Sabtu, 02 Agustus 2008

Popularitas Bukan Syarat Pemimpin

R FERDIAN ANDI R

JAKARTA - Rekrutmen kepemimpinan nasional di Pemilu 2009 harus didasari pada kualitas dan kapabilitas figur. Bukan dari popularitas calon yang diperoleh melalui politik pencitraan. Sebab, hal itu cenderung menyesatkan publik.

Setahun menjelang Pemilu 2009 publik memang mendapat suguhan iklan politik yang masif. Baik melalui media visual maupun media luar ruang. Kondisi ini tidak terlepas dari tren politik yang mengarah pada politik pencitraan. Elit berlomba-lomba mencari populairtas di depan rakyat.

Menurut Wakil Ketua DPD RI Laode Ida, proses rekrutmen politik nasional maupun lokal hingga kini cenderung menyesatkan. Selain itu juga belum memiliki komitmen untuk menyentuh persoalan di daerah.

"Pimpinan Indonesia harus memiliki daya sentuh terhadap persoalan daerah, tapi yang terjadi para penentu kebijakan di Jakarta tidak peduli," katanya di Jakarta, kemarin.

Ia juga menegaskan, publik juga harus jeli dalam memilih pemimpin. Jangan terjebak hanya pada kepopuleran semata. "Tapi yang terpenting adalah kapasitas individunya. Ini yang sulit, apalagi di tengah kondisi yang saat ini terjadi," ingatnya.

Berkaitan dengan munculnya wacana kepemimpinan muda dalam Pemilu 2009, Laode menganggapnya bukan isu penting. Ia menilai menciptakan dikotomi tua-muda dalam kepemimimpinan sangat tidak relevan. "Yang penting siapa yang bisa menyelesaikan persoalan bangsa ini," tegasnya. Meski demikian, ia lebih suka dengan munculnya anak muda yang memiliki keunggulan yang dapat menyelesaikan persoalan.

Hal senada dikemukakan peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro. Dalam mengajukan figur calon presiden, kata dia, masyarakat maupun elit parpol harus menggunakan parameter yang jelas. Perempuan berkacamata ini menyebutkan, parameter yang harus dimiliki presiden 2009 adalah memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat (strong leader).

"Selain itu pemimpin ke depan harus memiliki semangat itu. Jika tidak, maka mustahil Indonesia mampu berkembang," tandasnya.

Kondisi yang terjadi selama 10 tahun reformasi ini, imbuh Zuhro, terjadi karena tak ada ketegasan pemimpin. "Di tengah kondisi saat ini, masih belum ada pemimpin yang tegas. Jadi dikotomi tua-muda maupun asal gender itu tidak relevan," tandasnya.

Selain itu, meningkatnya angka golput terutama dalam pilkada provinsi, kata dia, terjadi karena jarak antara yang memimpin dan yang dipimpin semakin jauh. "Saya khawatir dalam Pilpres 2009 angka golput juga tinggi, karena ada keberjarakan antara pemilih dan yang dipilih," katanya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif menegaskan, dalam rekrutmen kepemimpinan nasional maupun daerah basis perekrutannya diambil dari ormas/TNI. "Dengan demikian parpol belum bisa menjadi basis rekrutmen kepemimpinan, baik lokal maupun nasional," jelasnya.

Menurut dia, jika performa pemerintah daerah semakin bagus, maka rekrutmen kepemimpinan nasional pun akan berpijak pada pemimpin daerah. Selain itu, Yudi juga menegaskan, pemimpin juga tidak sekadar penampilan semata. "Tapi pemimpin yang memiliki otoritas," tandasnya.

Yudi juga menegaskan, harusnya pemimpin memiliki quality of judgement (kualitas dalam menentukan keputusan), jadi tidak tergantung pada figur senior atau yunior. "Tanpa quality of judgement tokoh politik mana pun tak layak disebut pemimpin," tegasnya.
(j01/ini)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar