Rabu, 27 April 2011

Mengenal Siti Zuhro, Peneliti Spesialisasi Otonomi Daerah

Sering Kecewa, Banyak Riset Masuk Laci



Padang Ekspres - Otonomi daerah memasuki sepuluh tahun. Banyak ”koki” yang terlibat. Satu di antara mereka adalah Siti Zuhro. Dia dikenal luas sebagai seorang peneliti yang banyak mengkaji persoalan otda dan politik lokal. Seperti apa pandangannya?

BAGI R Siti Zuhro, dunia penelitian yang digelutinya selama 25 tahun terakhir sudah menjadi bagian dari jati diri. Karena itu, meski sangat menguasai isu-isu demokrasi, politik lokal, otonomi daerah, dan birokrasi, Zuhro tidak tertarik terjun ke politik praktis dengan bergabung ke partai politik.

”Kalau ke partai politik kayaknya tidak lah,” kata Zuhro di Jakarta, Senin (25/4). Peneliti senior di pusat penelitian politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu menyatakan, obsesi terbesarnya adalah menyaksikan Indonesia maju. Untuk mencapainya, dia berkeyakinan bahwa kuncinya adalah pembangunan Indonesia harus ditopang daerah.

”Artinya, otonomi daerah ini harus berhasil,” ujar perempuan kelahiran Blitar, Jatim, 7 November 1959, yang juga aktif sebagai peneliti The Habibie Center itu. Sayangnya, kata Zuhro, evaluasi pemerintah terhadap kinerja pemerintah daerah belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Sebab, agenda reformasi birokrasi tersendat-sendat.

Sebagai periset, Zuhro paling senang saat terjun ke daerah untuk berdiskusi dan berinteraksi langsung dengan masyarakat lokal dan pemerintah lokal. Dari sana dia bisa mendapatkan data primer dari sumber-sumber pertama. Dia merasa ada kesenjangan yang dalam antara ilmu dan pengalaman praksis di lapangan.

Zuhro mengungkapkan, kepuasan lain bagi peneliti ketika laporan penelitian yang dikerjakan dan sudah diterbitkan dalam bentuk buku muncul di jurnal, media massa, dan diseminarkan. Hingga saat ini, Zuhro setidaknya sudah menerbitkan sembilan buku dari hasil berbagai penelitiannya. Di antaranya, Demokrasi Lokal: Perubahan dan Kesinambungan Nilai-nilai Budaya Politik Lokal di Jawa Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, dan Bali (2009). ”Ketika bisa share begitu, ada kepuasan batin,” katanya.

Meski begitu, Zuhro mengatakan, masih ada yang mengganjal di hatinya. Dia merasa banyak hasil penelitian belum diapresiasi secara baik dan dipertimbangkan serius oleh para pembuat kebijakan dalam perumusan kebijakan. ”Kenyataanya, banyak masuk kotak atau laci begitu saja,” kata Zuhro.

Kondisi yang cenderung tidak menghargai dunia akademis itu semakin terasa dengan menciutnya anggaran untuk LIPI. Sebaliknya, dana-dana aktivitas penelitian banyak diberikan kepada kementerian yang bukan institusi penelitian. (*)

[ Red/Redaksi_ILS ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar