Kamis, 31 Maret 2011

Otda di Provinsi

Sudah saatnya semua keluhan yang mengemuka selama lebih dari satu dasawarsa pelaksanaan otonomi daerah (otda), direspons secara konkret dan tepat. Evaluasi dan kajian banyak pihak bahwa otda di tingkat kabupaten/kota telah gagal mempercepat pembangunan ekonomi dan konsolidasi sumber daya harus disikapi dengan terobosan berani, termasuk dengan mengembalikan otonomi ke tingkat provinsi.

Tingginya angka kemiskinan, maraknya korupsi, dan tereksploitasinya sumber daya alam di daerah, menjadi bukti sahih bahwa otda telah gagal mewujudkan cita-cita awalnya. Hasil kajian LIPI membuktikan bahwa otda gagal karena tidak sesuai lagi dengan tujuan penerapannya. “Tujuan terpenting dari otda adalah meningkatkan kualitas pelayanan publik dan ekonomi lokal. Tetapi, selama sepuluh tahun pelaksanaan otda, tujuan tersebut tidak tercapai,” tegas peneliti LIPI Siti Zuhro. Menurutnya, daerah yang mampu melaksanakan otda dengan cukup baik tidak melebihi 10 persen dari jumlah seluruhnya. Sehingga jika dievaluasi, meletakkan kewenangan penuh kepada kabupaten/kota bukan pilihan yang baik.

Kajian ini selaras dengan temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyebutkan, selama tahun 2004-2010 sebanyak 147 kepala daerah terjerat kasus korupsi. Kasus tersebut ditangani polisi, jaksa, dan KPK. Di tingkat kabupaten dan kota, sebanyak 84 bupati, 17 wali kota, 86 wakil wali kota, dan 19 wakil bupati, terjerat kasus korupsi. Semua aksi tercela itu mengakibatkan kerugian negara hingga Rp 4,8 triliun. Fantastis!

Tak heran bila Presiden SBY saat membuka Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi di Jakarta, akhir tahun lalu, mengaku sedih karena banyak kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Kenyataan ini, menurut Presiden, membuktikan bahwa dana pembangunan untuk rakyat di daerah tersedot ke kantong pribadi pejabat. Soal kepala daerah yang terjerat korupsi ini kembali diungkap Mendagri Gamawan Fauzi dalam pertemuan dengan Komite IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD), akhir Februari lalu. Gamawan menyebut sekitar 150 dari 524 kepala daerah tingkat provinsi dan kabupaten atau kota sedang menjalani proses hukum dan terancam dipecat.

Kondisi ini sangat memprihatinkan. Kepercayaan yang diberikan rakyat melalui penerapan otda telah disalahgunakan oleh para kepala daerah untuk memperkaya diri. Jelas ada yang salah dengan mental para pejabat di daerah. Apakah sikap mental pejabat itu menandakan mereka tidak siap memangku kekuasaan? Atau faktor modal politik untuk meraih kursi kepala daerah yang akhirnya menyeret mereka melakukan korupsi?

Dua hal itulah selama ini mengemuka terkait maraknya kasus korupsi di daerah, yang membuat kemajuan tak kunjung tercapai di daerah. Para bupati/wali kota tidak siap mengemban amanat otonomi yang begitu berat. Mental dan kapasitas sumber daya mereka tak cukup layak untuk mengelola keuangan daerah yang membumbung tinggi seiring penerapan otda.

Situasi ini diperparah dengan sistem pemilihan kepala daerah yang mahal. Modal tarung yang tinggi mulai dari masa persiapan, melamar partai pendukung, pendaftaran calon, konsolidasi dan kampanye, hingga menjelang pemungutan suara yang harus membayar para saksi, yang bisa mencapai miliaran rupiah membuat mereka mudah gelap mata mengemplang uang rakyat. Apalagi bila semua biaya itu berasal dari para cukong proyek. Dengan kondisi seperti itu, mustahil kesejahteraan rakyat bisa diwujudkan. Dan semua ini sudah terkonfirmasi dengan angka-angka kemiskinan dan korupsi yang begitu tinggi di daerah-daerah.

Karena itu, harus ada terobosan fundamental untuk mengakhiri semua kemungkaran itu. Presiden dan Mendagri tidak bisa hanya sekadar sedih dan prihatin. Menanti ada perubahan perilaku dari para bupati dan wali kota, sama halnya dengan menunggu datangnya godot. Pemerintah pusat harus memanfaatkan proses revisi UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah untuk mengembalikan otda ke tingkat provinsi.

Langkah ini selaras dengan pernyataan desainer otda yang juga anggota Wantimpres bidang Pemerintahan dan Reformasi Birokrasi, Ryaas Rasyid, bahwa titik berat otda paling ideal ditempatkan di provinsi. Menurutnya, otda tidak tepat ditempatkan di kabupaten atau kota karena tidak sesuai dengan desain awal otda tersebut. “Desain awal otda itu bukan di kabupaten atau kotamadya, tetapi di provinsi. Karena memang tujuan awalnya otda adalah untuk percepatan pembangunan dan konsolidasi sumber-sumber daya di daerah,” ungkap Ryaas.

Kita pun melihat bahwa otda di provinsi lebih menjanjikan kemajuan.

Selain sumber daya manusia yang lebih siap, otda di provinsi juga membuka peluang bagi lahirnya pemimpin-pemimpin nasional dari daerah. Gubernur yang berprestasi bisa dicalonkan menjadi presiden, sesuatu yang telah lama dipraktekkan di Amerika.

Dengan menarik otda ke provinsi, mahalnya biaya pilkada yang sering dikeluhkan selama ini bisa dijawab tuntas. Sebagai konsekuensi otda di provinsi, pilkada langsung cukup hanya untuk jabatan gubernur, sedangkan bupati dan wali kota dipilih oleh DPRD. Dengan pola ini, legitimasi gubernur makin kuat sehingga koordinasi pembangunan ke tingkat kabupaten/kota lebih mudah dilakukan. Gubernur bisa memangkas para bupati/wali kota yang berperilaku layaknya “raja-raja kecil”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar