Rabu, 22 Desember 2010

MEMBACA UU PARTAI POLITIK: Oligarki-kah Sistem Politik Kita?

Laporan: Yayan Sopyani Al Hadi



SBY-BOEDIONO/IST

RMOL. Keputusan DPR mendapat kritik dari para pengamat, juga dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Keputusan DPR yang baru seumur jagung itupun menuai badai. Sebagian kalangan siap menantang DPR di depan meja sidang Mahkamah Konstitusi (MK) melalui judicial review.

Keputusan DPR itu terkait dengan Undang-Undang (UU) Partai Politik. Pekan lalu (Kamis, 16/12), DPR mensahkan Perubahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 2/2008 tentang Partai Politik menjadi UU Partai Politik yang baru.

Dalam salah satu poin UU yang baru itu disebutkan bahwa batas maksimum sumbangan oleh perusahaan dan atau badan usaha kepada partai berubah dari yang tadinya Rp 4 miliar menjadi Rp 7,5 miliar dalam satu tahun anggaran. Sementara untuk sumbangan perorangan tetap maksimum Rp 1 miliar per tahun anggaran.

Jumlah sumbangan ini langsung dikritik oleh Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Yuna Farhan. Menurut Yuna, UU yang baru ini memperkuat oligarki dan memperkokoh pengusaha di gelangang politik. Akhirnya bicara politik adalah bicara tentang siapa yang memiliki pundi dana terbesar.

Akhirnya, sebagaimana ditegaskan Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jeiry Sumampow, proses demokratisasi dikuasi oleh para pemilik modal. Para pengusaha besarlah yang akan menguasai partai, bukan para pemilik gagasan dan ide kebangsaan yang cemerlang.

Lebih berbahaya dari itu, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bibit Samad Rianto, mencurigai akan ada kepentingan pengusaha yang disalurkan melalui kebijakan dan legislasi dari politisi. Tak ayal, Bibit pun bersuara lantang: UU politik yang baru itu akan membuka peluang praktik korupsi.

Pernyataan tajam dari Bibit ini mendapat serangan balik dari Senayan. Anggota Komisi II dari Fraksi Partai Golkar, Agun Gunanjar Sudarsa, heran dengan pernyataan Bibit yang merendahkan derajat partai politik yang seolah-olah membuka ruang untuk korupsi.

"Makanya, tolong bilang sama Bibit, baca dulu UU-nya. Jangan hanya seminar dan cari popularitas saja. Kapan bekerjanya? Jangan merasa hebat sendiri. partai itu bukan (maaf) anjing burik, yang ditendang-tendang dan harus dibunuh dengan mengatakan ada potensi untuk korupsi. Proporsional saja," tegas Agun.

Anggota Komisi II dari Fraksi Partai Demokrat, Khatibul Umam Wiranu, merinci UU tersebut. Bab XV Ayat 1 UU Parpol tentang keuangan menyebutkan bahwa keuangan parpol berasal dari (a)iuran anggota, (b)sumbangan yang sah menurut hukum, dan (c) bantuan keuangan melalui APBN atau APBD. Ayat 2 menyebutkan bahwa sumbangan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 huruf (b) dapat berupa uang, barang, dan atau jasa. Ayat 3 menyebutkan bahwa bantuan keuangan dari APBN atau APB sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 huruf (c) diberikan secara proporsional kepada parpol yang mendapat kursi di DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupten atau kota yang perhitungannya berdasarkan jumlah perolehan suara. Sedangkan Ayat 4 menyebutkan bahwa bantuan keuangan kepada Parpol sebagaimana dimaksud pada Ayat 3 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Penjelasan Wiranu ini pun diyakini tidak bisa menghindari kecurigaan dari publik. Peniliti senior LIPI, Siti Zuhro, mengurai itu. Katanya, dengan pengelolaan dana yang sejauh ini kurang transparan dan kurang akuntabel, ini akan mengundang opini publik dan perdebatan atas isu tersebut. Bila para elite dan politisi partai politik sepakat bahwa Pemilu 2014 akan menghadirkan politik yang relatif bersih, bukan semata-mata politik transaksional atau politik uang (vote buying) saja, perlu adanya konsistensi antara keinginan tersebut dengan payung hukum atau UU yang memayunginya. Artinya, jangan sampai UU memberikan peluang pada partai untuk makin memarakkan penggunaan politik uang dalam Pemilu dan dalam membangun demokrasi di Indonesia

Sementara itu, Ketua DPP Partai Hanura, Yuddy Chrisnandi mengatakan, daripada selama ini sumbangan dialirkan secara diam-diam, memang lebih baik diatur melalui UU sehingga mendapat payung hukum.

"Daripada selama ini diam-diam, parpol besar menghimpun dana besar entah darimana, lebih baik dibuka saja kran pendanaan yang diatur Undang-Undang (UU), sehingga semua parpol punya kesempatan yang sama untuk menghimpun dana. Biarkan parpol tumbuh dan berkembang selaras dengan aspirasi masyarakat dengan kemandiriannya," kata Yuddy.

Pertanyaan selanjutnya, benarkah partai politik akan mandiri dengan mendapat sumbangan dari pengusaha? Benarkah tidak ada kepentingan dalam setiap dana yang dikucurkan dengan konpensasi kebijakan yang lahir dari Senayan? Anggota Komisi II dari PDI Perjuangan, Ganjar Pranowo, menjelaskan dua karakteristik para penyumbang.

Pertama penyumbang yang memang simpati, empati, atau satu ideologi dengan partai. Mereka tertarik dengan kegiatan dan program partai yang bagus untuk rakyat. Partai dirasakan telah memperjuangkan aspirasi mereka.

Kedua, penyumbang yang memang memiliki interest kepada partai. Misalnya kalau dia rakyat biasa, menyumbang karena ingin hidup lebih baik, maju, dan sejahtera sedangkan kalau pengusaha, misalnya, ingin agar dalam program partainya bila berkuasa adalah mengurangi biaya pajak.

Ganjar yakin tidak ada korelasi antara penyumbang dengan praktik korupsi politisi. Namun Ganjar juga tidak menafikan sisi negatif dari sumbangan tersebut.

"Bagi pengusaha besar Rp 4 miliar itu sedikit. Nah akan menjadi negatif kalau misalkan, ada pengusaha hitam menyumbang untuk menutupi kejatahan ekonomi. Untuk itu, makanya perlu pengawasan dan audit," tambah Ganjar.

Audit memang satu-satunya jalan yang diyakini para politisi untuk menghindari praktik korupsi dan membongkar "ada kepentingan di balik sumbangan" dari para pengusaha. Soal auidit dan transparansi ini juga disampaikan oleh Wakil Sekjen DPP PAN, Viva Yoga Mauladi.

"Partai politik perlu transparan dalam soal anggaran karena Parpol adalah institusi demokrasi," tegas Viva.

Namun menanggapi ini, kembali Jeiry Sumampow menunjukan sinismenya.

"Itu lucu. Alasan diplomatis saja. Kita ini kan tidak bisa ditipu-tipu. Mereka membuat aturan yang kita dan mereka tahu selama ini mereka juga tidak pernah mempraktikannya. Partai mana sih yang laporan keuangannya transparan. Justru ini akan melibatkan korupsi internal partai juga akan menguat dan yang tidak punya uang akan tersingkir," demikian Jeiry.

Lalu bagaimana idealnya pembiayaan partai ini? Bibit Samad Rianto memberikan usulan. Biaya partai politik lebih baik ditanggung oleh negara. Usulan Bibit inipun diamini oleh Siti Zuhro dan Guru Besar Ilmu Politik dari UI, Valina Sinka.

"Idealnya, dana partai berasal dari iuran anggota dan negara. Apabila dari perusahaan dapat membuka peluang kolusi pengusaha dan politisi," kata Valina Singka.

Sementara Siti Zuhro memberikan gambaran, bila kita sepakat bahwa jangan sampai ada perselingkuhan tidak halal antara penguasa dan pengusaha dalam mengurus negara, mestinya bangsa Indonesia juga tidak akan sepakat bila partai politik berlomba-lomba menjadi tempat pundi-pundi dana dan rekayasa politik, yang hanya akan menguntungkan elite, tapi tetap akan menyengsarakan bangsa dan masyarakat Indonesia.

Sudah jelas bahwa dalam kasus Indonesia, lanjut Siti Zuhro, partai politik adalah mengemban amanat sebagai kekuatan pemersatu bangsa (uniting force), bukan pengoyak kedaulatan NKRI.

"Untuk itu, tepat kiranya bila negara membiayai dana partai sebagai penunjang utamanya. Kalaupun partai politik menerima dana dari luar, itu sifatnya hanyalah menunjang saja, bukan yang utama. Sehingga nilai nominal bantuan dari luar negara itu tidak harus besar. Ini penting, karena partai politik di Indonesia mengemban amanat konstitusi, dimana para kadernya akan menjadi pemimpin pemerintahan dan wakil rakyat (DPR, DPD, DPRD)," tambah Siti Zuhro.

Namun gagasan Bibit, Zuhro dan Valina Sinka ini kembali mendapat serangan balik dari senayan.

"Jika negara diharuskan membiayai partai politik, apakah negara mampu?" kata Ganjar mempertanyakan.

Agun Gunanjar juga mengingatkan bahwa publik tidak akan ikhlas jika partai dibiayai oleh negara. Apalagi tanggungan negara juga banyak dan selama ini rakyat tetap sengsara.

"Uang negara lebih produktif digunakan untuk kepentingan rakyat lainnya. Untuk ketahanan pangan, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Pendidikan 20 persen belum memadai untuk benar-benar gratis untuk wajar diknas sembilan tahun. Untuk kementerian pertahanan saja belum memenuhi Rp 100 triliun untuk minimum essential force," kata anggota Komisi II dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Almuzammil Yusuf.

Kita tunggu saja, apakah bara dalam UU ini akan berakhir ini di meja MK? Apa hasilnya jika dimentahkan MK? Pemilu sudah dekat, sementara dalam UU itu juga disebutkan partai politik harus sudah diverifikasi 2,5 tahun sebelum pemilu digelar. Sudikah DPR membahas ulang UU ini?

Jika MK menyetujui UU tersebut, kita lihat apakah partai akan betul-betul transparan sehingga bisa diaudit akundan independen dan badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Selama ini, bukankah sumbangan partai tanpa kwitansi dan tanda terima?

Kita semua berharap, Pemilu 2014 menghasilkan para politisi dan presiden yang memiliki jiwa negarawan (statemanship) serta mampu memajukan negara dan memberdayakan rakyat. Semoga![yan]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar