|
Kamis, 25 Maret 2010
Budaya Politik dan Demokrasi
Kamis, 18 Maret 2010
LIPI: UU PPA Perlu Direvisi
Zuhro mengakui pencabutan UU PPA bukan solusi untuk menjaga kerukunan umat beragama. Bahkan, bila hal itu dilakukan, bisa jadi akan memunculkan masalah baru dalam hubungan antar umat beragama. Namun, UU PPA hingga kini telah berusia 45 tahun dan tidak mengalami perubahan sedikit pun. Padahal, zaman dan kebutuhan masyarakat Indonesia terus mengalami perubahan. Karena itu, sudah sepatutnya UU PPA direvisi agar bisa disesuaikan dengan konteks masyarakat Indonesia saat ini.
Selain itu, menurut Zuhro, Indonesia merupakan negara yang menganut demokrasi dan hak asasi manusia. Karena itu, negara sudah seharusnya mengakui hak kebebasan beragama bagi warganya tanpa membedakan kelas, ras, dan agama. Namun, masih ada sebagian warga yang merasa diperlakukan diskriminatif oleh UU PPA. "Karena itu, revisi terhadap UU PNPS ini diperlukan agar harmoni terwujud, kerukunan yang hakiki ada, dan diskriminasi bisa dieliminasi sehingga kepercayaan bisa terbangun," imbuhnya.
Redaktur: Budi Raharjo
Rabu, 17 Maret 2010
Seharusnya Masyarakat Sambut Positif Obama
Metro - VIVAnews - Pengamat Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan mestinya masyarakat menyambut positif rencana kunjungan Presiden Amerika Serikat Barack Obama ke Indonesia pada akhir Maret 2010. Sebab, kedatangan Obama dinilai dapat menaikkan popularitas Indonesia di mata dunia.
“Ini justru momen penting. Saatnya menyuarakan kepada Amerika Serikat agar lebih mempertimbangkan dunia ketiga,” kata Siti Zuhro usai menghadiri sidang uji materi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang penodaan Agama di gedung Mahkamah Konstitusi, Rabu 17 Maret 2010.
Menurut Siti Zuhro, dalam geopolitik internasional maupun sosio politik, Indonesia sebagai negara demokrasi besar di dunia, justru harus leading. Maksudnya, menjadi negara yang diperhitungkan, seperti yang pernah terjadi pada masa kepemimpinan mendiang Presiden Soekarno.
“Itu nilai pentingnya kedatangan Obama. Jadi, bukan semata kepentingan domestik,” katanya.
Sebelumnya VIVAnews memberitakan rencana kedatangan Obama mendapat berbagai reaksi. Ada yang menyambut baik. Ada juga yang menolaknya. Salah satu alasan penolakan kedatangan Obama ialah dia dianggap sebagai pelanggar HAM terkait dengan kebijakan terhadap negeri-negeri Islam.
Jumat, 12 Maret 2010
Penanganan Pajak Bakrie Bergaya Orde Baru
Kasus pajak Bakrie yang seharusnya diselesaikan pada jalur administratif mulai dipermainkan menjadi komoditas politik yang sengaja ditujukan untuk mempengaruhi opini publik. Padahal, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono senantiasa menggaungkan gaya pemerintahan saat ini jauh lebih demokratis dengan mengedepankan penegakkan hukum, tranparansi, dan akuntabilitas publik.
“Walaupun tidak bisa dikatakan by design oleh pemerintahan yang sekarang, tapi harus diakui membuat masalah baru untuk menyelesaikan masalah yang lain adalah gaya Orde Baru yang masih mewarnai kehidupan politik kita sekarang,” papar Siti Zuhro pada diskusi bertema Politisasi Kasus Pajak di Jakarta, Kamis (11/3).
Kasus pajak tiga perusahaan milik Aburizal Bakrie muncul seiring dengan pembahasan rekomendasi Pansus Bank Century di DPR. Seperti diketahui, Fraksi Partai Golkar adalah pendukung pendapat yang menyalahkan langkah pemerintah melakukan bail out Rp 6,7 triliun terhadap Bank Century. Berbarengan dengan rekomendasi pansus, masalah pajak di tiga perusahaam milik Ketua Umum Partai Golkar, yaitu PT Bumi Resources, PT Kaltim Prima Coal, dan PT Arutmin, mulai dipermasalahkan. Total nilai pajak perusahaan Bakrie yang dianggap bermasalah mencapai Rp 2,1 triliun.
Menurut Siti Zuhro, masalah pajak perusahaan Bakrie tersebut kini sudah dijadikan komoditas politik pihak-pihak tertentu untuk menyampaikan kepentingannya. Tanpa menyebut pihak mana yang tengah melakukan politisasi pajak Bakrie, Siti Zuhro menyebutkan, masalah pajak Bakrie dimunculkan untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat bahwa ‘politisi dan partai politik juga tidak sepenuhnya bersih’.
“Setelah rekomendasi Pansus Century kan ada anggapan jika sejumlah politisi dan partai politik itu pahlawan karena telah menyatakan kebijakan bail out salah. Nah, politisasi pajak Bakrie ini seakan menjadi tandingan untuk menggiring opini publik jika politisi dan parpol tidak lurus-lurus amat,” papar Siti Zuhro.
Sama dengan sikapnya yang dulu menolak pembentukan Pansus Century, Siti Zuhro berpandangan, langkah-langkah politisasi kasus-kasus hukum merupakan langkah tidak dewasa yang hanya mencari-cari masalah. “Ini sikap yang tidak jernih, apa pun sekarang dicari-cari masalahnya. Century itu menjadi leverage factor (faktor pengungkit) untuk mencari-cari masalah baru.”
Dikatakan, penyelesaian masalah gaya Orde Baru tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi jika masyarakat menaruh kepercayaan terhadap penegakkan hukum oleh pemerintah. Lantaran tidak adanya kepastian hukum terhadap masalah yang terjadi, kata Siti Zuhro, maka masyarakat memilih jalur politik untuk menyuarakan aspirasi dan mencari keadilan. “Politik dijadikan kendaraan karena dianggap seksi, dinamis, dan sensasional,” ucap Siti Zuhro.
Pakar Pajak dari Universitas Indonesia, Profesor Gunadi, juga menyayangkan terjadinya politisasi kasus pajak. Sesuai dengan Undang-Undang Perpajakan, kata Gunadi, penyelesaian mispersepsi tentang besaran pajak seharusnya diselesaikan melalui pengadilan. “Bukan ke jalur politik.”
Kasus mispersepsi besaran pajak seperti yang menimpa perusahaan Bakrie, lanjut Gunadi, sejatinya bermula pada ketidaksinkronan antara penentuan besaran pajak oleh pemerintah dengan besaran pajak hasil penghitungan si wajib pajak. Padahal dalam undang-undang jelas dikatakan jika penentuan besaran pajak dilakukan melalui mekanisme penilaian bersama antara wajib pajak dan penagih pajak. “Kalau besarannya tidak sama, ya tinggal dibawa ke pengadilan sampai tingkat Peninjauan Kembali di MA. Tidak perlu dibawa ke jalur politik,” tandas Gunadi.
Redaktur: Krisman Purwoko
Sabtu, 06 Maret 2010
Biaya KTP Elektronik Senilai Kasus Century
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) berencana menyelesaikan program Kartu Tanda Penduduk Elektornik (e-KTP) pada 2012. Program ini untuk menghindari kepemilikan KTP ganda dan memperbaiki Daftar Pemilih Tetap (DPT). Tapi yang menarik, anggaran yang mau digelontorkan untuk e-KTP berskala nasional itu sebesar kasus dana talangan Bank Century Rp 6,7 triliun.
‘’Harus Ada Pengawasan Deh...’’
Siti Zuhro, Peneliti LIPI
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro mengatakan, pemberian e- KTP (KTP elektronik) dapat memperbaiki sistem kependudukan.
“Saya yakin pemberian KTP elektronik ini akan mencegah seseorang untuk membuat KTP ganda atau palsu,” ujarnya kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.
“Lagipula pemberian KTP ini bukan hal yang mewah sekali. Karena beberapa daerah sudah lebih dulu melakukannya,” ungkapnya.
Dikatakan, pemberian KTP ini sifatnya sangat mendesak, sebab pelaksanaan Pilkada tahun 2010 segera dimulai.
“Pembuatan KTP ini tidak membutuhkan waktu yang lama. Cukup satu jam tanpa dibebankan biaya, sehingga permasalahan kekisruhan Daftar Pemilih Tetap (DPT) tidak akan ada lagi,” katanya.
Memang, lanjutnya, soal DPT tidak sesederhana yang dibayangkan. Ujung tombaknya berada di RT/RW maka dibutuhkan tenaga yang profesional.
“Harus ada pengawasan deh yang serius dari institusi independen dalam pembuatan KTP elektronik ini. Jangan sampai pemberian KTP ini dijadikan proyek menguntungkan bagi oknum pemerintah,” tambahnya.
Jumat, 05 Maret 2010
Fokus Budaya Mundur
Fokus Budaya Mundur
R Siti Zuhro
Peneliti Ulama UPI
ekomendasi Rapat Paripurna DPR agar kasus Bank Century diproses secara hukum harus segera ditindaklanjuti. Sebagaimana diketahui, Rapat Paripurna DPR memutuskan bahwa kebijakan bailout (penalangan) terhadap Bank Century diduga sarat dengan pelanggaran. Pencairan dan penggelontoran dananya pun diduga menyimpang. Maka, kasus itu direkomendasikan DPR agar diproses secara hukum.
Membawa kasus Century ke ranah hukum merupakan keharusan agar apa yang direkomendasikan DPR secara politik, terbukti. Hasil kerja Pansus Hak Angket DPR tentang Kasus Bank Century selama dua bulan pun tidak sia-sia. Hasil kinerjanya tidak didiamkan begitu saja dan hanya dianggap sebagai kemenangan parlemen. Kalau itu yang terjadi, tidak akan berdampak terhadap kehidupan demokratisasi di negeri ini. Sebuah kebijakan yang diduga melanggar hukum dan harus dipertanggungjawabkan kepada publik, tanpa ditindaklanjuti ke proses hukum, tidak akan punya makna selain hanya sebagai kegiatan "hura-hura".
Kita perlu menyambut positif bahwa salah satu poin pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Kamis (4/3) malam, akan membawa kasus Century ke proses hukum. Namun, seperti saya prediksi sebelumnya, Presiden SBY tidak akan menyinggung sama sekali tentang pengunduran diri Wapres Boediono atau Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang diduga terlibat dalam kasus bailout bank gagal tersebut.
Presiden, yang sejak awal sudah komit untuk menindaklanjuti kasus Century ke ranah hukum agar kasusnya menjadi terang benderang, tampaknya tak akan meminta kedua pejabat anak buahnya itu mundur dri jabatan masing-masing selama proses hukum berlangsung.
Namun, Presiden tetap mempersilakan keduanya diproses secara hukum. Masalahnya, kedua pejabat dinilai sangat berjasa dalam menjalankan roda pemerintahan. Di lain pihak, Presiden SBY bukan termasuk tipe pemimpin yang bisa bertindak cepat, apalagi untuk urusan mengganti bawahannya.
Terlepas dari itu, budaya mundur sendiri di Indonesia masih dianggap "tabu". Karena melekat dengan budaya malu, maka sejak era Orde Baru hingga kini, bahkan sampai di daerah-daerah, keharusan untuk mundur bagi pejabat yang diduga terlibat kasus, tidak ada aturannya. Sebagai bagian dari moral politik, -budaya mundur biasa diberlakukan di dunia Barat dan Jepang. Khusus di Negeri Sakura, pejabat yang merasa dicemarkan nama baiknya bahkan ndak segan-segan melakukan tindakan harakiri (bunuh diri) sebagai pertanggungjawaban daripada menanggung malu.
Sebenarnya saat inilah kesempatan terbaik untuk mengangkat masalah moral politik itu dalam kehidupan demokrasi di negeri ini. Kasus Bank Century bisa menjadi pelajaran berharga bahwa pejabat tidak bisa bertindak sewenang-wenang, apalagi membuat kebijakan yang diduga melanggar hukum. Pejabat yang bersangkutan harus mundur dari jabatannya sebagai bentuk pertanggungjawaban ke publik, di samping agar proses hukum dapat berjalan lancar, tidak terhambat conflic of interest.
Budaya mundur merupakan bagian dari proses politik. Jika budaya ini terjadi dalam kasus Century, ini merupakan langkah maju dalam "kehidupan berdemokrasi, dan sekaligus bisa menjadi teladan bagi pejabat-pejabat lain pada masa-masa mendatang.*"