Rabu, 07 Juli 2010

Siti Zuhro: Peradilan Ad Hoc Buat Sengketa Pemilukada

Politikindonesia - Usulan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi agar penyelesaian sengketa Pemilukada di daerah, mendapat banyak dukungan. Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD salah satu yang mendukung ide tersebut. Tim perumus RUU Pemilukada, kini tengah menyiapkan dua skenario alternatif model penyelesaian sengketa Pemilukada di daerah. Melalui pengadilan tinggi, atau Mahkamah Konstitusi bersidang di daerah.

Dr. Siti Zuhro MA, peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) saat ditemui politikindonesia.com di Gedung LIPI, Selasa (06/07) mengatakan, rumusan RUU Pemilukada itu tidak sekadar menarik kembali kewenangan penyelesaian sengketa Pemilukada dari MK. Bahkan, dalam setiap tahapan Pemilukada nantinya, akan dibentuk peradilan ad hoc.

Siti yang merupakan anggota tim perumus RUU Pemilukada usulan Kemendagri itu menegaskan, upaya ini dimaksudkan agar tidak ada lagi penumpukan perkara pasca pencoblosan di MK. Di samping itu juga meminimalisir kemungkinan terjadinya konflik, yang dalam beberapa kasus bahkan menimbulkan tindakan-tindakan anarkhis.

Peneliti senior pada The Habibie Center itu menengarai, salah satu penyebab munculnya tindakan anarkhis pada Pemilukada, dipicu oleh ketidakdewasaan kandidat. Nah, dalam RUU Pemilukada yang tengah dipersiapkan ini, diatur persyaratan dengan ketat, bagi calon yang akan maju pada Pemilukada. Kadar kepemimpinan calon akan menjadi salah satu batu ujian.

Pada sisi lain, perempuan kelahiran Blitar, 7 November 1959 tersebut mengatakan, pendidikan politik tidak hanya perlu diberikan untuk masyarakat tetapi juga para elit dan aktor yang terlibat pada Pemilukada.

Banyak hal yang dikemukakan Doktor ilmu politik dari Curtin University, Perth, Australia itu kepada Sapto Adiwiloso dari politikindonesia.com. Berikut petikannya:

Bagaimana anda menilai pelaksanaan Pemilukada yang sudah berlangsung selama ini?

Kalau kita mengambil starting point 2010 ini, saya nilai memang muncul konflik, kerusuhan dan tidak on the right track. Pada tahapan pencalonan saja, sudah mulai ada resistensi masyarakat. Bahkan ada kantor KPUD yang dibakar massa.

Semua tahapan Pemilukada sangat rentan dengan konflik. Untuk level pencalonan saja misalnya, sudah harus diantisipasi sedemikian rupa supaya nanti publik bisa menerima keputusan KPUD bahwa pasangan A, memenuhi syarat dan pasangan B tidak memenuhi syarat.

Ini pembelajaran, bahwa persyaratan calon harus disosialisasikan sedemikian rupa. Tahapan-tahapan yang berpotensi timbul konflik harus diantisipasi hingga Pemilukada selesai. Dalam beberapa kasus, yang terjadi bukan konflik lagi tetapi rusuh, amuk massa dan tindakan anarkhis.

Tim perumus RUU Pemilukada tengah memikirkan langkah antisipatif dalam setiap tahapan, agar dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya konflik dan bentrokan massa. Termasuk menyiapkan lembaga peradilan ad hoc di setiap tahapan.

Ini yang sedang kami pikirkan dimasukkan di pasal yang mana, dan siapa yang berwenang untuk menyelesaikannya. Apakah dikembalikan ke Pengadilan Tinggi atau MK yang bersidang di daerah, seperti usulan Mendagri itu.

Jadi sengketa Pemilukada nantinya akan diselesaikan di daerah?

Benar, karena kalau semua ditangani di MK, biayanya menjadi sangat besar. Bayangkan untuk bayar lawyer saja, tidak murah. Bisa capai miliaran. Belum lagi untuk bersidang di MK yang berada di Jakarta, butuh biaya tak kecil. Di samping itu, waktunya relatif panjang jika semuanya sengketa Pemilukada menumpuk di MK.

Jika dikembalikan ke Pengadilan Tinggi apakah dijamin independensinya?

Masalahnya sekarang. Apakah perlu ada pengadilan khusus untuk Pemilukada agar kekhawatiran itu tidak muncul? Kemungkinan seperti itu memang sedang kami pikirkan. Mengingat ada 244 pemilukada pada 2010.

Tim perumus rencananya akan berkonsultasi dengan pakar hukum untuk membahas hal itu. Konsultasi itu dijadwalkan pada 15 Juli mendatang. Kami akan membahas secara rinci. Kalau masalah mekanisme, sudah kita bahas. Tinggal teknis pelaksanaannya. Ini betul-betul kami seriusi, supaya sengketa Pemilukada tidak lagi dibawa ke MK.

Jadi nantinya MK tidak akan mengadili sengketa pemilukada lagi?

Kemungkinan ke arah itu sedang kami jajaki. Misalnya MK bersidang di daerah. Tapi kan pekerjaan MK juga banyak. Bukan hanya konstitusi saja, tetapi juga perundang-undangan. Karena itu, menurut hemat kami kenapa hal-hal kecil harus juga dibebankan ke MK? Dari situlah muncul pemikiran untuk membentuk pengadilan ad hoc yang khusus menangani sengketa Pemilukada.

Sengketa Pemilukada merupakan imbas dari kurangnya pendidikan politik kader. Komentar anda?

Betul. Pilar demokrasi itu, sebetulnya partai politik, pemilu dan parlemen. Tapi ada satu subpilar demokrasi lagi, yaitu nilai-nilai budaya politik, aktor, juga kelembagaannya. Dalam konteks Pemilukada tak hanya budaya politik yang belum baik, tapi teladan dari para aktor, juga sangat minim.

Tak akan ada kerusuhan kalau tidak diiyakan para elit. Sayang sekali masyarakat masih dijadikan sebagai jangkrik, lalu diadu para elit yang kepentingannya saling berbenturan. Jadi protes antar pasangan calon tidak hanya didominasi oleh pasangan calon itu tetapi sudah melibatkan masyarakat. Sedang masyarakat yang dilibatkan itu mudah tersulut emosi. Maka terjadilah amuk massa tadi.

Saya berpendapat, pendidikan politik tidak hanya untuk masyarakat tetapi juga untuk elit dan para aktornya. Sekarang yang harus kita pikirkan bagaimana para elit, para aktor betul-betul dewasa untuk tidak sekedar mengambil kekuasaan, tapi juga menjunjung tinggi demokrasi.

Kalau sekadar strugle of power (mengambil kekuasaan) jangan bermimpi bahwa dia akan mampu menjadi pemimpin masyarakat, dan memberikan pelayanan yang baik. Tidak ada itu rumusnya itu.

Jadi dalam persyaratan calon nanti akan lebih diperketat?

Betul. Nantinya ada parameter calon yang terukur jelas. Misalnya dia harus punya track record yang baik. Basic pendidikan memadai. Dan yang tak kalah penting, memiliki leadership. Di saat pragmatisme masyarakat sangat marak, leadership sangat dibutuhkan.

Parameternya nanti seperti apa?

Paling tidak, calon itu tidak menimbulkan kontroversi. Itu penting untuk meminimalisir konflik. Kami harapkan, RUU Pemilukada akan memberikan satu jaminan, bahwa calon kepala daerah tidak sekadar populis tetapi juga profesional, memiliki kapabilitas dan akseptabilitas yang tinggi.

Tapi kan sengketa Pemilukada juga disebabkan belum berfungsinya Panwasda dalam mengendalikan pelaksanaan Pemilukada yang jurdil?

Persis. Saya sangat setuju sekali. Tidak sedikit konflik Pemilukada yang disebabkan ketidakmampuan penyelenggara Pemilukada sendiri. Baik KPUD maupun Panwasda-nya. Penting bagi penyelenggaranya independen. Di beberapa Pemilukada muncul kasus, mereka tidak independen dan cenderung partisan. Misalnya panwasda-nya cenderung ke incumbent, atau KPUD-nya condong ke calon lain.

Padahal masing-masing harus independen, netral, profesional. Itu kunci sukses penyelenggara. Birokrasi juga punya peran penting, apalagi kalau ada incumbent. Kemungkinan menggunakan fasilitas, menggerogoti APBD itu tetap ada.

Apakah di dalam revisi nantiya juga akan diatur soal incumbent?

MK sudah memutuskan bahwa incumbent yang mau menyalonkan diri, tidak perlu mengundurkan diri sebelum pencalonan. Karena itu, nantinya akan ada persyaratan bagi incumbent yang mau menyalonkan diri. Ia tidak boleh membuat kebijakan untuk mengampanyekan dirinya. Jadi satu tahun sebelum Pemilukada, incumbent tidak boleh membuat kebijakan yang populis tetapi dananya dari APBD. Itu nanti tidak boleh. Dia tidak boleh menggunakan fasilitas negara. APBD juga harus diawasi sedemikian rupa karena banyak kasus incumbent yang menyalonkan diri lalu kemudian terlibat korupsi.

Akan dipikirkan pula bagaimana membuat suatu sistem birokrasi yang solid, profesional, netral. PNS tidak dijadikan sebagai pendukung, yang nuansanya memilih salah, tidak memilih pun salah. Tuntutan terhadap profesionalitas birokrasi dan netralitas PNS juga nantinya masuk di pasal RUU Pemilukada. Jadi tidak sebatas Surat Edaran Menteri PAN yang lebih bersifat imbauan.

Memang birokrasi dan PNS menjadi hal yang rentan untuk diperebutkan. Persoalan itu terjadi karena tidak ada payung hukum yang jelas. Aturan lama berupa Surat Edaran Menteri PAN tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Karena itu ke depan harus ada reward and punishment yang menyatakan birokrasi wajib hukumnya untuk netral, dan profesional.


Biodata Singkat:

Nama: Dr.R.Siti Zuhro MA

Tempat/Tgl lahir: Blitar, 7 November 1959

Pekerjaan: Peniliti Senior LIPI dan The Habibie Center

Pendidikan:
-S1 jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Jember.
-S2 ilmu politik di The Flinders University, Adelaide, Australia
-S3 ilmu politik di Curtin University, Perth, Australia.

Suami: Abdussomad Abdullah

Pekerjaan Suami: Peneliti bidang sosiologi LIPI

Anak: Galan Azra Wirawan

(Sapto Adiwiloso/yk)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar