Sabtu, 12 Maret 2011

Penanganan Pajak Bakrie Bergaya Orde Baru

REPUBLIKA, JAKARTA—-Analisis politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro, menyatakan, penanganan kasus pajak perusahaan milik Aburizal Bakrie mencerminkan kondisi politik Indonesia yang masih bergaya Orde Baru. Ciri paling kental perpolitikan di masa pemerintahan Soeharto adalah menyelesaikan masalah dengan membuat masalah baru tanpa langkah tegas untuk mengakhiri masalah.

Kasus pajak Bakrie yang seharusnya diselesaikan pada jalur administratif mulai dipermainkan menjadi komoditas politik yang sengaja ditujukan untuk mempengaruhi opini publik. Padahal, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono senantiasa menggaungkan gaya pemerintahan saat ini jauh lebih demokratis dengan mengedepankan penegakkan hukum, tranparansi, dan akuntabilitas publik.

“Walaupun tidak bisa dikatakan by design oleh pemerintahan yang sekarang, tapi harus diakui membuat masalah baru untuk menyelesaikan masalah yang lain adalah gaya Orde Baru yang masih mewarnai kehidupan politik kita sekarang,” papar Siti Zuhro pada diskusi bertema Politisasi Kasus Pajak di Jakarta, Kamis (11/3).

Kasus pajak tiga perusahaan milik Aburizal Bakrie muncul seiring dengan pembahasan rekomendasi Pansus Bank Century di DPR. Seperti diketahui, Fraksi Partai Golkar adalah pendukung pendapat yang menyalahkan langkah pemerintah melakukan bail out Rp 6,7 triliun terhadap Bank Century. Berbarengan dengan rekomendasi pansus, masalah pajak di tiga perusahaam milik Ketua Umum Partai Golkar, yaitu PT Bumi Resources, PT Kaltim Prima Coal, dan PT Arutmin, mulai dipermasalahkan. Total nilai pajak perusahaan Bakrie yang dianggap bermasalah mencapai Rp 2,1 triliun.

Menurut Siti Zuhro, masalah pajak perusahaan Bakrie tersebut kini sudah dijadikan komoditas politik pihak-pihak tertentu untuk menyampaikan kepentingannya. Tanpa menyebut pihak mana yang tengah melakukan politisasi pajak Bakrie, Siti Zuhro menyebutkan, masalah pajak Bakrie dimunculkan untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat bahwa ‘politisi dan partai politik juga tidak sepenuhnya bersih’.
“Setelah rekomendasi Pansus Century kan ada anggapan jika sejumlah politisi dan partai politik itu pahlawan karena telah menyatakan kebijakan bail out salah. Nah, politisasi pajak Bakrie ini seakan menjadi tandingan untuk menggiring opini publik jika politisi dan parpol tidak lurus-lurus amat,” papar Siti Zuhro.

Sama dengan sikapnya yang dulu menolak pembentukan Pansus Century, Siti Zuhro berpandangan, langkah-langkah politisasi kasus-kasus hukum merupakan langkah tidak dewasa yang hanya mencari-cari masalah. “Ini sikap yang tidak jernih, apa pun sekarang dicari-cari masalahnya. Century itu menjadi leverage factor (faktor pengungkit) untuk mencari-cari masalah baru.”

Dikatakan, penyelesaian masalah gaya Orde Baru tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi jika masyarakat menaruh kepercayaan terhadap penegakkan hukum oleh pemerintah. Lantaran tidak adanya kepastian hukum terhadap masalah yang terjadi, kata Siti Zuhro, maka masyarakat memilih jalur politik untuk menyuarakan aspirasi dan mencari keadilan. “Politik dijadikan kendaraan karena dianggap seksi, dinamis, dan sensasional,” ucap Siti Zuhro.

Pakar Pajak dari Universitas Indonesia, Profesor Gunadi, juga menyayangkan terjadinya politisasi kasus pajak. Sesuai dengan Undang-Undang Perpajakan, kata Gunadi, penyelesaian mispersepsi tentang besaran pajak seharusnya diselesaikan melalui pengadilan. “Bukan ke jalur politik.”

Kasus mispersepsi besaran pajak seperti yang menimpa perusahaan Bakrie, lanjut Gunadi, sejatinya bermula pada ketidaksinkronan antara penentuan besaran pajak oleh pemerintah dengan besaran pajak hasil penghitungan si wajib pajak. Padahal dalam undang-undang jelas dikatakan jika penentuan besaran pajak dilakukan melalui mekanisme penilaian bersama antara wajib pajak dan penagih pajak. “Kalau besarannya tidak sama, ya tinggal dibawa ke pengadilan sampai tingkat Peninjauan Kembali di MA. Tidak perlu dibawa ke jalur politik,” tandas Gunadi.

Redaktur: Krisman Purwoko

Tidak ada komentar:

Posting Komentar