Kamis, 21 Juni 2007

DPR Terlalu Overacting Menggunakan Hak Interpelasi

PARLE - Penggunaan hak interpelasi DPR RI bukan lagi sebuah pekerjaan yang perlu diacungi jempol. Interpelasi memang hak DPR untuk menanyakan suatu masalah kepada pemerintah. Aturannya pun sudah jelas, dibuat oleh pemerintah dan DPR.

Tetapi penggunaan hak interpelasi yang dilakukan DPR RI pekan lalu sangat mencengangkan. Ketika Dewan ingin menanyakan mengapa pemerintah ikut meResolusi Dewan Keamanan PBB yang melarang Iran mengembangkan proyek nuklirnya, DPR RI seolah-olah terkesan memaksakan kehendak agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) harus hadir.
Sikap DPR itu mengingatkan kembali kata-kata mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahwa DPR RI sekarang persis seperti “anak TK” (maksudnya, Taman Kanak-kanak, red.). Mengapa begitu ngotot ketika Presiden SBY tak hadir, padahal pemerintah telah mengutus delapan menterinya untuk menjawab pertanyaan Dewan?

Apa tanggapan publik terhadap sikap DPR RI itu, berikut wawancara Nuryaman dari PARLE dengan Dr. R. Siti Zuhro, M.A., peneliti utama bidang politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Berikut petikannya.


Lakon penggunaan hak interpelasi DPR RI terhadap pemerintah tentang Resolusi DK-PBB terhadap Iran banyak yang menganggap telah kebablasan. Menurut anda?

Saya melihat semangat DPR itu bukan mendudukkan permasalahan pada proporsinya, tetapi bagaimana menunjukkan kelemahan lembaga eksekutif. Memang tugas lembaga legislatif mengawasi dan memonitor kinerja pemerintah, tetapi bukan berarti harus menunjukkan kedigdayaannya terhadap eksekutif.

Kedua lembaga itu mestinya bersinergi, bukan malah saling mensubordinasi dalam arti mengebawahkan yang lain. Sikap seperti itu tak akan membawa bangsa ini menjadi maju. Bersinergi diperlukan karena bagaimanapun kinerja pemerintah juga memerlukan monitoring atau pengawasan dari DPR RI.

Persoalan ini ke depan perlu diperbaiki, bagaimana mencitrakan lembaga legislatif agar tidak lagi seperti ungkapan mantan Presiden Gus Dur seperti “anak TK”. Mereka harus bisa memosisikan diri sebagai lembaga yang merepresentasikan rakyat dan memiliki power yang digunakan proposional untuk mengimbangi kekuasaan eksekutif.


Jadi anda sendiri tidak simpatik dengan sikap DPR itu?

Betul. Karena DPR telah melampaui porsinya melalaui kewenangannya. Kalau pun seandainya ada satu pasal atau fatsoen yang mengharuskan presiden hadir dan ketidakhadiran itu bisa didapatkan pinalti pantas mereka seperti itu. Tetapi dalam ketatanegaraan kita tidak fatsoen apa pun yang menyatakan presiden harus hadir.

Memaksakan kehendak justru menunjukkan ketidakdewasaan mereka. Kesannya ada sesuatu yang dilatarbelakangi tujuan yang tidak murni interpelasi. Menteri yang datang sangat representatif dan itu dianggap tidak representatif karena presiden tidak ada. Itu dari sisi perspektif yang saya lihat kinerja dari lembaga legislatif.


Kekisruhan itu katanya hanya sebuah manuver anggota DPR yang sengaja ingin menciderai kewibawaan dan menggoyahkan presiden. Anda sependapat dengan wacana seperti ini?

Ini politik, tidak tertutup kemungkinan arahnya ke sana . Karena siapa yang bisa mengendalikan interupsi yang bertubi-tubi yang dilakukan anggota DPR. Tanpa presiden hadir kita bisa menyaksikan bagaimana semangat anggota DPR menginterupsi. Apalagi kalau presiden datang bisa jadi semangat mereka menjadi liar keluar dari substansi interpelasi.

Masalahnya ya itu tadi, rasionalitas politik kita belum menjadi sesuatu yang menyatu di hati wakil rakyat; sedangkan rasionalitas politik menyangkut satu kedewasaan kita berpolitik. Kedewasan itu tidak memaksakan, tetapi juga harus menghormati dan menghargai orang lain.


Kalau begitu apa tujuan DPR sebenarnya?

Saya melihat ini akumulasi dari sebagian anggota dewan yang kecewa melihat kinerja pemerintah yang dinilai tidak maksimal. Sudah tahun kedua seperti ini tidak menghasilkan sesuatu yang konkret. Paling tidak mestinya kemiskinan dan pengangguran sudah harus berkurang. Dari segi politik saya melihat memang sudah cukup, tetapi dari segi penegakan hukum masih sangat lamban.

Mungkin dari sisi itu akumulasi tadi terjadi sehingga kesempatan dicari-cari oleh anggota DPR. Ini politik, dan politik itu seni mencari kesempatan dalam kesempitan. Kalau kesempatan ada semua kekecewaan tadi akan dikeluarkan. Karena itu siapa yang bisa menjamin kalau presiden datang suasana akan bisa menjadi aman. Bisa jadi mungkin akan terjadi sebaliknya.


Hak interpelasi ini kabarnya akan terus-menerus digunakan DPR. Rencananya masalah PT Lapindo Brantas pemerintah akan interpelasi lagi. Bagaimana jadinya perpolitikan kita ke depan kalau terus terjadi seperti itu?

Ini menunjukkan secara jelas bahwa sistem perpolitikan kita belum matang. Transisi kita masih dalam satu tahapan, yakni menuju transisi yang sangat pelik. Tidak sulit dari sisi demokrasi karena pembagian kekuasaan check and balance tidak berjalan sesuai rasionalitas politik.

Ketika check and balance yang menjadi penopang sistem presidensial tidak jalan, saya melihat Indonesia akan mendapatkan banyak kendala ke depan, termasuk pembangunan akan terhambat. Kita tidak lagi konsentrasi bagaimana membangun bangsa dan negara seperti menuntaskan kemiskinan, hal-hal yang sangat substansial menjadi terabaikan.


Dari aspek konstitusi ketidahadiran presiden dalam sidang interpelasi menurut anda bagaimana?

Saya pikir kalau tata tertibnya tidak mengharuskan presiden hadir tidak apa-apa dan itu dilakukan oleh dua presiden sebelumnya. Menurut saya kita ini masih punya pekerjaan rumah yang sangat besar membangun komunikasi politik. Bagaimana komunikasi politik terbangun supaya ada kedewasaan tadi. Kedewasaan akan tumbuh ketika kita membiasakan dengan komunikasi politik, tetapi bukan menjual jargon.

Maksud saya komunikasi antara pemimpin dan yang dipimpin. Satu sisi presiden harus memperbaiki komunikasi politiknya, di sisi lain DPR juga harus memperbaiki bagaimana institusinya menjadi institusi yang profesional dan dewasa. Bukan hanya sekadar mem-blow up isu, kemudian menjatuhkan presiden. Meskipun tidak menjatuhkan tapi mempermalukan juga tidak bagus.


Berarti DPR kita sekarang tidak bisa memberikan pendidikan politik yang baik kepada rakyat?

Persis. DPR itu sudah lama tak pernah memberikan pendidikan politik yang baik kepada rakyat. Begitu juga kekecewaan masyarakat tidak pernah diakomodasi dengan baik. Mereka itu hanya mewakili diri sendiri, kelompoknya, dan partainya.

Tetapi meskipun mengecewakan, lembaga parlemen dan partai politik sebagai pilar demokrasi tetap harus ada. Kita masih berharap kepada kedua lembaga itu dibenahi agar bisa membangun sistem kepartaian yang bagus. Sekarang memang masa-masa sulit untuk Indonesia dalam membangun demokrasi karena demokrasi yang substansial juga dicerminkan oleh dua pilar tadi, yakni parlemen dan partai politik.

■NURYAMAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar