Kamis, 12 Juli 2007

Otonomi Daerah, DPD, dan Gubernur

177382

R Siti Zuhro

Peneliti LIPI


Tujuh tahun sudah kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah diterapkan di Indonesia. Selama periode 2001-2007, dua UU Pemerintahan Daerah telah dilaksanakan, yaitu UU Nomor 22/1999 dan UU Nomor 32/2004.

Tujuan desentralisasi dan otonomi daerah adalah memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat dan untuk menyejahterakan rakyat. Namun realisasi desentralisasi dan otonomi daerah (otda) belum substansial.

Sebaliknya, daerah-daerah masih berjuang memperoleh hak otonomi melalui jaminan UU Pemerintahan Daerah yang acap dinilai belum fair. Tuntutan untuk mendapatkan otonomi khusus bagi daerah-daerah kaya sumber daya alam seperti Kalimantan dan Riau, juga daerah pariwisata seperti Bali, adalah salah satu bukti konkret.

Realisasi desentralisasi dan otonomi daerah perlu didorong. Terbentuknya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dimaksudkan untuk itu. Sayangnya, sebagai representasi daerah, DPD masih menghadapi masalah internal yang tak kunjung tuntas karena payung hukumnya belum diamandemen.

Masalahnya, bagaimana mungkin DPD menjalankan tugas bila kewenangan mereka sangat cekak? Jawaban apa yang harus disampaikan kepada daerah bila pertanyaan-pertanyaan muncul berkaitan dengan aspirasi daerah, sementara DPD sendiri tidak memiliki power. Sangat mustahil DPD melakukan tugas melampaui kewenangan yang hanya sebagai "tukang pos". Adakah kewenangan legislasi dan pengawasan yang diberikan secara signifikan? Patutkah DPD dibentuk hanya sebagai ornamen politik?

Pertanyaan dan pemikiran tersebut berkecamuk dalam diri DPD. Dari sini rationale amandemen konstitusi bisa dipahami. Karena itu, amandemen konstitusi sangat relevan, khususnya bila dikaitkan dengan desentralisasi dan otda.

Dukungan jajaran gubernur pada 4 Juni 2007 menegaskan arti penting peran DPD sebagai lembaga legislatif nonpartisan yang semestinya mampu memperjuangan kemajuan ekonomi daerah. Sinergi antara gubernur dan DPD akan memperkokoh suara daerah dan memberikan legitimasi kepada DPD untuk mendapatkan peran seimbang dengan DPR, khususnya dalam bidang kewenangan legislasi otda.

Pelajaran berharga dari tuntutan amandemen konstitusi saat ini adalah agar ke depan pembentukan lembaga tinggi negara mempertimbangkan aspek teori, rasionalitas politik atau logika dan empirik, agar penataan lembaga negara lebih baik. Jangan ada lagi pembentukan lembaga yang menafikan kewajiban krusial karena hanya akan menguras dan menghambur-hamburkan uang negara tanpa memberikan manfaat berarti bagi rakyat.

Amandemen konstitusi secara komprehensif perlu dilakukan untuk menghindari krisis konstitusi yang berkepanjangan. Bila partai politik tidak merespons isu ini, maka rakyatlah yang harus mendesak secara terus-menerus, baik melalui gubernur, bupati/walikota, LSM, pers, mahasiswa maupun intelektual dan profesional. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar