Rabu, 20 Juni 2007

Pilkada DKI di Antara Dua Pilihan

175620
R Siti Zuhro

Peneliti Utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)


Genderang "perang" Pilkada DKI sudah dipukul. Dua pasangan calon gubernur (cagub) dan wakil gubernur (cawagub)--Fauzi Bowo-Prijanto dan Adang Daradjatun-Dani Anwar--akan bertarung 8 Agustus mendatang.

Berbeda dengan di Aceh, Pilkada DKI hampir dipastikan tak memberikan kesempatan kepada calon independen, meski desakan akan perlunya calon independen di DKI memang terus menguat. Desakan muncul setelah partai politik (parpol) dinilai lebih memperlihatkan dirinya sebagai kendaraan politik atau "broker politik", ketimbang sebagai sarana rekruitmen pemimpin yang dibutuhkan rakyat.

Jabatan politik di pemerintahan yang seharusnya menjadi haknya kader-kader terbaik parpol dikesampingkan, dan lebih memberikan tempat kepada mereka yang tak memiliki "keringat" dalam pembangunan parpol. Dalam hal ini sejumlah lembaga survei telah memerankan dirinya sebagai "dealer politik" yang menentukan ketokohan seseorang.

Untuk kota sebesar Jakarta, munculnya dua calon pasangan memang sulit dipahami secara nalar. Sebab, Jakarta itu pusat bermukimnya elite nasional. Karena itu, wajar bila parpol-parpol di Jakarta disebut gagal melakukan rekruitmen cagub dan cawagub yang transparan, aspiratif dan bebas dari politik uang.

Munculnya keinginan mendorong adanya calon independen bukan sekadar alasan "demokrasi", tetapi sebagai upaya pembelajaran agar parpol dapat membangun sistem dan kinerja partai secara baik. Parpol dituntut melakukan rekruitmen dan transformasi kepemimpinan dengan baik.

Akibat kegagalan parpol dalam menjalankan fungsinya itu, di banyak daerah "golput" atau pemilih yang tak ingin memberikan suara mereka menjadi sarana perlawanan yang efektif atas hegemoni atau oligarki dan arogansi parpol. Di DKI Jakarta yang sangat heterogen ini jumlah "golput" dalam pilkada diperkirakan mencapai lebih dari 45 persen.

Lepas dari masalah muncul tidaknya calon independen, kini sepertinya tak ada pilihan lain bagi masyarakat DKI kecuali memilih satu di antara dua calon pasangan cagub-cawagub yang ada. Maka, siapa pun yang akan terpilih, mereka harus dapat menepis kesangsian masyarakat akan kualitas kepemimpinan mereka untuk membangun Jakarta.

Berbagai persoalan menanti untuk dapat diselesaikan, mulai dari masalah pelayanan publik, pemberantasan korupsi, transportasi, sampah, permukiman kumuh, banjir, kemacetan, sampai masalah keamanan. Meski tak semua persoalan tersebut diyakini akan dapat diselesaikan dalam satu periode, setidaknya gubernur yang akan datang harus mampu membuat program-program pembaruan yang sifatnya partisipatif dan sustainable.

Lebih penting dari itu, pelaksanaan program harus jujur, adil, transparan, dan akuntabel. Akuntabilitas merupakan masalah krusial dalam penyelenggaraan pemerintahan, yang selama ini absen dan menyebabkan lemahnya kredibilitas kepala daerah di mata publik. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar