Minggu, 23 Mei 2010

Sekretariat Gabungan Itu Mudah Pecah

image
PEMBENTUKAN Sekretariat Gabungan (Setgab) Partai Politik Anggota Koalisi beberapa waktu lalu, menimbulkan tudingan miring. Banyak yang berpendapat, Setgab merusak tata kelola kenegaraan.Tetapi tak sedikit pula yang beranggapan, pembentukan Setgab tak lebih sebagai silaturahim antarparpol anggota koalisi. Benarkah demikian? Apakah keberadaan Setgab akan ”menihilkan” peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI)? Berikut petikan perbincangan dengan Ahli Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr R Siti Zuhro MA, yang menganggap peristiwa tersebut sebagai ketidakpastian politik itu.

Mengapa perlu ada Setgab? Apakah hal itu menunjukkan ketidakmampuan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) "menjinakkan" partai politik (parpol) mitra koalisinya?
Setgab muncul karena pemerintah sadar, ternyata Kabinet Indonesia Bersatu II tidak bisa mengeksekusi program-program yang dicanang­kan. Demikian pula dengan Program 100 Hari Pertama, yang kurang memberi bukti kehebatan pemerintah. Demikian pula dengan 200 Hari Pertama yang juga senyap dari prestasi.
Karena itu muncul kesadaran untuk menghentikan interupsi politik yang membuat pemerintah tidak bisa bekerja. Solusinya adalah dengan me­nguatkan soliditas dan komitmen parpol koalisi. Akhirnya, dibentuklah Setgab setelah pengunduran diri Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani. Bagaimanapun, Sri Mulyani adalah "kerikil" bagi pemerintahan SBY. Ternyata, kasus Bank Century merupakan letupan agar Sri Mulyani tidak lagi menjabat. Korelasinya sangat terlihat.

Berbahayakah Setgab bagi demo­krasi?
Masyarakat tetap harus mengawal Setgab. Sebab jika tidak, maka Setgab cenderung menjadi pseudo parliament dan mereduksi tugas dan fungsi DPR. Tidak tertutup kemungkinan, berbagai konsep dimatangkan di Setgab kemudian teknisnya baru diserahkan ke DPR.
Bila Setgab kemudian terlalu dominan, berarti tugas DPR, yaitu penga­wasan, legislasi dan anggaran tidak akan berjalan dengan baik. Sebab, semua permasalahan bisa diselesaikan oleh partai penguasa dengan mitra koalisinya di Setgab.

Apakah koalisi parpol akan semakin kuat atau sebaliknya?
Bila Partai Demokrat dan Partai Golkar bersatu, maka tentu akan sangat kuat. Apalagi bila ditambah Partai Amanat Nasional dan Partai Kebangkitan Bangsa. Tetapi saya tidak tahu persis dengan nasib Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Persatuan Pembangunan.
Saya juga tidak tahu, apakah mereka akan tetap di Setgab atau tidak. Sebab, bisa saja ada re-arrangement terhadap koalisi pasca-200 hari pemerintahan. Tidak tertutup kemungkinan, akan ada perombakan kabinet bila ada menteri yang kinerjanya dinilai kurang bagus. Apalagi bila partainya kurang loyal terhadap koalisi.

Sejumlah petinggi partai koalisi duduk di kabinet. Apakah hal itu masih kurang sehingga perlu dibentuk Setgab?
Kekecewaan parpol pasca-pemilu presiden ditunjukkan melalui Pansus Bank Century. Itulah sebabnya saya melihat kasus Bank Century hanya dija­dikan alat dan pintu masuk untuk me­ningkat­kan posisi tawar antarkekuatan politik. Sekarang, hal itu sudah terbukti. Setgab juga menjadi markas bagi kebijakan sebelum akhirnya diselesaikan di parlemen untuk mencegah terjadinya instabilitas politik. Pembentukan Setgab bukan bentuk pamungkas dari suatu komitmen.
Itulah mengapa Setgab akan sangat fragile (mudah pecah). Lain halnya bila Setgab dibentuk jauh sebelum pemilu legislatif. Selain akan menunjukkan ke­seriusan, pembentukan sejak jauh-jauh hari akan menunjukkan kesungguhan komitmen.
Dengan sistem multipartai, maka siapa pun yang berkuasa harus mela­ku­kan koalisi. Namun, koalisi yang terbentuk saat ini sangat dilandasi oleh politik transaksional. Tak pelak, hasilnya pun transaksional, responsive, tentative dan ad hoc.
Selain itu, koalisi hanya merepons perubahan yang berlangsung cepat, na­mun seolah-olah ada tujuan besar bagaimana koalisi ke depan akan terbentuk. Setgab juga terlepas dari konteks penataan ulang maupun perbaikan koalisi secara serius.

Benarkah politik transaksional sudah membudaya?
Demokrasi adalah nilai-nilai. Namun sayang, kita belum cukup patuh dengan nilai-nilai yang kita miliki. Saat ini merupakan akumulasi ketimpangan nilai akibat reformasi yang mati suri. Era yang kita tapaki sejak 1998 sangat terjal dan sulit. Sebab, ketimpangan nilai sangat menganga dan menonjol. Namun ternyata, demokrasi yang kita jalankan menghadapi kendala dari budaya lokal yang justru tidak compatible dengan demokrasi.
Antara lain adalah patronase yang kuat dan sistem kekerabatan yang tidak memberikan peluang bagi kontestasi. Padahal, demokrasi adalah kontestasi secara bebas dan adil. Selain itu, ada sejumlah suku yang tidak memiliki budaya egalitarian. Hal itu jelas menjadi kendala dalam berdemokrasi. Tragisnya, elite dan stake holder tidak mendukung proses demokratisasi serta pelembagaan demokrasi yang masih lemah.
Hal itu jelas terliat dengan keme­ningkatan oportunisme yang menghinggapi setiap bidang. Banyak perilaku yang menunjukkan penurunan moralitas bangsa. Bila hal itu terus-menerus terjadi, akan muncul kesenjangan sosial, budaya, politik, dan ekonomi.

Apakah akan terjadi chaos?
Kesenjangan akan mencapai puncaknya dan masyarakat akan merasa tidak puas,cemas, merasa diperlakukan tidak adil. Hal itu akan berujung pada suatu gerakan yang memungkinkan masyarakat sudah tidak tahan lagi untuk tak marah pada pemerintah.
Gerakan yang lebih besar akan terjadi dan itu akan menimbulkan tsunami sosial. Berbeda dari kasus Bank Century yang hanya berimbas pada golongan elite, tsunami sosial menimpa seluruh masyarakat.
Chaos juga akan terjadi bila pemerintah gagal memberi pelayanan pada publik dan menyejahterakan masyarakat. Sebab, tingkat kemiskinan yang tinggi dan pengangguran yang banyak akan menjadi dahan kering yang mudah disulut.

Apa tanda-tanda akan terjadi tsunami sosial?
Tanda-tanda sudah terlihat ketika institusi kita kurang berfungsi. Saya prihatin, saat lembaga-lembaga itu tidak berfungsi, namun masih ditempel dengan komisi, badan, dan lembaga ad hoc yang muncul sejak 1998 hingga saat ini.
Tumpang tindih tanggung jawab lembaga-lembaga itu pada dasarnya hanya menunjukkan tidak efektif dan tidak efisiennya kinerja. Apalagi, lembaga-lembaga yang baru dibentuk bersifat ad hoc. Itu semakin membuktikan bahwa langkah yang diambil reaktif, tidak cepat tanggap dan tidak ada perencanaan dalam reformasi kelembagaan.
Reformasi birokrasi yang dicanangkan belum sampai pada tataran praktis dan baru sekadar wacana. Itu pun dilakukan hanya memberikan remunerasi, yang ternyata tidak bisa memberikan korelasi positif bagi reformasi birokrasi.
Kita juga melihat adanya disorientasi, yakni obat yang diberikan berbeda dari sakit yang dikeluhkan. Tak heran bila kekuasaan dan kepentingan didahulukan.

Apakah terlalu banyak lembaga ad hoc yang dibentuk oleh presiden hanya mempercepat terjadinya tsunami sosial?
Banyaknya lembaga ad hoc yang dibentuk presiden merupakan ekspresi dari tidak adanya kesungguhan untuk memperbaiki sistem. Kalau ada kehendak untuk melakukan pembenahan, tentu tidak akan dilakukan secara parsial seperti itu.
Pembenahan memang mengakibatkan resistensi dan tidak populer. Tapi itulah harga dari suatu reformasi yang harus dibayar. Pemimpin harus mampu menciptakan terobosan positif agar sistem bisa berjalan baik.
Namun bila ketimpangan nilai terjadi, oportunisme meningkat, idealisme hilang dan semuanya hanya sekadar transaksi, maka kita tinggal menunggu kejatuhan.

Bagaimana dengan Setgab? Apakah Setgab bisa mengamankan posisi Presiden hingga 2014 atau sebaliknya?

Itu sangat tergantung bagaimana sikap Golkar dalam memainkan peran penting. Sebagai parpol besar yang diperhitungkan, peran Golkar sangat signifikan.  Apalagi, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan berada di luar koalisi. Logis bila Demokrat merangkul Golkar. (35)
(Saktia Andri Susilo/bnol)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar