Minggu, 22 Februari 2009

Keunggulan Lokal yang Tidak Terwujud

SAAT ini, sudah saatnya pemerintah menghentikan laju pemekaran daerah. Kasus yang menimpa Ketua DPRD Sumatra Utara Abdul Aziz Angkat menuai banyak tuntutan agar pemerintah mengevaluasi pemekaran daerah ini.

Filosofi pemekaran yang bertujuan mengembangkan local competitiveness di bidang ekonomi bagai api yang kian jauh dari panggang. Hal ini setidaknya didukung oleh evaluasi Depdagri atas 148 daerah pemekaran, Depdagri menyatakan 80% di antaranya bermasalah dan termasuk kategori gagal. Selain itu, peningkatan jumlah daerah dinilai telah membebani anggaran negara. Pasalnya, negara harus menyediakan dana alokasi umum (DAU) bagi setiap daerah. Selama periode 1999-2007, terdapat 173 daerah pemekaran, terdiri atas 7 provinsi, 135 kabupaten, dan 31 kota.

"Negara kita tidak akan maju jika daerahnya tidak bisa diandalkan. Tadinya kan kita pikir bahwa desentralisasi akan meningkatkan local competitiveness secara ekonomi, tapi ternyata setelah delapan tahun, itu tidak juga terwujud," kata peneliti di Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr. R. Siti Zuhro, M.A., ketika ditemui di rumahnya di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis (19/2).

Menurut dia, kini pemerintah harus bekerja keras membangun desain pemekaran dan penggabungan daerah secara simultan. Penggabungan daerah dalam sejarah Indonesia memang belum pernah terjadi. Namun, pemerintah sudah saatnya tegas terhadap pemerintah daerah -- baik hasil pemekaran maupun bukan-- yang tidak memenuhi skor prestasi atau skor kinerja, untuk memberikan kartu penalti berupa penggabungan.

"Dalam sejarah, memang belum pernah terjadi. Ini akan sensitif, tapi ini yang harus dilakukan karena dengan makin banyak daerah kecil, itu membebani negara," katanya.

Zuhro yang sering dimintai pendapat oleh Depdagri itu mengatakan, kini pemerintah sedang sibuk menentukan jumlah ideal pemerintah daerah. Selain itu, parameter penggabungan dan pemekaran juga turut menjadi pembahasan utama. "Dalam UU, tidak hanya diatur pemekaran, tapi penggabungan, bahkan penghapusan. Saat ini pemerintah masih sibuk menentukan jumlah, parameter daerah harus dimekarkan dan digabung, ini yang sedang difokuskan," ucapnya.

Penggabungan daerah akan menimbulkan beberapa konsekuensi, dari mulai yang bersifat administratif hingga masalah politik. Singkatnya, kepala daerah/elite sekaligus masyarakatnya harus mampu lapang dada menggabungkan daerahnya jika skor kinerja pemerintah daerahnya tidak memenuhi standar. Parameter paling penting dalam penilaian kinerja pemda adalah skor pengentasan kemiskinan dan pelayanan publik.


Perkuat peran gubernur



Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia tergolong bebas dan miskin pengawasan. Di wilayah provinsi, otonomi daerah hampir melibas habis fungsi dan peran gubernur sebagai kepala daerah. Baik UU No. 22 tahun 1999 maupun UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dianggap tidak cukup memberi payung hukum bagi gubernur untuk menyupervisi pemerintah kabupaten/kota.

Di era otonomi daerah, gubernur tergolong tidak punya basis rakyat secara langsung. Perannya untuk bersentuhan langsung dengan rakyat terhalang pemerintahan daerah tingkat kabupaten/kota yang lebih berwenang. "Pemprov dan gubernur terkesan mandul karena payung hukumnya tidak memberi dia kejelasan fungsi, peran, dan posisi dia.

Jika gubernur dianggap sebagai perpanjangan pemerintah pusat, maka harus dilengkapi supporting staff, supporting system, dan dana," katanya.

Penguatan peran gubernur sebagai perpanjangan pemerintah pusat pada ujungnya akan berkonsekuensi pada penghapusan pilgub langsung. Gubernur dipilih oleh DPRD provinsi dengan pengarahan dari presiden.

"Saya mengusulkan untuk gubernur, karena tidak punya rakyat langsung, dan dia sebagai koordinator dan pengawasan, maka dia lebih tepat dipilih oleh DPRD," katanya.

Di level provinsi, tidak ada lagi pilkada karena posisi gubernur akan diletakkan sebagai wakil pemerintah pusat. "Ini kerangkanya untuk menjaga kedaulatan juga. Ancaman kedaulatan kita bukan ancaman dari luar negeri, tapi kegagalan otonomi daerah ini," ungkapnya.

Setelah peran gubernur diperkuat, di tingkat pusat sendiri perlu dibentuk komisi yang berfungsi mengawasi, menyupervisi ketat pelaksanaan otonomi daerah. Jadi, usul pemekaran itu tidak bisa lagi main-main. Elite daerah yang menginginkan pemekaran harus mampu meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dalam time schedule yang ditentukan.

"Ya, komisinya semacam KPK sekarang lah. Harus tegas, ketat, mengawasi pelaksanaan otonomi daerah," tuturnya.

Tiga hal yang diungkapkan Zuhro, yaitu penggabungan daerah, penguatan peran gubernur, dan pembentukan komisi otonomi daerah, adalah tiga gagasan utama yang menjadi nuansa revisi UU No. 32 tahun 2004. Zuhro yang duduk sebagai tim ahli perumus revisi UU tersebut merasa optimistis hal itu bisa menjadi jalan keluar dari otonomi daerah yang belakangan mencoreng demokrasi lokal dan tidak serta merta mewujudkan rakyat yang sejahtera. (Lina Nursanty/"PR") ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar