerintah harus bekerja keras membangun desain pemekaran dan penggabungan daerah secara simultan. Penggabungan daerah dalam sejarah Indonesia memang belum pernah terjadi. Namun, pemerintah sudah saatnya tegas terhadap pemerintah daerah -- baik hasil pemekaran maupun bukan-- yang tidak memenuhi skor prestasi atau skor kinerja, untuk memberikan kartu penalti berupa penggabungan.

"Dalam sejarah, memang belum pernah terjadi. Ini akan sensitif, tapi ini yang harus dilakukan karena dengan makin banyak daerah kecil, itu membebani negara," katanya.

Zuhro yang sering dimintai pendapat oleh Depdagri itu mengatakan, kini pemerintah sedang sibuk menentukan jumlah ideal pemerintah daerah. Selain itu, parameter penggabungan dan pemekaran juga turut menjadi pembahasan utama. "Dalam UU, tidak hanya diatur pemekaran, tapi penggabungan, bahkan penghapusan. Saat ini pemerintah masih sibuk menentukan jumlah, parameter daerah harus dimekarkan dan digabung, ini yang sedang difokuskan," ucapnya.

Penggabungan daerah akan menimbulkan beberapa konsekuensi, dari mulai yang bersifat administratif hingga masalah politik. Singkatnya, kepala daerah/elite sekaligus masyarakatnya harus mampu lapang dada menggabungkan daerahnya jika skor kinerja pemerintah daerahnya tidak memenuhi standar. Parameter paling penting dalam penilaian kinerja pemda adalah skor pengentasan kemiskinan dan pelayanan publik.


Perkuat peran gubernur



Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia tergolong bebas dan miskin pengawasan. Di wilayah provinsi, otonomi daerah hampir melibas habis fungsi dan peran gubernur sebagai kepala daerah. Baik UU No. 22 tahun 1999 maupun UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dianggap tidak cukup memberi payung hukum bagi gubernur untuk menyupervisi pemerintah kabupaten/kota.

Di era otonomi daerah, gubernur tergolong tidak punya basis rakyat secara langsung. Perannya untuk bersentuhan langsung dengan rakyat terhalang pemerintahan daerah tingkat kabupaten/kota yang lebih berwenang. "Pemprov dan gubernur terkesan mandul karena payung hukumnya tidak memberi dia kejelasan fungsi, peran, dan posisi dia.

Jika gubernur dianggap sebagai perpanjangan pemerintah pusat, maka harus dilengkapi supporting staff, supporting system, dan dana," katanya.

Penguatan peran gubernur sebagai perpanjangan pemerintah pusat pada ujungnya akan berkonsekuensi pada penghapusan pilgub langsung. Gubernur dipilih oleh DPRD provinsi dengan pengarahan dari presiden.

"Saya mengusulkan untuk gubernur, karena tidak punya rakyat langsung, dan dia sebagai koordinator dan pengawasan, maka dia lebih tepat dipilih oleh DPRD," katanya.

Di level provinsi, tidak ada lagi pilkada karena posisi gubernur akan diletakkan sebagai wakil pemerintah pusat. "Ini kerangkanya untuk menjaga kedaulatan juga. Ancaman kedaulatan kita bukan ancaman dari luar negeri, tapi kegagalan otonomi daerah ini," ungkapnya.

Setelah peran gubernur diperkuat, di tingkat pusat sendiri perlu dibentuk komisi yang berfungsi mengawasi, menyupervisi ketat pelaksanaan otonomi daerah. Jadi, usul pemekaran itu tidak bisa lagi main-main. Elite daerah yang menginginkan pemekaran harus mampu meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dalam time schedule yang ditentukan.

"Ya, komisinya semacam KPK sekarang lah. Harus tegas, ketat, mengawasi pelaksanaan otonomi daerah," tuturnya.

Tiga hal yang diungkapkan Zuhro, yaitu penggabungan daerah, penguatan peran gubernur, dan pembentukan komisi otonomi daerah, adalah tiga gagasan utama yang menjadi nuansa revisi UU No. 32 tahun 2004. Zuhro yang duduk sebagai tim ahli perumus revisi UU tersebut merasa optimistis hal itu bisa menjadi jalan keluar dari otonomi daerah yang belakangan mencoreng demokrasi lokal dan tidak serta merta mewujudkan rakyat yang sejahtera. (Lina Nursanty/"PR") ***

Dr. R. Siti Zuhro, M.A., Tak Tahan AC

PENGGUNAAN peranti pengondisi udara (AC) di Kota Jakarta tidak selamanya menyejukkan. Apalagi, jika alat itu digunakan sepanjang hari. Bagi sebagian orang, AC bisa mengganggu keseimbangan tubuh dan berujung sakit. Hal itu juga dialami oleh peneliti ahli politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr. R. Siti Zuhro, M.A. (49).

apa-SitiZuhroWanita yang menyelesaikan program doktornya di Jurusan Ilmu Politik, Curtin University Perth, Western Australia itu, terpaksa absen kerja dua hari gara-gara menghirup udara AC seharian. "Udaranya itu, kan ya, di situ-situ saja. Tidak ada ventilasi, jadi tidak enak buat pernapasan," tuturnya ketika ditemui di rumahnya, di Jati Padang, Jakarta Selatan, Kamis (19/2).

Kondisi Siti bisa lebih mengedrop lagi jika udara kotor AC itu diperparah dengan asap rokok. Meski di lingkungan akademisi, menurut dia, masih saja ada rekan sejawatnya yang merokok di ruangan ber-AC.

Selama istirahat di rumah, telefon genggamnya terus berdering. Banyak di antaranya dari jurnalis media cetak ataupun elektronik, yang bermaksud mewawancarainya tentang berbagai fenomena politik di tanah air. "Ya, abis gimana lagi," ujar istri dari peneliti bidang sosiologi LIPI, Abdussomad Abdullah itu.

Seperti pada siang itu, Siti tetap bersemangat menjawab pertanyaan demi pertanyaan seputar pemekaran daerah dan fenomena demokrasi lokal. Wanita kelahiran Blitar, 7 November 1959 itu, geram mendengar tragedi meninggalnya Ketua DPRD Sumatra Utara, Abdul Aziz Angkat, dalam demonstrasi menuntut pemekaran daerah Tapanuli. "Itu menodai demokrasi lokal kita dan tamparan keras buat pemerintah Indonesia," ungkap ibunda Galan Azra Wirawan (18) itu.

Ya, selama ini, Siti memang dianggap sebagai pengamat politik yang kerap mengkritik pemerintah, terutama dalam bidang pengelolaan pemerintahan daerah. Ide segar Siti berupa penghentian pemekaran daerah sudah lama ia lontarkan, bertahun-tahun sebelum tragedi Sumut. (Lina Nursanty/"PR") ***

Kamis, 19 Februari 2009

Hillary Cuatkan Spekulasi

PENGAMAT INGATKAN BAHAYA INVASI EKONOMI

JAKARTA, (PR).-
Kedatangan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hillary Rodham Clinton terus menggulirkan spekulasi di antara pengamat ekonomi dan politik dalam negeri. Banyak kalangan yang menganggapnya sebagai kabar gembira hingga memperingatkan alarm bahaya invasi ekonomi yang mengiringi kedatangan Hillary.

Pengamat ekonomi politik Zelly Ariane mewanti-wanti bahaya invasi ekonomi AS. Justru kedatangan Hillary membahayakan karena Indonesia menjadi sasaran penyelamatan krisis kapitalisme AS dalam bentuk menggenjot privatisasi BUMN, kesehatan, pembukaan pasar, komersialisasi pendidikan. "Ini solusi krisis dari mereka yang dipaksakan ke kita. Waspadai politik buy American product yang akan dilancarkan mereka," katanya.

Zelly menambahkan, yang paling harus diwaspadai adalah penambahan utang dengan dalih untuk belanja infrastruktur. Semuanya tidak ada kaitan dengan peningkatan daya beli secara fundamental. Jalan keluar bagi krisis negara-negara seperti AS tentu saja adalah negara-negara seperti Indonesia yang memiliki sumber daya alam melimpah. "Ingat, keputusan G20 dan Forum APEC semuanya masih menyatakan bahwa pasar bebas tetap solusi dari krisis. Indonesia adalah negara boneka AS karena membuka pintunya untuk menanggung kerugian kapitalis AS," tuturnya.

Berbeda dengan Zelly, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofyan Wanandi menanggapi kedatangan Hillary secara biasa-biasa saja. Ia mengaku belum bisa berharap banyak kepada negara adidaya itu karena masih dilanda krisis ekonomi yang hebat. Sementara itu, AS adalah negara tujuan ekspor dari Indonesia yang utama.

Untuk memberi implikasi positif kepada ekonomi Indonesia, AS harus melakukan perbaikan ekonomi di dalam negerinya dulu jika tidak, malah menularkan beban ekonominya ke Indonesia. "Dia (Hillary) datang masih lebih banyak dalam konteks politik. Kalau bisa, dia seharusnya bisa melobi Bank Dunia untuk meningkatkan standby loan," katanya ketika ditemui di sela sidang uji materi corporate social responsibility (CSR) di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat.

Gerakan sosial



Secara politis, selain apresiasi atas demokrasi Indonesia, salah satu sinyal bagus dari lawatan Hillary yaitu civil society organization (CSO) Indonesia yang akan mendapat "transfusi darah". Peneliti politik dan pemerintahan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr. R. Siti Zuhro, M.A. mengatakan bahwa AS diprediksi akan semakin memperhatikan gerakan akar rumput (grass root) Indonesia. AS sangat berkepentingan untuk memengaruhi tumbuh kembangnya gerakan sipil dalam konteks mengawal demokrasi agar selaras dengan politik AS.

"AS akan bergerak di grass root. Memperkuat CSO contohnya melalui lembaga United States Aid (Usaid) yang langsung intervensi ke LSM-LSM di daerah," katanya.

Program-program pemberdayaan masyarakat di bidang pendidikan, kesehatan, reproduksi perempuan, pemberdayaan ekonomi, dan budaya diyakini akan kembali menjadi primadona pembiayaan lembaga-lembaga donor internasional setelah sempat tiarap karena watak "rambo" yang dijalankan Partai Republik AS ketika berkuasa.

"Partai Demokrat AS memang lebih teruji lebih prodemokrasi, tidak "rambo" seperti politik luar negeri yang dijalankan Partai Republik," ujar Siti.

Terlebih bagi negeri kita, di mana harus diakui ada hubungan emosional dengan Presiden Barack Obama yang semasa kecil sempat tinggal di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Menurut Siti, harapan terhadap peran Obama menjadi kian santer karena irisan masalah emosional itu. "Intensitas dukungan terhadap CSO di Indonesia akan semakin tinggi," katanya. (A-156) ***

Selasa, 10 Februari 2009

Implikasi Pemekaran Daerah

220112

R Siti Zuhro

Peneliti Utama LIPI


Maraknya pemekaran daerah selama periode 1999-2008 menjadi bukti konkret bahwa penataan daerah adalah masalah serius. Kasus meninggalnya Ketua DPRD Provinsi Sumatera Utara Abdul Azis Angkat, 3 Februari 2009, di tengah kerumunan massa yang menuntut pemekaran merupakan klimaks dari permasalahan pemekaran selama ini.

Evaluasi yang dilakukan Departemen Keuangan dan Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dan lembaga non-pemerintah menunjukkan bahwa pemekaran cenderung berdampak negatif. Pemekaran menciptakan perluasan struktur yang mengakibatkan beban berat pembiayaan, aspek politik terlalu mengedepan, rendahnya kapasitas fiskal dan meningkatnya belanja dalam APBN. Pemekaran tidak berkorelasi positif terhadap kemajuan ekonomi dan tidak mampu mendorong pembangunan daerah otonom baru.

Solusinya, pemerintah harus menyetop dulu aktivitas pemekaran melalui payung hukum yang mengikat dan dipatuhi semua pihak sambil menunggu grand design penataan daerah dan grand strategy pemekaran dan revisi UU 32/2004 yang sedang dirampungkan Depdagri. Pengendalian pemekaran dan pengawasan diperlukan agar kerangka kebijakan untuk menetapkan langkah-langkah alternatif penyediaan pelayanan terhadap daerah-daerah yang kurang beruntung bisa dirumuskan.

Karena itu, penataan daerah yang menjadi domain pemerintah (Depdagri) sangat diperlukan di era desentralisasi dan otonomi daerah sekarang ini. Pemahaman terhadap arti pentingnya penataan daerah sangat crucial, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Posisi pemerintah sebagai satu-satunya pintu masuk bagi usulan pemekaran daerah juga perlu ditegaskan dan dipahami semua pihak.

Seiring dengan itu, perlu ditawarkan penggunaan insentif fiskal untuk mendorong restrukturisasi administrasi. Perlu pula diupayakan agar transfer dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) ke daerah-daerah dapat memengaruhi restrukturisasi administrasi. Masalahnya, bagaimana menjadikan hasil sumber daya alam (SDA) lokal sebagai pendorong atau pemberi insentif bagi terwujudnya efisiensi di tingkat daerah yang dapat mempromosikan kerja sama antardaerah atau penggabungan daerah daripada "pemekaran pemerintahan".

Alternatif lainnya adalah menginformasikan kepada semua daerah bahwa dampak pemekaran membuat daerah induk (lama) mendapatkan alokasi DAU dan DAK yang rendah. Biasanya daerah-daerah yang bukan daerah induk kurang sadar terhadap realita ini, tapi mereka ini akan ragu mendukung pemekaran ketika mereka menyadari dampaknya terhadap anggaran yang bakal diterimanya.

Langkah terakhir yang juga penting adalah upaya mengatasi buruknya pelayanan publik di daerah-daerah terpencil dan terisolasi. Dalam kaitan ini, kecamatan perlu dijadikan sebagai pusat pelayanan. Kota-kota metropolitan yang dapat memberikan pelayanan di luar batas kota juga perlu diciptakan. ***

Senin, 09 Februari 2009

Moratorium Pemekaran Butuh Payung Hukum

Oleh WlSHNUGROHO AKBAR / DINA SASTI DAMAYANTI

Jakarta - Moratorium (penghentian sementara) pemekaran wilayah tidak bisa hanya melalui pernyataan, tapi harus diikuti dengan payung hukum untuk melakukan moratorium itu.

"Keprihatinan Presiden harus dipayungi secara hukum. Harus ada dasar hukum yang jelas untuk menghentikan sementara pemekaran daerah," kata Pakar Otoriomi Daerah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro di DPR-RI, Jumat (6/2).

Dia mengatakan, moratorium itu butuh payung hukum yang memperkuat kebijakan moratorium pemekaran daerah. Siti menegaskan, pemekaran daerah bukan satu-satunya solusi mengatasi persoalan ekonomi, sebab peningkatan fasilitas pelayanan publik dapat menjadi solusi alternatif untuk meredam maraknya keinginan pemekaran daerah.
Zuhro juga tidak sepakat kalau dikatakan evaluasi terhadap kebijakan pemekaran daerah dianggap sebagai hal yang terlalu cepat dan terburu-buru. Dia menerangkan, sejak tahun 2005, para akademisi telah mengkaji secara serius kebijakan tersebut. Hasilnya, ada banyak persoalan muncul di daerah otonom baru.

"Kami hanya bisa menyebut Tarakan dan Gorontalo sebagai daerah yang berhasil dalam hal kebijakan pemekaran daerah. Selebihnya?" tanya Zuhro.

Zuhro juga menilai pemerintah dan DPR terlalu memaksakan kebijakan pemekaran, padahal terdapat banyak kelemahan dalam syarat yang tercantum dalam UU tentang pemerintahan derah.

Ketua Tim Kerja Otonomi Daerah Komisi II DPR Chozin Chumaidy mengatakan, Komisi II siap mendukung kebijakan pemerintah melakukan moratorium pemekaran daerah, meski tanpa kebijakan hukum dari pemerintah. Namun, jika memang harus ada dasar hukum untuk moratorium, Komisi II mendesak Presiden segera mengeluarkan peraturan hukum itu.

"Kami tidak menolak UU, hanya menunda pelak-sanaannya. Tidak perlu ada dasar hukumnya, semuanya tergantung keberanian Presiden." kata Chozin.

DPD Mendukung



Dari pihak DPD, Wakil Ketua DPD Irman Gusman menyatakan, DPD mendukung rencana moratorium pemekaran daerah. Menurutnya, peristiwa Sumatera Utara (Sumut) mengindikasikan adanya kelemahan mendasar dari tahapan proses penyetujuan terbentuknya Daerah Otonom Baru (DOB). Terkait dengan dasar hukum moratorium daerah, Irman menyerahkan hal itu kepada Presiden.

"Semangatnya adalah untuk mengkaji ulang bagaimana pemekaran yang telah berjalan ini mencapai sasaran. Kalau Perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang-red) menjadi jalan keluar, ya rnengapa tidak," ungkapnya.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Presiden, Jumat (6/2), menyatakan, perlu moratorium pemekaran. Sebelum melakukan pemekaran, harus ada evaluasi. Jangan sampai pemekaran hanya sekadar demi memenuhi kepentingan elite tertentu.

"Sikap pemerintah sudah jelas. Saya berkali-kali menyampaikan pernyataan bahwa pemekaran itu harus sungguh-sungguh memenuhi syarat mendasar," kata Presideii Yudhoyono seusai menerima laporan Menko Polhukam Widodo AS dan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat.

Presiden menilai, sebagian pemekaran berhasil dengan baik, namun sebagian lainnya belum berhasil. Apalagi kalau pemekaran itu hanya bertujuan untuk memenuhi kepentingan elite tertentu.

"Oleh karena itu, saya sudah menyampaikan juga kepada pimpinan DPR dan DPD, mari kita lakukan moratorium, kita evaiuasi dulu pemekaran yang berjalan selama ini. Jangan ditambah lagi dengan pikiran-pikiran yang terus terang bukan solusi tapi masalah," katanya.

Presiden mengajak semua pihak, baik jajaran pemerintah, DPRD, DPR, DPD, wartawan, maupun elite, agar betul-betul melihat permasalahan pemekaran ini secara matang.

Ditulis oleh Sinar Harapan

Minggu, 08 Februari 2009

Perubahan Semu Jadi Isu Pemilu

R Ferdian Andi R

81973INILAH.COM, Jakarta – Pemilu sering dijadikan momentum politik untuk memunculkan isu perubahan. Di Pemilu 1999, Megawati muncul dengan isu perubahan. Demikian pula SBY di Pemilu 2004. Kali ini Prabowo Subianto kembali memanfaatkannya untuk memberi harapan. Berhasilkah?

Perubahan selalu menjadi antitesa dari rezim yang sedang berkuasa. Itu pula yang telah terjadi di Indonesia. Kehadiran Megawati sebagai anti-tesa dari kekuatan rezim Orde Baru saat Pemilu 1999. SBY pun demikian, saat Pemilu 2004 menawarkan perubahan. Meski keduanya terbukti tidak sesuai dengan janji perubahan yang diusung.

Mengikuti jejak mereka, Prabowo Subianto pun menjual isu ketahanan pangan, ekonomi kerakyatan, ketahanan energi, kemandirian bangsa, dan lainnya, demi membawa angin perubahan. Bagaimana peluangnya?

Peneliti LIPI Siti Zuhro menilai tidak adanya komitmen moral dari elit, sehingga gagasan perubahan yang mereka tawarkan hanya jadi komoditas politik dan semu. “Karena hilangnya komitmen moral untuk mewujudkan janjinya saat kampanye,” kata Siti kepada INILAH.COM, Sabtu (7/2) di Jakarta.

Bagaimana dampaknya? Berikut ini wawancara lengkapnya:


Setiap calon pemimpin di Indonesia selalu menawarkan perubahan, namun selalu sulit terlaksana. Megawati di Pemilu 1999, SBY di Pemilu 2004. Kini Prabowo Subianto juga menawarkan perubahan. Apakah publik selalu mendapat suguhan perubahan yang semu?

Dalam konteks kampanye (pemilu) gaya Indonesia, kok rasanya tidak pernah ada keterkaitan positif antara sebelum dan sesudah pemilu. Yang harus kita pertanyakan, kenapa tidak terbukti konkret adanya korelasi antara sebelum dan sesudah pemilu? Ini yang tidak ada di Indonesia. Pemimpin itu saat mengkampanyekan sesuatu dituntut untuk membuktikan ketika memimpin. Kalau pemimpin ingin menciptakan good governance, ya dibuktikan.


Apa penyebab tidak adanya keterkaitan antara janji dengan realisasi saat pra dan pasca pemilu?

Ada tiga hal. Political will, political comitment, dan law inforcement. Nah, kita hanya memiliki political will. Pemimpin kita tahu persis bahwa masyarakat tidak berdaya saat empower. Jadi tidak ada tangung jawab moral untuk melakukan perubahan. Misal Obama, jika meleset dengan apa yang ditawarkan, maka akan menjadi malapaetaka bagi dirinya.


Kenapa publik begitu antusias dan fanatik kepada sesuatu yang menawarkan perubahan. Padahal sejatinya, hal seperti itu pernah terjadi dan tidak terbukti perubahan itu datang?

Karena mencari-cari. Jadi kita kayak curius. Saat 1999, Mega sangat heroic. Kita inginkan dia menjadi presiden. Ternyata segitu kemampuan Mega. Saat 2004, kita ingin SBY. Tapi saat memimpin, ternyata dia lelet. Sekarang ada Prabowo. Dia tentara beneran dari Koppassus.

Kita berharap-harap terus, tanpa dilengkapi oleh payung hukum yang kuat. Karena kita bukan civil society yang betul-betul berdaya yang via a vis betul dengan negara. Pressure kita ada keterbatasan.

Kita tidak bisa betul-betul mem-pressure suatu rezim baru yang harus konsisten atas janjinya, kita tidak ada. Sehingga menimbulkan ‘tawaran-tawaran baru’ yang menjamur. Karena kalau civil society yang berdaya, calon pasti berhitung. Karena jika tidak mengikuti janjinya, maka akan berbuah malapetaka. [P1]

Sabtu, 07 Februari 2009

Moratorium Pemekaran Daerah, Pemerintah Didesak Terbitkan Perppu



[JAKARTA] Anggota DPR dan pengamat politik mendorong diterbitkannya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk mencegah laju pemekaran daerah yang semakin tak terarah dan sarat kepentingan politik.

Perppu diperlukan agar ada landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan DPR untuk menghentikan pemekaran daerah, sampai ada evaluasi dan desain jelas atas kebijakan tersebut.

Usulan penerbitan perppu dilandasi keinginan membuat payung hukum, karena sejauh ini moratorium pemekaran daerah hanya disampaikan secara lisan oleh Presiden dan sejumlah elite.

Menurut Wakil Ketua Komisi II DPR, Idrus Marham, imbauan moratorium sebenarnya sudah disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Golkar sejak 2006.

Tetapi imbauan itu tak efektif mengingat UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah (Pemda) tetap memungkinkan adanya pemekaran daerah. "Untuk mengendalikan pemekaran daerah, paling baik diterbitkan perppu saja," katanya kepada SP di Jakarta, Jumat (6/2).

Menurutnya, pemekaran daerah dipakai untuk mengakomodasi kepentingan elite politik. Para anggota DPR pun menangkap kebijakan pemekaran sebagai alat mendulang suara pada Pemilu 2009. "Sebelum jatuh korban lebih banyak, sebaiknya diterbitkan perppu untuk mengendalikan pemekaran dan harus dimotori Menteri Dalam Negeri," ujarnya.

Ketua DPP Partai Golkar Burhanuddin Napitupulu tidak menyangkal kalau kepentingan elite telah mengorbankan peraturan perundang-undangan. Dia sepakat dengan moratorium untuk mengontrol ambisi elite.

Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP) DPR Lukman Hakim Syaifuddin juga meminta dilakukan moratorium atas pemekaran daerah.

Senada dengan mereka, peneliti pemekaran daerah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro menilai pemekaran daerah hanya dimanfaatkan elite politik, sementara pertimbangan ekonomi dan keberpihakan pada rakyat diabaikan.

Ia mendukung langkah moratorium yang diperkuat dengan landasan hukum agar pemerintah dan DPR benar-benar konsisten. "Walau Presiden SBY sudah mengumumkan moratorium pemekaran, tetapi buktinya pemekaran tetap saja terjadi. Saya mendukung dibuat suatu landasan hukum, apakah perppu atau lainnya. Yang penting pemekaran bisa ditunda dahulu dan segera lakukan evaluasi mendalam atas kebijakan tersebut," katanya.


Ketua DPR Agung Laksono setuju ada payung hukum untuk mendukung moratorium, sambil mengevaluasi kebijakan tersebut. "Seperti apa payung hukum itu, perlu dipikirkan bersama. Tentang penerbitan perppu, harus dikaji lagi karena syarat penerbitan perppu adalah jika negara dalam kondisi darurat atau mendesak," katanya.

Sedangkan, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman menyatakan,"Kalau perppu dianggap sebagai solusi untuk menunda pemekaran daerah, silakan saja, sepanjang hasilnya benar-benar untuk memperbaiki sistem yang salah dalam pemekaran wilayah."


Selektif



Sebaliknya, anggota Komisi II DPR Ferry Mursyidan Baldan mengatakan moratorium bertentangan dengan UU tentang Pemda. Dia juga tak mendukung diterbitkannya perppu. "Yang harus dilakukan saat ini adalah mengevaluasi kembali kebijakan pemekaran dan ke depan harus lebih selektif lagi," katanya.

Wakil Ketua DPD, Laode Ida juga menolak moratorium. "Pemekaran sangat perlu untuk mengembangkan potensi daerah dan keterjangkauan sebuah wilayah," katanya.

Pendapat yang sama disampaikan Ketua Panja Pemekaran Daerah, Chosin Chumaid. Dia tak setuju dengan penerbitan perppu. "Saya kira cukup Presiden menegaskan komitmennya untuk menunda pemekaran, sambil dilakukan evaluasi atas kebijakan ini," kata Chosin yang juga menjabat Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi FPPP.

Secara terpisah, Presiden Yudhoyono kembali menegaskan perlunya moratorium dan evaluasi menyeluruh terhadap pemekaran daerah, menyusul terjadinya aksi kekerasan menuntut pembentukan Provinsi Tapanuli yang menyebabkan meninggalnya Ketua DPRD Sumut, Abdul Aziz Angkat.

"Saya sudah menyampaikan juga kepada pimpinan DPR, DPD, mari kita lakukan moratorium. Kita evaluasi dulu pemekaran yang berjalan selama ini. Jangan ditambah lagi dengan pikiran-pikiran, yang terus terang, bukan solusi tetapi masalah," katanya.

Presiden Yudhoyono mengajak semua pihak melihat permasalahan pemekaran secara matang. Pemekaran harus sungguh-sungguh memenuhi syarat-syarat mendasar dan harus bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan rakyat yang lebih baik. Pemekaran jangan dipakai untuk memenuhi kepentingan elite-elite lokal, baik kepentingan politik maupun ekonomi. Berdasarkan pemantauannya, sebagian pemekaran berhasil dengan baik, tetapi sebagian lainnya gagal. [ASR/J-11/A-21]

Jumat, 06 Februari 2009

Pemerintah Didesak Terbitkan Perppu Moratorium Pemekaran

TEMPO Interaktif, Jakarta: Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Siti Zuhro mengatakan pemerintah harus segera menerbitkan payung hukum terkait moratorium pemekaran daerah. "Jika tidak ada payung hukumnya, daerah akan terus mencari celah," katanya saat dihubungi Tempo, Jumat (06/02).

Bentuk payung hukum tersebut, kata Siti, bisa berupa peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Perppu dinilai lebih pas dibanding Peraturan Pemerintah karena peraturan pemerintah membutuhkan rujukan undang-undang. "Peraturan pemerintah harus ada cantolannya," katanya.

Dengan adanya payung hukum, lanjut Siti, penghentian pemekaran bisa berlangsung efektif. Siti menilai pemekaran selama ini kelewat marak. Ia mencontohkan, pada 1999 jumlah kabupaten kota hanya sekitar 200-an. Namun hingga akhir Desember jumlahnya membengkak jadi 477 kabupaten/kota. "Naik dua kali lipat," katanya.

Pemerintah, kata Siti, juga harus segera melakukan evaluasi terhadap daerah-daerah yang telah dimekarkan. Sebab temuan Departemen Keuangan pada 2006 menyebutkan 145 daerah yang telah dimekarkan terbukti tak berdampak positif pada pelayanan publik. "Justru membebani anggaran," kata Siti.

Selama moratorium berlangsung, Siti melanjutkan pemerintah harus intensif membahas grand design pemekaran. Ia berharap sebelum masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono berakhir Oktober nanti, grand design tersebut telah selesai. "Waktunya cukup, hanya keseriusannya yang mungkin tidak ada," katanya.

DWI RIYANTO AGUSTIAR

80% Pemekaran Wilayah Gagal

JAKARTA (Lampost): Pemekaran wilayah hanya sukses menyejahterakan elite lokal karena 80% daerah hasil pemekaran gagal mengembangkan diri. Tujuan pemekaran untuk meningkatkan pelayanan bagi rakyat tidak pernah tercapai.

Fakta itu diungkapkan Guru Besar Ilmu Politik Institut Ilmu Pemerintahan Jhohermansyah Djohan kepada Lampung Post di Jakarta, kemarin (5-2). Peneliti Departemen Dalam Negeri itu menyimpulkan hanya 15% hingga 20% daerah pemekaran yang berhasil menjadi daerah otonom. Selebihnya, daerah itu masih mengemis dana kepada pusat.

Hasil pemekaran telah membengkakkan jumlah provinsi kini menjadi 33 dan jumlah kabupaten/kota sudah melewati angka 500.

Jhohermansyah yang juga deputi politik Sekretariat Wapres menjelaskan kesalahan utama dalam konsep pemekaran wilayah selama ini adalah pemekaran lebih mengutamakan pertimbangan politik daripada teknis. Apalagi, kata dia, pintu masuk pemekaran bisa melalui Depdagri atau DPR.

Fakta yang diungkapkan Jhohermansyah Djohan itu sejalan dengan hasil survei Bank Dunia dan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada terhadap 1.815 rumah tangga di delapan provinsi hasil pemekaran. Hasil survei menunjukkan pemekaran justru makin merebakkan korupsi dan inefisiensi. Lebih dari 36% rumah tangga yang disurvei mengaku harus membayar uang sogokan untuk mendapatkan pelayanan.

Bebani APBN

Lagi-lagi hasil pemekaran wilayah telah mereduksi dan mengebiri hakikat tujuan pemekaran itu sendiri. Tujuan pemekaran adalah memperpendek rentang kendali antara pengambil kebijakan dan masyarakat. Sebab, menurut R. Siti Zuhro, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 80% daerah otonomi baru menimbulkan masalah.

"Hasil evaluasi Depkeu terhadap 145 daerah otonomi baru menunjukkan sekitar 80% tidak berdampak positif, baik dalam konteks pelayanan publik maupun kesejahteraan masyarakat," kata dia kepada Lampung Post di Jakarta, kemarin.

Dampak buruk pemekaran, papar Zuhro, antara lain sangat membebani ABPN. Mayoritas (86%) sumber pendapatan APBD kabupaten/kota dan 53% APBD provinsi berasal dari dana perimbangan yang dialokasikan Depkeu. "Tentu ini sangat memberatkan APBN karena mereka belum dapat membiayai operasionalnya sendiri." Apalagi sebagian besar alokasi APBD (58%) hanya untuk belanja pegawai, sedangkan biaya pembangunan daerah cuma 21%.

Zuhro menyarankan Depdagri mengambil langkah strategis demi penyelamatan sistem otonomi. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah 78/2007 tentang Tata Cara Pembentukan dan Penggabungan Daerah Otonom, daerah yang belum menunjukkan peningkatan harusnya digabung lagi. "Kewenangan penataan daerah berada di pemerintah pusat melalui Depdagri," tegasnya.

Ia mengusulkan kewenangan pemekaran wilayah sepenuhnya di tangan eksekutif. Tidak seperti selama ini, DPR ikut mengusulkan pemekaran sehingga semuanya menjadi amburadul. "Kepentingan politis di DPR akan sangat memengaruhi," ujar Zuhro.n MI/U-2

DPR Biang Kisruh Pemekaran

Jakarta, Sumutcyber- Hingga Jumat (6/2), kisruh demo di Sumut masih menjadi topik menarik di Jakarta. Selain diskusi di gedung Dewan Perwakilan Daerah (DPD), siangnya di ruang wartawan DPR juga digelar diskusi dengan tema yang sama. Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro meminta agar kasus Sumut dijadikan momen pemerintah untuk menghentikan pemekaran. Alasan dia, selama ini yang terjadi sesungguhnya adalah pemekaran pemerintahan,bukan pemekaran daerah. Perebutan kursi-kursi kekuasaan di pemerintahan dan DPRD itulah yang lebih kental mendorong pemekaran. "Hanya kepentingan elit lokal dan nasional," ucap Siti.

Dalam kesmepatan yang sama dia mengatakan, para politisi di DPR selama ini yang menjadi biang atas kisruhnya aspirasi pemekaran. Dijelaskan, dalam proses pembahasan RUU pemekaran, aturan-aturan yang tertuang di UU No.32 Tahun 2004 dan PP 129 tahun 2000 maupun PP yang baru, yakni PP No.78 Tahun 2007, selalu diabaikan karena lebih banyak intervensi politik dari para politisi di Senayan.

"Ketika pembahasan pemekaran diintervensi kepentingan politik, ya seperti ini hasilnya. Mayoritas daerah pemekaran gagal, tidak berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya," tandas Siti.

Namun, dia juga menyalahkan pemerintah karena tidak tegas dalam merespon aspirasi pemekaran, yang faktanya lebih banyak dimanfaatkan para elit lokal dan nasional. Namun, dia tetap lebih menyalahkan DPR. "Makanya, setelah ini dihentikan dulu aspirasi pemekaran, buat aturan baru bahwa aspirasi pemekaran hanya masuk melalui Departemen Dalam Negeri. Ini untuk mengurangi tarik-menarik kepentingan politik," urainya. (sam/jpnn/mar/sc)

DPR Usulkan Jeda Pemekaran Daerah

Hervin Saputra & Nina Suartika

VHRmedia, Jakarta – Ketua Panitia Kerja DPR untuk RUU Pemekaran Daerah, Chozin Chumaydi, mengusulkan pemekaran daerah dihentikan sementara. Jeda ini digunakan untuk mengevaluasi sejumlah masalah yang terjadi dalam pemekaran daerah.

“Hentikan ini dulu, bukan hanya karena kasus Sumatera Utara. Kita sudah bilang ke pemerintah, lakukan evaluasi secara intensif,” kata Chozin dalam diskusi membahas pemekaran daerah di gedung DPR, Jumat (6/2).

Menurut Chozin, UU Pemekaran Daerah bertujuan memandirikan daerah. Namun, sejumlah masalah muncul, karena tidak akuratnya pertimbangan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dalam mendata syarat pemekaran daerah. Chozin mengatakan, lembaga ini kerap tidak menyampaikan pertimbangan yang akurat terhadap pemerintah pusat, sebelum memekarkan sebuah daerah. “DPOD tidak efektif. Teman-teman DPOD ada yang hanya mendata jumlah puskesmas, SD, dan pasar yang ada di wilayah yang akan dimekarkan,” ujar Chozin.

Pengamat Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Siti Zuhro, setuju pemekaran daerah ditunda. Banyaknya masalah dalam pemekaran daerah disebabkan pemerintah pusat tidak mengawal pelaksanaannya secara ketat.

Menurut dia, insiden amuk massa demonstran pendukung pembentukan Kabupaten Tapanuli Selatan, yang menyebabkan tewasnya Ketua DPRD Sumatera Utara Andi Azis Angkat adalah puncak dari ketidakberesan pelaksanaan pemekaran daerah. “Ini akumulasi,” kata Siti Zuhro.

Dalam penelitiannya, Siti menemukan sebagian besar pemekaran daerah bermasalah. Tuntutan pemekaran daerah hanya untuk membuka forum baru, bagi elit politik di pusat dan daerah. “Ini bukan pemekaran wilayah, tapi pemekaran pemerintah,” ujarnya.

Namun menurut Siti, masalah pemekaran daerah tidak dapat disalahkan sepenuhnya pada sistem desentralisasi. Pemerintah dan DPR seharusnya menggunakan moratorium pemekaran daerah, untuk megatur dan menata daerah tanpa mengurangi semangat desentralisasi.


Ketua DPP Partai Golkar Burhanuddin Napitupulu, menginginkan pembahasan RUU Pemekaran Daerah dilakukan secara konprehensif. Dia mengusulkan pengesahan RUU Pemekaran daerah dilakukan setelah Pemilu 2009, karena jika dipaksakan akan menimbulkan dampak terhadap pencalonan anggota legislatif. (E1)

Proses Pemekaran Wilayah Bisa Cepat Asalkan Suapnya Besar

JAKARTA | SURYA Online - Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengungkapkan, sebagian besar daerah otonom baru hasil pemekaran wilayah gagal menyejahterakan masyarakat. “Karena itu, sebaiknya memang dihentikan. Pemerintah harus tegas, selesai sampai di sini,” katanya dalam Dialektika Demokrasi di Gedung DPR/MPR Jakarta, Jumat (6/2/2009).

Diskusi tersebut juga menghadirkan Ketua Panja Pemekaran Komisi II DPR Chozin Chumaidy dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman. Siti Zuhro mengemukakan, sebenarnya pemekaran wilayah memang dibutuhkan masyarakat karena keterbatasan kendali pemerintahan.

Persoalannya, kebutuhan pemekaran itu kemudian diintervensi atau dikelola oleh elit-elit partai politik di daerah maupun di pusat serta calo-calo kekuasaan dan anggaran. Apalagi ada transaksi-transaksi uang. Di samping itu, terjadi pengambilalihan kepentingan oleh elit partai politik. “Kalau grojokannya besar, prosesnya cepat,” katanya. Ia menambahkan, adanya kucuran uang dalam proses pemekaran semakin menambah rumit persoalan.

Adanya transaksi-transaksi dalam proses pemekaran wilayah, menurut dia, semakin menjauhkan esensi dan kepentingan pemekaran. Pemekaran menjadi semakin jauh dari kebutuhan sebenarnya, yaitu meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

Sejak 1998, jumlah daerah otonom baru di Indonesia meningkat dua kali lipat. Apabila jumlah tahun 1998 baru 230 kabupaten/kota, maka pada akhir 2008 sebanyak 477 kabupaten/kota. “Jumlah itu memungkinkan sekali bertambah menjadi lebih banyak lagi karena usul pemekaran begitu banyak. Tetapi dengan persoalan yang begitu krusial, sebaiknya seluruh proses pemekaran dihentikan dulu,” katanya.

Dari kesejahteraan, pemekaran tidak banyak pengaruh bagi masyarakat. Bahkan masyarakat terbebani sehingga pemekaran tidak ada manfaatnya bagi masyarakat. DPR dan pemerintah menyetujui begitu saja usulan pemekaran wilayah, padahal dibalik pemekaran itu sebenarnya terselubung kepentingan partai politik.

“Pemekaran yang telah dilakukan memang sangat membebani anggaran. Sebenarnya, tidak masalah membebani asalkan bermanfaat bagi masyarakat, mampu meningkatkan kesejahteraan dan mempermudah pelayanan publik,” katanya.

Terkait kasus meninggalkan Ketua DPRD Sumatera Utara Abdul Azis Angkat di tengah aksi massa yang menuntut pembentukan Propinsi Tapanuli (Protap), dia mengemukakan, pemerintah dan DPR yang memproses pemekaran harus bertanggungjawab karena terlalu membiarkan adanya usul-usul pemekaran daerah. “Tetapi pemerntah dfan DPR berusaha lempar tangung jawab, cuci tangan,” katanya. ant

Kamis, 05 Februari 2009

80 Persen Wilayah Baru belum Tunjukkan Dampak Positif

Suara Tanah Air
Penulis : Akhmad Mustain

JAKARTA--MI:
Pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) telah melenceng dari tujuan semula, yaitu untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. Dalam hasil evaluasi Dirjen perimbangan keuangan Depkeu mengungkapkan sekitar 80% DOB menimbulkan masalah.

Hal itu dikatakan oleh Peneliti Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) R Siti Zuhro kepada Media Indonesia di Jakarta, Kamis (5/2). “Hasil evaluasi Depkeu terhadap 145 DOB menunjukkan sekitar 80% tidak berdampak positif, baik dalam konteks pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat,” tukasnya.

Memang, kata Zuhro, penataan daerah di Indonesia tentu sangat diperlukan agar pemerintah daerah dapat melayani publik dengan baik, dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam rangka pengembangan demokrasi di daerah. Tapi sangat disayangkan karena tak mempertimbangkan secara serius dampak negatif yang menyertainya.

Selama periode 1999-2008 tercatat 173 daerah pemekaran baru (7 provinsi, 135 kabupaten, dan 31 kota). Bahkan selama 2005-2007 DPR telah mengesahkan sebanyak 31 daerah baru.

Bahkan penyelenggaraan pemerintahan di daerah otonom baru kurang efektif, seperti kapasitas manajemen pemerintahan tidak memadai, kualitas SDM aparat pemda, dan legislatif rendah, sarana dan prasarana pemerintahan minim, timbul konflik perbatasan/lokasi ibu kota, pelayanan publik tetap buruk, kesejahteraan masyarakat tidak meningkat, dan demokrasi lokal tidak membaik.

Selain itu, Zuhro juga mengungkapkan bahwa pemekaran daerah baru tersebut sangat membebani ABPN. Mayoritas (86%) sumber pendapatan APBD kabupaten/kota dan 53% APBD provinsi berasal dari dana perimbangan yang dialokasikan oleh Depkeu. ”Tentu ini sangat memberatkan APBN, karena mereka belum dapat membiayai opreasionalnya sendiri,” tukasnya.

Dengan demikian, ungkap Zuhro, Depdagri harus mengambil langkah strategis demi penyelamatan sistem otonomi. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) 78/2007 tentang Tata Cara Pembentukan dan Penggabungan Daerah Otonom, bahwa daerah yang belum menujukkan peningkatan harusnya dilakukan penggabungan lagi. “Karena kewenangan untuk penataan daerah berada di pemerintah pusat melalui Depdagri,” tegasnya.

Ia juga memprediksi persoalan pemekaran derah akan terus bergulir, karena sistem satu pintunya tidak jalan. “Mestinya pemekaran daerah hanya merupakan kewenangan pamerintah pusat melalui Depdagri. Tidak seperti selama ini yang juga boleh diusulkan oleh DPR, dimana kepentingan politis akan sangat memengaruhi,” ujarnya. (*/OL-03)