Jumat, 06 Februari 2009

80% Pemekaran Wilayah Gagal

JAKARTA (Lampost): Pemekaran wilayah hanya sukses menyejahterakan elite lokal karena 80% daerah hasil pemekaran gagal mengembangkan diri. Tujuan pemekaran untuk meningkatkan pelayanan bagi rakyat tidak pernah tercapai.

Fakta itu diungkapkan Guru Besar Ilmu Politik Institut Ilmu Pemerintahan Jhohermansyah Djohan kepada Lampung Post di Jakarta, kemarin (5-2). Peneliti Departemen Dalam Negeri itu menyimpulkan hanya 15% hingga 20% daerah pemekaran yang berhasil menjadi daerah otonom. Selebihnya, daerah itu masih mengemis dana kepada pusat.

Hasil pemekaran telah membengkakkan jumlah provinsi kini menjadi 33 dan jumlah kabupaten/kota sudah melewati angka 500.

Jhohermansyah yang juga deputi politik Sekretariat Wapres menjelaskan kesalahan utama dalam konsep pemekaran wilayah selama ini adalah pemekaran lebih mengutamakan pertimbangan politik daripada teknis. Apalagi, kata dia, pintu masuk pemekaran bisa melalui Depdagri atau DPR.

Fakta yang diungkapkan Jhohermansyah Djohan itu sejalan dengan hasil survei Bank Dunia dan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada terhadap 1.815 rumah tangga di delapan provinsi hasil pemekaran. Hasil survei menunjukkan pemekaran justru makin merebakkan korupsi dan inefisiensi. Lebih dari 36% rumah tangga yang disurvei mengaku harus membayar uang sogokan untuk mendapatkan pelayanan.

Bebani APBN

Lagi-lagi hasil pemekaran wilayah telah mereduksi dan mengebiri hakikat tujuan pemekaran itu sendiri. Tujuan pemekaran adalah memperpendek rentang kendali antara pengambil kebijakan dan masyarakat. Sebab, menurut R. Siti Zuhro, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 80% daerah otonomi baru menimbulkan masalah.

"Hasil evaluasi Depkeu terhadap 145 daerah otonomi baru menunjukkan sekitar 80% tidak berdampak positif, baik dalam konteks pelayanan publik maupun kesejahteraan masyarakat," kata dia kepada Lampung Post di Jakarta, kemarin.

Dampak buruk pemekaran, papar Zuhro, antara lain sangat membebani ABPN. Mayoritas (86%) sumber pendapatan APBD kabupaten/kota dan 53% APBD provinsi berasal dari dana perimbangan yang dialokasikan Depkeu. "Tentu ini sangat memberatkan APBN karena mereka belum dapat membiayai operasionalnya sendiri." Apalagi sebagian besar alokasi APBD (58%) hanya untuk belanja pegawai, sedangkan biaya pembangunan daerah cuma 21%.

Zuhro menyarankan Depdagri mengambil langkah strategis demi penyelamatan sistem otonomi. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah 78/2007 tentang Tata Cara Pembentukan dan Penggabungan Daerah Otonom, daerah yang belum menunjukkan peningkatan harusnya digabung lagi. "Kewenangan penataan daerah berada di pemerintah pusat melalui Depdagri," tegasnya.

Ia mengusulkan kewenangan pemekaran wilayah sepenuhnya di tangan eksekutif. Tidak seperti selama ini, DPR ikut mengusulkan pemekaran sehingga semuanya menjadi amburadul. "Kepentingan politis di DPR akan sangat memengaruhi," ujar Zuhro.n MI/U-2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar