Kamis, 18 Juni 2009

Menyoal Kualitas Survei


R Siti Zuhro

Peneliti Utama LIPI



Banyak jalan menuju Roma, banyak kiat menuju istana. Itulah prinsip yang dianut tim sukses calon presiden (capres)-calon wakil presiden (cawapres). Sehingga, setiap celah dan kesempatan dimanfaatkan secara cerdik dan cerdas. Apalagi, tidak semua aturan bersifat hitam putih. Maka, bermain di grey area pun sah-sah saja selama menguntungkan.

Tampaknya, di wilayah grey area itulah persoalan polemik tentang survei politik muncul akhir-akhir ini. Masalahnya, hasil survei yang sejatinya bebas nilai dalam ranah akademik ditengarai telah dinodai oleh pihak-pihak tertentu demi kepentingan politik. Dugaan itu semakin kuat mengingat hasil lembaga-lembaga survei itu variatif meskipun dilakukan dalam waktu saling berdekatan.

Kegeraman pada lembaga survei khususnya datang dari tim sukses capres-cawapres yang merasa dirugikan. Sebab, dampak politik yang ditimbulkannya cukup signifikan. Berbeda dengan legitimasi yang bersumber dari pimpinan kemasyarakatan, seperti kiai dan pondok pesantren, yang bersifat kualitatif, legitimasi lembaga survei bersifat kuantitatif dan oleh karena itu lebih terukur, pasti, dan legitimate dibandingkan dengan lainnya. Atas dasar itu, kubu yang tersudutkan oleh hasil survei merasa tidak cukup untuk mengembalikan legitimasinya hanya dengan menyerang metodologi yang digunakan lembaga survei. Reaksi yang dianggap terbaik adalah mengeluarkan hasil survei tandingan. Oleh karena itu, perang survei pun menjadi pilihan tak terelakkan. Tujuannya adalah membelokkan opini publik yang sudah telanjur terbentuk dan sekaligus untuk mengembalikan dan meningkatkan legitimasi capres-cawapresnya.

Bagi publik yang berpendidikan, perdebatan metodologi survei guna menilai tingkat kualitas survei tertentu merupakan hal yang seharusnya dapat mereka pahami. Tetapi, persoalannya, mayoritas pemilih bukan orang-orang terdidik yang bisa memahami penjelasan akademik sebuah survei. Yang mereka pahami hanya sebatas hasil yang diperolehnya dari televisi, koran, dan media massa lainnya. Bagi mereka, pembicaraan mengenai kualitas sebuah survei bukanlah pada aspek metodologinya, yang merupakan ranah para akademisi, melainkan pada siapa pelaksana, pemberi dana dan pemesannya. Informasi tentang hal itu sangat penting untuk menilai kualitas sebuah survei.

Berdasarkan hal itu, dapat disimpulkan: pertama, guna melindungi rakyat dari pembohongan publik yang dilakukan lembaga-lembaga survei, seharusnya ada lembaga atau dewan kehormatan yang mengawasi kejujuran ilmiah lembaga-lembaga survei. Mereka yang secara sengaja terbukti menggadaikan profesionalitas akademiknya demi alasan apa pun patut diberi sanksi tegas karena telah melakukan pembohongan publik. Lebih-lebih itu berkenaan dengan pilpres.

Kedua, setiap lembaga survei seharusnya mengumumkan kepada publik tentang identitas lembaga penyelenggara survei secara terbuka, terutama afiliasinya ke parpol dan organisasi tertentu, dan sumber pendanaannya secara transparan. Karena itu, bila diperlukan, audit sumber pendanaannya dapat dilakukan. Akhirnya, biarkan publik yang menilai kualitas sebuah survei karena rakyat juga tidak bodoh.***