Kamis, 22 September 2011

Reformasi Birokrasi dan Reshuffle Kabinet

Tiga belas tahun sudah era Reformasi berjalan. Tapi, apa daya, harapan rakyat yang memimpikan terwujudnya pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien tak juga menjadi kenyataan.

Sebab, perubahan rezim tak serta-merta membuat rakyat dapat bernapas lega. Sama seperti rezim sebelumnya, era Reformasi juga tak kuasa membebaskan dirinya dari sindrom kolusi,korupsi, dan nepotisme (KKN). Sifat persebarannya malah makin mengerikan karena tidak saja merasuk ke hampir semua institusi negara, termasuk legislatif, tetapi juga ke partai politik dan dunia usaha.

Hal ini, misalnya, terlihat dari kasus suap Sesmenpora dan Kemenakertrans yang ramai dibicarakan akhir-akhir ini. Harus diakui bahwa era Reformasi telah berhasil melahirkan kebebasan berdemokrasi. Tapi, kualitas sistem dan perilaku politik dan birokrasi masih tetap tersandera oleh budaya patrimonial. Sebagai lokomotif pemerintahan, idealnya birokrasi bisa menjadi garda terdepan dalam menyejahterakan rakyat dan mewujudkan pelayanan publik yang baik.

Oleh karena itu, selain memiliki good will dan komitmen yang kuat, birokrasi harus berani memperlihatkan perlawanannya dari dan bukan menghambakan dirinya pada premanisme politik dan kekuasaan. Di mata publik, potret buram birokrasi di Indonesia bersumber dari rendahnya kinerja pegawai negeri sipil (PNS).Ada banyak faktor yang menyebabkannya.

Salah satunya karena belum diterapkannya merit system dan gaji yang memadai. Bagi birokrat, gaji tak selalu identik dengan pendapatan. Kondisi ini telah menciptakan berlangsungnya hubungan kerja yang kolutif,nepotis,dan diskriminatif. Sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa birokrasi senantiasa tidak ditempatkan pada posisi, fungsi, dan perannya sebagai sebuah organisasi yang mengurus negara dan pelaksana pembangunan.

Sejak Indonesia merdeka sampai sekarang, pembenahan yang dilakukan belum substansial. Bahkan,umum dijumpai bahwa birokrasi digunakan sebagai mesin politik dan menggantikan fungsi serta peran partai politik sekaligus.Penetrasi politik dalam birokrasi pada akhirnya hanya menghasilkan disorientasi PNS/ birokrat yang hanya mengabdi kepada penguasa dan par-tainya dan bukannya menjadi “abdi negara” dan “abdi masyarakat”.

Kondisi ini jelas berdampak negatif terhadap karier PNS dan perkembangan birokrasi. Upaya untuk mereformasi birokrasi bukannya tak ada, melainkan tak memadai. Sejauh ini reformasi birokrasi lebih dimaknai sebagai remunerasi atau kenaikan gaji pegawai tanpa disertai dengan ketegasan penegakan hukum.Yang tersebut terakhir ini penting dikedepankan, antara lain untuk menggenjot peningkatan daya saing ekonomi.

Selain karena regulasi yang tak probisnis, rendahnya penegakan hukum telah menyuburkan praktik ekonomi biaya tinggi yang memperlemah daya saing ekonomi global Indonesia. Kasus Indonesia menunjukkan pentingnya membangun semangat kepeloporan dan mengurangi “budaya petunjuk”.

Setiap birokrat perlu membiasakan diri mencari caracara baru pelayanan publik yang praktis, nondis krimintaif, tangkas, inisiatif, antisipatif, dan proaktif dalam membaca kebutuhan publik.Kentalnya budaya petunjuk, misalnya, telah menurunkan kualitas pelayanan publik. Ciri birokrasi tersebut diperlukan untuk memutus mata rantai nilai-nilai patrimonial yang telanjur menjangkiti birokrasi dan mengganggu efektivitas kinerja pemerintahan.


Berharap Berkah Reshuffle Kabinet


Jauh di luar harapan publik, sejak tahun pertama Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II tak mampu memperlihatkan kinerja terbaiknya. Bahkan, para tokoh lintas agama, misalnya, mengungkap 18 tuduhan kebohongan publik yang dilakukan pemerintah. Usulan reshuffle kabinet telah berkalikali dikumandangkan, tetapi tak pernah mendapat tanggapan serius.

Dengan munculnya berbagai kasus suap/korupsi belakangan ini, tampaknya kali ini pemerintah tak lagi bisa mengelak. Indikasi akan adanya reshuffle kabinet, bahkan, telah diperlihatkan secara tersirat oleh SBY dan orang-orang terdekatnya. Buat rakyat, masalah reshufflekabinet menjadi penting bila hal tersebut bukanlah sekadar terjadinya perubahan personal para menteri,melainkan menjadi momentum percepatan pembangunan, khususnya melalui reformasi birokrasi dan penegakan hukum.

Kedua hal ini dibutuhkan untuk mewujudkan program KIB II yang disebut pro-poor,pro-job, dan propemerataan. Rendahnya kinerja kabinet sesungguhnya tak hanya disebabkan oleh lemahnya kepemimpinan seorang menteri, melainkan juga karena sistem pemerintahan dan birokrasinya yang belum tertata secara baik. Cerita sukses dari seorang menteri akan menjadi sia-sia bila hal itu tak dibingkai dalam sebuah sistem pemerintahan dan birokrasi yang memungkinkan terjadinya kesinambungan.

Tiadanya jaminan kesinambungan inilah yang mengharuskan Indonesia membangun sistem yang mantap. Pengalaman selama dua tahun terakhir ini menunjukkan bahwaIndonesiapadadasarnya memerlukan dibentuknya zaken kabinet atau kabinet ahli (kabinet kerja 2012–2014).Para ahli ini bisa berasal dari berbagai profesi, termasuk partai. Tak seperti dewasa ini,idealnya anggota kabinet yang berasal dari partai terlarang merangkap jabatan, apalagi se-bagai pimpinan partai.

Kondisi tersebut cenderung menyandera Presiden dalam upayanya memperbaiki kinerja dan mengakselerasi program-program kerja pemerintahannya. Presiden, misalnya, akan merasa ewuh pekewuh dan mengalami kesulitan untuk bersikap tegas kepada anggota kabinetnya yang diduga keras melanggar etika jabatan dan tersangkut korupsi dan manipulasi. Melihat maraknya korupsi dan suap di eksekutif,legislatif, dan yudikatif, kiranya penting dibuat format/formula budaya etika kerja yang memungkinkan terjadinya budaya lengser jabatan seperti yang banyak terjadi di Jepang, misalnya.

Di bawah sistem politik Pancasila yang berketuhanan, setiap pejabat publik yang terindikasi kuat melanggar sumpah jabatannya harus menunjukkan sikap legawa dan bukannya berlindung di balik SK jabatan sebagaimana banyak terjadi. Dengan kemenangan mutlak dalam pemilihan presiden langsung 2009, rakyat sangat berharap munculnya keberanian Presiden dalam menyusun anggota kabinet yang lebih mengakomodasi kebutuhan rakyat ketimbang kepentingan partai.

Politik pencitraan jelas perlu, tetapi hal itu tak cukup diwujudkan dalam bentuk wacana, melainkan mesti dalam tindakan nyata sebagai jawaban konkret, misalnya atas pernyataan para tokoh lintas agama tentang 18 tuduhan kebohongan publik yang dilakukan pemerintah.●

R SITI ZUHRO
Peneliti Utama Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Sumber: Harian Seputar Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar