Kamis, 22 Januari 2009

11 Parpol Ajukan Uji Materiil

KUASA hukum Tim Advokasi Negara Hukum, A. Patra M. Zen (kiri) membacakan surat gugatannya terhadap pasal 202 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, pada sidang pertama gugatan perkara di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (21/1). Pasal tersebut digugat karena dianggap menghanguskan suara bagi partai kecil.* LINA NURSANTY/"PR"


JAKARTA, (PR).-
Sebelas partai politik dan 186 calon anggota legislatif (caleg) dari berbagai parpol mengajukan uji materiil pasal 202 ayat (1) UU No. 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pasal itu dianggap memberangus suara rakyat karena mensyaratkan perolehan suara bagi parpol sekurang-kurangnya 2,5% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.

"Sistem parliamentary threshold seperti ini proses penghitungannya sangat tidak adil dan tidak dianut di negara-negara lain," kata kuasa hukum Tim Advokasi Negara Hukum A. Patra M. Zen di sidang pertama di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jln. Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (21/1).

Patra mengatakan, dengan adanya pasal 202 (1), caleg yang memperoleh suara terbanyak akan tetapi parpolnya tidak mencapai ambang batas 2,5% suara nasional, maka suara parpolnya itu tidak dihitung. "Secara otomatis caleg yang memperoleh suara terbanyak itu tidak bisa duduk di DPR. Ini berarti legitimasi suara terbanyak diingkari," ujarnya.

Menurut Patra, sistem penghitungan dengan ambang batas itu akan membuat banyak suara yang hangus. Berdasarkan hasil simulasi sederhana, 2,5% dari 176 juta pemilih yang tercantum dalam DPT, suara yang terancam hangus itu kurang lebih 4,4 juta suara.

Sebelas parpol yang mengajukan gugatan tersebut, yaitu Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Patriot, Partai Persatuan Daerah (PPD), Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN), Partai Indonesia Sejahtera (PIS), Partai Nasional Banteng Kerakyatan (PNBK), Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB), Partai Karya Perjuangan (Pakar Pangan), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI), dan Partai Merdeka. Sementara, 186 caleg yang mengajukan gugatan itu sebagian besar dari 11 parpol di atas, ditambah 30 caleg dari Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI).

Kekhawatiran penerapan parliamentary threshold yang tersurat dalam pasal 202 (1) itu membuat pimpinan parpol khawatir. Ketua Pelaksana Harian PDP Roy Janis dan Sekjen PPD Adhie Massardi memprediksi akan terjadi gejolak sosial jika sistem ini tetap diterapkan. Mereka juga menuduh partai-partai besar di Senayan berniat memberangus demokrasi. "Partai-partai yang akan muncul itu diktator ma-yoritas karena minoritas tidak diakui," kata Roy.

Ketua Hakim Konstitusi, H.A. Mukhthie Fadjar menargetkan sidang putusan berlangsung pada pertengahan Februari. "Saya maunya cepat karena pemilu sudah dekat,"ujarnya.


Jajaki koalisi



Sementara itu, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menjajaki kemungkinan koalisi dengan Partai Golkar. Pucuk pimpinan kedua parpol besar itu melakukan pertemuan tertutup di kediaman Ketua DPP Partai Golkar, Jusuf Kalla.

Sinyal koalisi diakui Ketua DPP PPP Suryadharma Ali. Namun, Ali dan Kalla masih tampak sangat hati-hati. "Ada sinyal-sinyal ke arah itu (koalisi), tapi nanti setelah Pemilu Legislatif," kata Ali seusai bertemu Jusuf Kalla di kediaman Jln. Diponegoro Jakarta Pusat, Rabu (21/1).

Pada hari yang sama, pertemuan antarelite politik juga berlangsung di kediaman Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, Jln. Teuku Umar, Jakarta Pusat. Kali itu, Sultan Hamengku Buwono yang datang menyambangi rumah Mega. Menurut Ketua FPDIP DPR Tjahjo Kumolo pertemuan yang berlangsung tertutup itu diikuti Taufik Kiemas dan Sekjen PDIP Pramono Anung.

Sekitar satu jam kemudian, pertemuan Mega-Sultan diramaikan dengan kedatangan Sutiyoso. Namun, ketiganya bungkam ketika disinggung isi pertemuan tersebut.

Pakar politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr. R. Siti Zuhro, M.A. menilai langkah para politisi itu masih terlalu dini mengingat pileg baru akan berlangsung tiga bulan mendatang. Selain itu, elite politik di Indonesia tidak terbiasa membangun koalisi permanen yang berbasiskan ideologi. Setiap koalisi yang terbangun selalu berdasarkan kepentingan pragmatis.

"Kita terwarisi tidak membuat koalisi permanen dan terformat," katanya.

Terkait pertemuan antara Suryadharma Ali dan JK, Siti menilai kepentingannya masih seputar pragmatisme politik.

"Yang penting adalah saya dapat apa dan berapa banyak," ujarnya.
(dtc/A-156) ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar