Senin, 15 Februari 2010

"Gonjang-ganjing" Koalisi

R Siti Zuhro
Peneliti Utama LIPI


Senin, 15 Februari 2010

Siapa yang tak kenal Ken Arok, pendiri Kerajaan Singasari (1222-1292 M)? Versi Pararaton antara lain menceritakan tentang kutukan Empu Gandring, pembuat keris terkenal, terhadap Ken Arok dan keturunannya. Karena dibunuh Ken Arok, maka Empu Gandring mengutuknya bahwa proses suksesi Kerajaan Singasari akan selalu diwarnai dengan dendam dan pertumpahan darah.
Meskipun tak persis sama, proses suksesi presiden kita sepertinya agak terjangkit sindrom suksesi Singasari tersebut. Betapa tidak, empat di antara lima mantan presiden kita lengser karena pemakzulan. Jika para elite parpol tak disibukkan dengan persiapan Pemilihan Umum (Pemilu) 2004, bukan tak mungkin Megawati mengalami nasib yang sama.
Kini, baru genap tiga bulan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono, aroma pemakzulan terhadap pasangan ini sudah mulai tampak. Selain melalui Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket DPR tentang kasus Bank Century, nuansa tersebut juga terlihat dari beberapa demonstrasi yang dilakukan sejumlah aktivis politik dan LSM di luar parlemen.
Dalam sistem pemerintahan yang demokratis, demonstrasi rakyat dan kritikan tajam parpol merupakan sebuah keniscayaan. Hal tersebut merupakan bentuk tanggung jawab moral agar pemerintahan tetap berjalan di atas jalur konstitusional dan agar cita-cita untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur dapat terlaksana dengan lebih cepat. Tanpa proses checks and balances (saling imbang dan saling kontrol), kekuasaan akan cenderung korup.
Sistem pemerintahan presidensial memang mengenal ketentuan tentang pemakzulan presiden. Namun, semestinya hal tersebut tidak diumbar begitu saja sebelum benar-benar ditemukan adanya bukti-bukti konkret sesuai dengan ketentuan konstitusi. Sebab, ongkos sosial-politiknya sangat besar.
Selain karena konsekuensi langsung dari sistem multipartai, gejala penyakit sindrom Singasari yang dialami elite politik kita juga disebabkan oleh belum dewasanya mereka dalam berpolitik. Dengan kondisi seperti ini, bisa dipahami apabila semua presiden terpilih akan berusaha keras untuk membangun koalisi besar dalam pemerintahannya.
Akibatnya, pembentukan kabinet pelangi menjadi sebuah keniscayaan. Dapat dipastikan bahwa kabinet yang didasarkan atas koalisi seperti itu akan sangat rentan. Meski kontrak politik sudah ditandatangani oleh partai-partai koalisi, nasib kabinet ke depan akan senantiasa tak pasti. Kepentingan politik dan kekuasaan sangat menonjol melandasi pembentukan koalisi, sehingga nuansa "siapa mendapat apa" pun cukup dominan. Hasilnya, terjadi "gonjang-ganjing" dalam koalisi yang berlangsung intensif selama 100 hari ini.
Sebagai bangsa yang baru memulai belajar berdemokrasi kembali, sindrom penyakit Singasari tersebut agaknya masih sulit dienyahkan. Untuk itu, pemerintah perlu memperbaiki komunikasi politiknya dengan anggota koalisinya guna meningkatkan rasa percaya di antara mereka. Pemerintah juga harus bersikap lebih tegas dalam penegakan hukum, terutama terhadap kasus korupsi. Ke depan pemerintah dan elite politik harus mampu menata ulang sistem kepartaian dan pemilu guna menciptakan pemerintahan yang kuat dan efektif.***

Walah, Masih Saja Terjadi Kekerasan Anak & Perempuan

Jakarta, RMOL. Mengintip Kinerja 118 Hari Kemenneg PP dan PA

Presiden SBY memberikan enam tugas penting yang menjadi program 100 hari Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenneg PP dan PA).

Keempat tugas penting itu (baca tabel), menurut Menneg PP dan PA, Linda Amalia Sari Gu­me­lar, sudah berjalan sesuai rencana.

“Program 100 hari Kemenneg PP dan PA berjalan sesuai ren­cana. Perjuangan justru terletak pada program kerja lima tahun mendatang. Kita akan terus be­kerja keras menyukseskan pro­gram hingga tahun 2014,” kata­nya (lengkap baca berita: Ber­jalan Sesuai Rencana).

Namun berdasarkan sejumlah pemerhati anak dan perempuan meragukan keberhasilan itu. Se­bab, kekerasan terhadap anak dan perempuan masih saja terjadi.

Misalnya saja, tiga anak, yakni Rafal (3), Farel (2) dan Putri Aprilia (9 bulan) ditelantarkan ke­dua orangtuanya di rumah kon­trakan di Jalan Pulo Indah Asri, Cipondoh, Tangerang. Se­lama lima hari mereka ditinggal­kan tanpa makan dan mi­num. Kemu­dian Baekuni alias Babe memu­tilasi dan menyodomi 14 anak jalanan

Selain itu, 50 anak usia antara 10-17 dipekerjakan di sebuah pabrik di Kecamatan Kedawung, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat (Jabar).

Sedangkan kekerasan perem­puan selalu menimpa Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar ne­geri. Misalnya, 339 TKW dipu­lang­kan dari Timur Tengah, 50 diantaranya membawa anak yang lahir hasil dari perkosaan. Ada juga diantara mereka mendapat penganiayaan.

Hal lainnya, kualitas hidup anak belum sesuai yang diharap­kan. Soalnya, masih banyaknya anak telantar yang kehidupannya memprihatinkan.

’’Walah, masih saja terjadi ke­ke­­rasan terhadap anak. Saya kira pro­gram 100 hari Kemenneg PP dan PA belum ber­ja­lan sesuai ren­cana,’’ ucap Ketua Bidang Imma­wati DPP Ikatan Mahasiswa Muham­madiyah (IMM), Khoti­mun Sutanti, kepada Rakyat Mer­deka, belum lama ini.

“Memang 118 hari tidak bisa mengukur kinerja Bu Linda. Sebab waktu kami bicara dengan Bu Linda, program 100 hari ma­sih fokus pada pengembangan program. Jadi memang belum ada program yang maksimal dan di­implementasikan,” tam­bahnya.

Menurut Khotimun, fenomena kekerasan terhadap perempuan dan anak akhir-akhir ini juga ti­dak mendapat perhatian dan pro­porsi yang tepat dari peme­rintah. Kekerasan yang banyak me­nim­pa perempuan sengaja diabaikan sehingga tidak menjadi perha­tian publik.

Khotimun juga mengusulkan agar Menteri Negara Pember­da­yaan Perempuan dan Perlindung­an Anak memperhatikan isu gen­der di kalangan mahasiswa.

“Poin yang penting dilakukan Meneg PP dan PA adalah melak­sanakan pengarusutamaan gen­der di kampus yang merupakan basis kaum terdidik,’’ tuturnya.

Selain itu, lanjutnya, harus ada revitalisasi pusat studi wa­nita (PSW) untuk menggarap internal kampus. Selama ini, PSW meng­garap kalangan luar sementara di dalam kampus terlupakan.

‘’Biasa-biasa Saja Tuh...’’
Siti Zuhro, Pengamat Politik Dari LIPI

Kinerja 118 hari Kemen­te­rian Negara Pemberdayaan Perem­puan dan Perlindungan Anak (Ke­menneg PP dan PA) yang diko­mandoi Linda Amalia Sari belum terlihat langkah spek­takuler.

“Biasa-biasa saja tuh, nggak ada terobosan dan langkah spek­takuler,’’ ujar pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, kepada Rakyat Merdeka, di Ja­karta, kemarin.

Dikatakan, belum ada lang­kah kongkrit yang dilaksanakan da­lam memberdayakan perem­puan.

“Saya tanya ke mereka (para perempuan), jawab mereka ti­dak mendengar program untuk mem­berdayakan kaumnya,” katanya.

Menurut Zuhro, penambahan Perlindungan Anak (PA) pada Menneg PP dalam KIB II ini se­harusnya menjadi pemicu untuk lebih juga melindungi anak. Ma­ka­nya, perlu kerja sama yang ba­gus dengan semua kom­ponen, ter­masuk dengan ke­men­terian lain.

“Koordinasi itu penting de­ng­an semua komponen terkait. Se­bab, Kemenneg PP dan PA per­lu bantuan agar pengem­bang­an perempuan dan perlin­dungan anak di daerah-daerah juga bisa dilaksanakan,” tuturnya.

Dikatakan, pelatihan yang se­lama ini dilakukan Kemenneg PP tidak membawa pengaruh yang cukup signifikan dalam pe­ningkatan kualitas kaum pe­rem­puan. Sebab, perempuan masih dianggap pemain ca­dang­an.

‘’Berjalan Sesuai Rencana’’
Linda Amalia Sari Gumelar, Menneg PP dan PA

Menteri Negara Pemberdaya­an Perempuan dan Perlindungan Anak (Menneg PP dan PA), Linda Amalia Sari Gumelar mengata­kan, enam prioritas program uta­ma dalam 100 hari Kabinet Indo­nesia Bersatu (KIB) II berjalan sesuai rencana.

“Program 100 hari Kemenneg PP dan PA berjalan sesuai ren­cana. Perjuangan justru terletak pada program kerja lima tahun mendatang. Kita akan terus be­kerja keras menyukseskan pro­gram hingga ta­hun 2014,” kata­nya dalam kon­frensi pers, di Jakarta, belum lama ini.

Dikatakan, 6 program yang tercapai itu diantaranya, konso­lidasi internal dan eksternal antar pemangku kepentingan. Kemu­dian, penyamaan visi dan misi dengan seluruh pemangku ke­pentingan, Penguatan kemam­puan kelembagaan Pengarusu­tamaan Gender (PUG), melin­dungi perempuan dan anak dari tindak kekerasan, meningkatkan kualitas hidup perempuan dan perlindungan anak.

Selain itu, lanjutnya, program meningkatkan partisipasi ma­sya­­rakat tentang pentingnya pem­­bangunan pemberdayaan perem­puan dan perlindungan anak.

“Langkah selanjutnya yaitu me­lakukan pemantauan atas im­plementasi dari berbagai ke­bijakan yang dilaksanakan para pelaku kebijakan seperti Peme­rintah Daerah, terhadap pemenu­han hak perempuan dan anak atas perlindungan dari tindak keke­rasan,” katanya.

Menurutnya, beberapa kendala yang dihadapi dalam implemen­tasi program 100 hari kerja. Mi­salnya banyak pimpinan daerah yang memahami isu gender se­bagai isu perempuan, bukan meli­hat perempuan sebagai modal sosial dan modal pembangunan yang harus ditingkatkan kualitas­nya agar setara dengan laki-laki.

Selain itu, katanya, seringnya pemindahan sumber daya manu­sia sehubungan dengan mutasi jabatan di tingkat kabupaten dan kota tanpa mempertimbangkan kompetensi.

Dikatakan, pihaknya sudah mengeluarkan Surat Keputusan Ber­sama dengan Mahkamah Agung, Hukum dan HAM, Ke­jak­saan Agung, Kepolisian Re­publik Indonesia, Kementerian Sosial dan Kementerian Pem­ber­dayaan Pe­rempuan dan Per­lin­dungan Anak.

Selain itu, telah ditandatangani Standar Pelayanan Minimum (SPM) pada bulan Januari 2010 ini sebagai upaya perlindungan dan penanganan terhadap perem­puan dan anak di tingkat kabu­paten dan kota.

‘’Hasilnya Nggak Signifikan Deh...’’
Hadi Supeno, Ketua KPAI

Selama 118 hari ini Kemen­neg PP dan PA belum mem­buahkan hasil yang maksimal dalam memberdayakan perem­puan dan melindungi anak.

“Hasilnya nggak signifikan deh,’’ kata Ketua Ko­misi Perlin­dungan Anak Indo­nesia (KPAI), Hadi Supeno, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.

Dikatakan, persoalan perli­dungan anak dikerjakan juga kementerian lain, bukan hanya Kemenneg PP dan PA saja. Tapi ditangani Kemensos, Kemen­nakertrans, Kemenkes.

“Semuanya masih ber­kutat di wilayah hilir saja. Tapi tidak ada solusinya,” ujarnya.

Menurutnya, untuk menga­tasi masalah anak bukan hanya per­soalan anggaran yang ba­nyak, tapi ada hal yang lebih subs­tantif terhadap perlin­dung­an anak yaitu bagaimana me­lindungi anak secara sistemik.

“Mestinya negara melaksa­nakan pasal 28 B UUD 1945 ayat 2 bahwa setiap anak berhak atas ke­langsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi,’’ paparnya.

Dikatakan, KPAI saat ini sedang mendorong pemerintah agar sungguh-sungguh melin­dungi anak secara keseluruhan.

“Kementerian ini seharusnya mempunyai konsep tentang itu. Kemudian mewujudkan pro­gram itu secara sungguh-sung­guh,” katanya.

’’Itu Tidak Sulit Baginya’’
Roostien Ilyas, Pemerhati Anak dan Perempuan

Sudah ada perbaikan yang dilakukan Kemenneg PP dan PA di bawah kepemimpinan Linda Gumelar.

Demikian disampaikan pe­mer­hati anak dan perempuan, Roostien Ilyas, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.

Menurutnya, dalam program 100 hari Kemenneg PP dan PA tidak hanya mengurusi perem­puan saja, tapi juga sudah me­ngurusi perlindungan anak.

“Sekarang justru terlihat ter­jadi perebutan kapling dengan Ke­men­sos. Sebab, di sana juga ada perlidungan anaknya,” katanya.

Roostien mengatakan, untuk menghindari double anggaran dan bagi tugas, harus diatur kewenangannya jangan sampai bentrok dengan Depsos.

Dalam bidang perempuan, Men­neg PP dan PA sudah ba­gus. Sebab, latar belakang Lin­da adalah Ketua Kongres Wa­nita Indonesia (Kowani), yang membawahi banyak organisasi perempuan.

“Hanya meneruskan pro­gram­nya saja, dan itu tidak sulit baginya,” tandasnya.

‘’Kita Lihat Nanti Presentasinya’’
Hasrul Azwar, Anggota Komisi VIII DPR

Secara kasat mata Kemen­neg PP & PA sudah menjalan­kan program 100 hari dengan baik.

“Yang nyata adalah soal kon­solidasi internal, sinergi antar kementerian dan juga pe­merin­tahan daerah,” kata ang­gota Ko­misi VIII DPR, Hasrul Azwar, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.

Namun, kata dia, penilaian pastinya bisa diukur dalam pe­maparan dalam rapat kerja dengan DPR. “Kita lihat nanti presentasinya,” katanya.

Hasrul Azwar mempunyai harapan yang besar terhadap Men­neg PP dan PA, Linda Ama­lia Sari Gumelar, untuk mem­ber­dayakan perempuan dan anak.

“Apalagi beliau kan sudah berpengalaman di organisasi wanita. Tentunya ini merupa­kan modal dasar dalam be­kerja,” katanya.

Memang yang menjadi ken­dala, lanjutnya, soal anggaran yang relatif kecil bila dibanding dengan kementerian lainnya. Namun, diyakini Menneg PP dan PA bisa inovatif dalam men­jalankan tugasnya.

“DPR berupaya memper­juang­kan untuk mencari solusi agar meningkatkan anggaran kementerian ini,” katanya.

‘’Dua Tahun Lagi Hasilnya Kelihatan’’
Masruchah, Anggota Komisioner Komnas Perempuan

Program 100 hari Kemen­neg PP dan PA memang belum bisa dilihat dari hasil kongkrit­nya, tapi hanya sebatas penge­nalan dan membangun pemaha­nan tentang perempuan dan anak.

Hal ini disampaikan anggota Komisioner Komnas Perem­puan, Masruchah, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kema­rin.

“Soal konsolidasi internal dan stake holder, itu pasti sudah dilakukan. “Sebab, itu tugas tek­nis,” katanya.

Namun, lanjutnya, soal me­lindungi perempuan dan anak dari tindak kekerasan, mening­katkan kualitas hidup perem­puan dan perlindungan anak, dan meningkatkan partisipasi masyarakat tentang pentingnya pembangunan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, itu baru sebuah gagasan dan ide-ide.

“Dua tahunlagi hasilnya ke­lihatan. Kalau sekarang hanya pondasinya saja, gagasan dan ide saja,” katanya.

Yang perlu digarisbawahi, kata dia, persoalan anggaran untuk kementerian ini relatif kecil bila dibandingkan dengan kementerian lainnya.

“Anggaran minim gara-gara Kemenneg PP dan PA ini di­anggap tidak begitu penting,” katanya.
[RM]

Rabu, 10 Februari 2010

Reshuffle Kabinet


R Siti Zuhro
Peneliti Utama LIPI


Rabu, 10 Februari 2010
Dalam waktu yang tak lama lagi Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket DPR tentang Skandal Bank Century akan memasuki babak akhir. Setelah kasus kriminalisasi pimpinan KPK Bibit-Chandra, skandal Bank Century adalah yang paling memakan energi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Nyaris tiada hari tanpa demonstrasi. Bahkan, seekor kerbau pun dipaksa turut berdemonstrasi sekadar untuk menyatakan matinya sensitivitas pemerintah pada nasib rakyatnya. Isu lain pun mencuat, seperti pembelian mobil dinas pejabat tinggi, renovasi pagar istana yang menghabiskan miliaran rupiah, dan isu kenaikan gaji menteri. Semua itu makin membuat rakyat bingung.
Di pihak lain, banyaknya demonstrasi justru dianggap sebagai "obat kuat" oleh banyak parpol guna memperkuat fungsi kontrolnya kepada pemerintah. Yang menarik, hal tersebut juga dilakukan parpol-parpol anggota koalisi pemerintah. Pertanyaan-pertanyaan yang cenderung bersifat menyidik dari anggota parpol koalisi pemerintah dalam Pansus Century cukup membuat merah telinga petinggi Partai Demokrat, termasuk Presiden SBY. Parpol-parpol koalisi itu bahkan tak jarang turut berwacana tentang isu pemakzulan Presiden.
Sebagai bagian dari pemerintah, bisa dipahami apabila SBY dan parpolnya memandang anggota parpol koalisinya seperti orang yang "menggunting dalam lipatan". Sebagai konsekuensi logis dari sebuah koalisi, kritik keras tersebut selayaknya dilakukan secara internal di antara mereka. Jika mereka merasa sudah tidak nyaman lagi, mestinya pilihannya adalah keluar dari koalisi, dan bukannya bersikukuh dengan kedudukannya sambil menunggu kemungkinan adanya reshuffle. Atau, mungkin ada yang salah dengan Demokrat atau SBY?
Tentang isu pemakzulan Presiden, sepertinya sulit diwujudkan. Selain syarat dan prosesnya yang cukup rumit, juga belum ada temuan kuat yang mengindikasikan adanya keterlibatan Presiden dalam kasus Bank Century. Temuan awal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru sebatas adanya pelanggaran UU Perbankan.
Yang lebih mungkin terjadi adalah reshuffle kabinet yang merupakan hak prerogatif presiden. Melihat kecenderungan parpol-parpol yang lebih memilih menjadi bagian dari kekuasaan ketimbang menjadi penyeimbang di parlemen, bisa diduga ada parpol anggota koalisi pemerintah yang terhenyak dengan ancaman reshuffle kabinet. Tapi, melihat perkembangan Pansus Angket Century, beberapa partai justru siap menghadapi berbagai kemungkinan.
Tetapi, ada dugaan "kartu truf" masih berada di kubu SBY. Posisi SBY masih berada di atas angin. Kalaupun parpol-parpol anggota koalisi masih menunjukkan serangan kerasnya kepada pemerintah, sesungguhnya hal tersebut tak lebih dari sebuah lakon drama guna memperoleh bagian kue kekuasaan yang lebih besar lagi. Tetapi, permainan tersebut bukannya tak berisiko. Jika mereka tak cukup piawai dalam memainkan irama dan ritme lakonnya, bukan tidak mungkin mereka akan terlempar ke luar dari koalisi pemerintah.
Dalam hal ini, sebagai parpol besar tidak tertutup kemungkinan PDIP akan melompat ke dalam barisan anggota koalisi. Sebab, kecuali kepentingan, dalam politik memang tak ada musuh abadi.***

Senin, 01 Februari 2010

Siti Zuhro, Peneliti LIPI, 'Pemekaran Berkembang Liar'

Secara umum, bagaimana penilaian Anda terhadap pemekaran?
Secara keseluruhan, berdasarkan jumlah wilayah yang dimekarkan, hasilnya belum positif jika dibandingkan dengan esensi otonomi daerah, yakni meningkatkan kualitas pelayanan publik dan mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Masalah apa yang masih timbul?
Sekarang pemekaran wilayah masih menjadi forum politisi untuk jadi pimpinan di daerah baru. Menjadi ajang ketidakpuasan politisi di daerah lain, dan mengembangkan daerah baru untuk dikuasai. Ini yang harus diakhiri.

Menurut rencana, pemerintah mematok 40 provinsi saja sampai 2025. Komentar Anda?
Patokan angka mati tidak bisa diberlakukan. Dasarnya apa angka itu bisa keluar. Jumlah erat kaitannya dengan perspektif berbagai bidang dan dimensi. Kalau dilakukan introspeksi, parameternya susah sampai berapa provinsi. Jumlah hanya akan menjebak pada nominal belaka.
Padahal, pemekaran wilayah harus menyesuaikan dengan konsistensi parameter pemekaran, dengan mengacu kepada esensi pemekaran, berupa kemampuan mengurus wilayah, mengelola daerah, dan melayani publik. Esensi itu yang harus dipahami dalam pemekaran wilayah. Tanpa tiga unsur itu. silakan tidak ada pemda.

Saat ini sudah ada 33 provinsi. 398 kabupaten, dan 93 kota. Menurut Anda idealnya bagaimana?
Bicara pemekaran, tentu harus bicara soal pengembalian dan penggabungan. Evaluasi kinerja itu sebenarnya sudah terangkum dalam PP No 6/2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaran Pemenntah Daerah. Peraturan perundangan ini yang kemudian bertugas menjatuhkan ranking terbaik dan terburuk sesuai patokan yang disediakan dalam undang-undang. Sistem reward dan punishment sebenarnya bisa berjalan dari situ. Peraturan ini pun seharusnya tidak semata berhenti pada evaluasi. Bagaimana dengan pengawasan dari pemerintah?

Menurut Anda, bagaimana seharusnya pengawasan dari pemerintah?
Ya, itu yang susah. Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) saja tidak berfungsi. Akibatnya, pemekaran witayah ber kembang liar. Ini pertu diperbaiki. Sebaiknya DPOD dikoordinasikan langsung ke wakil presiden atau presiden. Dengan begitu, mereka punya kekuatan yang mengikat. Selam itu. juga supaya standar kelayakan daerah yang akan dimekarkan benar-benar teruji. Makanya Mendagri harus mengelakkan kinerja DPOD.

mana rezkisan. fc narun