Kamis, 12 Agustus 2010

Keluhan Pemimpin

Keluhan Pemimpin
R Siti Zuhro
Peneliti LIPI


Kamis, 12 Agustus 2010
Sejak 1999, Indonesia telah berhasil menggelar pemilihan umum (pemilu) yang relatif bebas dan demokratis. Dalam kurun waktu tersebut, ada empat presiden telah memimpin negeri ini. Melalui sistem demokrasi, impian untuk menghasilkan tata kelola pemerintahan yang baik, bersih, dan bertanggung jawab dalam mempromosikan keadilan dan kesejahteraan rakyat diharapkan dapat cepat terwujud. Namun, kenyataannya tetap saja dirasakan rakyat jauh panggang dari api.
Alih-alih menjadi sejahtera, rakyat justru disuguhi banyaknya berita tentang praktik korupsi yang cenderung semakin "menggila". Di tengah tingkat kemiskinan yang masih cukup tinggi misalnya, rakyat benar-benar dibuat terbelalak oleh berita tentang jumlah harta yang diduga berhasil dikorupsi tersangka Gayus Tambunan, pegawai Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak.
Dengan kondisi seperti itu, tidaklah keliru bila banyak di antara warga masyarakat mempertanyakan kualitas dan kapabilitas pemimpinnya. Tak seperti negara yang demokrasinya relatif mapan, munculnya tuntutan tersebut dapat dipahami mengingat sistem politik Indonesia masih dalam proses mencari bentuk dan konsolidasi.
Dalam konteks ini, kehadiran tokoh yang memiliki sikap "kepemimpinan luar biasa" menjadi sebuah keharusan. Dengan kondisi politik yang masih rentan konflik dan instabilitas politik dan keamanan, Indonesia memerlukan pemimpin yang tak hanya bersifat normatif, tetapi juga yang aspiratif, tegar, tegas, dan tidak elitis.
Bahwa beban yang harus ditanggung seorang pemimpin di Indonesia sangat berat, itu jelas tak bisa dibantah. Hal ini dengan jelas dapat dilihat dari tingkat kemiskinan di Indonesia yang masih mencapai sekitar 32,7 juta jiwa dengan tingkat pengangguran sekitar 23 juta jiwa.
Dengan kondisi semacam itu, ancaman jiwa yang dihadapi seorang pemimpin dari segelintir rakyat yang frustrasi seolah menjadi konsekuensi logis yang harus ditanggungnya. Realitas ini seharusnya dihadapi dengan tenang, tapi tetap serius dalam mencari dan mewujudkan solusi yang tepat. Ibarat seorang ibu yang tak punya uang untuk membeli beras, ia harus bisa tersenyum di hadapan anaknya yang meminta makan.
Seorang pemimpin harus selalu bisa menjadi penyemangat rakyatnya untuk bisa bangkit dan tetap optimistis. Jadi, jangan mudah mengeluh. Keluhan sekecil apa pun merupakan hal yang tabu yang harus bisa disembunyikan seorang pemimpin di balik senyum-rekahnya itu. Ketidakmampuan dalam memegang prinsip tersebut akan sangat memengaruhi kredibilitas dan kualitas kepemimpinannya.
Karena itu, pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) soal ancaman terorisme yang mengincar keselamatannya seharusnya tak menjadi konsumsi publik. Apalagi, ini bukan hal yang pertama kali dilontarkannya. Yang seharusnya perlu dikemukakan adalah seruan kepada rakyat untuk selalu waspada akan ancaman dan bujukan untuk menjadi teroris yang bisa mencelakakan mereka.
Masalah ledakan tabung gas, kenaikan tarif dasar listrik (TDL), dan kenaikan harga-harga barang kebutuhan pokok (sembako) telah memusingkan banyak rakyat. Maka, sekecil apa pun keluhan seorang pemimpin akan semakin menambah penderitaan mereka. Yang sangat dinanti rakyat adalah sampai kapan keadilan dan kesejahteraan rakyat yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 tak lagi sekadar menjadi ungkapan retoris. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar