Minggu, 12 Desember 2010

Butuh Rp 281,73 Miliar Tutupi Kerugian Daerah BPK Temukan 1.246 Kasus Di 348 Laporan Keuangan Pemda



RMOL.Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan terdapat kekurangan setoran kerugian daerah ke kas daerah sebesar Rp 281,73 miliar.

Dari total kerugian daerah sebesar Rp 306,63 miliar itu, dalam catatan audit BPK pada semester I Tahun 2010 baru disetorkan uang atau penyerahan aset senilai Rp 24,90 miliar.

Total kerugian daerah itu berasal dari 1.246 kasus yang dike­tahui BPK setelah me­merik­sa 348 laporan keuangan daerah.

Menanggapi hal tersebut Ketua BPK, menjelaskan, setiap mela­kukan audit terhadap Ke­men­terian, Lembaga atau pun in­stan­si-instansi lainnya, BPK selalu mem­berikan kesempatan 60 hari ke­pada pihak terkait untuk mem­berikan klari­fikasi atau sang­ga­han. Hal itu bertujuan untuk me­mastikan keakuratan hasil te­muan dari BPK tersebut. “Hal itu kita lakukan sesuai dengan Un­dang-Undang Nomor 15 pasal 20 ayat 3 tahun 2004,” katanya ke­pada Rakyat Merdeka, di Jakarta, Jumat lalu.

Ke depan BPK berencana un­tuk memantapkan sinergi dengan setiap lembaga yang diaudit (auditi-red), dengan cara mem­buat MoU mengenai pengak­sesan data. Tujuannya untuk mem­per­mudah kinerja BPK dalam me­lakukan monitoring.

“Kita inginnya melakukan sinergi dengan semua auditi BPK, baik dalam hal finansial atau­pun bukan. Rencananya kita akan memantapkan link and match sehingga bisa menarik data secara online. Sekarang yang ter­wujud memang baru dengan Ke­men­dagri. Tapi bulan ini kita juga sudah berencana menambahnya,” bebernya.

Bekas Dirjen Pajak ini menam­bahkan, dengan menggunakan sis­tem online, selain untuk mem­permudah pembangunan pusat data, cara tersebut juga diyakini bisa menjamin transparansi hasil audit mereka.

“Dengan sistem online kita jadi mudah membangun pusat data. Kalau ada yang kurang kita ting­gal minta lagi kepada auditi. Ka­rena semuanya dilakukan secara online dan terbuka, maka hasil auditnya juga bisa lebih terja­min,” pungkasnya.

Saat ditanya mengenai sejauh mana wewenang BPK untuk me­nin­daklanjuti maraknya keru­gian yang terjadi di daerah, Hadi me­ne­gaskan, lembaganya hanya berwenang mengajukan reko­men­dasi kepada pihak-pihak terkait.

Apabila nantinya memang diindi­kasikan telah terjadi keru­gian daerah, maka sepenuhnya itu men­jadi wewenang para penegak hukum.

“Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 pasal 10 tahun 2004, BPK juga memiliki wewenang untuk mengaudit penggunaan Ang­garan Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Kalau memang hasil audit menyebutkan adanya ma­salah pidana dalam peng­gu­naan APBD di suatu daerah, ma­ka BPK akan merekomendasikan temuan tersebut ke aparat penegak hukum, seperti KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian,” tuturnya.

Kepala Biro Humas dan Luar Negeri BPK Bahtiar Arief menga­takan, kerugian daerah terjadi salah satunya akibat kelalaian pejabat.

“Kerugian Negara atau daerah diatur dalam Pasal 59 sampai de­ngan Pasal 67 Undang-Undang No­mor I Tahun 2004 tentang Per­bendaharaan Negara. Kerugian ne­gara dapat terjadi karena per­buatan melanggar hukum atau me­lalaikan kewajiban yang di­bebankan ke­pada ben­dahara atau pe­gawai atau pejabat yang me­rugikan keuangan negara,” katanya.

Bahtiar mengimbau, agar se­tiap Kepala Daerah sege­ra berupaya menutupi keru­gian negara yang terjadi jika su­dah ditemukan lembaganya. Bila tidak bisa diselesaikan secara damai maka bisa ditempuh dengan mengajukan gugatan secara hukum.

“Setiap pimpinan kementerian negara atau lembaga atau satker (satuan kerja) daerah dapat segera lakukan tuntutan ganti rugi setelah ketahui terjadinya keru­gian tersebut,” ujarnya.

Menurut Bahtiar, sebagai pe­nanggung jawab terhadap ke­rugian daerah itu adalah ben­dahara dan pimpinan daerah. “Un­tuk kerugian negara oleh bend­ahara, penetapan ganti rugi dite­tapkan oleh BPK. Selain ben­dahara (yang bertanggung jawab juga) oleh menteri atau pimpinan lembaga atau Gubernur atau Bupati, atau Walikota,” jelasnya.

Juru Bicara Kementerian Dalam Negeri, Reydonnizar Moenek mem­benar­kan masih ba­nyak­­nya ka­­sus keru­gian di daerah. Namun jika dilihat dari data statistik, saat ini sudah ada perbaikan. “Secara grafik ada perbaikan,” ung­kapnya.

Dijelaskannya, opini LKPD Tahun 2009 menunjukkan adanya kenaikan proporsi opini WTP (wajat tanpa pengecualian), dan WDP (wajar dengan depenge­cualian) dibandingkan Tahun 2008 dan 2007. Sementara itu, proporsi opini TW Tahun 2009 menun­jukkan kenaikan diban­ding­kan Tahun 2008 akan tetapi di­bandingkan Tahun 2007 me­nunjukkan penurunan. Proporsi opini TMP LKPD Tahun 2009 menunjukkan penurunan diban­dingkan Tahun 2008 dan 2007.

“Hal ini menunjukkan adanya perbaikan pertanggungjawaban keuangan pemerintah daerah dalam menyajikan suatu laporan keuangan secara wajar,” tuturnya.

Pria yang akrab disapa Donny ini menjelaskan, persoalan dasar yang menyebabkan banyak keru­gian daerah adalah adanya keti­dak­beresan dalam hal penataan aset.

Sebagai pengguna anggaran, pemerintah daerah selama ini kurang memperhatikan ke­leng­­kapan dokumen resmi. Se­­hingga sulit untuk dilakukan pengu­kuran, dan penilaian.

“Penataan aset yang kurang mum­puni menye­babkan mayo­ritas LKPD disclai­mer. Harus ada rekapitalisasi aset pada belanja modal. Artinya, sejumlah penge­luaran harus diikuti dengan belanja barang. Kita sedang mendorong penge­lolaan aset di daerah”, tuturnya.

Tak hanya itu, kata dia, kele­mahan sistem penyeleng­garaan anggaran, dan sistem pengen­dalian internal juga turut andil dalam kerugian di daerah.

Selain itu, minimnya penga­wasan, dan belum menadainya peren­canaan anggaran mem­perrumit keadaan. Hal itu diper­parah dengan masih kurangnya kualitas, dan kompetensi SDM yang belum memadai.

Supaya masalah seperti ini tidak terus belanjut, Kemendagri telah menyediakan langkah-lang­kah strategis. Misalnya, me­lakukan perbaikan terhadap re­gulasi keuangan daerah. Regulasi yang ada akan di-review, dan disem­purnakan. Kemudian memperbaiki penatan kelem­ba­gaan. Caranya adalah dengan mem­perkuat pola pembinaan SDM, dan pengelolaan keuangan daerah.

“Cara berikutnya kita akan meningkatkan kualitas hubungan kelembagaan antara Pemda de­ngan DPRD, dan melakukan koor­dinasi antara lembaga,” te­rangnya.

Selanjutnya, sambung dia, mengembangkan sistem infor­masi keuangan daerah. Hal itu dilakukan dengan cara menyiap­kan semua infrastruktur yang dibutuhkan, sambil mengem­bang­kan kualitas SDM dengan cara mendampingi dalam mem­berikan pelatihan, dan sosialisasi mengenai masalah ini.

“Contohnya Pemda Papua yang meminta kita untuk mem­bantu memperbaiki kualitas SDM mereka. Itu menjadi tang­gung­jawab bersama,” pungkasnya.

Dijelaskan, Kemendagri juga meminta dari Pemda, dan DPRD untuk berkomitmen melaksana­kan program tersebut. Tambah lagi, sebagai fungsi pengawasan, Ke­mendagri juga meminta ke­pada DPRD untuk menindak­lanjuti setiap laporan badan peng­awas (BPK), dan meminta BPLH untuk mengizinkan BPK mela­kukan investigasi apabila diper­lukan.


“Peran Pemprov Nyaris Nggak Ada”

Siti Zuhro, Pengamat Politik LIPI

Pengamat Politik dari Lem­baga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro mengaku, tidak he­ran dengan adanya temuan BPK yang menyebutkan marak­nya kerugian daerah, karena itu ma­salah klasik. “Masalah seperti itu sudah dari dulu terjadi,” katanya, kemarin.

Menurutnya, penyebab utama maraknya kasus kerugian di daerah adalah lemahnya penga­wasan terhadap aparat di daerah. Meskipun secara regulasi sudah ada ketentuan untuk menindak tegas aparat, namun karena tidak adanya pengawasan yang baik dari pusat, undang-undang itu jadi mubazir.

“Karena kontrol terhadap pemerintah daerah lemah, sampai saat ini kasus-kasus korupsi ber­jamaah masih terus terjadi,” tuturnya.

Siti menilai, selama ini pe­merintah daerah tidak memiliki ke­mauan untuk membuat pro­gram yang benar-benar di­bu­tuhkan, demi kepentingan rakyat.

Menurutnya, anggaran daerah yang ada tidak pernah digunakan dengan semestinya. Kebanyakan hanya dihabiskan untuk program-program kecil yang tidak jelas.

“Peran pemerintah provinsi nyaris nggak ada. Mereka hanya menjadi perpanjangan tangan pemerintah pusat. Sementara itu Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah yang bertugas mengawasi daerah-daerah otonomi juga mandul,” paparnya.

Untuk memperbaiki situasi itu, kata dia, Siti Zuhro berharap supaya Kemendagri bisa lebih pro aktif. Lembaga yang diko­man­doi Gamawan Fauzi itu tidak cu­kup hanya memberikan ban­tuan dengan membina SDM-SDM di daerah.

Menurutnya, Kemendagri bisa mengevaluasi Peraturan Peme­rin­tah Nomor 6 tahun 2008 ten­tang pedoman evaluasi penye­leng­garaan pemerintahan daerah, dan membuat tingkatan-tingkatan penilaian terhadap kinerja pemda.

“Buat grade tertentu berda­sar­kan kinerjanya. Pemerintah daerah yang kinerjanya dianggap bagus, kasih reward (peng­hargaan). Sedangkan yang buruk, beri punishment,” tuturnya.


“Jangan Dibiarkan Saja”

Chairuman Harahap, Ketua Komisi II DPR

Setiap temuan atau hasil pe­meriksaan Badan Pemeriksa Ke­uangan (BPK) atas Laporan Ke­uangan Pemerintah Daerah (LKPD) harus ditindaklanjuti. Se­kecil apapun kesalahan yang di­temukan, maka harus ada tindakan un­tuk memperbaikinya, termasuk pemberikan sanksi tegas.

“Jika BPK menemukan ada­nya pelanggaran di setiap LKPD maka wajib ditindaklanjuti. Apa­kah itu pelanggaran admi­nis­tratif, dugaan korupsi, atau ma­nipulasi. Dengan demikian, rekomendasi BPK tidak akan sia-sia,” kata Ketua Komisi II Chairuman Harahap, kemarin.

Chairuman menjelaskan, BPK harus membuat pemerik­saan terperinci alias audit inves­tigatif atas setiap temuannya agar men­dapatkan hasil yang maksimal.

“Kalau audit secara umum saja ya itu menjadi rumit. Harus jelas pelaku, jumlah kerugian, di­mana saja dan seperti apa tin­dakannya,” ucapnya.

Politisi Partai Golkar ini berharap agar setiap temuan BPK di LKPD segera dikoor­di­nasikan dengan lembaga pe­negak hukum, khususnya yang berkaitan dengan temuan yang berindikasi tindak pidana.

“Jika sifat pelanggarannya administratif maka bisa dituntut ke perbendaharaan daerah, namun kalau sudah berupa manipulasi dan adanya dugaan tindak pidana korupsi maka harus disidik, diproses secara hukum,” katanya.

Bekas jaksa ini menegaskan, segala bentuk kerugian negara yang terjadi di LKPD mesti segera dikembalikan ke negara. “Bila memang terjadi kesalahan pengelolaan di daerah, maka jangan dibiarkan begitu saja. Temuan BPK yang menunjuk­kan adanya kelebihan pem­ba­yaran atau adanya menipulasi kontrak atau apapun yang merugikan keuangan negara, segera dikem­balikan,” ucapnya. [RM]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar