Selasa, 14 Desember 2010

Kontroversi Pilgub



R Siti Zuhro
Peneliti Utama LIPI


Selasa, 14 Desember 2010

Setelah gonjang-ganjing tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Keistimewaan Yogyakarta, kini muncul kontroversi tentang pemilihan gubernur (pilgub) via DPRD yang diwacanakan pemerintah. Yang menarik, ketidaksetujuan atas wacana itu juga datang dari Anas Urbaningrum, Ketua Umum Partai Demokrat. Menurut dia, selain terlalu cepat, pilgub langsung dinilai masih merupakan sistem terbaik sebagai jawaban atas kekurangan dan kelemahan sistem pemilihan kepala daerah via DPRD yang telah berlangsung puluhan tahun.
Melihat sikap Ketua Umum Partai Demokrat tersebut, bisa jadi pemerintah sedang melakukan testing the water dan sekaligus mengajak semua pihak untuk memikirkan secara sungguh-sungguh penyempurnaan sistem pilgub langsung apabila sistem tersebut dipandang masih yang terbaik. Sebab, pilgub langsung bukannya tanpa cela. Selain memakan biaya tinggi, pilgub langsung juga rentan praktik money politics dan masih terkesan elitis, khususnya dalam penentuan calonnya.
Munculnya perbedaan pendapat mengenai pilgub tersebut bukan berarti bahwa pilgub melalui DPRD tidak demokratis. Masalahnya, manakah di antara keduanya yang lebih menjanjikan terwujudnya kesejahteraan rakyat dan keadilan bagi semua?
Bagi rakyat Indonesia, era Orde Baru telah memberikan pelajaran penting bahwa kesejahteraan rakyat tidak mungkin terwujud tanpa partisipasi aktif rakyat dalam menentukan dan mengontrol pemerintah secara efektif. Dengan kata lain, demokrasi adalah sebuah keniscayaan. Dalam konteks demokrasi lokal, pilkada langsung, termasuk pilgub, dipandang sebagai jawaban terbaik untuk itu. Selain karena amanat konstitusi, pasal 18 (4), dan UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, dengan pilgub langsung, rakyat dituntut untuk turut bertanggung jawab atas pilihannya itu. Oleh karena itu pula mereka harus berpartisipasi aktif dalam mengontrol pemerintah.
Banyaknya kelemahan pilgub langsung seharusnya ditanggapi melalui pembenahan payung hukum dan perbaikan penyelenggaraannya. Dalam hal ini tentunya termasuk memberikan akses yang cukup bagi rakyat dalam menentukan calon pemimpinnya dan memberikan ruang yang lebih terbuka bagi mereka dalam mengontrol penyelenggaraan pilkada secara jujur dan adil. Yang terakhir ini penting untuk mencegah terjadinya kericuhan dan amuk massa pascapilgub.
Pemerintahan daerah yang kuat, efektif, efisien, dan produktif bukanlah karena pilkadanya via DPRD. Realitas empiris menunjukkan bahwa peran kepala daerah sangat menentukan dalam memajukan daerah dan dalam menciptakan pemerintahan efektif yang mampu mengeksekusi program-program yang bermanfaat bagi rakyat, seperti melalui penerapan best practices dalam pelayanan publik. Dengan pilgub langsung, ruang untuk mengabaikan suara rakyat jauh lebih sulit dibandingkan dengan pilgub melalui DPRD, karena rakyat akan makin cerdas.
Oleh karena itu, sudah seharusnya ketidaksetujuan atas wacana pemerintah tentang pilgub lewat DPRD bisa dijadikan sebagai adrenalin oleh para aktor dan institusi yang terlibat dalam pilgub untuk membuktikan bahwa pilgub langsung lebih menjanjikan terwujudnya kesejahteraan rakyat ketimbang pilgub via DPRD. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar