
Kondisi Siti bisa lebih mengedrop lagi jika udara kotor AC itu diperparah dengan asap rokok. Meski di lingkungan akademisi, menurut dia, masih saja ada rekan sejawatnya yang merokok di ruangan ber-AC.
Selama istirahat di rumah, telefon genggamnya terus berdering. Banyak di antaranya dari jurnalis media cetak ataupun elektronik, yang bermaksud mewawancarainya tentang berbagai fenomena politik di tanah air. "Ya, abis gimana lagi," ujar istri dari peneliti bidang sosiologi LIPI, Abdussomad Abdullah itu.
Seperti pada siang itu, Siti tetap bersemangat menjawab pertanyaan demi pertanyaan seputar pemekaran daerah dan fenomena demokrasi lokal. Wanita kelahiran Blitar, 7 November 1959 itu, geram mendengar tragedi meninggalnya Ketua DPRD Sumatra Utara, Abdul Aziz Angkat, dalam demonstrasi menuntut pemekaran daerah Tapanuli. "Itu menodai demokrasi lokal kita dan tamparan keras buat pemerintah Indonesia," ungkap ibunda Galan Azra Wirawan (18) itu.
Ya, selama ini, Siti memang dianggap sebagai pengamat politik yang kerap mengkritik pemerintah, terutama dalam bidang pengelolaan pemerintahan daerah. Ide segar Siti berupa penghentian pemekaran daerah sudah lama ia lontarkan, bertahun-tahun sebelum tragedi Sumut. (Lina Nursanty/"PR") ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar