PEMBENTUKAN Sekretariat Gabungan (Setgab)
Partai Politik Anggota Koalisi beberapa waktu lalu, menimbulkan tudingan
miring. Banyak yang berpendapat, Setgab merusak tata kelola
kenegaraan.Tetapi tak sedikit pula yang beranggapan, pembentukan Setgab
tak lebih sebagai silaturahim antarparpol anggota koalisi. Benarkah
demikian? Apakah keberadaan Setgab akan ”menihilkan” peran Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI)? Berikut petikan
perbincangan dengan Ahli Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Dr R Siti Zuhro MA, yang menganggap peristiwa tersebut
sebagai ketidakpastian politik itu.
Mengapa perlu ada Setgab? Apakah hal itu menunjukkan ketidakmampuan
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) "menjinakkan" partai politik (parpol)
mitra koalisinya?
Setgab muncul karena pemerintah sadar, ternyata Kabinet Indonesia
Bersatu II tidak bisa mengeksekusi program-program yang dicanangkan.
Demikian pula dengan Program 100 Hari Pertama, yang kurang memberi bukti
kehebatan pemerintah. Demikian pula dengan 200 Hari Pertama yang juga
senyap dari prestasi.
Karena itu muncul kesadaran untuk menghentikan interupsi politik yang
membuat pemerintah tidak bisa bekerja. Solusinya adalah dengan
menguatkan soliditas dan komitmen parpol koalisi. Akhirnya, dibentuklah
Setgab setelah pengunduran diri Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani.
Bagaimanapun, Sri Mulyani adalah "kerikil" bagi pemerintahan SBY.
Ternyata, kasus Bank Century merupakan letupan agar Sri Mulyani tidak
lagi menjabat. Korelasinya sangat terlihat.
Berbahayakah Setgab bagi demokrasi?
Masyarakat tetap harus mengawal Setgab. Sebab jika tidak, maka Setgab
cenderung menjadi pseudo parliament dan mereduksi tugas dan fungsi DPR.
Tidak tertutup kemungkinan, berbagai konsep dimatangkan di Setgab
kemudian teknisnya baru diserahkan ke DPR.
Bila Setgab kemudian
terlalu dominan, berarti tugas DPR, yaitu pengawasan, legislasi dan
anggaran tidak akan berjalan dengan baik. Sebab, semua permasalahan bisa
diselesaikan oleh partai penguasa dengan mitra koalisinya di Setgab.
Apakah koalisi parpol akan semakin kuat atau sebaliknya?
Bila Partai Demokrat dan Partai Golkar bersatu, maka tentu akan
sangat kuat. Apalagi bila ditambah Partai Amanat Nasional dan Partai
Kebangkitan Bangsa. Tetapi saya tidak tahu persis dengan nasib Partai
Keadilan Sejahtera dan Partai Persatuan Pembangunan.
Saya juga tidak
tahu, apakah mereka akan tetap di Setgab atau tidak. Sebab, bisa saja
ada re-arrangement terhadap koalisi pasca-200 hari pemerintahan. Tidak
tertutup kemungkinan, akan ada perombakan kabinet bila ada menteri yang
kinerjanya dinilai kurang bagus. Apalagi bila partainya kurang loyal
terhadap koalisi.
Sejumlah petinggi partai koalisi duduk di kabinet. Apakah hal itu masih kurang sehingga perlu dibentuk Setgab?
Kekecewaan
parpol pasca-pemilu presiden ditunjukkan melalui Pansus Bank Century.
Itulah sebabnya saya melihat kasus Bank Century hanya dijadikan alat
dan pintu masuk untuk meningkatkan posisi tawar antarkekuatan politik.
Sekarang, hal itu sudah terbukti. Setgab juga menjadi markas bagi
kebijakan sebelum akhirnya diselesaikan di parlemen untuk mencegah
terjadinya instabilitas politik. Pembentukan Setgab bukan bentuk
pamungkas dari suatu komitmen.
Itulah mengapa Setgab akan sangat fragile (mudah pecah). Lain halnya
bila Setgab dibentuk jauh sebelum pemilu legislatif. Selain akan
menunjukkan keseriusan, pembentukan sejak jauh-jauh hari akan
menunjukkan kesungguhan komitmen.
Dengan sistem multipartai, maka siapa pun yang berkuasa harus
melakukan koalisi. Namun, koalisi yang terbentuk saat ini sangat
dilandasi oleh politik transaksional. Tak pelak, hasilnya pun
transaksional, responsive, tentative dan ad hoc.
Selain itu, koalisi
hanya merepons perubahan yang berlangsung cepat, namun seolah-olah ada
tujuan besar bagaimana koalisi ke depan akan terbentuk. Setgab juga
terlepas dari konteks penataan ulang maupun perbaikan koalisi secara
serius.
Benarkah politik transaksional sudah membudaya?
Demokrasi adalah nilai-nilai. Namun sayang, kita belum cukup patuh
dengan nilai-nilai yang kita miliki. Saat ini merupakan akumulasi
ketimpangan nilai akibat reformasi yang mati suri. Era yang kita tapaki
sejak 1998 sangat terjal dan sulit. Sebab, ketimpangan nilai sangat
menganga dan menonjol. Namun ternyata, demokrasi yang kita jalankan
menghadapi kendala dari budaya lokal yang justru tidak compatible dengan
demokrasi.
Antara lain adalah patronase yang kuat dan sistem kekerabatan yang
tidak memberikan peluang bagi kontestasi. Padahal, demokrasi adalah
kontestasi secara bebas dan adil. Selain itu, ada sejumlah suku yang
tidak memiliki budaya egalitarian. Hal itu jelas menjadi kendala dalam
berdemokrasi. Tragisnya, elite dan stake holder tidak mendukung proses
demokratisasi serta pelembagaan demokrasi yang masih lemah.
Hal itu
jelas terliat dengan kemeningkatan oportunisme yang menghinggapi setiap
bidang. Banyak perilaku yang menunjukkan penurunan moralitas bangsa.
Bila hal itu terus-menerus terjadi, akan muncul kesenjangan sosial,
budaya, politik, dan ekonomi.
Apakah akan terjadi chaos?
Kesenjangan akan mencapai puncaknya dan masyarakat akan merasa tidak
puas,cemas, merasa diperlakukan tidak adil. Hal itu akan berujung pada
suatu gerakan yang memungkinkan masyarakat sudah tidak tahan lagi untuk
tak marah pada pemerintah.
Gerakan yang lebih besar akan terjadi dan
itu akan menimbulkan tsunami sosial. Berbeda dari kasus Bank Century
yang hanya berimbas pada golongan elite, tsunami sosial menimpa seluruh
masyarakat.
Chaos juga akan terjadi bila pemerintah gagal memberi pelayanan pada
publik dan menyejahterakan masyarakat. Sebab, tingkat kemiskinan yang
tinggi dan pengangguran yang banyak akan menjadi dahan kering yang mudah
disulut.
Apa tanda-tanda akan terjadi tsunami sosial?
Tanda-tanda sudah terlihat ketika institusi kita kurang berfungsi.
Saya prihatin, saat lembaga-lembaga itu tidak berfungsi, namun masih
ditempel dengan komisi, badan, dan lembaga ad hoc yang muncul sejak 1998
hingga saat ini.
Tumpang tindih tanggung jawab lembaga-lembaga itu pada dasarnya hanya
menunjukkan tidak efektif dan tidak efisiennya kinerja. Apalagi,
lembaga-lembaga yang baru dibentuk bersifat ad hoc. Itu semakin
membuktikan bahwa langkah yang diambil reaktif, tidak cepat tanggap dan
tidak ada perencanaan dalam reformasi kelembagaan.
Reformasi birokrasi yang dicanangkan belum sampai pada tataran
praktis dan baru sekadar wacana. Itu pun dilakukan hanya memberikan
remunerasi, yang ternyata tidak bisa memberikan korelasi positif bagi
reformasi birokrasi.
Kita juga melihat adanya disorientasi, yakni
obat yang diberikan berbeda dari sakit yang dikeluhkan. Tak heran bila
kekuasaan dan kepentingan didahulukan.
Apakah terlalu banyak lembaga ad hoc yang dibentuk oleh presiden hanya mempercepat terjadinya tsunami sosial?
Banyaknya
lembaga ad hoc yang dibentuk presiden merupakan ekspresi dari tidak
adanya kesungguhan untuk memperbaiki sistem. Kalau ada kehendak untuk
melakukan pembenahan, tentu tidak akan dilakukan secara parsial seperti
itu.
Pembenahan memang mengakibatkan resistensi dan tidak populer. Tapi
itulah harga dari suatu reformasi yang harus dibayar. Pemimpin harus
mampu menciptakan terobosan positif agar sistem bisa berjalan baik.
Namun
bila ketimpangan nilai terjadi, oportunisme meningkat, idealisme hilang
dan semuanya hanya sekadar transaksi, maka kita tinggal menunggu
kejatuhan.
Bagaimana dengan Setgab? Apakah Setgab bisa mengamankan posisi Presiden hingga 2014 atau sebaliknya?
Itu
sangat tergantung bagaimana sikap Golkar dalam memainkan peran penting.
Sebagai parpol besar yang diperhitungkan, peran Golkar sangat
signifikan. Apalagi, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan berada di
luar koalisi. Logis bila Demokrat merangkul Golkar. (35)
(Saktia Andri Susilo/bnol)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar