Rabu, 26 Mei 2010
Pengamat : SOKSI Belum Dewasa Berpolitik
Ketidakdewasaan itulah yang mengakibatkan tertundanya pemilihan ketua umum hanya karena ada calon yang tidak berdomisili di DKI Jakarta.
Siti Zuhro di Jakarta, Rabu (26/5/2010) mengatakan, sangat tidak masuk akal munas tertunda hanya karena urusan domisili calon ketua umum. Alasan penundaan itu mengada-ngada dan hal itu justru membuktikan bahwa ada pihak yang sudah kalah sebelum bertarung.
'SOKSI adalah salah satu organisasi pendiri Partai Golkar, kalau pertimbangan domisili dijadikan alasan utama penundaan pemilihan ketua umum, justru itu langkah mundur bagi SOKSI dan Partai Golkar,' kata Siti Zuhro.
Siti Zuhro juga menyayangkan munas ormas tersebut berakhir tanpa adanya pemilihan ketua umum yang baru.
'Bisa jadi ada pihak yang belum siap berdemokrasi,' ujarnya.(zf/at/fat)
Selasa, 25 Mei 2010
Minggu, 23 Mei 2010
Sekretariat Gabungan Itu Mudah Pecah
Mengapa perlu ada Setgab? Apakah hal itu menunjukkan ketidakmampuan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) "menjinakkan" partai politik (parpol) mitra koalisinya?
Setgab muncul karena pemerintah sadar, ternyata Kabinet Indonesia Bersatu II tidak bisa mengeksekusi program-program yang dicanangkan. Demikian pula dengan Program 100 Hari Pertama, yang kurang memberi bukti kehebatan pemerintah. Demikian pula dengan 200 Hari Pertama yang juga senyap dari prestasi.
Karena itu muncul kesadaran untuk menghentikan interupsi politik yang membuat pemerintah tidak bisa bekerja. Solusinya adalah dengan menguatkan soliditas dan komitmen parpol koalisi. Akhirnya, dibentuklah Setgab setelah pengunduran diri Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani. Bagaimanapun, Sri Mulyani adalah "kerikil" bagi pemerintahan SBY. Ternyata, kasus Bank Century merupakan letupan agar Sri Mulyani tidak lagi menjabat. Korelasinya sangat terlihat.
Berbahayakah Setgab bagi demokrasi?
Masyarakat tetap harus mengawal Setgab. Sebab jika tidak, maka Setgab cenderung menjadi pseudo parliament dan mereduksi tugas dan fungsi DPR. Tidak tertutup kemungkinan, berbagai konsep dimatangkan di Setgab kemudian teknisnya baru diserahkan ke DPR.
Bila Setgab kemudian terlalu dominan, berarti tugas DPR, yaitu pengawasan, legislasi dan anggaran tidak akan berjalan dengan baik. Sebab, semua permasalahan bisa diselesaikan oleh partai penguasa dengan mitra koalisinya di Setgab.
Apakah koalisi parpol akan semakin kuat atau sebaliknya?
Bila Partai Demokrat dan Partai Golkar bersatu, maka tentu akan sangat kuat. Apalagi bila ditambah Partai Amanat Nasional dan Partai Kebangkitan Bangsa. Tetapi saya tidak tahu persis dengan nasib Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Persatuan Pembangunan.
Saya juga tidak tahu, apakah mereka akan tetap di Setgab atau tidak. Sebab, bisa saja ada re-arrangement terhadap koalisi pasca-200 hari pemerintahan. Tidak tertutup kemungkinan, akan ada perombakan kabinet bila ada menteri yang kinerjanya dinilai kurang bagus. Apalagi bila partainya kurang loyal terhadap koalisi.
Sejumlah petinggi partai koalisi duduk di kabinet. Apakah hal itu masih kurang sehingga perlu dibentuk Setgab?
Kekecewaan parpol pasca-pemilu presiden ditunjukkan melalui Pansus Bank Century. Itulah sebabnya saya melihat kasus Bank Century hanya dijadikan alat dan pintu masuk untuk meningkatkan posisi tawar antarkekuatan politik. Sekarang, hal itu sudah terbukti. Setgab juga menjadi markas bagi kebijakan sebelum akhirnya diselesaikan di parlemen untuk mencegah terjadinya instabilitas politik. Pembentukan Setgab bukan bentuk pamungkas dari suatu komitmen.
Itulah mengapa Setgab akan sangat fragile (mudah pecah). Lain halnya bila Setgab dibentuk jauh sebelum pemilu legislatif. Selain akan menunjukkan keseriusan, pembentukan sejak jauh-jauh hari akan menunjukkan kesungguhan komitmen.
Dengan sistem multipartai, maka siapa pun yang berkuasa harus melakukan koalisi. Namun, koalisi yang terbentuk saat ini sangat dilandasi oleh politik transaksional. Tak pelak, hasilnya pun transaksional, responsive, tentative dan ad hoc.
Selain itu, koalisi hanya merepons perubahan yang berlangsung cepat, namun seolah-olah ada tujuan besar bagaimana koalisi ke depan akan terbentuk. Setgab juga terlepas dari konteks penataan ulang maupun perbaikan koalisi secara serius.
Benarkah politik transaksional sudah membudaya?
Demokrasi adalah nilai-nilai. Namun sayang, kita belum cukup patuh dengan nilai-nilai yang kita miliki. Saat ini merupakan akumulasi ketimpangan nilai akibat reformasi yang mati suri. Era yang kita tapaki sejak 1998 sangat terjal dan sulit. Sebab, ketimpangan nilai sangat menganga dan menonjol. Namun ternyata, demokrasi yang kita jalankan menghadapi kendala dari budaya lokal yang justru tidak compatible dengan demokrasi.
Antara lain adalah patronase yang kuat dan sistem kekerabatan yang tidak memberikan peluang bagi kontestasi. Padahal, demokrasi adalah kontestasi secara bebas dan adil. Selain itu, ada sejumlah suku yang tidak memiliki budaya egalitarian. Hal itu jelas menjadi kendala dalam berdemokrasi. Tragisnya, elite dan stake holder tidak mendukung proses demokratisasi serta pelembagaan demokrasi yang masih lemah.
Hal itu jelas terliat dengan kemeningkatan oportunisme yang menghinggapi setiap bidang. Banyak perilaku yang menunjukkan penurunan moralitas bangsa. Bila hal itu terus-menerus terjadi, akan muncul kesenjangan sosial, budaya, politik, dan ekonomi.
Apakah akan terjadi chaos?
Kesenjangan akan mencapai puncaknya dan masyarakat akan merasa tidak puas,cemas, merasa diperlakukan tidak adil. Hal itu akan berujung pada suatu gerakan yang memungkinkan masyarakat sudah tidak tahan lagi untuk tak marah pada pemerintah.
Gerakan yang lebih besar akan terjadi dan itu akan menimbulkan tsunami sosial. Berbeda dari kasus Bank Century yang hanya berimbas pada golongan elite, tsunami sosial menimpa seluruh masyarakat.
Chaos juga akan terjadi bila pemerintah gagal memberi pelayanan pada publik dan menyejahterakan masyarakat. Sebab, tingkat kemiskinan yang tinggi dan pengangguran yang banyak akan menjadi dahan kering yang mudah disulut.
Apa tanda-tanda akan terjadi tsunami sosial?
Tanda-tanda sudah terlihat ketika institusi kita kurang berfungsi. Saya prihatin, saat lembaga-lembaga itu tidak berfungsi, namun masih ditempel dengan komisi, badan, dan lembaga ad hoc yang muncul sejak 1998 hingga saat ini.
Tumpang tindih tanggung jawab lembaga-lembaga itu pada dasarnya hanya menunjukkan tidak efektif dan tidak efisiennya kinerja. Apalagi, lembaga-lembaga yang baru dibentuk bersifat ad hoc. Itu semakin membuktikan bahwa langkah yang diambil reaktif, tidak cepat tanggap dan tidak ada perencanaan dalam reformasi kelembagaan.
Reformasi birokrasi yang dicanangkan belum sampai pada tataran praktis dan baru sekadar wacana. Itu pun dilakukan hanya memberikan remunerasi, yang ternyata tidak bisa memberikan korelasi positif bagi reformasi birokrasi.
Kita juga melihat adanya disorientasi, yakni obat yang diberikan berbeda dari sakit yang dikeluhkan. Tak heran bila kekuasaan dan kepentingan didahulukan.
Apakah terlalu banyak lembaga ad hoc yang dibentuk oleh presiden hanya mempercepat terjadinya tsunami sosial?
Banyaknya lembaga ad hoc yang dibentuk presiden merupakan ekspresi dari tidak adanya kesungguhan untuk memperbaiki sistem. Kalau ada kehendak untuk melakukan pembenahan, tentu tidak akan dilakukan secara parsial seperti itu.
Pembenahan memang mengakibatkan resistensi dan tidak populer. Tapi itulah harga dari suatu reformasi yang harus dibayar. Pemimpin harus mampu menciptakan terobosan positif agar sistem bisa berjalan baik.
Namun bila ketimpangan nilai terjadi, oportunisme meningkat, idealisme hilang dan semuanya hanya sekadar transaksi, maka kita tinggal menunggu kejatuhan.
Bagaimana dengan Setgab? Apakah Setgab bisa mengamankan posisi Presiden hingga 2014 atau sebaliknya?
Itu sangat tergantung bagaimana sikap Golkar dalam memainkan peran penting. Sebagai parpol besar yang diperhitungkan, peran Golkar sangat signifikan. Apalagi, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan berada di luar koalisi. Logis bila Demokrat merangkul Golkar. (35)
(Saktia Andri Susilo/bnol)
Jumat, 21 Mei 2010
Kisruh Peraturan Daerah: Mengurai Masalah & Solusinya
| ||||
Penulis : Siti Zuhro,Lilis Mulyani, Fitria Pesan di Penerbit Ombak |
Kamis, 20 Mei 2010
Pertaruhan Demokrasi
R Siti Zuhro
Ahli Peneliti Utama LIPI
Cerita sukses Partai Demokrat (PD) dan prestasi monumental . yang diukirnya bisa menjadi role model kepartaian di Indonesia. Sebagai partai yangrelatif muda, SBY tidak saja mampu memperlihatkan kekuatan dan karismakepemimpinannya yang dinilai santun, melainkan juga berhasil mencitrakan partainya yang relatif bersih, aspiratif, dan demokratis. Persoalannya adalah apakah persepsi publik tersebut dapat terus dipertahankan PD di masa mendatang tanpa SBY?
Mencari ikon baru
Berbeda dengan kongres sebelumnya, Kongres PD II yang akan berlangsung pada21-23 Mei 2010 bisa menjadi momentum pertaruhan yang menentukan nasib partai tersebut ke depan. Dengan dua kali masa jabatan, SBY tak mungkin dicalonkan sebagai capres 2014.
Meskipun hal tersebut tak dengan sendirinya menghentikan aktivitas politik SBY, PD tak mungkin bergantung terus pada SBY. Regenerasi bukan saja sebuah keniscayaan, tapi juga diperlukan untuk memperoleh ikon baru PD yang legitimate dan mampu menafsirkan pemikiran besar pendiri utamanya tersebut.Di tengah persaingan antarpartai yang makin ketat, PD termasuk lamban dalam mempersiapkan nakhoda barunya". Padahal, posisi tersebut jelas sangat strategis dan membe-rikan peluang lebih besar dalam membangun popularitas dan elektabilitas.
Intervensi SBY
Lahirnya kepemimpinan baru yang kuat dalam PD amat tergantung dari kemampuan peserta kongres dalam memilih tokoh yang tepat yang.tidak didasarkan atas pertimbangan kepentingan sempit kelompok tertentu. Kegagalan dalam menentukan pilihan tersebut bukan tidak mungkin berakibat fatal dan kembali menjadikan PD sebagai partai menengah.Dengan sistem, pemilihan langsung, bebas, dan rahasia, suara rakyat tak lagi bisa dipermainkan dengan dagelan politik karena dengan mudahnya suara tersebut bisa beralih ke partai lain. Apalagi ideologi politik sebagian besar partai secara relatif tak menunjukkan perbedaan signifikan.
Salah satu persoalan krusial yang akan menjadi sorotan besar publik pada Kongres PD II adalah apakah SBY akan menggunakan kekuasaannya dalam proses kontestasi suksesi kepemimpinan PD. Pertanyaan ini penting untuk dijawab atau setidaknya diklarifikasi, terutama, karena adanya keterlibatan Ibas, putranya, yang mendukung kandidat tertentu. Sebagai tokoh yang tak tertandingi dalam partainya, hal itu bisa saja dilakukan SBY. Tetapi, bila itu terjadi, risiko politik yang akan ditanggungnya bersama PD tentu tak bisa dianggap sepele.Bagi SBY, klarifikasi yang menyebutkan keterlibatan putranya sebagai pendukung utama kandidat tertentu murni sebagai pilihan dan hak asasi putranya sebagai kader partaijelas tidak cukup. Persoalannya karena rumor yang berkembang telah telanjur menghakiminya sebagai bentuk intervensi dan restu SBY pada kandidat tertentu.
Meskipun sejatinya hal tersebut bukan merupakan karakter SBY, rumor itu tak mudah ditepis. Bahkan, juga di kalangan kader PD itu sendiri. Demi menjaga reputasi PD pun, tak bisa tidak, para penyelenggara, peserta kongres, dan calon kandidat ketua umum harus bisa memperlihatkan kontestasi suksesi kepemimpinan PD secara cantik, fair play, dan demokratis.Selain money politics, tantangan terberat yang dihadapi banyak partai di Indonesia adalah bagaimana melepaskan diri dari trade mark partai ke-dinastian. Meskipun hal itu. juga masih ditemui di banyak negara, termasuk di negara maju, fakta menunjukkan bahwa publik cenderung lebih melihat kepemimpinan seseorang dari perspektif achievement ketimbang keturunan.
Di era kebebasan seperti saat ini, tokoh yang tak mampu menunjukkan kepiawaiannya dalam memimpin akan tergusur sendirinya. Lepas dari itu, kasus Indonesia menunjukkan masalah kualitas kepemimpinan sangat menentukan keberhasilan partainya.Hal ini tidak berarti bahwa faktor kemodernan organisasi partai tidak penting. Tanpa menafikan hal tersebut, keberhasilan PD pada Pemilu 2004 yang dipersiapkan sekitar 3 tahun sangat dipengaruhi oleh kekuatan kepemimpinan yang dimiliki SBY. Lepas dari berbagai kekurangannya, kepemimpinan SBY yang dinilaitenang, santun, perhatian, dan demokratis bisa jadi mendekati tipe kepemimpinan ideal yang dipersepsikan rakyat.
Ketenangan dan kesantunan dipandang sangat penting karena hal tersebut menunjukkan kemampuan seorang pemimpin dalam mengontrol dan menguasai dirinya. Sebagai pengayom dan penyejuk rakyat, SBY juga mampu menunjukkan dirinya sebagai seorang pemimpin yang berhati-hati dalam membuat pernyataan. Ciri kepemimpinan ideal ini penting karena pemimpin yang gegabah dalam membuat pernyataan hanya akan membuatnya sebagai tokoh kontroversial yang menimbulkan Tantangan terberat lain yang dihadapi PD dalam memilih pemimpin yang ideal adalah menguatnya pragmatisme politik. Dalam banyak hal, termasuk dalam kontesta-si/suksesi, elite politik acap kali terperangkap dan menjadikan partai sebagai ajang pertarungan kepentingan jangka pendek.
Berdasarkan hal tersebut di atas, penting bagi peserta Kongres PD untuk mempelajari track record masing-masing kandidat ketua umum partai. Selain pengalaman berorganisasi dan kecerdasan intelektual, yang juga penting untuk diperhatikan adalah keterujian tingkat elektabilitasnya.Di bawah sistem politik yang mengedepankan pemilihan langsung, faktor elektabilitas ini perlu menjadi pertimbangan kuat. Masalahnya, tingkat elektabilitas tak selalu berkorelasi positif dengan popularitas. Fakta juga menunjukkan tak sedikit tokoh populer yang elektabilitasnya rendah. Selamat berkongres.
Jumat, 14 Mei 2010
Siti: Jangan Ada Intervensi Kongres PD
Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) R Siti Zuhro menegaskan, kongres Partai Demokrat 21-23 Mei mendatang harus berjalan dengan demokratis, agar memperoleh ketua umum baru yang amanah dan bisa membawa Partai Demokrat menjadi besar dan pemenang di 2014.
Untuk itu kata Siti, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Dewan Penasihat Partai Demokrat tidak tidak boleh mengintervensi Kongres, apalagi memberi dukungan pada salah satu calon Ketua Umum (Ketum).
“Presiden SBY tidak boleh mendukung salah satu calon. Hal itu bisa menodai Demokrasi yang telah terbangun dengan baik di tubuh PD,” kata Siti di Jakarta, Jumat.
Siti menambahkan dampak lain apabila Presiden SBY mendukung salah satu calon Ketum adalah bisa merusak citra Presiden SBY dan PD.
“Selain itu dampak yang lain juga adalah bisa menyebabkan terhambatnya proses kompetisi dan kaderisasi di tubuh PD,” terang Siti.(*edy/z)
Sabtu, 01 Mei 2010
Ketum PD Harus Minim Konflik
JAKARTA - Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Siti Zuhro, menilai bahwa sosok calon ketua umum Partai Demokrat (PD) ke depan adalah sosok yang minim konflik. Sehingga hal itu bisa membuktikan partai ini dapat terhindar dari perpecahan di internal maupun terhadap partai lain.
"Kandidat yang tidak pernah berkonflik adalah memiliki kesantunan dan mampu mengatasi masalah dengan kepaladingin. Dan itu dimiliki oleh Anas Urbaningrum (AU)," kata Siti, kepada INDOPOS, kemarin (30/4).
Menurut Siti, Partai Demokrat memerlukan sosok pemimpin yang mampu membesarkan partai dan menyiapkan kader-kader partai berkualitas untuk mengisi posisi-posisi stra-tegis di legislatif dan eksekutif.
Di sisi lain, katanya. Partai Demokrat juga harus menyiapkan kader terbaiknya untuk dicalonkan menjadi presiden pada Pemilu 2014. Sosok itu. tambah Siti, haruslah yang memiliki visi dan misi jauh ke depan, berkarakter, santun, tidak memiliki konflik, tidak ambisius, berpengalaman dalam mengelola partai, dan profesional. "Sosok itu ada pada Anas Urbaningrum. Dia memiliki poterfsi untuk melanjutkan kepemimpinan SBY di Partai Demokrat," kata Siti.
Lebih lanjut Siti menilai. AU dan Andi Mallarangeng sarrUi-sama merupakan kader terbaik Partai Demokrat. Tetapi, lanjut dia. untuk kepentingan masa depan Partai Demokrat. AU dianggap lebih pasuntuk memimpin Partai Demokrat.
Siti berharap, kongres nanti tidak hanya.menjadi ajang perebutan kekuasaan untuk kepentingan jangka pendek, melainkan menjadi pasar ide yang bertujuan untuk membesarkan partai. Dengan demikian, katanya, dalam memilih pemimpin, kader Partai Demokrat akan selalu memikirkannya untuk kepentingan jangka panjang.
Sementara itu. Direktur eksekutif Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti mengkritik perilaku politik Salah satu kandidat ketum yang memakai istilah mendapatkan restu SBY. Menurut Ray, perilaku politik AM ndak mencerminkan perilaku politisi modem. Menurut Ray, klaim mendapatkan restu dari SBY sama halnya dengan klaim mendapatkan restu dari Soe-harto atau Cendana pada era Orde Baru. "Dan yang paling menggelikan, kubu AM pun melarang orang luar untuk mengkritik Partai Demokrat," lanjut Ray.
Sementara kubu Andi Mallarangeng makin percaya diri setelah dua senior partai ini menyatakan mendukung AM. Mantan Ketua Umum Demokrat Subur Budhisantoso dan Hayono Isman sama-sama menyatakan dukungannya ke Andi Mallarangeng. Dalam keterangan persnya. Kamis, Subur mengapresiasi Anas dan Andi sebagai kader terbaik partai, namun untuk ketua umum dia condong ke AM. Sedangkan senior Partai Demokrat, Hayono Isman, dengan tegas menyatakan lebih memilih Andi Mallarangeng. Hanya saja, anggota
Dewan Pembina Partai Demokrat ini menegaskan tak ingin jika Andi Mallarangeng jadi capres.
"Kalau terpilih, tugas utama Andi mengurus partai, bukan menjadi capres," ujar Hayono Isman, saat menyatakan dukungannya secara terbuka kepada media, di Wisma Proklamasi. Jakarta, kemarin (30/4). Menurut dia. tradisi selama ini yang telah dilakukan Ketua Dewan Pembina Susilo Bambang Yudhoyono patut dilanjutkan.
Saat mencalonkan diri sebagai capres pada 2004 dan 2009, kata Hayono, SBY bukanlah ketua umum. "Kalau ingin menjadi partai modern, siapapun ketua umumnya nanti harus mengikuti tradisi yang sudah sangat baik ini," tandas mantan Menpora ini. (dill