Selasa, 12 Juni 2007

Menyegarkan Otonomi Daerah

Perjalanan otonomi daerah di Indonesia telah memasuki tahun ketujuh. Selama periode tersebut (2001-2007) lahir dua undang-undang tentang pemerintahan daerah, yaitu UU 22/1999 dan UU 32/2004. Pertanyaannya, apakah hasil yang sudah dicapai setelah tujuh tahun tersebut? Bila tujuan desentralisasi dan otonomi daerah adalah untuk memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat dan untuk menyejahterakan masyarakat, maka realisasi dari desentralisasi dan otonomi daerah (otda) belum substansial. Sebagian besar daerah belum mampu mewujudkan secara konkret dua tujuan tersebut.

Sebagai contoh, hanya beberapa kabupaten/kota tertentu yang mampu memberikan pelayanan prima kepada masyarakat seperti Kabupaten Jembrana yang relatif sukses dalam memberikan pelayanan publik di bidang pendidikan dan kesehatan. Selain itu, Kabupaten Sragen, Kota Blitar, Kota Solok, dan Kota Tarakan, juga mampu menerobos kebekuan birokrasi dan menciptakan pelayanan publik yang relatif memuaskan, sehingga transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat relatif eksis di beberapa kota tersebut. Sedangkan daerah yang tercatat relatif mampu menaikkan tingkat kesejahteraan masyarakat, antara lain Provinsi Gorontalo.

Dalam realitanya daerah-daerah sedang berjuang untuk mendapatkan otonominya melalui jaminan UU Pemerintahan Daerah, yang sejauh ini dinilai belum fair. Tuntutan daerah tersebut antara lain dapat dilihat dari keinginan daerah-daerah kaya sumber daya alam seperti Kalimantan dan Riau, dan daerah pariwisata seperti Bali untuk mendapatkan otonomi khusus. Ini adalah salah satu bukti konkret yang tentunya tidak bisa diabaikan begitu saja.

Ditetapkannya UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah juga belum memberikan kepastian yang mantap bagi daerah karena UU ini dinilai belum dilengkapi dengan PP yang menjadi petunjuk teknis. Masa transisi dari UU 22/1999 ke UU 32/2004 menimbulkan kegalauan tersendiri bagi daerah. Meskipun UU 32/2004 ditetapkan sejak 2004, hanya pasal mengenai pilkada yang relatif lengkap PP-nya. Sementara itu, pasal-pasal yang memerlukan rujukan teknis, seperti pasal mengenai wewenang dan urusan, belum selesai petunjuk teknisnya (PP) sampai sekarang. Lebih dari itu, beberapa pasal dalam UU 32/2004 juga dianggap kurang merespons dan tidak akomodatif dengan perkembangan demokrasi lokal.

Untuk itu, realisasi desentralisasi dan otonomi daerah perlu didorong. Pertama, merevisi beberapa pasal dalam UU 32/2004, khususnya yang berkaitan dengan wewenang dan urusan. Juga pasal mengenai DPRD perlu direvisi agar institusi ini lebih profesional sebagai lembaga legislatif daerah. Selain itu juga memisahkan UU Pemerintahan Daerah dengan pilkada, dan membenah pasal mengenai pemekaran dan penyatuan daerah. Kedua, selain peran Depdagri serta provinsi dan kabupaten/kota dalam menyukseskan desentralisasi dan otonomi daerah, DPD sebagai representasi daerah yang dipilih langsung oleh rakyat juga sangat penting.

Peran terbatas DPD



Meskipun hadirnya DPD dalam tatanan politik Indonesia relatif baru, lembaga ini pada dasarnya memiliki tugas yang sangat penting dalam memajukan perekonomian daerah. Terbentuknya DPD tak lain dimaksudkan untuk menunjang laju realisasi desentralisasi dan otonomi daerah. Sayang, sebagai representasi daerah, DPD masih menghadapi masalah internal yang tak kunjung tuntas karena payung hukumnya belum diamandemen.

Pasal 22 D UUD 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa (1) DPD dapat mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah dan lain-lain yang berkaitan dengan daerah. (2) DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah dan hal lain yang berkaitan dengan daerah. (3) DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah dan materi yang berkaitan dengan daerah.

Dengan mempertimbangkan pasal 22 D UUD 1945 tersebut, bagaimana mungkin DPD menjalankan tugasnya bila kewenangannya sangat cekak? Jawaban apa yang harus disampaikan oleh DPD kepada daerah bila pertanyaan-pertanyaan muncul berkaitan dengan aspirasi daerah, sementara DPD sendiri tidak memiliki power? Dengan kata lain, sangat mustahil DPD melakukan tugasnya melampaui kewenangannya yang hanya sebagai 'tukang pos'. Adakah kewenangan legislasi dan pengawasan yang diberikan secara signifikan? Patut kah DPD dibentuk hanya sebagai ornamen politik? Pertanyaan dan pemikiran tersebut tampaknya berkecamuk dalam diri DPD. Dari sini logika amandemen Konstitusi bisa dipahami. Oleh karenanya, amandemen Konstitusi sangat relevan, khususnya bila dikaitkan dengan akselerasi desentralisasi dan otonomi daerah.


Dukungan gubernur



Gubernur sebagai kepala daerah provinsi memiliki peran yang sangat vital dalam realisasi otonomi daerah. Lebih-lebih UU 32/2004 sekarang ini cenderung menempatkan gubernur tidak hanya sebagai koordinator wilayah, tapi juga mempunyai kewajiban untuk membina dan mengawasi kabupaten/kota di wilayahnya.

Dukungan para gubernur pada 4 Juni 2007 menegaskan dengan jelas arti pentingnya peran DPD sebagai lembaga legislatif nonpartisan yang semestinya mampu memperjuangan kemajuan ekonomi daerah. Di satu sisi, dukungan DPD terhadap otonomi daerah sangat diperlukan para gubernur. Di sisi lain, sinergi antara gubernur dan DPD akan memperkokoh suara daerah dan memberikan legitimasi kepada DPD untuk mendapatkan peran yang seimbang dengan DPR, khususnya dalam bidang kewenangan legislasi otonomi daerah.

DPD memiliki tugas dan peran yang berbeda dengan DPR. Fungsi dan kewajiban DPD dan DPR mestinya tidak tumpang tindih. Oleh karena itu, area atau bidang garapannya pun memiliki spesifikasi masing-masing. Yang perlu ditumbuhkan adalah, kedua lembaga tinggi negara tersebut bisa bersinergi dan saling melengkapi untuk mewujudkan kemajuan Indonesia.

Secara politik, dukungan para gubernur untuk mengamandemen pasal 22D UUD 1945 memberi dampak yang signifikan. Karena, bila sebagian besar gubernur tersebut terpilih melalui pilkada langsung, maka hal itu juga dapat diterjemahkan sebagai dukungan rakyat Indonesia terhadap amandemen tersebut.

Pelajaran berharga dari tuntutan amandemen Konstitusi saat ini adalah agar ke depan pembentukan lembaga tinggi negara mempertimbangkan aspek teori, rasionalitas politik, dan empirik, agar penataannya lebih baik. Jangan ada lagi pembentukan lembaga tinggi negara yang menafikan kewajiban krusialnya. Secara umum, amandemen Konstitusi yang komprehensif perlu dilakukan untuk menghindari krisis konstitusi yang berkepanjangan.

Penguatan peran DPD melalui peningkatan kewenangan yang dijamin konstitusi juga sepatutnya didukung. Bila partai politik tidak merespons isu tersebut, maka rakyatlah yang harus mendesakkan secara terus menerus baik melalui para gubernur, bupati/wali kota, LSM, pers, mahasiswa, maupun intelektual dan profesional.


R Siti Zuhro
Peneliti Utama LIPI dan The Habibie Center

Republika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar