Jumat, 13 Agustus 2010

Ryaas Usulkan Pemilukada Kembali ke Dewan

Politikindonesia - Wacana untuk mengembalikan Pemilukada ke pangkuan Dewan, kembali bergulir. Alasannya, masyarakat dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum siap menggelar Pemilukada adil dan transparan. Terbukti hampir di semua daerah, pelaksanaannya kacau akibat KPU tidak adil. Di sisi lain masyarakat dinilai belum siap menerima kekalahan.

"Kesimpulan kami di Dewan Pertimbangan Presiden, KPU dan masyarakat belum siap menggelar pilkada yang adil dan transparan," ujar Ryaas Rasyid, anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) di Gowa, Sulawesi Selatan, kemarin.

Menurut Ryaas, sejak awal digelarnya Pemilukada langsung telah membuktikan ketidaksiapan penyelenggara. Yaitu KPU serta masyarakat. Ryaas juga menilai Pemilukada langsung tidak menjamin pemimpin yang dipilih sesuai harapan rakyat. Dalam catatan Ryaas, sejak 2005, sudah ada 150 kepala daerah, mulai gubernur, walikota, hingga bupati tersangkut kasus hukum.

"Itu semua hasil pemilihan langsung," katanya.

Karena itu, Ryaas menilai, pemilihan melalui Dewan, langkah demokratis dengan prinsip keterwakilan. Konstituen masing-masing Dewan bisa memprotes jika kepala daerah yang dipilih tidak prorakyat. Selain itu, kata dia, untuk mengontrol Dewan agar tidak melakukan money politics juga tidak sulit.

"Ciri masyarakat kita tidak tahan menyimpan uang. Maka akan ketahuan jika yang dibelanjakan tak sebanding dengan pendapatan sebagai Dewan," kata bekas Menteri Otonomi Daerah itu.

Sedang Ziaurrahman, anggota KPU Sulawesi Selatan (Sulsel) membantah jika dikatakan sumber kesalahan dan ketidakpastian itu ada pada KPU. Menurut penilaiannya, pemilihan langsung sudah berjalan baik. Hanya saja ada oknum anggota KPU yang bekerja di bawah tekanan oleh pasangan calon tertentu.

"Masyarakat dan pasangan calon juga ternyata tidak siap menerima kekalahan," katanya.

Siti Zuhro, peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) kepada politikindonesia.com, Selasa (06/07) lalu mengakui, semua tahapan Pemilukada rentan dengan konflik. Pada tahapan pencalonan saja, sudah mulai ada resistensi masyarakat. Bahkan ada kantor KPUD yang dibakar massa.

Menurut Siti hal itu disebabkan kurangnya sosialisasi tahapan-tahapan pemilukada juga persyaratan calon. Siti yang juga anggota Tim Perumus RUU Pemilukada menegaskan, pihaknya tengah memikirkan langkah antisipatif dalam setiap tahapan, agar dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya konflik dan bentrokan massa. Termasuk menyiapkan lembaga peradilan ad hoc di setiap tahapan.

Siti juga mengakui, tidak sedikit konflik Pemilukada yang disebabkan ketidakmampuan penyelenggara Pemilukada. Baik KPUD maupun Panwasda-nya. "Di beberapa Pemilukada muncul kasus, mereka tidak independen dan cenderung partisan. Misalnya panwasda-nya cenderung ke incumbent, atau KPUD-nya condong ke calon lain," ujarnya. Padahal masing-masing harus independen, netral, profesional.

Meski demikian, kondisi itu tak serta merta harus menghapuskan penyelenggaraan Pemilukada langsung. Menurut Siti, penyelenggaraan pemilukada langsung masih relevan untuk dilaksanakan. Hanya saja katanya, perlu disesuaikan dengan titik berat pelaksanaan otonomi daerah. Apakah di level provinsi atau kabupaten/kota. Jika titik berat otonomi daerah di tingkat provinsi maka Pemilukada langsung cukup dilakukan di tingkat provinsi. Begitu juga sebaliknya.

Namun dalam sebuah paparan di blog miliknya, Siti cenderung mengusulkan pemilukada tingkat gubernur lebih tepat dipilih oleh DPRD. Alasannya, gubernur tidak punya rakyat langsung, dan dia sebagai koordinator dan pengawasan. Karena itu katanya, sebagai perpanjangan pemerintah pusat, peran gubernur perlu diberi penguatan. Ujungnya, akan berkonsekuensi pada penghapusan Pemilukada langsung di tingkat gubernur.

"Ini kerangkanya untuk menjaga kedaulatan juga. Ancaman kedaulatan kita bukan ancaman dari luar negeri, tapi kegagalan otonomi daerah ini," ujar Siti mengingatkan.
(sa/na)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar