Kamis, 02 Desember 2010

Siti Zuhro: Pemilihan Langsung Itu Amanat Konstitusi

Siti Zuhro (Helmi/dok)
Politikindonesia - Debat tentang keistimewaan Yogyakarta menyeruak ke ruang publik. Ini terkait draf Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) Yogyakarta yang tengah difinalisasi oleh pemerintah, sebelum diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sebagian dari wacana yang terlontar itu cenderung emosional. Melebar kemana-mana, serta keluar dari substansi. Meski begitu, ada satu poin krusial yang jadi perdebatan. Apakah kepala daerah Yogyakarta nantinya akan ditetapkan, atau dipilih secara demokratis.

Dalam pandangan peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) DR.R.Siti Zuhro MA, wacana Gubernur DIY dipilih secara demokratis bukanlah hal baru. Memang ada landasan hukum yang mengaturnya. Baik di Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 maupun UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Karena itu, perdebatan seputar model keistimewaan Yogyakarta dalam RUUK itu jangan dilihat sebagai tindakan pemerintah mengobok-obok dan berupaya menghilangkan keistimewaan Yogya.

Doktor ilmu politik lulusan The Flinders University, Adelaide, Australia itu mengingatkan, draft RUUK yang disusun pemerintah tersebut, semata-mata demi untuk tetap meletakkan Yogyakarta sebagai sebuah daerah yang istimewa. Dengan ada landasan hukum sebagai payungnya.

Terkait perdebatan apakah Gubernur Yogya sebaiknya ditetapkan atau dipilih, Siti berpandangan, posisi Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam harus ditempatkan sebagai figur pemersatu bangsa. Dia beralasan dengan menempatkan mereka sebagai pemersatu bangsa, maka peranan dalam memimpin pemerintahan tidak lagi dominan. Pelaksanaan pemerintahan sehari-hari bisa dilaksanakan orang lain yang telah mendapatkan restu dari keduanya. Sedang mekanismenya dilakukan melalui pemilihan.

Kepada Sapto Adiwiloso dari politikindonesia.com, Siti mengemukakan pendapatnya tentang bagaimana mestinya keistimewaan Yogyakarta itu diakomodir dalam nilai-nilai demokratis. Sebuah penyelesaian secara arif, bermartabat dan tetap dalam kerangka harmonisasi menuju NKRI yang utuh dan kokoh. Berikut petikan wawancara dengan perempuan kelahiran Blitar 7 November 1959 itu, di Jakarta, Kamis pagi (02/12).

Apa tanggapan anda, soal RUUK DIY yang menjadi perbincangan heboh?

Jika dikembalikan dalam konteks menata secara makro daerah di Indonesia, itu menjadi domain pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri. Jadi, Presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara memiliki otoritas untuk bertanggung jawab menata daerah di Indonesia.

Dalam konteks menata daerah tersebut, UU sudah dikeluarkan. Indonesia juga sudah menjalankan otonomi daerah sejak 2001. Sesuai amanat undang-undang tersebut, beberapa daerah telah mendapatkan paket kekhususan dan keistimewaan. Seperti Daerah Istimewa Aceh, Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Ada yang belum rampung UU-nya, yakni tentang Otonomi Khusus Papua dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pandangan anda, substansi dari perdebatan RUUK DIY ini sebenarnya apa?

Persoalan sekarang kan tentang klausul Pemilukada langsung. Klausul itu sendiri merupakan amanat konstitusi. Konstitusi sendiri yang menyebutkan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis. Lalu aspek demokrasi itulah yang kita perdebatkan.

Saya termasuk tim perumus UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Di situ dimungkinkan adanya demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan. Dimana DPRD ikut berperan dalam menentukan kepemimpinan di daerah. Dalam konteks tersebut, jangan diartikan pemerintah tidak menghormati keistimewaan di Yogyakarta. Sangat jelas bahwa itu amanat konstitusi.

Bagaimana anda melihat perjalanan keistimewaan di Yogya?

Jika diperhatikan, ada dinamika dari periode ke periode, atau dari rezim ke rezim tentang bagaimana pusat mengartikan sebuah keistimewaan bagi Yogyakarta. Sejak dari rezim Soekarno hingga Soeharto. Lalu, dalam pada masa transisi dari Habibie, Gus Dur, Megawati hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dinamika itu tidak bisa dihindari dalam sebuah proses demokratisasi.

Pemilukada langsung yang merupakan konsekwensi diterapkannya UU No.32 Tahun 2004 itu diberikan dalam konteks otonomi daerah. Berarti Otonomi daerah sendiri merupakan keleluasaan untuk mengelola daerah sendiri. Jadi desentraliasi urusan-urusan yang menjadi milik daerah sekarang dikelola sendiri oleh daerah. Itu semua bagian dari proses demokratisasi juga.

Bagaimana dengan keistimewaan Yogyakarta sendiri?

Khusus untuk DIY, ada nilai-nilai keistimewaan yang harus dipertahankan. Semua harus menghormati itu. Akan tetapi bukan berarti dengan begitu kita mengikuti proses dinamika demokrasi itu sendiri. Jadi mesti dipilah-pilah, apa yang bisa dipertahankan dan apa yang harus disesuaikan.

Saya melihat ada hal yang krusial dalam persoalan DIY. Yaitu posisi Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam selaku Gubernur dan Wakil Gubernur DIY yang ditentukan melalui penetapan. Lalu seakan-akan harus diubah melalui pemilihan. Maka munculah resistensi.

Pemilihan langsung bagi kepala daerah di Yogyakarta sendiri kan sudah diwacanakan di era kepemimpinan Habibie. Dan sekarang Presiden SBY mewacanakan kembali. Tapi bukan berarti wacana tersebut harus ditanggapi dengan reaksional. Beda pendapat di alam demokrasi sesuatu yang wajar saja. Pemerintah juga boleh mengusulkan satu pilihan. Dan untuk mendapatkan kesepakatan perlu ada perdebatan-perdebatan guna mencari hasil yang terbaik.

Jadi bukan berarti solusinya lalu keluar dari NKRI. Kalau demikian justru namanya tidak demokratis. Sedikit-sedikit uringan-uringan, sedikit-sedikit harus separatis atau makar. Tidak seperti itu. Ini adalah proses ketatanegaraan kita yang memang harus disesuaikan dengan kebutuhan kondisi kekinian. Karena rezimnya sendiri memang sudah berbeda.

Jadi menurut anda ada pentahapan dalam dinamikanya?

Iya. DIY di era Orde Baru beda dengan Orde Lama. Demikian juga di era orde reformasi juga menampakkan ada geliat-geliat yang berbeda. Misalnya, ketika Sultan HB X naik ke mimbar mencalonkan atau dicalonkan sebagai Presiden pada Pilpres 2009. Ini kan juga bentuk dari dinamika tadi. Jadi harus fair menilainya. Pandangan kita pun harus kritis dan jernih.

Apa yang anda inginkan dari kepemimpinan di Yogyakarta itu?

Dalam pandangan saya, baik Sri Sultan Hemengku Buwono X dan Sri Paku Alam tetap menjadi tokoh panutan. Tidak terjebak sebagai partisan. Saya tak lelahnya mengingatkan hal ini dalam konteks ke-Indonesiaan, agar kedudukan keduanya pun tidak diseret-seret ke mana-mana

Perlu diingat, baik Sri Sultan Hamengku Buwono X maupun Sri Paku Alam itu bukan sekadar kepala wilayah atau kepala pemerintah setempat. Mereka itu simbol pemersatu bangsa. Bahkan oleh sebagaian rakyat dianggap sebagai manusia setengah dewa.

Bukankah masyarakat Yogyakarta merasa selama ini adem-adem saja dengan sistem penetapan?

Saya setuju dengan kenyataan itu. Tetapi ini kan tidak bisa serta-merta dipertahankan. Apakah kita harus kembali ke jaman sebelum Indonesia merdeka? Harus realistis.

Indonesia telah berubah sejak reformasi. Berkat andil para pejuang reformasi kebebasan setiap individu warganegara semakin terjamin. Sistemnya sudah lebih terbuka. Ada partisipasi aktif masyarakat, kritik dan saran juga semakin terbuka. Juga ada akuntabilitas tata kelola pemerintahan yang lebih transparan.

Kita harus memahami fakta sejarah bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai Raja di Ngayogyakarta Hadiningrat dan Sri Paku Alam sebagai Raja di Kasultanan Surakarta merupakan tokoh yang selama ini tak tersentuh (untouchable).

Jika posisi keduanya selaku Gubernur dan Wakil Gubernur DIY tetap mengacu dalam sistem penetapan, lantas bagaimana jika ternyata dalam menjalankan roda pemerintahan itu tersandung suatu tindak pidana atau terlibat skandal korupsi bagaimana penyelesaiannya? Apa karena tak tersentuh itu kemudian mau dibiarkan begitu saja?

Di sinilah konteks demokrasi itu diperlukan. Jadi jangan ditarik kemana-mana. Jangan pula dikaitkan bahwa di balik itu wacana perubahan itu ada konspirasi tertentu. Terlalu picik pandangan seperti itu.

Saya mau melihat persoalan ini dengan jernih. Bahwa dalam tataran demokrasi juga ada keistimewaan yang harus tetap dihormati. Persoalannya sekarang kan tinggal bagaimana proses renegosiasi itu dilakukan dalam kerangka NKRI.

Jadi menurut anda ini sebuah proses yang harus dilalui?

Iya. Indonesia sedang berproses menjadi NKRI yang utuh dan kokoh. Kita kan belum final sebagai NKRI. Jadi Indonesia ini masih dalam proses menjadi. Karena dalam proses tersebut, kita butuh demokrasi yang damai, harmonis dan lebih bermarabat.

Jadi jika cara pandang itu tidak diubah, saya justru khawatir daerah lain yang telah diberikan keistimewaan atau kekhususan juga akan menuntut hak yang sama. Yakni kepala daerahnya tidak dipilih tetapi ditetapkan.

Bahwa DIY itu kental dengan kesultanan itu kita hormati. Tetapi bagaimana mereka juga beradaptasi dengan kondisi yang ada. Karena memang itu amanat konstitusi dan juga undang-undang. Jadi tidak ada yang mau memaksakan dan dipaksakan dalam persoalan ini. Karena itu sebenarnya jika dipahami secara benar, tidak ada permasalahan.

Faktanya ada muncul resistensi, kenapa?

Resistensi itu muncul karena ada kesenjangan komunikasi antara pusat dan daerah. Walaupun saya tidak begitu setuju dengan dikotomi pemerintahan pusat-daerah. Karena pada hakikatnya semua level pemerintahan itu kerangkanya adalah kepentingan nasional.

Kita lihat di era Orde Baru itu ada hubungan pusat dan daerah yang “dipaksakan”. Era semacam itu sudah berubah. Tetapi kan tidak berarti daerah bisa seenaknya sendiri menentukan aturan-aturan main yang menjadi domain pemerintah. Apalagi sekarang dengan sistem multi partai dengan kepentingan dan agendanya ini luar biasa. Kita terseret kemana?

Tapi mengapa resistensinya menjadi besar?

Bukan membesar tetapi sudah menjadi bola liar. Kita tidak ingin bola liar ini menjadi-jadi. Peran pers sangat besar. Kalau bola liar ini semakin ditiupkan pers, maka pers tidak mendukung proses demokrasi. Kita harus mendorong individu-individu untuk duduk bersama menyampaikan pendapatnya.

Jadi solusinya menurut anda?

Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam tetap harus ditempatkan sebagai figur pemersatu. Biarlah mereka berdua tetap menjadi benchmark bagi keistimewaan itu sendiri. Keduanya tetap sebagai kepala wilayah. Lalu pemerintahan sehari-hari dilaksanakan orang lain. Tetapi tidak terlepas sama sekali dari keduanya. Jadi itu merupakan penghormatan kita terhadap keistimewaan.

Saya cenderung berpendapat Sri Sultan dan Paku Alam tidak menjadi pejabat politik. Itu justru akan menghilangkan unsur keistimewaan. Saya khawatir jika mereka berpolitik, akan terseret arus politik ke sana kemari. Atau bahkan menjadi sasaran tembak.

Tapi sekali lagi, ini baru pendapat saya. Ini kan wacana, kalau wacana, ending-nya tidak harus emosional. Ini kan cara kita bersepaham. Dalam skala pemerintahan nasional, ini merupakan pertaruhan karena sekali salah menerapkan akan menjadi role model yang yang membahayakan. Karena akan berimplikasi daerah-darah lain. Dan daerah lain akan mengikuti cara-cara yang inkonstitusional tadi.

Di luar itu ada yang ingin anda sampaikan?

Saya hanya ingin menyinggung pengistilahan pemerintah pusat – pemerintah daerah. Karena di era otonomi itu baik pemerintah pusat maupun daerah itu sebetulnya merupakan satu kesatuan dari pemerintah nasional. Hal ini sesuai amanat pembukaan UUD 45 alinea empat

Semua jenjang pemerintahan itu mewakili kepentingan nasional. Ya pemerintah pusat, provinsi, kabupaten kota. Karena konstitusi yang mengatakan itu.

Dengan termonologi itu maka pengretian pemerintah pusat tidak lagi hanya diartikan Presiden. Itulah mengapa muncul resistensi. Pemahaman ini harus diubah karena degan multipartai daerah menjadi merah kuning biru. Itu harus dipahami. Jadi kalau presiden mengatakan kepentingan nasional itu justru itu yang harus didukung.
(Sapto Adiwiloso/yk)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar