Senin, 20 Desember 2010

SUMBANGAN PARTAI - Peneliti Senior LIPI: Tepat, Negara Biayai Partai

Laporan: Yayan Sopyani Al Hadi

RMOL. Ideal dan seharusnya partai politik tidak menjadikan lembaganya sebagai wadah korupsi, dan juga bukan tempat berlindungnya para koruptor.

Demikian disampaikan peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, kepada Rakyat Merdeka Online, beberapa saat lalu (Senin, 20/12).

Pernyataan Siti Zuhro ini menanggapi salah satu poin yang disahkan DPR dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 2/2008 tentang Partai Politik adalah dana sumbangan partai. DPR, Kamis malam (16/12), menetapkan UU baru yang menaikkan batas maksimum sumbangan oleh perusahaan dan atau badan usaha, dari Rp 4 miliar menjadi Rp 7,5 miliar dalam satu tahun anggaran. Sementara untuk sumbangan perorangan tetap maksimum Rp 1 miliar per tahun anggaran.

"Dengan pengelolaan dana yang sejauh ini kurang transparan dan kurang akuntabel, ini akan mengundang opini publik dan perdebatan atas isu tersebut. Bila para elite dan politisi partai politik sepakat bahwa Pemilu 2014 akan menghadirkan politik yang relatif bersih, bukan semata-mata politik transaksional atau politik uang (vote buying) saja, perlu adanya konsistensi antara keinginan tersebut dengan payung hukum atau UU yang memayunginya. Artinya, jangan sampai UU memberikan peluang pada partai untuk makin memarakkan penggunaan politik uang dalam Pemilu dan dalam membangun demokrasi di Indonesia," kata Siti Zuhro.

Oleh karena itu, menurut Siti Zuhro, masalah dana partai ini harus diatur secara jelas dan tegas serta tidak boleh menimbulkan interpretasi ganda.

"Dilema yang dihadapi selama ini adalah, seberapa besar partai diizinkan mendapatkan sumbangan dana dan dari mana saja? Lantas bagaimana pertanggunjawabannya ke publik, apakah ada transparansi dalam pengelolaanya tersebut?" kata Siti Zuhro mempertanyakan.

Menurut Siti Zuhro, bila kesepakatan bangsa ini adalah membangun demokrasi dengan mempromosikan nilai-nilai keberadaban dan kesantunan serta menjunjung nilai-nilai budaya politik khas Indonesia, mestinya uang bukanlah yang paling diprioritaskan.

"Bila kita sepakat bahwa jangan sampai ada perselingkuhan tidak halal antara penguasa dan pengusaha dalam mengurus negara, mestinya bangsa Indonesia juga tidak akan sepakat bila partai politik berlomba-lomba menjadi tempat pundi-pundi dana dan rekayasa politik, yang hanya akan menguntungkan elite, tapi tetap akan menyengsarakan bangsa dan masyarakat Indonesia," tegas Siti Zuhro.

Sudah jelas bahwa dalam kasus Indonesia, lanjut Siti Zuhro, partai politik adalah mengemban amanat sebagai kekuatan pemersatu bangsa (uniting force), bukan pengoyak kedaulatan NKRI.

"Untuk itu, tepat kiranya bila negara membiayai dana partai sebagai penunjang utamanya. Kalaupun partai politik menerima dana dari luar, itu sifatnya hanyalah menunjang saja, bukan yang utama. Sehingga nilai nominal bantuan dari luar negara itu tidak harus besar. Ini penting, karena partai politik di Indonesia mengemban amanat konstitusi, dimana para kadernya akan menjadi pemimpin pemerintahan dan wakil rakyat (DPR, DPD, DPRD)," tambah Siti Zuhro.

Menurut Zuhro, nilai nominal yang tidak signifikan dari luar negara dimaksudkan, agar partai politik lebih berorientasi pada negara dan bangsa ketimbang sifat oportunis belaka untuk mengejar kekuasaan dan lalu mengeksploitasi kekuasaannya demi diri dan golongannya saja.

"Indonesia sudah lama merindukan para pemimpin yang memiliki jiwa negarawan (statemanship) yang mampu memajukan negara dan memberdayakan rakyat, agar memiliki harga diri sebagai warga negara," jelas Zuhro. [yan]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar