Senin, 26 Juli 2010

Rapor Merah Pilkada

Oleh: R Siti Zuhro

Jika dilihat dari segi kuantitas pemilihan umum kepala daerah atau pilkada, bisa jadi Indonesia adalah negara demokrasi terbesar di dunia. Betapa tidak? Sejak 2005 nyaris tiada hari tanpa pilkada. Selama 2005-2008 telah digelar 484 pilkada. Tahun ini diperkirakan akan ada 244 pilkada.

Meskipun sebagian besar pilkada dinilai berlangsung damai, aman, dan relatif demokratis, pesta demokrasi tersebut cenderung mencerminkan model demokrasi prosedural. Sebab, secara kualitas, rapornya bisa dikatakan merah. Secara umum, pilkada belum mampu menghasilkan kepala daerah yang amanah, kapabel, kredibel, dan menyejahterakan rakyatnya.

Dalam praktiknya, ia justru menyimpan sejumlah masalah, mulai dari politik uang hingga kerusuhan sosial. Alih-alih menjadi bagian dari proses pembelajaran politik dan pendalaman demokrasi, rakyat lebih banyak dibuat tak berdaya oleh kuatnya hegemoni partai politik yang selalu mem- fait accompli mereka untuk menerima calon yang ditentukannya. Akibatnya, tak sedikit kepala daerah terpilih yang menjadi sangat elitis, tak mencerminkan kebutuhan rakyat dan daerah, serta gagal menganalogikan dirinya dengan rakyatnya.


Politik uang dan implikasinya

Pilkada jelas membutuhkan ongkos politik. Namun, umum diketahui bahwa ”ongkos politik” itu lebih bermakna politik uang. Mengutip Kompas (23/7), untuk calon bupati sekitar Rp 5 miliar, sementara untuk calon gubernur lebih dari Rp 20 miliar. Ongkos politik itu bertambah dengan bertambahnya parpol yang terlibat.

Erat kaitan dengan hal ini, tidak sedikit petahana (incumbent) yang melibatkan birokrasi dan fasilitas negara. Banyak pejabat daerah yang akhirnya berada pada posisi dilematis, berusaha bersikap apolitis atau bias politis dengan risiko yang sama besar. Hal yang sama dirasakan pengusaha, ”investor pilkada”. Bedanya, mereka acap kali mampu bermain di semua pion sehingga baginya tak ada kata ”kalah”. Maraknya politik uang mestinya tak dipandang enteng. Apalagi sampai dianggap sebagai ”kepatutan tradisi”.

Setidaknya, ada tiga implikasi negatif yang ditimbulkan. Pertama, kepala daerah yang terpilih akan terpasung dalam kemenangannya. Mahalnya ongkos politik akan menyulitkannya dalam menyukseskan visi dan misi yang dijanjikannya kepada rakyat. Ibarat pemain teater, ia harus selalu memerankan tokoh berwatak ganda. Namun, ibarat menanam bom waktu, cepat atau lambat hal itu hanya akan menjadikan blunder bagi daerah dan masyarakatnya. Sebab, upaya untuk mewujudkan good governance hanya akan bersifat retoris, jauh panggang dari api. Dalam praktiknya, sejumlah daerah yang mengklaim telah melakukan best practices sekalipun masih sebatas di atas kertas.

Kedua, tidak sedikit kepala daerah terpilih akhirnya terlibat dalam skandal korupsi. Pada 2010 Presiden mengeluarkan lebih dari 150 izin pemeriksaan bupati dan gubernur yang terkait dengan korupsi.

Dengan masa jabatan terbatas, banyak kepala daerah yang seolah berpacu dengan waktu untuk menebus ongkos politiknya tanpa memerhatikan rambu-rambu birokrasi. Alih-alih sebagai pemegang kedaulatan, rakyat justru lebih sering menjadi pihak yang tereksploitasi dan menjadi komoditas politik bagi para elitenya dalam mendorong budaya oportunisme.

Ketiga, dengan mahalnya ongkos politik, banyak calon kepala daerah yang menganut prinsip politik Machiavelli. Dengan prinsip tersebut, banyak di antaranya yang tak siap kalah. Dari 244 pilkada tahun 2010, yang tak bermasalah hanya 35. Selebihnya menjadi sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi dan tak sedikit pula yang meletup menjadi kerusuhan sosial.


Perbaikan rapor pilkada

Rapor merah pilkada bukannya tak bisa diperbaiki. Para aktivis prodemokrasi dan LSM (civil sociecy organization) harus lebih bekerja keras mengawal pilkada. Kesadaran politik rakyat perlu ditumbuhkan, khususnya tentang arti pentingnya pilkada dan bahayanya penggunaan politik uang. Apa pun alasannya, politik uang tak dapat dibenarkan karena merupakan sebuah penistaan terhadap harga diri rakyat dan pendidikan politik yang keliru. Tidak sepantasnya lagi pilkada jadi sekadar ritual politik lima tahunan dan ajang perjudian para elite lokal. Di tengah impitan ekonomi rakyat yang tak kunjung baik, pengedepanan rasionalitas politik merupakan sebuah keniscayaan agar pilkada bisa memberikan makna signifikan bagi terciptanya pemerintahan daerah yang kuat, efektif, dan demokratis, yang mampu menyejahterakan rakyat.

Selain itu, perbaikan rapor pilkada juga menuntut komitmen politik dari para elite partai untuk menjadikan pilkada sebagai pendalaman demokratisasi di tingkat lokal dan bukannya sebagai ladang kehidupan partai. Selama ini parpol cenderung memosisikan diri seperti layaknya agen tiket bus malam. Akibatnya, tak sedikit kader terbaik parpol yang kecewa oleh sikap partainya yang lebih memilih memberikan tiket pilkada kepada orang luar.

Menjadi kepala daerah memang tak mudah. Tak cukup hanya berbekal popularitas, tetapi juga harus memiliki kapasitas, integritas, akseptabilitas dan profesionalitas. Karena itu, semua tahapan pilkada, mulai dari sosialisasi pilkada, pendaftaran calon, pendataan pemilih, kampanye, sampai pencoblosan, mesti disterilkan dari aktivitas politik uang atau pembelian suara. Jika tidak, pilkada akan terus mendapatkan rapor merah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar