Minggu, 08 Februari 2009

Perubahan Semu Jadi Isu Pemilu

R Ferdian Andi R

81973INILAH.COM, Jakarta – Pemilu sering dijadikan momentum politik untuk memunculkan isu perubahan. Di Pemilu 1999, Megawati muncul dengan isu perubahan. Demikian pula SBY di Pemilu 2004. Kali ini Prabowo Subianto kembali memanfaatkannya untuk memberi harapan. Berhasilkah?

Perubahan selalu menjadi antitesa dari rezim yang sedang berkuasa. Itu pula yang telah terjadi di Indonesia. Kehadiran Megawati sebagai anti-tesa dari kekuatan rezim Orde Baru saat Pemilu 1999. SBY pun demikian, saat Pemilu 2004 menawarkan perubahan. Meski keduanya terbukti tidak sesuai dengan janji perubahan yang diusung.

Mengikuti jejak mereka, Prabowo Subianto pun menjual isu ketahanan pangan, ekonomi kerakyatan, ketahanan energi, kemandirian bangsa, dan lainnya, demi membawa angin perubahan. Bagaimana peluangnya?

Peneliti LIPI Siti Zuhro menilai tidak adanya komitmen moral dari elit, sehingga gagasan perubahan yang mereka tawarkan hanya jadi komoditas politik dan semu. “Karena hilangnya komitmen moral untuk mewujudkan janjinya saat kampanye,” kata Siti kepada INILAH.COM, Sabtu (7/2) di Jakarta.

Bagaimana dampaknya? Berikut ini wawancara lengkapnya:


Setiap calon pemimpin di Indonesia selalu menawarkan perubahan, namun selalu sulit terlaksana. Megawati di Pemilu 1999, SBY di Pemilu 2004. Kini Prabowo Subianto juga menawarkan perubahan. Apakah publik selalu mendapat suguhan perubahan yang semu?

Dalam konteks kampanye (pemilu) gaya Indonesia, kok rasanya tidak pernah ada keterkaitan positif antara sebelum dan sesudah pemilu. Yang harus kita pertanyakan, kenapa tidak terbukti konkret adanya korelasi antara sebelum dan sesudah pemilu? Ini yang tidak ada di Indonesia. Pemimpin itu saat mengkampanyekan sesuatu dituntut untuk membuktikan ketika memimpin. Kalau pemimpin ingin menciptakan good governance, ya dibuktikan.


Apa penyebab tidak adanya keterkaitan antara janji dengan realisasi saat pra dan pasca pemilu?

Ada tiga hal. Political will, political comitment, dan law inforcement. Nah, kita hanya memiliki political will. Pemimpin kita tahu persis bahwa masyarakat tidak berdaya saat empower. Jadi tidak ada tangung jawab moral untuk melakukan perubahan. Misal Obama, jika meleset dengan apa yang ditawarkan, maka akan menjadi malapaetaka bagi dirinya.


Kenapa publik begitu antusias dan fanatik kepada sesuatu yang menawarkan perubahan. Padahal sejatinya, hal seperti itu pernah terjadi dan tidak terbukti perubahan itu datang?

Karena mencari-cari. Jadi kita kayak curius. Saat 1999, Mega sangat heroic. Kita inginkan dia menjadi presiden. Ternyata segitu kemampuan Mega. Saat 2004, kita ingin SBY. Tapi saat memimpin, ternyata dia lelet. Sekarang ada Prabowo. Dia tentara beneran dari Koppassus.

Kita berharap-harap terus, tanpa dilengkapi oleh payung hukum yang kuat. Karena kita bukan civil society yang betul-betul berdaya yang via a vis betul dengan negara. Pressure kita ada keterbatasan.

Kita tidak bisa betul-betul mem-pressure suatu rezim baru yang harus konsisten atas janjinya, kita tidak ada. Sehingga menimbulkan ‘tawaran-tawaran baru’ yang menjamur. Karena kalau civil society yang berdaya, calon pasti berhitung. Karena jika tidak mengikuti janjinya, maka akan berbuah malapetaka. [P1]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar