|
RMOL.Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan terdapat kekurangan setoran kerugian daerah ke kas daerah sebesar Rp 281,73 miliar.
Dari total kerugian daerah sebesar Rp 306,63 miliar itu, dalam catatan audit BPK pada semester I Tahun 2010 baru disetorkan uang atau penyerahan aset senilai Rp 24,90 miliar.
Total kerugian daerah itu berasal dari 1.246 kasus yang diketahui BPK setelah memeriksa 348 laporan keuangan daerah.
Menanggapi hal tersebut Ketua BPK, menjelaskan, setiap melakukan audit terhadap Kementerian, Lembaga atau pun instansi-instansi lainnya, BPK selalu memberikan kesempatan 60 hari kepada pihak terkait untuk memberikan klarifikasi atau sanggahan. Hal itu bertujuan untuk memastikan keakuratan hasil temuan dari BPK tersebut. “Hal itu kita lakukan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 15 pasal 20 ayat 3 tahun 2004,” katanya kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, Jumat lalu.
Ke depan BPK berencana untuk memantapkan sinergi dengan setiap lembaga yang diaudit (auditi-red), dengan cara membuat MoU mengenai pengaksesan data. Tujuannya untuk mempermudah kinerja BPK dalam melakukan monitoring.
“Kita inginnya melakukan sinergi dengan semua auditi BPK, baik dalam hal finansial ataupun bukan. Rencananya kita akan memantapkan link and match sehingga bisa menarik data secara online. Sekarang yang terwujud memang baru dengan Kemendagri. Tapi bulan ini kita juga sudah berencana menambahnya,” bebernya.
Bekas Dirjen Pajak ini menambahkan, dengan menggunakan sistem online, selain untuk mempermudah pembangunan pusat data, cara tersebut juga diyakini bisa menjamin transparansi hasil audit mereka.
“Dengan sistem online kita jadi mudah membangun pusat data. Kalau ada yang kurang kita tinggal minta lagi kepada auditi. Karena semuanya dilakukan secara online dan terbuka, maka hasil auditnya juga bisa lebih terjamin,” pungkasnya.
Saat ditanya mengenai sejauh mana wewenang BPK untuk menindaklanjuti maraknya kerugian yang terjadi di daerah, Hadi menegaskan, lembaganya hanya berwenang mengajukan rekomendasi kepada pihak-pihak terkait.
Apabila nantinya memang diindikasikan telah terjadi kerugian daerah, maka sepenuhnya itu menjadi wewenang para penegak hukum.
“Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 pasal 10 tahun 2004, BPK juga memiliki wewenang untuk mengaudit penggunaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Kalau memang hasil audit menyebutkan adanya masalah pidana dalam penggunaan APBD di suatu daerah, maka BPK akan merekomendasikan temuan tersebut ke aparat penegak hukum, seperti KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian,” tuturnya.
Kepala Biro Humas dan Luar Negeri BPK Bahtiar Arief mengatakan, kerugian daerah terjadi salah satunya akibat kelalaian pejabat.
“Kerugian Negara atau daerah diatur dalam Pasal 59 sampai dengan Pasal 67 Undang-Undang Nomor I Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Kerugian negara dapat terjadi karena perbuatan melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan kepada bendahara atau pegawai atau pejabat yang merugikan keuangan negara,” katanya.
Bahtiar mengimbau, agar setiap Kepala Daerah segera berupaya menutupi kerugian negara yang terjadi jika sudah ditemukan lembaganya. Bila tidak bisa diselesaikan secara damai maka bisa ditempuh dengan mengajukan gugatan secara hukum.
“Setiap pimpinan kementerian negara atau lembaga atau satker (satuan kerja) daerah dapat segera lakukan tuntutan ganti rugi setelah ketahui terjadinya kerugian tersebut,” ujarnya.
Menurut Bahtiar, sebagai penanggung jawab terhadap kerugian daerah itu adalah bendahara dan pimpinan daerah. “Untuk kerugian negara oleh bendahara, penetapan ganti rugi ditetapkan oleh BPK. Selain bendahara (yang bertanggung jawab juga) oleh menteri atau pimpinan lembaga atau Gubernur atau Bupati, atau Walikota,” jelasnya.
Juru Bicara Kementerian Dalam Negeri, Reydonnizar Moenek membenarkan masih banyaknya kasus kerugian di daerah. Namun jika dilihat dari data statistik, saat ini sudah ada perbaikan. “Secara grafik ada perbaikan,” ungkapnya.
Dijelaskannya, opini LKPD Tahun 2009 menunjukkan adanya kenaikan proporsi opini WTP (wajat tanpa pengecualian), dan WDP (wajar dengan depengecualian) dibandingkan Tahun 2008 dan 2007. Sementara itu, proporsi opini TW Tahun 2009 menunjukkan kenaikan dibandingkan Tahun 2008 akan tetapi dibandingkan Tahun 2007 menunjukkan penurunan. Proporsi opini TMP LKPD Tahun 2009 menunjukkan penurunan dibandingkan Tahun 2008 dan 2007.
“Hal ini menunjukkan adanya perbaikan pertanggungjawaban keuangan pemerintah daerah dalam menyajikan suatu laporan keuangan secara wajar,” tuturnya.
Pria yang akrab disapa Donny ini menjelaskan, persoalan dasar yang menyebabkan banyak kerugian daerah adalah adanya ketidakberesan dalam hal penataan aset.
Sebagai pengguna anggaran, pemerintah daerah selama ini kurang memperhatikan kelengkapan dokumen resmi. Sehingga sulit untuk dilakukan pengukuran, dan penilaian.
“Penataan aset yang kurang mumpuni menyebabkan mayoritas LKPD disclaimer. Harus ada rekapitalisasi aset pada belanja modal. Artinya, sejumlah pengeluaran harus diikuti dengan belanja barang. Kita sedang mendorong pengelolaan aset di daerah”, tuturnya.
Tak hanya itu, kata dia, kelemahan sistem penyelenggaraan anggaran, dan sistem pengendalian internal juga turut andil dalam kerugian di daerah.
Selain itu, minimnya pengawasan, dan belum menadainya perencanaan anggaran memperrumit keadaan. Hal itu diperparah dengan masih kurangnya kualitas, dan kompetensi SDM yang belum memadai.
Supaya masalah seperti ini tidak terus belanjut, Kemendagri telah menyediakan langkah-langkah strategis. Misalnya, melakukan perbaikan terhadap regulasi keuangan daerah. Regulasi yang ada akan di-review, dan disempurnakan. Kemudian memperbaiki penatan kelembagaan. Caranya adalah dengan memperkuat pola pembinaan SDM, dan pengelolaan keuangan daerah.
“Cara berikutnya kita akan meningkatkan kualitas hubungan kelembagaan antara Pemda dengan DPRD, dan melakukan koordinasi antara lembaga,” terangnya.
Selanjutnya, sambung dia, mengembangkan sistem informasi keuangan daerah. Hal itu dilakukan dengan cara menyiapkan semua infrastruktur yang dibutuhkan, sambil mengembangkan kualitas SDM dengan cara mendampingi dalam memberikan pelatihan, dan sosialisasi mengenai masalah ini.
“Contohnya Pemda Papua yang meminta kita untuk membantu memperbaiki kualitas SDM mereka. Itu menjadi tanggungjawab bersama,” pungkasnya.
Dijelaskan, Kemendagri juga meminta dari Pemda, dan DPRD untuk berkomitmen melaksanakan program tersebut. Tambah lagi, sebagai fungsi pengawasan, Kemendagri juga meminta kepada DPRD untuk menindaklanjuti setiap laporan badan pengawas (BPK), dan meminta BPLH untuk mengizinkan BPK melakukan investigasi apabila diperlukan.
“Peran Pemprov Nyaris Nggak Ada”
Siti Zuhro, Pengamat Politik LIPI
Pengamat Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro mengaku, tidak heran dengan adanya temuan BPK yang menyebutkan maraknya kerugian daerah, karena itu masalah klasik. “Masalah seperti itu sudah dari dulu terjadi,” katanya, kemarin.
Menurutnya, penyebab utama maraknya kasus kerugian di daerah adalah lemahnya pengawasan terhadap aparat di daerah. Meskipun secara regulasi sudah ada ketentuan untuk menindak tegas aparat, namun karena tidak adanya pengawasan yang baik dari pusat, undang-undang itu jadi mubazir.
“Karena kontrol terhadap pemerintah daerah lemah, sampai saat ini kasus-kasus korupsi berjamaah masih terus terjadi,” tuturnya.
Siti menilai, selama ini pemerintah daerah tidak memiliki kemauan untuk membuat program yang benar-benar dibutuhkan, demi kepentingan rakyat.
Menurutnya, anggaran daerah yang ada tidak pernah digunakan dengan semestinya. Kebanyakan hanya dihabiskan untuk program-program kecil yang tidak jelas.
“Peran pemerintah provinsi nyaris nggak ada. Mereka hanya menjadi perpanjangan tangan pemerintah pusat. Sementara itu Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah yang bertugas mengawasi daerah-daerah otonomi juga mandul,” paparnya.
Untuk memperbaiki situasi itu, kata dia, Siti Zuhro berharap supaya Kemendagri bisa lebih pro aktif. Lembaga yang dikomandoi Gamawan Fauzi itu tidak cukup hanya memberikan bantuan dengan membina SDM-SDM di daerah.
Menurutnya, Kemendagri bisa mengevaluasi Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2008 tentang pedoman evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan membuat tingkatan-tingkatan penilaian terhadap kinerja pemda.
“Buat grade tertentu berdasarkan kinerjanya. Pemerintah daerah yang kinerjanya dianggap bagus, kasih reward (penghargaan). Sedangkan yang buruk, beri punishment,” tuturnya.
“Jangan Dibiarkan Saja”
Chairuman Harahap, Ketua Komisi II DPR
Setiap temuan atau hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) harus ditindaklanjuti. Sekecil apapun kesalahan yang ditemukan, maka harus ada tindakan untuk memperbaikinya, termasuk pemberikan sanksi tegas.
“Jika BPK menemukan adanya pelanggaran di setiap LKPD maka wajib ditindaklanjuti. Apakah itu pelanggaran administratif, dugaan korupsi, atau manipulasi. Dengan demikian, rekomendasi BPK tidak akan sia-sia,” kata Ketua Komisi II Chairuman Harahap, kemarin.
Chairuman menjelaskan, BPK harus membuat pemeriksaan terperinci alias audit investigatif atas setiap temuannya agar mendapatkan hasil yang maksimal.
“Kalau audit secara umum saja ya itu menjadi rumit. Harus jelas pelaku, jumlah kerugian, dimana saja dan seperti apa tindakannya,” ucapnya.
Politisi Partai Golkar ini berharap agar setiap temuan BPK di LKPD segera dikoordinasikan dengan lembaga penegak hukum, khususnya yang berkaitan dengan temuan yang berindikasi tindak pidana.
“Jika sifat pelanggarannya administratif maka bisa dituntut ke perbendaharaan daerah, namun kalau sudah berupa manipulasi dan adanya dugaan tindak pidana korupsi maka harus disidik, diproses secara hukum,” katanya.
Bekas jaksa ini menegaskan, segala bentuk kerugian negara yang terjadi di LKPD mesti segera dikembalikan ke negara. “Bila memang terjadi kesalahan pengelolaan di daerah, maka jangan dibiarkan begitu saja. Temuan BPK yang menunjukkan adanya kelebihan pembayaran atau adanya menipulasi kontrak atau apapun yang merugikan keuangan negara, segera dikembalikan,” ucapnya. [RM]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar