Selasa, 21 Desember 2010

Pemilukada Jangan Ditarik Mundur

Siti Zuhro (Helmi/dok)
Politikindonesia - Wacana Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) melalui sistem perwakilan atau melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terus menggelinding. Bagi pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, hal itu merupakan langkah mundur. Pemilukada langsung jangan dimentahkan, karena letak persoalan bukan pada sistemnya. Tetapi, bagaimana konsolidasi penyelenggaraan Pemilukada dilakukan.

Pendapat itu dikemukakan Siti Zuhro, kepada wartawan, Selasa (21/12). Siti menambahkan berbagai alasan yang dikemukakan terkait sistem perwakilan itu, tidak bisa melegitimasi bahwa sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD dapat diberlakukan.

Dalam kacamata Siti, sistem perwakilan tidak terbukti akan mampu mengikis politik uang, karena transparansi akan sulit terjaga. Bahkan, Pemilukada melalui sistem perwakilan hanya akan menjadi pemilu yang bersifat elitis.

Diakui banyak kasus tuntutan mengenai hasil pemilukada. Menurutnya, dari 244 kasus yang masuk ke Mahkamah Konstitusi (MK), hanya 179 yang berhasil diselesaikan. Namun, tak berarti sistem pemilihan lewat DPRD dapat memperkecil berbagai masalah yang muncul.

Bagi Siti, kesalahan pertama yang perlu dibenahi adalah sistem penyelenggaraan, partai politik dan pasal-pasal dalam UU Pemilukada. "Kalaupun mau mengganti sistem langsung, yang lebih membutuhkan justru kabupaten."

Hal itu didasarkan pada pertimbangan level edukasi masyarakat di kabupaten, dapat mendukung usulan pemberlakuan sistem pemilihan lewat DPRD. Namun dia menekankan, perlu ada pasal tambahan yang membatalkan hasil putusan jika ada aduan mengenai pelanggaran pelaksanaan pemilukada.

Senada dengan Siti, Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Agung Pambudhi, mengatakan, pengubahan sistem dari langsung menjadi pemilihan lewat DPRD tak menjamin akan menghilangkan politik uang maupun konflik horizontal di daerah. Menurutnya, tak ada jaminan bahwa anggota DPRD tidak bermain politik uang.

"Kalau dikatatakan dapat mengurangi pengeluaran dari pemerintahan, tidak ada jaminan. Kalau mengurangi biaya yang dikeluarkan kandidat mungkin iya, tapi politik uang tidak jaminan bisa berkurang," ujarnya.

Tentang konflik horizontal, pemilihan melalui DPRD pun, menurut Agung, tak dapat dipastikan akan mengurangi potensi konflik.

Menurutnya, kondisi dan karakter masyarakat pemilih sangat plural menyebabkan potensi konflik pun menjadi relatif. Namun tak ada jaminan bahwa dengan mengganti sistem lansung akan mengurangi potensi konflik.

"Malah, masyarakat yang sudah terbiasa dengan sistem langsung, akan merasa tidak puas dengan kembali lewat DPRD. Ini malah bisa menimbulkan rusuh juga," kata Agung.

Solusi yang lebih signifikan dalam pengaturan sistem pemilu kada, menurut Agung, adalah dengan menyelenggarakan sebuah paket pemilu yang serentak, pemilu presiden, gubernur, dan bupati/kota. Dengan begitu menurutnya, penghematan biaya dapat dilakukan dan dapat mengurangi polarisasi di masyarakat akibat penyelenggaraan yang berkali kali.

Sebelumnya, juru bicara Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Reydonnyzar, mengatakan, sistem pemilihan kepala daerah langsung berimplikasi pada netralitas birokrasi. "Itu menyebabkan netralitas birokrasi di daerah terkotak kotak," ujar Donny, di Jakarta, Senin (20/12).

Menurutnya, kasus 18 pegawai negeri sipil (PNS) yang dilaporkan ke Kemenddagri karena dugaan ketidaknetralan dalam pemilukada merupakan salah satu contohnya. Donny menambahkan, pola sistem pemilihan langsung dapat menyebabkan PNS di daerah hanya menjadi alat birokrasi kepala daerah. Mereka, katanya, menganggap loyalitas hanya pada kepala daerah, sehingga bersikap tidak netral.

Wacana pemilihan gubernur oleh DPRD pun diajukan pemerintah dengan alasan, mahalnya ongkos yang harus dikeluarkan setiap peserta pemilukada, sehingga berimplikasi pada politik uang, serta menyebabkan kerawanan konflik horizontal.

Menurut Donny, sistem pemilihan melalui DPRD dapat mengurangi potensi konflik horizontal akibat pengerahan massa atau mobilisasi. Donny mengatakan, rencana pengubahan tersebut pun bertujuan untuk mengurangi kendala yang timbul terkait profesionalitas dan independensi penyelenggara, serta peran pengawas pemilukada.

Lebih jauh ia mengatakan, pemerintah pun bermaksud mengurangi potensi politik uang dengan mengembalikan sistem tersebut. Menurutnya potensi politik uang itu dapat diminimalisir melalui regulasi.
(sa/bhm/yk)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar