Senin, 09 Agustus 2010

Banyak Mengeluh, Presiden Tak Pahami Rakyat



KEPEMIMPINAN NASIONAL
Banyak Mengeluh,
Presiden Tak Pahami Rakyat


Siti Zuhro,Peneliti LIPI.

Suara Karya, Senin, 9 Agustus 2010

JAKARTA (Suara Karya): Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dinilai tidak mampu menjalankan perannya sebagai pemimpin nasional yang menjadi tumpuan harapan masyarakat.
Dalam pandangan publik, Presiden dikenal sebagai pemimpin peragu, memiliki karakter elitis dan normatif, dan dalam banyak kesempatan Presiden terlalu banyak menuntut pengertian dari masyarakat.
Lemahnya kepemimpinan nasional seperti ini bakal menyulitkan pemerintah sendiri dalam bekerja melaksanakan program pembangunan. Sementara di sisi lain, rakyat yang kian apatis dan tak percaya pada kredibilitas dan kapabilitas pemimpinnya seperti itu, sulit diajak berpartisipasi mendukung program-program pemerintah.
Demikian rangkuman pendapat pengamat politik dari Universitas Indonesia Boni Hargens, Direktur Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya, peneliti LIPI Siti Zuhro, dan pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Abdul Gafur Sangadji yang disampaikan kepada Suara Karya secara terpisah di Jakarta, Minggu (8/8).
"SBY itu belum menunjukkan kualitas dan kapabilitasnya sebagai pemimpin nasional yang mampu merangsang dan mendorong rakyat. Bayangkan saja, SBY justru banyak mengeluh dan minta dikasihani, padahal seharusnya rakyat yang mengadu kepada pemimpinnya. Ini kan terbalik," ujarnya.
Boni Hargens kemudian mencontohkan, pengaduan Presiden SBY yang mengaku memperoleh ancaman dari pihak-pihak yang berniat tidak baik saat melakukan kunjungan kerja ke Ciwidey, Jawa Barat, Sabtu (7/8).
Pengaduan memperoleh ancaman ini sudah disampaikan SBY untuk kesekian kalinya. Bahkan, Presiden juga meminta publik agar memaafkan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) yang belakangan ini sering dinilai publik bertindak tidak sepatutnya.
"SBY hendaknya bersedia mengorbankan kebutuhan dan kepentingan jabatannya dibanding kepentingan masyarakat luas. Sebab, ia terpilih sebagai presiden karena pilihan rakyat pada Pilpres 2009. Jadi, jangan sebentar-sebentar mengeluh, padahal rakyatnya juga susah," tuturnya.
Pernyataan Presiden yang meminta pengertian dari masyarakat terkait ketatnya pengamanan atas diri Presiden, menurut Boni, bukan substansi yang dipersoalkan masyarakat.
Justru masyarakat sebenarnya meminta Presiden lebih memberi intervensi agar pengamanan terhadap Kepala Negara dapat dilakukan dengan cara-cara humanis.
Contoh humanis, menurut dia, Paspampres melakukan pengawasan siaga tanpa memberikan kesan arogan serta tidak minta prioritas secara terbuka kepada masyarakat.
"Defenisi ketat atau tidak ketat, pengamanan itu bukan berdasarkan jumlah personel, melainkan pengamanan ketat berdasarkan kesiagaan. Jumlah personel sedikit, tapi siaga penuh tetap dikategorikan pengamanan ketat," ujarnya.
Karena itu, Boni menilai, SBY tidak memahami kebutuhan dan harapan masyarakat. SBY relatif kaku untuk berinteraksi langsung dengan rakyatnya. Seharusnya, menurut dia, sebagai pemimpin nasional SBY yang lebih banyak berkorban kepada masyarakat.
"Pernyataan SBY yang mengharapkan pengertian dari masyarakat menggambarkan sosok SBY sebagai pemimpin yang kurang merakyat. Sebab, tipikal seperti itu hanya lebih banyak menuntut daripada memberi," ujarnya.
Yunarto tidak menyalahkan adanya pandangan dan penilaian publik bahwa SBY seorang pemimpin yang peragu dan memiliki karakter elitis dan normatif. SBY terlalu banyak menuntut pengertian dari masyarakat. "Curhat itu semakin memperlihatkan karakter 'elitis' dari seorang SBY dalam menjalankan manajemen kepemimpinannya," ujarnya.
Ia menilai logika komunikasi politik SBY yang multitafsir berpotensi berakibat negatif pada setiap lapisan masyarakat. Efek negatif itu bisa berupa interpretasi dan reaksi yang berbeda-beda pada setiap individu dan komunitas yang peduli terhadap persoalan ini.
Yunarto mencontohkan multitafsir presiden tentang sejumlah orang di sekitar Ciwidey (Jawa Barat) yang berniat tidak baik dan bermaksud memberikan ancaman untuk mengganggu kelancaran kunjungan kerja Presiden. "Kondisi ini bukan tidak mungkin malah berpotensi menjadi pemicu konflik opini," ujar Yunarto.
Sikap SBY yang minta dikasihani rakyat itu justru melemahkan otoritasnya sebagai seorang kepala negara. "Ini bukan pertama sekali terjadi. Gaya SBY menunjukkan gaya kepemimpinan yang lemah seperti dikritik banyak pihak. Keluhan SBY bisa diartikan sebagai bentuk keputusasaan sebagai penanggung jawab jalannya roda negara," ujar Yunarto.
Dalam konsep organisasi sosial, bisnis, maupun kenegaraan, ia menjelaskan, seorang pemimpin harus menjadi orang terakhir yang mengeluh karena itu akan berdampak pada penyebaran pesimisme.
Terkait pengawalan presiden, Yunarto mengatakan, seharusnya SBY tidak melihat tuntutan masyarakat secara sempit yang dikaitkan dengan prosedur dan undang-undang. "Kritikan masyarakat itu harus dilihat secara humanis sebagai bentuk kekecewaaan terhadap kemacetan yang dialami masyarakat. Kalau presiden tidak merasakan macet itu karena dapat prioritas jalan, " ujarnya.
Abdul Gafur Sangaji berpendapat, menginjak periode kedua masa kepemimpinannya SBY menunjukkan sebagai seorang yang antikritik. Ketika ada kritik yang dilontarkan tokoh masyarakat atau politisi seperti dari Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, SBY kemudian tampil di media massa dengan wajah seolah telah dizalimi, dan kemudian minta dikasihani.
"SBY bisanya hanya mengeluh kemudian membuat opini untuk menunjukkan sebagai pihak yang selalu didzalimi. Kritik itu harus diterima," katanya.
Siti Zuhro mengingatkan, Presiden SBY tidak perlu khawatir terhadap kritik-kritik masyarakat yang ditujukan kepada dirinya, kritikan itu kata Siti Zuhro merupakan hal yang perlu dalam upaya memperbaiki kinerja pemerintahan.
"SBY itu dipilih langsung oleh rakyat, kalau rakyat complain terhadap kinerja pemerintah, itu sah-sah saja, apalagi pemerintahan SBY ini kan bukan pemula. Jadi wajar saja kalau rakyat mempertanyakan slogan kampanye lanjutkan yang digembar-gemborkan pemerintahan SBY," kata Siti Zuhro.
Siti Zuhro juga menolak jika kritikan-kritikan dari masyarakat merupakan bentuk penzaliman terhadap pemerintah. Bagi Siti Zuhro, penzaliman atau pembunuhan karakter seseorang sesungguhnya bisa diukur kebenarannya. (M Kardeni/Feber S/Rully)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar