Selasa, 20 Januari 2009

Quo Vadis Politik 2009?



R Siti Zuhro

Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)


Dinamika politik Indonesia selama 1998-2008 relatif positif. Ini ditandai dengan makin meningkatnya partisipasi masyarakat dalam politik dan menguatnya civil society. Meskipun terfragmentasi, peran parpol sangat menonjol di DPR, dalam pemilihan umum (pemilu), juga dalam pemilihan kepala daerah (pilkada).

Menjelang Pemilu 2009, politik diwarnai persaingan antartokoh politik dalam memperebutkan dukungan partai. Sejauh ini para pesaing dalam bursa calon presiden (capres), khususnya, kembali didominasi oleh tokoh lama. Meskipun beberapa wajah baru juga muncul sebagai pesaing, tingkat popularitas mereka nyaris tak terdengar di tengah gemerlapnya wajah-wajah lama.

Keadaan itu jelas menunjukkan kegagalan proses kaderisasi dalam tubuh parpol. Kita masih ingat, sebagai ungkapan tanggung jawab, sejumlah pengamat, pemerhati, profesional, dan tokoh masyarakat menyikapinya dengan mendirikan Komite Indonesia Bangkit (KIB), Oktober 2007, dan Dewan Integritas Bangsa (DIB), November 2008. Kedua organisasi tersebut ingin ikut serta memberikan pendidikan dan bimbingan kepada masyarakat agar mereka memilih pemimpin yang mampu menjawab perubahan sosial dan memberikan solusi ekonomi yang lebih baik.

Kecenderungan menguatnya kompetisi para tokoh belakangan ini akan berkesinambungan dan berpengaruh terhadap dinamika politik 2009. Mereka akan berkompetisi memperebutkan dukungan politik pada pemilihan legislatif (pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009. Pergulatan politik ke depan makin semarak, meskipun tokoh-tokoh (pendatang) baru belum banyak mendapat perhatian rakyat.

Sementara itu, fenomena meningkatnya indeks kesengsaraan rakyat menuntut para tokoh dan parpol membuat terobosan-terobosan penting dalam mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat. Atas nama keterpurukan ekonomi, meningkatnya jumlah kemiskinan dan pengangguran serta kekecewaan masyarakat terhadap elite politik, masyarakat menuntut perbaikan riil.

Padahal Pileg 2009 belum tentu mampu menjadi arena kompetisi figur-figur yang berkualitas dan berintegritas. Sulit diharapkan munculnya calon-calon wakil rakyat yang memiliki mental pembaharu dengan gagasan segar di parlemen. Masih eksisnya sistem patronase dan rekrutmen yang sifatnya top down dalam tubuh partai menghambat proses regenerasi dan rekrutmen secara profesional dan demokratis. Ke depan, kompetisi antarpartai menguat, tapi dominasi dua partai besar masih akan berlanjut, meskipun sejumlah partai baru bermunculan.

Pilpres 2009 juga belum tentu bisa menjadi ajang kompetisi figur-figur berkaliber nasional yang memiliki visi lokal, regional, dan internasional yang mampu menjawab permasalahan pelik yang dihadapi Indonesia. Pilpres bisa jadi gagal membangun terciptanya korelasi positif antara pemilu dan pascapemilu, antara terpilihnya pemimpin yang berkompensi tinggi dan terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar